"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah.
"Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu.
"Kenzie?"
Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya.
"Ke mana dia?"
Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie.
Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan.
"Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!"
Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya.
Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya.
"Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana.
"Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala putranya.
Tidak terasa, enam tahun sudah berlalu dan anak tanpa ayah yang dilahirkannya kini telah tumbuh menjadi bocah laki-laki yang tampan dan berkulit putih seperti Riana. Hanya saja, satu hal yang Riana sesali, mengapa bola mata Kenzie sangat mirip dengan bola mata Mahesa yang berwarna sebiru laut?
"Ayo tiup lilinnya, Ma!" ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Riana.
"Eh, iya sayang." ternyata Aram sudah mendekatinya sambil memegangi sebuah kotak kue tart bertuliskan 'Happy birthday, Mama'
"Tapi jangan lupa ucapkan dulu keinginanmu dalam hati," tambah Aram sambil tersenyum simpul.
Riana mengangguk dan ikut tersenyum. Selama beberapa detik ia memejamkan mata untuk memanjatkan doa, selanjutnya Riana kembali membuka matanya dan meniup semua lilin di atas kue itu hingga padam.
"Yeay! Selamat ulang tahun ya, Ma!" Kenzie kembali memeluk Riana dari samping.
"Terima kasih banyak, Kenzie."
"Selamat bertambah tua, Mama Kenzie!"
Riana terkekeh pelan. "Terima kasih, Aram. Selama mengenalmu, aku baru tahu kalau kau ternyata bisa semanis ini merencanakan sebuah kejutan ulang tahun untukku."
"Aku belajar dari anakmu. Dua yang mengajakku membuat kejutan kecil untuk ibunya," jawab Aram.
Riana melebarkan mata. "Benarkah?"
Aram mengangguk.
"Terima kasih untuk kejutannya, sayang." menunduk, Riana mengusap pipi kanan Kenzie dengan lembut. Menatap mata putranya yang berwarna biru.
"Sama-sama Ma."
"Di ulang tahun ini, aku sangat berharap kau selalu bahagia, Riana."
Mata Riana menoleh pada Aram yang bicara. Riana kembali berdiri di depan Aram sambil tersenyum pada dokter tampan itu.
"Terima kasih, aku pasti akan selalu merasa bahagia selama terus bersama Kenzie."
Mata Aram terpaku pada wajah jelita di hadapannya. Entah sejak kapan, Aram tak bisa mengukur waktunya, yang jelas ia mulai terpesona pada sosok Riana.
"Ma, kapan kita potong kuenya? Aku lapar." Kenzie mengerucutkan bibir sembari memegangi perutnya yang berbunyi.
Aram dan Riana pun tertawa.
"Iya, tanganku juga mulai pegal. Sepertinya aku harus mendapat suapan kue ulang tahun juga dari tanganmu," kata Aram sambil bercanda.
"Baiklah, kemarikan kuenya." Riana mengambil alih kotak kue tart dari tangan Aram, kemudian membawanya ke ruang tengah dan meletakannya di meja makan.
"Suapan pertama untuk Kenzie," ucap Riana setelah memotong kuenya dan menyendokannya ke mulut Kenzie.
"Emhh ... Enak! Terima kasih, Ma!"
"Sama-sama, sayang."
"Dan suapan kedua untuk Om Aram." Riana menyodorkan sendok ke depan mulut Aram sambil tersenyum.
Tapi bukannya membuka mulut, Aram malah diam dan menatapnya dengan sorot dalam. Hingga membuat Riana mengernyitkan alis.
"Aram, kau tidak mau kuenya?" tanya Riana.
"Tentu saja aku mau. Aku tidak akan melewatkan kesempatanku."
Begitu Aram membuka mulut, Riana tersenyum lagi dan membiarkan Aram memakan suapan kue darinya.
"Manis sekali," ucap Aram sambil tersenyum menatap wajah Riana.
Tentu saja manis yang Aram maksud adalah senyum Riana, bukan kue tartnya.
Sayangnya, Aram tak bisa berlama-lama di sana karena ia harus segera ke rumah sakit.
"Biar aku antar sampai teras depan."
"Tidak usah. Kau temani Kenzie saja. Oke?"
"Baiklah. Kalau begitu hati-hati," pesan Riana pada Aram.
"Baik Mama Kenzie. Sampai jumpa besok! Bye Ken!" Aram berpamitan pada Riana, juga melambaikan tangan kanannya pada Kenzie yang kini sedang sibuk melahap kue.
"Dadah Om Aram," balas Kenzie berteriak.
