Share

7. Semakin Membingungkan

Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut.

"Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya.

"Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.

Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan.

"San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.

Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?"

"Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya."

Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan menatapnya dengan kesedihan. Banyak hal yang telah dilewati sahabatnya.

"Kenapa hidupmu serumit ini? Ada masalah apa sebenarnya dan apa hubungannya dengan perempuan tadi." Banyak pertanyaan bermunculan dalam diri Irsan.

Menatap jam pada dinding, Irsan membiarkan Yusuf beristirahat. Jam masuk kantor masih cukup lama. Setidaknya, ada jeda waktu supaya obat yang dikonsumsi sahabatnya bekerja.

*****

Saat ini, Bunga sudah sampai di butik milik sahabatnya. Mengucap salam pada beberapa karyawan yang sudah lebih dulu datang. Lalu, bergegas ke ruangannya sendiri.

"Huh!" Menghela napas panjang dan kasar. Bunga duduk dan memijit pelipisnya.

Pagi ini, dia bisa menjawab semua pertanyaan Fatih. Lalu, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya. Jawaban apa lagi yang harus dia berikan. Menelungkupkan wajah di meja kerja, air mata perempuan itu kembali mengalir. Sesak rasanya mengingat semua kejadian di masa lalu.

Bukan merutuki atas takdir yang telah dituliskan untuknya. Bunga, hanya minta dikuatkan sampai dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ikhlas, dia mencoba menerima semua. Andai bapaknya masih ada, mungkin Bunga tidak akan sesedih ini.

Zaenal Rukmntara adalah penguat di saat keyakinan mulai goyah. Lelaki yang menjadi cinta pertama putrinya itu selalu mengingatkan bahwa takdir Allah yang telah digariskan pada seorang hamba adalah terbaik.

Bunga mengangkat kepalanya ketika mengingat semua perkataan bapaknya. "Ya Allah. Hamba tahu bahwa semua atas kendali-Mu. Tolong rangkul hamba di saat takdir itu tak seperti yang hamba mau. Yakinkan hamba bahwa semua akan baik-baik saja," ucapnya sendirian.

Baru saja selesai berkata, suara salam Shaqina terdengar. Gadis berjilbab dengan make up tipis itu mengamati wajah sahabatnya. Berjalan mendekat dengan kekhawatiran.

"Ceritakan padaku. Apa yang terjadi pagi ini hingga wajahmu sesedih ini?"

Bunga menegakkan tubuh, salah tingkah. Lalu, membetulkan jilbabnya yang masih sangat rapi.

"Hei, kenapa malah kayak pasangan selingkuh yang kepergok istri sahnya, sih." Shaqina menyentuh telapak tangan sahabatnya. "Berbagilah sedikit dukamu, Bunga. Kita sudah bersahabat sejak lama. Apa masih tidak bisa mempercayaiku?"

Bunga menggelengkan kepala. "Maafkan aku, Sha. Bukan aku nggak mau berbagi, tapi cukuplah aku yang menanggung semua kesedihan ini."

"Hei," sentak Shaqina tidak terima dengan ucapan si sahabat. "Apa ini tentang Fatih?"

Bunga menarik garis bibirnya dan mengangguk. "Doakan aku, ya, Sha."

"Amin. Apa pun masalah yang sedang kamu hadapi saat ini, aku berdoa semoga Allah menguatkan hatimu dalam kesabaran." Shaqina berjalan mendekati Bunga yang sedang duduk, lalu merangkulnya dalam pelukan.

*****

Kamila tengah duduk tenang di samping sang suami yang sedang menerima telepon dari Rudy. Walau tak jelas apa yang dibicarakan, tetapi wanita itu meyakini bahwa percakapan keduanya berkaitan dengan Yusuf.

"Jadi, kamu tidak bisa mendapatkan potongan rekaman yang saya minta itu?" kata Purnama. Suaranya sedikit meninggi.

"Keamanan yang dipasang Pak Irsan terlalu canggih. Saya belum bisa menembusnya."

"Saya beri waktu sekali lagi dan selesaikan masalah ini dengan cepat."

"Baik."

Panggilan berakhir dengan wajah kecewa Purnama. Lelaki itu, lalu melirik sang istri. "Mama dengar sendiri, kan? Akan butuh waktu lama untuk kita menemukan seseorang yang menggunakan uang Yusuf itu. Lagian, kenapa mesti repot-repot sih, Ma. Uang yang dipakai orang itu juga tidak seberapa. Anggap saja sedekah."

"Bukan masalah uangnya. Papa tidak akan pernah mengerti apa yang Mam inginkan." Kamila merapatkan bibir, lalu menggembungkan pipinya.

Walau usia pasangan itu tak lagi muda, Purnama masih saja gemas dengan sikap manja sang istri. Seperti tingkahnya saat ini. "Hmm, minta dicium kayaknya. Gemesin banget, sih."

