Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut.
"Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya."Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan."San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?""Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya."Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan menatapnya dengan kesedihan. Banyak hal yang telah dilewati sahabatnya."Kenapa hidupmu serumit ini? Ada masalah apa sebenarnya dan apa hubungannya dengan perempuan tadi." Banyak pertanyaan bermunculan dalam diri Irsan.Menatap jam pada dinding, Irsan membiarkan Yusuf beristirahat. Jam masuk kantor masih cukup lama. Setidaknya, ada jeda waktu supaya obat yang dikonsumsi sahabatnya bekerja.*****Saat ini, Bunga sudah sampai di butik milik sahabatnya. Mengucap salam pada beberapa karyawan yang sudah lebih dulu datang. Lalu, bergegas ke ruangannya sendiri."Huh!" Menghela napas panjang dan kasar. Bunga duduk dan memijit pelipisnya.Pagi ini, dia bisa menjawab semua pertanyaan Fatih. Lalu, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya. Jawaban apa lagi yang harus dia berikan. Menelungkupkan wajah di meja kerja, air mata perempuan itu kembali mengalir. Sesak rasanya mengingat semua kejadian di masa lalu.Bukan merutuki atas takdir yang telah dituliskan untuknya. Bunga, hanya minta dikuatkan sampai dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ikhlas, dia mencoba menerima semua. Andai bapaknya masih ada, mungkin Bunga tidak akan sesedih ini.Zaenal Rukmntara adalah penguat di saat keyakinan mulai goyah. Lelaki yang menjadi cinta pertama putrinya itu selalu mengingatkan bahwa takdir Allah yang telah digariskan pada seorang hamba adalah terbaik.Bunga mengangkat kepalanya ketika mengingat semua perkataan bapaknya. "Ya Allah. Hamba tahu bahwa semua atas kendali-Mu. Tolong rangkul hamba di saat takdir itu tak seperti yang hamba mau. Yakinkan hamba bahwa semua akan baik-baik saja," ucapnya sendirian.Baru saja selesai berkata, suara salam Shaqina terdengar. Gadis berjilbab dengan make up tipis itu mengamati wajah sahabatnya. Berjalan mendekat dengan kekhawatiran."Ceritakan padaku. Apa yang terjadi pagi ini hingga wajahmu sesedih ini?"Bunga menegakkan tubuh, salah tingkah. Lalu, membetulkan jilbabnya yang masih sangat rapi."Hei, kenapa malah kayak pasangan selingkuh yang kepergok istri sahnya, sih." Shaqina menyentuh telapak tangan sahabatnya. "Berbagilah sedikit dukamu, Bunga. Kita sudah bersahabat sejak lama. Apa masih tidak bisa mempercayaiku?"Bunga menggelengkan kepala. "Maafkan aku, Sha. Bukan aku nggak mau berbagi, tapi cukuplah aku yang menanggung semua kesedihan ini.""Hei," sentak Shaqina tidak terima dengan ucapan si sahabat. "Apa ini tentang Fatih?"Bunga menarik garis bibirnya dan mengangguk. "Doakan aku, ya, Sha.""Amin. Apa pun masalah yang sedang kamu hadapi saat ini, aku berdoa semoga Allah menguatkan hatimu dalam kesabaran." Shaqina berjalan mendekati Bunga yang sedang duduk, lalu merangkulnya dalam pelukan.