Share

6. Teka-teki

Pagi-pagi sekali, Bunga sudah menyiapkan bekal untuk Fatih, sedangkan ibunya tengah menyapu. Si kecil sendiri, tengah mandi saat ini.

Fatih terbiasa melakukan semua hal sendirian sejak berumur empat tahun. Bocah itu begitu pengertian melihat orang tua serta neneknya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap hari. Hal itu kini cukup meringankan bundanya.

Setengah jam kemudian, Fatih keluar dengan dandanan yang sudah rapi. "Unda, aku sudah siap berangkat ke sekolah." Bocah itu memutar-mutar badannya memperlihatkan seragam serta tas baru yang kemarin diberikan pihak sekolah.

Bunga memperhatikan si kecil dengan sangat detail, dari ujung kaki hingga kepala. Namun, ketika matanya menatap dasi, seketika tawa menguar.

"Unda kenapa ketawa?" Mata Fatih menyipit. Kedua tangannya menyilang di depan dada.

Bukannya berhenti, Bunga malah mengeraskan tawa. Fatih mulai mengerucutkan bibir dengan kaki menghentak-hentak. Bunga pun menyadari kesalahannya dan sebisa mungkin menghentikan tawa.

"Sayang, pake dasinya bukan begitu," kata Bunga, "sini Unda benerin."

"Hmm." Fatih mengamati sang Bunda yang membenarkan letak serta cara memasang dasi yang cuma dikancingkan sehingga ujung kanan dan kiri menyilang. Tidak seperti yang dirinya kenakan, kedua ujungnya dibiarkan menjuntai. Pantas jika perempuan yang telah melahirkannya itu tertawa tadi.

"Beres," ucap Bunga. Kedua tangannya dia satukan seperti orang tengah membersihkan kotoran yang menempel di telapak. Lalu, tersenyum pada putra semata wayangnya. "Anak bunda ganteng banget, sih."

"Hmm, pasti ayahku ganteng juga, ya, Nda?"

Bunga menghentikan semua gerakannya. Ingatannya menerawang jauh pada sosok lelaki yang membuatnya patuh dalam penantian. Sosok lelaki berambut .......

"Nda ... Unda," panggil Fatih disertai gerakan tangan yang memegang serta menggoyang jari-jari Bunga.

Perempuan itu tersadar dari lamunannya. Menatap ke atas untuk menyembunyikan semua luka masa lalu.

"Iya, Sayang." Berjongkok untuk menyejajarkan diri dengan sang putra.

"Apa ayahku ganteng dan mirip aku, Nda?" Fatih kembali mengulang pertanyaan sebelumnya. Kali ini, Bunga tak bisa mengelak dengan mengatakan tidak. Ada banyak kemiripan di wajah Fatih dengan lelaki itu.

"Mirip sekali, Sayang."

"Benarkah? Bisakah Unda menelpon Ayah dan mengatakan supaya segera pulang?"

Bunga memutar mata, mencari alasan supaya Fatih mempercayai perkataannya. Tak lama kemudian, dia teringat rekaman percakapannya dengan si lelaki. Bunga pun merogoh ponsel di sakunya, lalu memutar audio yang terekam indah itu.

Semua nasihat yang dilontarkan si lelaki terdengar dengan jelas oleh Fatih. Raut mukanya seketika berubah sedih. "Ayah, aku pengen ketemu." Suaranya terdengar begitu menyayat.

Bunga tak kuasa menahan air matanya. Jika bukan karena tepukan ibunya, perempuan itu pasti tersedu saat ini.

"Bunda ganti baju dulu, ya. Sudah jamnya berangkat sekolah. Hari ini, kesayangan Unda masuk pertama kali ke sekolah. Jadi, nggak boleh telat." Bunga menganggukkan kepala pada ibunya. Berjalan secepat mungkin ke kamar dan menumpahkan air mata.

"Jangan sedih, dong. Nenek nggak suka lihat Fatih gini. Hari pertama sekolah, harus banyak senyum. Kalau Fatih bahagia, Ayah pasti cepat pulang. Fatih mau kan Ayah cepat pulang?"

Mengusap kedua mata agar airnya tak terjatuh, Fatih menganggukkan kepala. "Aku nggak akan sedih, Nek." Dia pun tersenyum lebar.

"Nenek, ganti baju sebentar. Kamu tunggu di sini, ya." Mengecup sayang ubun-ubun cucunya. Mahirah mengusap sedikit air yang meleleh tanpa bisa dicegah.

Siapa yang tidak akan sedih melihat Fatih seperti tadi. Sejak lahir belum pernah bertemu dengan ayahnya bahkan kelahirannya pun penuh tragedi. Andai para tetangga di kampungnya tidak gegabah dengan mengusir keluarga mereka, mungkin lelaki itu bisa menemukan Bunga. Begitulah pikiran Mahirah.