Seperginya Aram, Riana duduk di samping Kenzie dan keningnya berkerut melihat Kenzie yang berlari ke kamarnya untuk mengambil dua kotak kado berukuran sedang dan menyerahkannya pada Riana.
"Ini kado untuk Mama!"
"Sayang, semua kado ini dari siapa?" tanya Riana, menatap kado-kado itu dengan wajah penasaran.
"Yang biru dari aku, dan yang kuning dari Om Aram. Aku selalu simpan sisa uang jajanku untuk belikan kado ulang tahun mama."
"Kenzie ... " mata Riana berkaca-kaca. Ia sangat terharu dengan sikap manis putranya.
Saat kedua kado itu dibuka, ternyata Kenzie memberinya sebuah jam tangan berwarna pink yang Riana tahu harganya seratus lima puluh ribu, tapi uang sebanyak itu sangat berarti bagi mereka.
"Mama suka jam tangannya?"
"Suka. Terima kasih banyak ya, sayang. Mama merasa terharu, tapi lain kali kau tidak perlu sampai memangkas uang jajanmu untuk membelikan mama sesuatu."
Kenzie hanya tersenyum tipis dan menatap ibunya.
"Ayo buka kado dari Om Aram, Ma!"
Mengangguk, Riana lalu membuka kado dari Aram. Tapi begitu melihat isinya Riana dibuat terkejut. Isinya adalah sebuah kotak beludru berukuran sedang. Saat dibuka, sebuah gelang emas yang cantik terletak di dalam sana.
"Riana, tolong jangan tolak gelang emas pemberianku ini atau aku akan sedih. Pakailah di tanganmu, kau pasti akan terlihat semakin cantik." Riana membaca tulisan yang berada di dalam secarik kertas itu.
Karena tidak mau Aram kecewa, Riana pun mengenakan gelang pemberian Aram di tangan kanannya.
"Wah, mama cantik pakai gelang itu," seru Kenzie sambil berdiri di atas kursi dan memeluk leher Riana dari samping.
"Anak mama juga tampan."
Riana memeluk Kenzie dengan erat.
Tiba-tiba Riana teringat dengan ibu dan adiknya.
"Ibu … Yasmin … aku rindu kalian. Kalian ada di mana, sekarang?” batin Riana.
Dua tahun lalu, Riana memang pernah mencoba datang ke rumah ibunya untuk mengobati rindu meski dari kejauhan, namun yang dilihatnya hanya sebuah apartemen baru yang sedang dibangun.
Semua rumah ibu serta tetangga-tetangganya telah rata dengan tanah. Hanya berdiri kokoh sebuah bangunan apartmen yang belum sepenuhnya jadi.
Seandainya kejadian naas itu tak terjadi, ia masih dapat tinggal bersama keduanya. Namun, takdir berkata lain.
"Semua karena pria bernama Mahesa itu," lanjut batin Riana dengan tangan mengepal namun itu tak lama karena sang putra mengajaknya untuk pergi ke tempat favoritnya.
***
"Maaf, Tuan Mahesa. Kau harus segera bangun bersiap-siap, karena semua tamu sudah datang dan sedang menunggumu turun."
Untuk yang kesekian kalinya, Leo masuk ke kamar Mahesa dan memberitahu bossnya itu agar bangun dari tempat tidurnya.
Hari ini adalah pesta pertunangannya, tetapi Mahesa malah berpura-pura tidur dan memunggungi Leo.
"Pergi dari kamarku!"
"Aku tidak bisa pergi sebelum kau bangun, Tuan. Aku harus membawamu turun ke lantai bawah dan menemui para tamu yang sudah siap menyambut pesta yang sangat penting untukmu dan Nona Nessie."
"Ck! Penting?" Mahesa beringsut duduk sambil mengangkat sebelah alisnya pada Leo. "Pesta ini hanya penting untuk Nessie."
"Bagaimanapun, jangan kecewakan Tuan Gustav dan semua tamu penting yang hadir di pesta ini," ucap Leo, “maaf bila lancang, tetapi Retro Group butuh penerusnya, Tuan.”