*****Kamila tengah duduk tenang di samping sang suami yang sedang menerima telepon dari Rudy. Walau tak jelas apa yang dibicarakan, tetapi wanita itu meyakini bahwa percakapan keduanya berkaitan dengan Yusuf."Jadi, kamu tidak bisa mendapatkan potongan rekaman yang saya minta itu?" kata Purnama. Suaranya sedikit meninggi."Keamanan yang dipasang Pak Irsan terlalu canggih. Saya belum bisa menembusnya.""Saya beri waktu sekali lagi dan selesaikan masalah ini dengan cepat.""Baik."Panggilan berakhir dengan wajah kecewa Purnama. Lelaki itu, lalu melirik sang istri. "Mama dengar sendiri, kan? Akan butuh waktu lama untuk kita menemukan seseorang yang menggunakan uang Yusuf itu. Lagian, kenapa mesti repot-repot sih, Ma. Uang yang dipakai orang itu juga tidak seberapa. Anggap saja sedekah.""Bukan masalah uangnya. Papa tidak akan pernah mengerti apa yang Mam inginkan." Kamila merapatkan bibir, lalu menggembungkan pipinya.Walau usia pasangan itu tak lagi muda, Purnama masih saja gemas dengan sikap manja sang istri. Seperti tingkahnya saat ini. "Hmm, minta dicium kayaknya. Gemesin banget, sih.""Ingat umur, Pa," jawab Kamila, sewot."Emang kalau sudah tua tidak boleh mencium istrinya sendiri.""Tidak boleh. Malu kalau ada yang lihat."Tawa Purnama meledak. Pagi yang cukup membuat suasana hati lelaki itu bahagia di antara banyaknya masalah yang tengah mereka hadapi. Keluar kamar untuk berangkat bekerja, di ruang tamu lelaki itu bertemu dengan menantunya."Pagi, Pa," sapa Adhisti. Dia sudah berpakaian rapi tentunya dengan pakaian yang press body hingga setiap lekukan tubuhnya terpampang nyata."Mau ke mana? Suamimu saja belum berangkat ke tempat kerja, kamu malah akan keluar. Jaga martabat dan nama baik keluarga serta dirimu sendiri. Berpakaianlah yang sopan." Tatapan Purnama tajam, cenderung marah pada sang menantu."Maaf, Pa. Dhisti akan ganti baju." Perempuan itu berbalik arah.Tak jauh dari keduanya. Seorang lelaki sepuh tengah mengamati. Ketika Adhisti sudah berjalan meninggalkan Purnama, lelaki sepuh itu menghampiri."Jangan terlalu keras pada menantumu. Kalau sampai dia tertekan dan program kehamilannya gagal. Ayah akan langsung mengalihkan semua pada Yudhistira. Ingat itu," ancam si lelaki yang tak lain adalah ayahnya Purnama, Jafar Prayoga.Setelah berkata demikian, Jafar berlalu begitu saja meninggalkan putranya. Purnama mengumpat dalam hati. Selalu saja, sang menantu mendapat pembelaan ayahnya.Menggelengkan kepala, Purnama keluar dari rumah dengan perasaan jengkel. Diam-diam, setelah lelaki itu pergi. Kamila juga keluar dengan mengendarai mobil lain.Kurang dari lima belas menit, Kamila sampai di gerbang sekolah yayasan milik keluarga Irsan. Membuka kaca separuh di depan pos satpam, perempuan paruh baya itu melambaikan tangan pada penjaga."Boleh saya masuk, kan, Pak?" tanya Kamila pada lelaki berkumis dengan seragam hitam putih itu."Mau menjemput putra atau cucunya, Bu?""Bertemu Pak Irsan."Si satpam langsung membukakan gerbang. "Silakan, Bu."Kamila melakukan mobilnya kembali. Dia memarkir kendaraan roda empat itu pada parkiran yang bertuliskan tamu. Di sana, sudah ada beberapa deretan mobil yang terparkir dengan rapi.Keluar dari mobil, Kamila menghubungi sahabat putranya. "Tante sudah ada di sekolahmu. Bisa Tante bertemu?""Bisa, Tan. Saya ada di ruangan guru lantai 3. Telpon lagi kalau sudah sampai di lantai 3. Saya akan menjemput Tante." Suara Irsan terdengar bergetar."Oke. Tante segera ke sana."Mematikan sambungan, Kamila langsung mencari lantai yang disebutkan Irsan. Beberapa menit kemudian, perempuan itu susah sampai di lantai 3, menghubungi kembali sahabat putra."Tante sudah sampai di lantai 3. Di mana