Kurang dari lima belas menit kemudian, Bunga dan Mahirah keluar dari kamar masing-masing dengan pakaian rapi. Mereka sarapan tanpa ada pembicaraan, lalu segera berangkat supaya tidak telat ke sekolah Fatih.

Selama perjalanan pun, Fatih tidak berceloteh seperti kemarin ketika berangkat untuk mendaftar. Bunga membiarkan saja, dia takut jika putranya akan bertanya tentang ayahnya yang tidak pernah pulang.

Sampai di gerbang sekolah, Bunga menurunkan putra dan ibunya. Setelah mencium kedua pipi Fatih serta bersalaman dengan Mahirah. Perempuan berhidung mancung itu melanjutkan perjalanan menuju butik sahabatnya.

Fatih berjalan sedikit lesu menuju kelas yang kemarin sudah diberitahu oleh salah satu guru. Namun, sebelum sampai di kelas, dia kebelet pipis.

"Nenek antar, ya," kata Mahirah.

"Nggak usah, Nek. Fatih sudah besar dan bisa sendiri. Kalau Nenek yang antar, nanti malah kelihatan aneh. Masak perempuan masuk toilet cowok."

Mencubit gemas hidung cucunya, Mahirah tersenyum. Gemas sekali mendengar alasan bocah itu padahal tidak ada yang mengajarinya berbicara demikian. "Ya, sudah. Nenek tunggu di sini. Jangan lama-lama, ya."

"Siap, Nek." Setelah memberi hormat pada Mahirah, Fatih menitipkan tas serta bekalnya. Berjalan ke arah toilet yang dia sudah hapal bahwa tanda silang diperuntukkan untuk laki-laki.

Berjalan sambil menahan pipis dengan kedua paha merapat, Fatih tak sengaja menabrak kaki seseorang. "Aduh," jeritnya. Mendongakkan kepala menatap si penabrak, tetapi lelaki dewasa di depannya belum menyadari jika sudah menabrak seorang bocah. Lelaki itu, masih sibuk dengan ponsel di telinga kirinya.

"Om ... Om," panggil Fatih disertai tarikan pada ujung jas warna hitam milik lelaki itu.

Merasa ada yang memanggil, si lelaki menoleh ke bawah. "Ya, Nak?"

"Om itu ayahku, ya?"

"Hah?" ucap sang lelaki disertai mata yang membulat. Beberapa detik kemudian, dia tertegun menatap si bocah. Lalu, berjongkok dan memegang pipi Fatih. "Bukan, Sayang. Kita tidak saling mengenal bahkan kita baru bertemu sekali ini."

"Oh, maaf. Ke mana sebenarnya ayahku?" Fatih berjalan menjauhi si lelaki masuk ke toilet untuk menuntaskan hajat sebelum sang Nenek mencarinya.

Si lelaki berdiri dan membenarkan pakaian. Menggelengkan kepala dan berlalu pergi begitu saja. Namun, dia sempat menghubungi seseorang. "Aku minta rekaman CCTV beberapa menit yang lalu. Di mana dirimu? Aku sudah ada di sekolah, tepat waktu bahkan beberapa siswa belum datang ke sekolah ini."

Fatih sudah bergabung kembali dengan Mahirah yang menunggunya tepat di depan kelas si kecil. Kemudian mereka berdua berjalan beriringan.

Di tempat berbeda, seseorang tengah menatap layar monitor rekaman CCTV kemarin. Setelah bertemu dengan sahabatnya, Yusuf segera menceritakan apa yang telah terjadi kemarin.

"Permintaanmu aneh, Suf. Membuang waktuku saja. Aku banyak kerjaan, tidak mungkin mencari seseorang itu di antara tumpukan orang tua yang mendaftarkan anak-anak mereka."

"IPK cumloude, tapi pikiran sempit. Cari rekaman pada jam yang tertera di daftar itu." Yusuf bahkan sampai menoyor kepala sahabatnya.

"Dih," ucap Irsan.

"Minggir, biar aku yang mencari sendiri." Yusuf memaksa Irsan pindah dari duduknya. Menggerakkan kursor untuk mendapatkan rekaman pada jam yang dicari.

Mata putra tunggal Purnama itu membola. "Ini ... ini," ucapnya seperti melihat hantu.

"Ada apa?" tanya Irsan.

Dia melihat butiran keringat mulai turun pada pelipis Yusuf, tapi diabaikannya.

Irfan justru melirik ke arah layar itu. "Cantik dan kelihatan anggun. Cewek idaman ini."

"Segera hapus rekaman CCTV yang ini. Jangan sampai ada seorang pun yang tahu," tegas Yusuf tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status