"Sebenarnya bossmu itu aku atau ayahku?" Mata Mahesa menyipit sinis ke arah Leo. Namun, sekretarisnya itu berpura-pura tidak mendengar. "Lima belas menit lagi pesta dimulai. Segeralah bersiap-siap, Tuan." "Lalu apa kau akan terus berdiri di sana dan melihatku berganti pakaian?" Mahesa menatap kesal pada Leo. Leo tahu jika sebenarnya Mahesa kesal dengan pertunangan ini, namun tidak tahu harus meluapkannya ke mana. "Aku akan tetap berdiri di sini hanya sampai kau turun dari tempat tidurmu. Baru aku akan keluar dari kamar ini." Mendengus masam, Mahesa menyibak selimut tebal yang menutupi kakinya, kemudian bangkit dari ranjang. "Kau lihat? Aku sudah turun dari tempat tidurku. Sekarang keluarlah dari kamarku dan biarkan aku bersiap-siap!" "Dengan senang hati, Tuan Mahesa. Oh iya, ada satu hal yang lupa kusampaikan padamu." Leo menahan langkahnya dan berbalik menatap Mahesa. Alis Mahesa mengernyit. "Tolong pasang sedikit senyum di wajahmu saat berhadapan dengan para tamu.
"Om, tadi Om bilang mau obati tanganku?" Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Mahesa. Pria itu pun mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Ah, iya. Ayo kita masuk ke dalam mobil Om. Biar Om bantu berdiri." Kenzie tersenyum dan membiarkan Mahesa menuntunnya memasuki mobil. Setelah pria itu membuka kap belakang, Kenzie pun duduk di sana. "Aww ... sakit!" "Maaf, tahan sedikit ya," pinta Mahesa sembari tetap mengoleskan obat merah di luka Kenzie. "Boleh Om tahu, kenapa kau mau menyebrang jalan sampai hampir tertabrak mobil Om? Jujur, tadi itu Om terkejut melihatmu tiba-tiba melintas di depan. Untung saja hanya tersenggol, jadi lukamu tidak parah." "Tadi aku sedang duduk di bangku itu sambil memegang robot mainanku yang baru saja dibelikan mama." Kenzie menunjuk bangku yang tadi didudukinya. "Tapi ada anak nakal yang mencurinya dan lari menyebrang jalan. Aku mau mengejarnya ... " "Tapi malah hampir tertabrak oleh mobil Om," tebak Mahesa. Kenzie mengangguk dengan bibir yang meng
Mata Mahesa melebar tak percaya. Meski telah enam tahun berlalu, namun wajah gadis yang terpampang di kamera CCTV-nya masih tampak jelas dalam ingatan. "Aku harus mengejarnya! Aku yakin itu dia." segera, Mahesa bangkit berdiri dan berjalan cepat menyusul Riana yang berjalan menuju ke arah dapur restoran. Sialnya, saat Mahesa baru saja akan masuk ke sana, seorang manajer restoran menahannya. "Maaf, Tuan. Anda tidak bisa sembarangan masuk ke dapur kami. Area ini hanya untuk para koki dan asistennya," ucap manajer itu dengan sopan. "Aku sedang mencari seseorang.""Seseorang? Dan siapakah orang itu? Mungkin aku bisa membantu Anda menemukannya." "Aku ... aku lupa siapa namanya. Aku sudah mencarinya sejak lama. Dia seorang wanita bertubuh langsing, memakai seragam waiters, kurasa dia baru saja masuk ke dalam dapur ini." "Apa kau yakin?" manajer itu mengernyitkan alis. Mahesa mengangguk. "Bisakah kau mengizinkanku masuk ke dalam dapur untuk mencarinya? Aku bisa membayar berapapun yan
"Aku sangat berharap kau mau menerima lamaranku, Ri. Jika belum siap menikah, aku akan sabar menunggu sampai kau siap. Selama ini aku terlalu takut mengungkapkan perasaan ini. Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikannya lagi," jelas lelaki berbola mata abu itu pada Riana. Kedua matanya menatap wajah Riana yang menunduk. Wanita cantik itu tampak sedang berpikir. "Sekarang aku tidak ingin hanya jadi sekedar temanmu saja, tapi juga jadi orang yang bisa melindungimu da Kenzie. Aku juga ingin jadi ayahnya Kenzie. Aku berani bersumpah perasaanku sangat tulus." "Apa aku harus menerima lamaran Aram? Aku tidak mencintainya, tapi lelaki itu sudah banyak membantuku sejak aku hamil Kenzie. Aku banyak berhutang budi pada Aram. Jika aku menolak, Aram pasti akan kecewa. Terlebih, ibunya terlihat sangat ingin melihat Aram memiliki pasangan hidup," gumam Riana dalam batinnya. Di antara dilema yang dirasakannya, Riana akhirnya memberanikan diri mengambil sebuah keputusan. Kini manik matanya teran