ruanganmu?""Tunggu, Tan. Saya akan keluar." Irsan mulai panik. Menutup panggilan Kamila sepihak."Lewat pintu ini. Jika tidak mau bertemu mamamu." Irsan tidak sempat bertanya, mengapa Yusuf enggan bertemu mamanya saat ini."Oke. Ingat, jangan menceritakan tentang kunjunganku kali ini dan jangan mengatakan apa pun pada mamaku."Menganggukkan kepala disertai kedipan mata. Irsan membuka pintu dan bersiap menemui Kamila. Ternyata, perempuan paruh baya itu sudah ada di depan ruangan sang pemilik."Tante? Baru saja saya mau mencari, tapi sudah ada di sini," kata Irsan berusaha menutupi kegugupannya."Boleh Tante masuk?""Silakan, Tan." Irsan mempersilakan Kamila masuk terlebih dahulu. "Silakan duduk, Tan. Mau minum apa? Biar saya meminta OB untuk membuatkan.""Tidak perlu, San. Tante cuma sebentar," kata Kamila. Setelah duduk, perempuan itu menatap Irsan serius. "Bisa Tante minta tolong?""Minta tolong apa, Tan?""Bisakah Tante melihat rekaman CCTV kemarin?""Hah?!" Irsan menganga mendengar permintaan perempuan paruh baya tersebut.Happy Reading*****Kegagalan meneguk indahnya malam pertama setelah sekian lama keduanya terpisah membuat Bunga begitu canggung saat ini. Walau berkali-kali Yusuf mengatakan tidak masalah, tetapi tetap saja perempuan itu merasa bersalah. Di saat sang suami sedang berada di puncak gairahnya terpaksa harus padam karena tamu bulanan Bunga datang lebih awal."Sini, Sayang," panggil Yusuf menepuk bagian pahanya."Mas, ih. Aku kan nggak bisa itu.""Tidak masalah. Walau tidak bisa masak kamu mau jauhi Mas, Yang.""Maaf, ya, Mas. Aku sudah membuatmu kecewa.""Tidak masalah, Sayang. Kita bisa mengulangnya di lain waktu. Mau jalan-jalan ke luar? Besok, kita pasti sibuk dan tidak memiliki kesempatan untuk berduaan.""Gimana bisa keluar kalau kuncinya saja dibawa Mama, Mas."Yusuf menepuk kening. Lupa jika seluruh keluarganya telah mengurung mereka di kamar tersebut. "Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini.""Nggak ada," jawab Bunga. Perempuan itu sengaja menjauhi sang suami. Duduk di sofa,
Happy Reading*****Sore sekitar pukul enam, keluarga Prayoga sudah berada di kediaman mereka. Tak membuang waktu lagi, Yusuf dilarikan ke rumah sakit tempat sang dokter praktek. Ada banyak harapan dari seluruh anggota keluarga tersebut atas kesembuhan Yusuf. Pemeriksaa panjang dan melelahkan akan segera mereka hadapi setelah Yusuf masuk ke ruang sang dokter. "Unda, Ayah sebenarnya sakit apa?" tanya si mungil yang sejak tadi berusaha menahan rasa ingin tahunya karena semua orang dewasa sibuk membicarakan sang ayah. "Ayah nggak sakit, Sayang. Cuma kelelahan saja.""Apa Ayah bekerja terlalu berat? Bisakah Fatih membantu pekerjaan Ayah supaya nggak kelelahan lagi seperti sekarang?"Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir mungil itu terdengar oleh Purnama dan Jafar. Keduanya lantas tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. "Apa Ayah harus membawanya ke kantor sejak dini," ujar Jafar pada sang putra. "Lebih cepat lebih baik. Fatih itu persis Yusuf. Semangatnya untuk membantu p