"Ingat umur, Pa," jawab Kamila, sewot.

"Emang kalau sudah tua tidak boleh mencium istrinya sendiri."

"Tidak boleh. Malu kalau ada yang lihat."

Tawa Purnama meledak. Pagi yang cukup membuat suasana hati lelaki itu bahagia di antara banyaknya masalah yang tengah mereka hadapi. Keluar kamar untuk berangkat bekerja, di ruang tamu lelaki itu bertemu dengan menantunya.

"Pagi, Pa," sapa Adhisti. Dia sudah berpakaian rapi tentunya dengan pakaian yang press body hingga setiap lekukan tubuhnya terpampang nyata.

"Mau ke mana? Suamimu saja belum berangkat ke tempat kerja, kamu malah akan keluar. Jaga martabat dan nama baik keluarga serta dirimu sendiri. Berpakaianlah yang sopan." Tatapan Purnama tajam, cenderung marah pada sang menantu.

"Maaf, Pa. Dhisti akan ganti baju." Perempuan itu berbalik arah.

Tak jauh dari keduanya. Seorang lelaki sepuh tengah mengamati. Ketika Adhisti sudah berjalan meninggalkan Purnama, lelaki sepuh itu menghampiri.

"Jangan terlalu keras pada menantumu. Kalau sampai dia tertekan dan program kehamilannya gagal. Ayah akan langsung mengalihkan semua pada Yudhistira. Ingat itu," ancam si lelaki yang tak lain adalah ayahnya Purnama, Jafar Prayoga.

Setelah berkata demikian, Jafar berlalu begitu saja meninggalkan putranya. Purnama mengumpat dalam hati. Selalu saja, sang menantu mendapat pembelaan ayahnya.

Menggelengkan kepala, Purnama keluar dari rumah dengan perasaan jengkel. Diam-diam, setelah lelaki itu pergi. Kamila juga keluar dengan mengendarai mobil lain.

Kurang dari lima belas menit, Kamila sampai di gerbang sekolah yayasan milik keluarga Irsan. Membuka kaca separuh di depan pos satpam,  perempuan paruh baya itu melambaikan tangan pada penjaga.

"Boleh saya masuk, kan, Pak?" tanya Kamila pada lelaki berkumis dengan seragam hitam putih itu.

"Mau menjemput putra atau cucunya, Bu?"

"Bertemu Pak Irsan."

Si satpam langsung membukakan gerbang. "Silakan, Bu."

Kamila melakukan mobilnya kembali. Dia memarkir kendaraan roda empat itu pada parkiran yang bertuliskan tamu. Di sana, sudah ada beberapa deretan mobil yang terparkir dengan rapi.

Keluar dari mobil, Kamila menghubungi sahabat putranya. "Tante sudah ada di sekolahmu. Bisa Tante bertemu?"

"Bisa, Tan. Saya ada di ruangan guru lantai 3. Telpon lagi kalau sudah sampai di lantai 3. Saya akan menjemput Tante." Suara Irsan terdengar bergetar.

"Oke. Tante segera ke sana."

Mematikan sambungan, Kamila langsung mencari lantai yang disebutkan Irsan. Beberapa menit kemudian, perempuan itu susah sampai di lantai 3, menghubungi kembali sahabat putra.

"Tante sudah sampai di lantai 3. Di mana ruanganmu?"

"Tunggu, Tan. Saya akan keluar." Irsan mulai panik. Menutup panggilan Kamila sepihak.

"Lewat pintu ini. Jika tidak mau bertemu mamamu." Irsan tidak sempat bertanya, mengapa Yusuf enggan bertemu mamanya saat ini.

"Oke. Ingat, jangan menceritakan tentang kunjunganku kali ini dan jangan mengatakan apa pun pada mamaku."

Menganggukkan kepala disertai kedipan mata. Irsan membuka pintu dan bersiap menemui Kamila. Ternyata, perempuan paruh baya itu sudah ada di depan ruangan sang pemilik.

"Tante? Baru saja saya mau mencari, tapi sudah ada di sini," kata Irsan berusaha menutupi kegugupannya.

"Boleh Tante masuk?"

"Silakan, Tan." Irsan mempersilakan Kamila masuk terlebih dahulu. "Silakan duduk, Tan. Mau minum apa? Biar saya meminta OB untuk membuatkan."

"Tidak perlu, San. Tante cuma sebentar," kata Kamila. Setelah duduk, perempuan itu menatap Irsan serius. "Bisa Tante minta tolong?"

"Minta tolong apa, Tan?"

"Bisakah Tante melihat rekaman CCTV kemarin?"

"Hah?!" Irsan menganga mendengar permintaan perempuan paruh baya tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status