Share

Bertemu Penyelamat

Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. 

"Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.

Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. 

Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. 

Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. 

"Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." 

Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. 

"Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. 

Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. 

"Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak punya uang untuk menyewa sebuah kontrakan kecil," ucap Riana setelah mengakhiri ceritanya. 

Aram sangat terkejut begitu mendengar rentetan cerita yang dipaparkan oleh Riana. 

Tanpa sadar, rahangnya mengetat saat Riana menceritakan bagian si lelaki brengsek itu. 

"Aku sudah berjanji akan membantumu. Tenanglah, sekarang kau harus fokus dulu pada kondisimu. Jangan dipikirkan yang lainnya dulu. Mulai sekarang kau tidak sendirian, anggap aku seperti temanmu sendiri," kata Aram sembari mengusap lengan Riana dan membuat hati Riana menjadi lebih hangat. 

"Sekali lagi terima kasih banyak, dokter." 

Aram membalasnya dengan senyum dan anggukan, sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan Riana sendirian. 

*** 

"Nah, mulai hari ini kamu bisa tinggal di sini." Aram berkata sambil membantu membawakan tas pakaian Riana masuk ke dalam kontrakan itu. 

"Tapi dokter ... "

Riana masih tak menyangka jika Aram sebaik ini. Setelah kemarin membawanya ke rumah sakit, hari ini lelaki itu mengajaknya ke sebuah kontrakan yang cukup luas. 

"Aram! Kita bukan sedang di rumah sakit, jadi panggil Aram saja." 

"Aram, apa kau bisa mencarikanku kontrakan yang lain saja?" tanya Riana sambil mengamati sekeliling bagian dalam kontrakannya. 

"Memangnya kenapa dengan kontrakan ini? Kau tidak suka dengan fasilitasnya atau kau merasa kontrakan ini kurang cocok untukmu?" kening Aram berkerut penasaran. 

"Bukan begitu, justru kontrakan ini terlalu besar. Fasilitasnya juga sangat lengkap, ada kulkas, TV, lemari, dan yang lainnya. Hanya saja biaya sewa perbulannya pasti sangat mahal. Aku mau mencari kontrakan yang kecil saja, kalau bisa yang di bawah satu juta," papar Riana. 

Tersenyum, Aram lalu berpangku tangan sambil berkata. "Jadi kau mengkhawatirkan soal itu. Jangan risau, aku sudah membayar biaya sewa kontrakan ini sampai satu tahun ke depan." 

"Apa? K-kau sudah membayar sewanya sampai satu tahun?" Riana tak bisa membayangkan berapa banyak uang yang Aram keluarkan untuknya. 

Padahal mereka baru saling kenal. Apakah Aram memang senang menolong orang asing yang belum dikenalnya? 

"Ya, sebenarnya satu minggu yang lalu aku membayar sewa kontrakan ini untuk sepupuku. Dia mau kuliah di kampus yang dekat dari sini. Tapi dia hanya sempat tinggal di sini selama dua hari saja, karena dia berubah pikiran dan mau kuliah ke luar kota, sementara uang sewa satu tahun yang sudah masuk tidak bisa ditarik lagi. Lalu aku bertemu denganmu, jadi kupikir daripada kontrakannya kosong begitu saja, lebih baik kau saja yang menempatinya." 

"Aram, aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu." 

"Aku tidak mengharapkan balasan apapun. Aku senang membantumu."

"Kau sangat baik. Aku pasti akan mengganti biaya sewa kontrakan ini setelah aku memiliki uang." 

"Tidak. Kau tidak perlu mengganti uangnya."

"Jangan ditolak, aku merasa tidak enak jika memiliki hutang budi pada orang lain. Apalagi kita baru saja saling mengenal."

Sambil menatap wajah Riana, Aram pun menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.

"Baiklah jika kau memang keras kepala."

Riana ikut tersenyum. 

Senyum itu mampu membuat Aram tertegun selama beberapa saat. Seakan terpaku pada manisnya senyum milik gadis cantik itu. 

"Ambil ini!" Aram memberikan sebuah kartu pada Riana. 

Dengan alis yang mengernyit, Riana mengambil kartu itu dari tangan Aram. 

"Kartu apa ini?" 