"Om Mahesa, kenalkan, ini mamaku." Kenzie beralih ke samping Riana dan menggenggam tangan kanannya di depan Mahesa. Sementara Mahesa dan Riana masih saling mengikat pandangan. Mahesa masih dengan wajah terkejutnya, sedangkan Riana menatap dengan sorot kebencian. "Lelaki itu, dia yang sudah membuatku diusir dari rumah. Dia yang sudah menghancurkan kehidupanku. Kenapa aku harus kembali bertemu dengannya," ucap Riana dalam hati.Diam-diam tangan kiri Riana terkepal kuat. Menahan diri untuk tak melayangkannya ke pipi Mahesa. "H-hai! Aku Mahesa." Riana menatap tangan kanan Mahesa yang terjulur ke arahnya. "Mama, kenapa malah melamun? Om Mahesa mengajak Mama berkenalan." Kenzie sedikit menggoyangkan tangan Riana hingga wanita cantik itu tersadar dari lamunannya lalu membalas uluran tangan Mahesa. "Riana.""Riana, enam tahun kita tidak bertemu. Lalu sekarang kita kembali dipertemukan oleh Kenzie," batin Mahesa. Matanya menatap Riana dengan lamat. Merasa risih ditatap sedalam itu, Ri
"Bukan! Kenzie bukan anakmu!" Riana menjawab dengan tegas.Jawaban yang mengejutkan Mahesa.Tapi tentu saja Mahesa tak langsung percaya pada wanita yang pernah tak sengaja ditidurinya itu."Bohong! Kau pasti berbohong.""Kenzie anakku! Aku yang mengandungnya. Jelas hanya aku yang paling tahu siapa ayahnya," ucap Riana.Sebisa mungkin Riana memasang wajah tegas di depan Mahesa. Padahal jauh di dalam hatinya, Riana panik dan gelisah.Bagaimana jika Mahesa mengetahui semuanya?"Lalu bagaimana bisa wajahnya mirip denganku?"Pertanyaan kali ini mampu membekukan tubuh Riana. Bola matanya pun melebar terkejut."Mirip? Itu hanya perasaanmu. Kenzie sama sekali tidak mirip denganmu!"Ada yang patah, begitulah yang Mahesa rasakan dalam hatinya saat mendengar ucapan Riana."Kalau benar dia bukan anakku, lalu siapa ayahnya?" Mahesa bertanya yang kesekian kali.
Wajah Riana semakin tegang saat Kenzie malah menarik tangannya untuk menghampiri Mahesa."Hei! Senang bisa bertemu lagi denganmu, Kenzie." Mahesa menunduk dan mengusap pipi kiri bocah itu.Kenzie tersenyum. "Aku juga senang bisa bertemu Om lagi," jawab Kenzie.Riana mengusap lengannya, lalu membuang pandangan ke arah lain saat Mahesa menatapnya."Jadi, kau datang dengan mamamu?""Iya. Dengan Om Aram juga." Kenzie menarik tangan Aram agar langkah Aram lebih dekat dengan Mahesa."Mahesa." Mahesa menjulurkan tangan kanannya ke arah Aram."Aram." dan Aram membalas jabat tangan itu.Raut wajah Nessie terlihat malas saat moment romantisnya bersama Mahesa harus terganggu dengan pertemuan ini."Kenzie, tadi kau mau ke toilet, 'kan? Ayo mama antar!" Riana merangkul pundak Kenzie. Menariknya menjauh dari Mahesa."Maaf, aku mau mengantar putraku dulu. Permisi," pami
Riana segera menggelengkan kepalanya dengan tegas."Kenzie bukan anakmu! Kau salah, malam itu tidak membuatku hamil!""Benarkah? Tapi kenapa wajahmu terlihat panik dan gelisah? Kau seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku." Mahesa bertanya seraya menyipitkan sebelah mata.Jemari Riana meremas ujung seragamnya. Berkali matanya bergerak-gerak gelisah. Dan hal itu tentu tak luput dari pengamatan Mahesa."Usia Kenzie empat tahun, sementara malam itu sudah berlalu enam tahun. Bagaimana kau bisa berpikir kalau Kenzie anakmu?""Warna bola matanya, iris wajahnya, cara dia bicara, juga senyumnya, semua itu seolah fotocopy diriku. Tentu aku curiga kalau dia putraku."DEG!Seketika detak jantung Riana seakan terhenti sesaat.Rupanya Mahesa menyadari kemiripan antara dirinya dengan Kenzie. Riana tak bisa mengelak jika warna bola mata mereka memang sama persis."Kau salah, ayahnya K