Happy Reading*****Pletak .... Satu sentilan mendarat di kening sang direktur yang terkenal pandai dan selalu berhasil dalam bisnisnya. Namun, entah mengapa pikirannya menjadi buntu ketika dihadapkan pada persoalan asmara. "Apa?" kata Yusuf tak terima diperlakukan kurang ajar oleh sahabatnya."Kamu memang tidak mengingat tragedi pelecehan itu atau pura-pura bodoh. Mana mungkin aku menyukai istri sahabatku sendiri. Yang benar saja, tunanganku sekarang sudah amat sangat sempurna," seloroh Irsan. Dia masih mengawasi Bunga. Takut perempuan itu berbuat nekat jika langsung menolong.Yusuf terdiam beberapa saat, memaksa memorinya untuk mengingat semua kejadian yang telah terlewat. Berhasil, kenangan demi kenangan beberapa hari lalu serta seluruh kejadian bagaimana keluarganya mengenal Bunga hadir dalam ingatan. Namun, menit berikutnya lelaki itu merasakan kepalanya berputar."San, tolong!" ucap Yusuf lirih.Irsan menoleh pada sahabatnya dan segera berteriak sekencang mungkin memanggil nam
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, setelah melakukan salat subuh berjemaah dengan para sahabatnya. Yusuf dan Bunga dikejutkan dengan kehadiran Purnama beserta seluruh keluarga besar keluarga Prayoga termasuk putra mereka. Kemarin malam, setelah melakukan panggilan video dan mengetahui kondisi kesehatan Yusuf, mereka sekeluarga tidak bisa duduk diam ataupun tidur nyenyak.Jafar bahkan langsung meminta asisten pribadinya untuk memesan tiket penerbangan ke Bali. Malam itu juga, lewat tengah malam, mereka sekeluarga menyusul Bunga."Eyang, Papa?" ucap Yusuf dengan bola mata terbuka sempurna. Detik berikutnya, lelaki itu melirik sang istri. "Eyang, aku bisa jelaskan siapa Bunga."Yusuf mengajak rombongan keluarganya masuk dan duduk di sofa. Para sahabatnya melihat dari jarak yang tidak begitu jauh sambil menggelengkan kepala."Ayah, kenapa nggak mau nyapa? Fatih kangen." Bukannya Jafar atau Purnama yang menjawab pertanyaan lelaki tampan itu, tetapi seorang anak kecil. Yusuf mengerutkan
Happy Reading*****Bunga menatap panik pada sang suami. Dia telah berteriak minta tolong pada dua sahabat ayahnya Fatih. Namun, Yusuf masih tetap berteriak dan berjalan ke tengah pantai.Entah apa yang terjadi dengan sang suami. Padahal, Bunga cuma ingin mengambil kerang dan segera kembali ke sisi Yusuf saat ombak yang datang terlihat sangat besar. Akan tetapi, sng suami malah berteriak keras memperingatkan dan berlari ke tengah pantai."Berhenti, Suf. Ada apa denganmu?" tanya Fawas. Sekuat tenaga, lelaki itu mengejar. Irsan dan Shaqina bahkan menghentikan kegiatan pemotretan karena takut terjadi sesuatu dengan sahabatnya."Ya Allah, Mas. Kamu kenapa sebenarnya?" kata Bunga. Dia terus berteriak memanggil Yusuf. Pergerakannya kalah cepat karena tubuh mungil si wanita.Ombak yang begitu besar menghantam Yusuf. Beruntung, Fawas sudah memegang tangan lelaki itu. Mereka berdua terseret beberapa meter ke tengah pantai. "Suf, sadar," ucap Fawas. Lelaki itu terpaksa menampar sahabatnya. Pan
Happy Reading*****Kelima rombongan Aghista pun melihat ke arah pandang ibu satu anak tersebut. Yusuf bahkan dengan cepat menutup mata sang istri dengan tangannya, sedangkan Shaqina terpaksa harus memalingkan muka. Malu sekali dengan adegan dua orng dewasa di depan mereka saat ini. "Cih, belum ada satu menit mengatakan akan melindungi Bunga dari gangguan lelaki manapun, tapi kelakuannya yang sekarang sungguh memalukan," kata Irsan. "Namanya bajingan, selamanya tidak akan pernah berubah," tambah Shaqina cukup keras hingga dua orang yang sedang melakukan adegan dewasa berciuman tersebut menoleh. Mata Damar membulat sempurna bahkan dia langsung mendorong perempuan yang tadi menjadi partner ya berciuman. "Jangan salah paham Bunga," kata Damar, "kamu tahu siapa dia. Sejak dulu, dia sudah mengejarku. Entah bagaimana dia bisa tahu, aku sedang ada kerjaan di sini.""Untuk apa kamu menjelaskan semua itu pada kekasihku?" tanya Yusuf. Tangannya sudah disingkirkan dari wajah sang istri."Mas