"Itu kartu khusus untuk periksa secara gratis di rumah sakit milikku. Setiap kali kau mau periksa kandungan, datanglah ke rumah sakit 'Mutiara Bunda' dan bawalah kartu itu. Kau bisa periksa kandungan secara gratis kapanpun kau mau. Bahkan jika nantinya kau mau melalukan USG pada bayimu, kau bisa melakukannya tanpa perlu membayar biaya apapun." 

"Aram ... " Riana menatap Aram dengan tak percaya. 

Bagaimana orang asing bisa sebaik ini? Memberinya banyak bantuan tanpa pamrih. 

"Aku yakin kau pasti penasaran ingin melihat bagaimana wajah bayi di dalam kandunganmu, 'kan?" tanya Aram sambil tersenyum. 

Tangan Riana mengusap perutnya sendiri. Kepalanya menunduk sambil menyunggingkan senyum. Lalu ia mengangguk pada Aram. 

"Iya. Aku ingin melihatnya."

"Setelah kandunganmu cukup besar, kau bisa melihat wajahnya. Bahkan jenis kelaminnya juga. Nantinya akan terlihat seperti apa wajahnya. Apakah cantik seperti ibunya ataukah tampan seperti ayahnya ... " 

Mendadak suasana menjadi hening setelah ucapan Aram mendadak terhenti. Riana pun menundukan wajah. Ada raut sendu yang tampak di sana. 

"Emhh ... maaf, Riana. Aku tidak bermaksud."

"Tidak apa-apa," balas Riana sambil mengangkat wajah dan memberikan selarik senyum pada Aram. 

Senyum yang lagi-lagi mampu menggetarkan sesuatu yang berada di dalam rongga dada Aram. 

"Cantik sekali," ucap Aram dalam hati. 

"Kalau begitu aku pergi dulu. Maaf karena aku harus kembali ke rumah sakit. Jadi tidak bisa berlama-lama di sini. Tapi sewaktu-waktu aku pasti akan datang menemuimu untuk melihat keadaanmu," ujar Aram yang sebenarnya masih betah bersama Riana, entah mengapa. Ada rasa nyaman yang tak bisa Aram lukiskan saat bersama gadis asing itu. 

Namun karena pekerjaannya, tentu Aram harus kembali ke rumah sakit. 

Riana mengangguk dan berterima kasih. Ia mengantar Aram sampai ke teras depan. 

Setelahnya Aram pergi, Riana menutup pintu dengan rapat dan kembali mengamati sekeliling bagian dalam kontrakannya. 

"Kontrakan ini sangat bagus. Semua yang kubutuhkan sudah lengkap ada di sini. Aram bahkan mengisi kulkasnya penuh dengan bahan makanan dan buah-buahan. Baik sekali Tuhan mempertemukanku dengan orang sebaik Aram." Riana takjub melihat dapur di kontrakannya. 

Riana tidak akan kekurangan makanan sampai satu bulan ke depan. 

"Tapi meskipun aku sudah memiliki tempat tinggal, rasanya tetap terasa hambar jika tidak ada Ibu dan Yasmin. Entah sedang apa mereka sekarang. Apa Ibu tidak merasa kehilangan dan sedih saat aku angkat kaki dari rumah?" manik mata Riana kembali berkaca-kaca. 

Segera Riana mengerjap untuk menghalau air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak boleh lemah sebagai seorang calon ibu yang akan membesarkan anaknya seorang diri. 

Memasuki kamar tidurnya, Riana lalu menidurkan dirinya di atas ranjang. Kedua tangannya mengusap perutnya dengan lembut. 

"Meskipun kau berada di rahimku karena sebuah kesalahan, tapi aku tak pantas menyalahkanmu yang tidak berdosa. Maaf karena aku tidak bisa menjadikanmu seperti anak yang lain. Lahir di tengah keluarga yang lengkap. Tapi jangan khawatir, aku akan berusaha jadi ibu yang terbaik dalam hidupmu, sampai kau tidak akan merasa kekurangan cinta dan kasih sayang," gumam Riana seolah sedang mengajak bicara janin di dalam kandungannya. 

Ya, hanya calon bayinya itulah yang menjadi temannya, sekarang. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mudah2an kmu d nikah sama Aram tuk menjadi ayah anakmu nanti kasian anakmu yg g ada ayah nya ..
goodnovel comment avatar
Teguh PintUnina Setiawan
beruntung amat si Riana ni
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status