"Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan untuk tinggal," ucap Riana sambil melangkah tak tentu arah sembari mengangkat tas berisi pakaian miliknya.
Langkah Riana terasa berat. Matanya memanas membayangkan saat ibunya mengusirnya.
TIN!
Seorang pemilik mobil membunyikan klakson dengan keras karena merasa Riana menghalangi laju mobilnya.
"Hei! Minggir! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu!"
"Maaf." Begitu Riana menyingkir, mobil itu pun melaju kencang melewati dirinya.
"Aku harus cari tempat tinggal. Tapi aku juga tidak punya uang untuk membayar kontrakan. Apa aku harus tinggal di kolong jembatan?" gumam Riana dalam hati.
Namun, Riana merasa ragu saat membayangkannya.
Mendadak perutnya terasa mual.
Terik matahari juga membuat kepala Riana terasa pusing.
Menundukkan pandangan, Riana terbelalak kaget saat melihat sedikit darah yang luruh dari jalan lahirnya.
"Ya Tuhan! Bayiku!"
Namun, detik selanjutnya tali tas itu pun lepas dari genggaman Riana, kemudian jatuh ke aspal bersamaan dengan tubuh Riana yang tak sadarkan diri.
"Tolong! Ada orang pingsan!"
Beberapa orang segera menghampiri Riana dan mengerumuninya.
Tapi, hanya sebuah mobil berwarna hitam yang mau berhenti.
Sang pemilik bahkan segera menyongsong tubuh Riana dan mengangkatnya.
"Tolong bantu masukan tasnya ke mobilku! Aku akan membawanya ke rumah sakit." lelaki tampan bertubuh jangkung itu meminta pada salah satu dari mereka.
"Baik, Tuan."
Setelahnya, Riana pun dibaringkan di kursi belakang dan mobil itu membawanya pergi.
***
"Enghhh ... di mana aku?" kelopak mata Riana mengerjap perlahan, lantas terbuka.
Keningnya berkerut melihat ruangan serba putih dan selang infusan terpasang di pergelangan tangannya.
Namun, matanya melebar saat ia mengingat sesuatu.
"Bayiku!" panik Riana yang langsung memeluk perutnya.
"Jangan takut! Bayimu baik-baik saja. Dia sehat dan sempurna. Kau memang mengalami pendarahan kecil, tapi itu bukan masalah besar."
Seorang lelaki tampan berkacamata tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan itu dan menjawab kepanikan Riana.
Riana mendesah lega sembari mengusap perutnya setelah mendengar ucapan lelaki berseragam dokter itu.
"S-siapa kau?"
"Aku Aram, salah satu dokter di sini."
"Apa kau yang membawaku ke rumah sakit ini?"
"Ya. Aku menemukanmu pingsan di pinggir jalan. Saat melihatmu pendarahan, aku langsung berinisiatif membawamu ke rumah sakit," jelas Aram sambil menatap wajah Riana.
Melihat betapa bagusnya rumah sakit ini, membuat Riana merasa gelisah.
Dirinya tidak memiliki uang sepeser pun. Biaya rumah sakit ini pasti sangat mahal.
"Tapi aku harus cepat pulang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Riana hendak melepaskan selang infusannya sendiri.
Untung, segera dicegah oleh tangan Aram. "Jangan dilepas! Kau tidak bisa melepaskan infusanmu sendiri."
"Tapi aku harus pulang."
"Kondisimu masih belum stabil. Kau tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini. Setidaknya tunggu besok pagi, baru aku akan mengizinkanmu pulang."
"Aku tidak bisa menunggu sampai besok pagi."
"Kenapa?" tanya Aram penasaran.
"Aku ... aku tidak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakitnya," cicit Riana pelan sambil menundukan wajah.
Mendengar itu, Aram tersenyum tipis.
"Jangan pikirkan itu. Kau tidak perlu membayar tagihan sepeser pun," ucap Aram sambil membetulkan jarum infusan yang tadi sempat akan dicabut oleh Riana.
"Benarkah? Aku tidak perlu membayarnya?" tanya perempuan itu kembali untuk memastikan perkataan Aram.
Aram mengangguk. "Rumah sakit ini milikku. Jadi semua fasilitas dan perawatan yang kau dapatkan di sini adalah gratis."
Selarik senyum pun tersungging di wajah Riana. Ditatapnya wajah Aram dengan penuh rasa lega.
"Terima kasih, dokter."
"Sama-sama," jawab Aram membalas senyum Riana, "oh ya, jika kau mencari tasmu, aku menyimpannya di sudut sana."
Pandangan Riana mengikuti arah telunjuk Aram. Dilihatnya tas miliknya yang masih utuh.