Happy Reading*****Bunga menatap suaminya yang tersenyum ketika melihat ekspresi terkejut Damar. "Mas, kamu nggak melakukan hal-hal menakutkan seperti janjimu tadi, kan?" tanya Bunga. Dia, hanya ingin memastikan bahwa suaminya tidak bertindak apa pun juga saat ini. Sungguh, keluarga Prayoga itu sangat menakutkan jika sudah merasa disakiti atau terancam. Seperti kasus Yudhistira dan Adhisti. Sepupu Yusuf itu, tega memasukkan si ibu hamil ke penjara berserta ayahnya sendiri. Padahal jelas-jelas mereka sudah meminta maaf. Kejadian pelecehan beberapa waktu lalu juga membuat Jafar marah besar. Lelaki sepuh tersebut bahkan meminta putrinya untuk bercerai dengan Iskandar. Tidak ada toleransi jika menyangkut nama baik dan rasa sakit yang dialami keluarga Prayoga. Semua harus dibayar sepadan. Sungguh, melihat wajah semringah sang suami. Bunga khawatir dengan keadaan Damar. Bukan karena dia menaruh hati pada lelaki tersebut, tetapi lebih kepada rasa kemanusiaan. "Hal-hal menakutkan gimana
Happy Reading*****"Kekanakan bagaimana?" jawab Damar, "aku cuma ingin melindungimu dari lelaki tidak baik ini."Kalimat Damar membuat Yusuf membulatkan mata. "Kita baru sekali bertemu. Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum kamu ketahui kebenarannya," ucap suami Bunga. "Kebenaran apalagi yang perlu aku ketahui. Ekspresi wajah Bunga, jelas sangat tidak nyaman dengan perlakuanmu," jawab Damar. Masih kukuh dengan pendapat awal yang dilihatnya tadi. "Diam, Mar. Kamu terlalu jauh mencampuri urusan pribadiku," sahut Bunga. Kilat amarah itu jelas ditampakkan olehnya pada lelaki yang sejak tadi berusaha mendekatinya."Hah!" ucap sang lelaki sedikit terkejut dengan protes yang Bunga lakukan. "Kamu tidak perlu takut seperti itu, Bunga. Aku selalu siap ketika ada lelaki yang mengganggumu." Suara Damar mulai meninggi membuat orang-orang di dalam pesawat melihat ke arah mereka bertiga.Shaqina yang duduk dua kursi di belakang Yusuf dan Bunga, meminta ijin pada Irsan. "Permisi, Mas.""Mau ke ma
Happy Reading*****"Hai, Sayang. Kenapa berhenti?" ucap Yusuf tak tahan melihat sikap si lelaki yang cari-cari perhatian pada istrinya.Bunga tersenyum menatap sang suami. "Mas, kenalkan. Ini sahabat kami bertiga pas masih SMA dulu.""Hmm," jawab Yusuf tanpa berniat untuk berjabat tangan. Bunga menyadari sikap tidak suka yang ditunjukkan sang suami. Dia pun menggandeng tangan Yusuf posesif. "Mar, kenalin dia ini ....""Saya calon suaminya," ucap Yusuf. Tampang sengaja dibuat mode dingin. "Oh, rupanya sudah punya clon suami. Aku kira kamu masih sendiri." Sengaja mengedipkan sebelah mata, lelaki itu seakan memancing emosi Yusuf. "Kenalkan, saya Damar. Salah satu direksi sekaligus Direktur dari Akasurya Grup."Fawas menarik garis bibir. Seolah mengejek nama perusahaan yang disebutkan barusan. "Jika kamu mengaku direktur Akasurya Grup, lalu siapa Ganandra?""Nah, benar. Tidak perlu sok ngaku-ngaku, deh. Ganandra itu adalah direktur utama Akasurya Grup," tambah Irsan. Dia sengaja merapa