Melihat tas itu membuat dada Riana terasa sesak. Dirinya diingatkan lagi oleh perjalanannya yang tanpa arah untuk mencari tempat tinggal.
Wajah sedih Riana itu tak luput dari perhatian Aram.
Dengan cepat, pria itu pun bertanya, "Maaf, boleh kutanya sesuatu? Itupun jika kau tidak keberatan."
Riana menoleh, lalu menganggukan kepala. "Apa yang mau dokter tanyakan?"
"Kenapa kau berjalan sendirian sambil membawa tas sebesar itu? Aku tidak melihat isinya, tapi kurasa sepertinya isinya adalah pakaian. Kau tidak sedang melarikan diri dari rumahmu, 'kan?" tanya Aram penasaran.
Wajah Riana menunduk. Tangan kirinya mengelus perutnya yang masih datar.
Sebenarnya di saat seperti ini Riana sangat membutuhkan teman bicara, namun Aram adalah orang yang baru pertama kali bertemu dengannya.
"Jika kau tidak mau bicara, tidak apa-apa. Aku mengerti. Tapi aku hanya mau mengatakan padamu. Jangan memendam masalah sendirian, itu tidak baik. Dan jangan sungkan bercerita padaku meski kita baru kenal. Kalau kau merasa ragu, anggap saja aku seperti temanmu sendiri. Setidaknya dengan begitu, kau tidak akan merasa sendirian."
Riana mengangkat pandangan, matanya menatap wajah Aram dengan lekat. Ada ketulusan yang terpancar lewat senyum lelaki itu.
"Istirahatlah dulu! Aku akan kembali nanti malam untuk mengecek kondisimu." merasa Riana tak juga mau bicara, Aram pun hendak pergi.
Tapi, langkahnya terhenti saat suara Riana terdengar dari belakang tubuhnya.
"Dokter!"
Aram berbalik, lalu menoleh.
"Sebenarnya aku bukan sedang melarikan diri, tapi aku diusir."
"Diusir?" ulang Aram. Lelaki berbola mata abu pekat itu tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya.
Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. "Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. "Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. "Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak pu
"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah. "Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu. "Kenzie?" Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya. "Ke mana dia?" Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie. Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan. "Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!" Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya. Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana. "Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala
"Sebenarnya bossmu itu aku atau ayahku?" Mata Mahesa menyipit sinis ke arah Leo. Namun, sekretarisnya itu berpura-pura tidak mendengar. "Lima belas menit lagi pesta dimulai. Segeralah bersiap-siap, Tuan." "Lalu apa kau akan terus berdiri di sana dan melihatku berganti pakaian?" Mahesa menatap kesal pada Leo. Leo tahu jika sebenarnya Mahesa kesal dengan pertunangan ini, namun tidak tahu harus meluapkannya ke mana. "Aku akan tetap berdiri di sini hanya sampai kau turun dari tempat tidurmu. Baru aku akan keluar dari kamar ini." Mendengus masam, Mahesa menyibak selimut tebal yang menutupi kakinya, kemudian bangkit dari ranjang. "Kau lihat? Aku sudah turun dari tempat tidurku. Sekarang keluarlah dari kamarku dan biarkan aku bersiap-siap!" "Dengan senang hati, Tuan Mahesa. Oh iya, ada satu hal yang lupa kusampaikan padamu." Leo menahan langkahnya dan berbalik menatap Mahesa. Alis Mahesa mengernyit. "Tolong pasang sedikit senyum di wajahmu saat berhadapan dengan para tamu.
"Om, tadi Om bilang mau obati tanganku?" Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Mahesa. Pria itu pun mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Ah, iya. Ayo kita masuk ke dalam mobil Om. Biar Om bantu berdiri." Kenzie tersenyum dan membiarkan Mahesa menuntunnya memasuki mobil. Setelah pria itu membuka kap belakang, Kenzie pun duduk di sana. "Aww ... sakit!" "Maaf, tahan sedikit ya," pinta Mahesa sembari tetap mengoleskan obat merah di luka Kenzie. "Boleh Om tahu, kenapa kau mau menyebrang jalan sampai hampir tertabrak mobil Om? Jujur, tadi itu Om terkejut melihatmu tiba-tiba melintas di depan. Untung saja hanya tersenggol, jadi lukamu tidak parah." "Tadi aku sedang duduk di bangku itu sambil memegang robot mainanku yang baru saja dibelikan mama." Kenzie menunjuk bangku yang tadi didudukinya. "Tapi ada anak nakal yang mencurinya dan lari menyebrang jalan. Aku mau mengejarnya ... " "Tapi malah hampir tertabrak oleh mobil Om," tebak Mahesa. Kenzie mengangguk dengan bibir yang meng
Mata Mahesa melebar tak percaya. Meski telah enam tahun berlalu, namun wajah gadis yang terpampang di kamera CCTV-nya masih tampak jelas dalam ingatan. "Aku harus mengejarnya! Aku yakin itu dia." segera, Mahesa bangkit berdiri dan berjalan cepat menyusul Riana yang berjalan menuju ke arah dapur restoran. Sialnya, saat Mahesa baru saja akan masuk ke sana, seorang manajer restoran menahannya. "Maaf, Tuan. Anda tidak bisa sembarangan masuk ke dapur kami. Area ini hanya untuk para koki dan asistennya," ucap manajer itu dengan sopan. "Aku sedang mencari seseorang.""Seseorang? Dan siapakah orang itu? Mungkin aku bisa membantu Anda menemukannya." "Aku ... aku lupa siapa namanya. Aku sudah mencarinya sejak lama. Dia seorang wanita bertubuh langsing, memakai seragam waiters, kurasa dia baru saja masuk ke dalam dapur ini." "Apa kau yakin?" manajer itu mengernyitkan alis. Mahesa mengangguk. "Bisakah kau mengizinkanku masuk ke dalam dapur untuk mencarinya? Aku bisa membayar berapapun yan
"Aku sangat berharap kau mau menerima lamaranku, Ri. Jika belum siap menikah, aku akan sabar menunggu sampai kau siap. Selama ini aku terlalu takut mengungkapkan perasaan ini. Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikannya lagi," jelas lelaki berbola mata abu itu pada Riana. Kedua matanya menatap wajah Riana yang menunduk. Wanita cantik itu tampak sedang berpikir. "Sekarang aku tidak ingin hanya jadi sekedar temanmu saja, tapi juga jadi orang yang bisa melindungimu da Kenzie. Aku juga ingin jadi ayahnya Kenzie. Aku berani bersumpah perasaanku sangat tulus." "Apa aku harus menerima lamaran Aram? Aku tidak mencintainya, tapi lelaki itu sudah banyak membantuku sejak aku hamil Kenzie. Aku banyak berhutang budi pada Aram. Jika aku menolak, Aram pasti akan kecewa. Terlebih, ibunya terlihat sangat ingin melihat Aram memiliki pasangan hidup," gumam Riana dalam batinnya. Di antara dilema yang dirasakannya, Riana akhirnya memberanikan diri mengambil sebuah keputusan. Kini manik matanya teran
"Om Mahesa, kenalkan, ini mamaku." Kenzie beralih ke samping Riana dan menggenggam tangan kanannya di depan Mahesa. Sementara Mahesa dan Riana masih saling mengikat pandangan. Mahesa masih dengan wajah terkejutnya, sedangkan Riana menatap dengan sorot kebencian. "Lelaki itu, dia yang sudah membuatku diusir dari rumah. Dia yang sudah menghancurkan kehidupanku. Kenapa aku harus kembali bertemu dengannya," ucap Riana dalam hati.Diam-diam tangan kiri Riana terkepal kuat. Menahan diri untuk tak melayangkannya ke pipi Mahesa. "H-hai! Aku Mahesa." Riana menatap tangan kanan Mahesa yang terjulur ke arahnya. "Mama, kenapa malah melamun? Om Mahesa mengajak Mama berkenalan." Kenzie sedikit menggoyangkan tangan Riana hingga wanita cantik itu tersadar dari lamunannya lalu membalas uluran tangan Mahesa. "Riana.""Riana, enam tahun kita tidak bertemu. Lalu sekarang kita kembali dipertemukan oleh Kenzie," batin Mahesa. Matanya menatap Riana dengan lamat. Merasa risih ditatap sedalam itu, Ri
"Bukan! Kenzie bukan anakmu!" Riana menjawab dengan tegas.Jawaban yang mengejutkan Mahesa.Tapi tentu saja Mahesa tak langsung percaya pada wanita yang pernah tak sengaja ditidurinya itu."Bohong! Kau pasti berbohong.""Kenzie anakku! Aku yang mengandungnya. Jelas hanya aku yang paling tahu siapa ayahnya," ucap Riana.Sebisa mungkin Riana memasang wajah tegas di depan Mahesa. Padahal jauh di dalam hatinya, Riana panik dan gelisah.Bagaimana jika Mahesa mengetahui semuanya?"Lalu bagaimana bisa wajahnya mirip denganku?"Pertanyaan kali ini mampu membekukan tubuh Riana. Bola matanya pun melebar terkejut."Mirip? Itu hanya perasaanmu. Kenzie sama sekali tidak mirip denganmu!"Ada yang patah, begitulah yang Mahesa rasakan dalam hatinya saat mendengar ucapan Riana."Kalau benar dia bukan anakku, lalu siapa ayahnya?" Mahesa bertanya yang kesekian kali.