"Tuan, kau akan ke mana? Kenapa kau membereskan pakaian ke dalam koper?"
Malam ini, Leo baru saja akan menemui Mahesa untuk memberikannya undangan pernikahan dari salah satu kolega kerja mereka.
Namun, kening Leo dibuat berkerut saat melihat Mahesa yang sedang memasukan beberapa pakaian ke dalam koper.
Biasanya, Mahesa akan memberitahunya setiap ia akan pergi ke manapun.
"Aku muak dengan perjodohan yang diatur ayahku. Selama dua pekan ke depan, aku mengambil cuti dan akan pergi ke Jepang. Biar saja mereka mencariku. Aku tidak peduli," jawab Mahesa sambil memasukan barang penting lainnya.
"Lalu bagaimana dengan kantor?"
"Pertanyaan konyol! Aku masih bisa mengatur perusahaan bahkan meskipun aku pergi selama satu bulan."
"Jadi aku harus ikut?" Leo menunjuk dirinya sendiri.
Kali ini gerakan tangan Mahesa terhenti. Mahesa berdiri seraya memicingkan mata ke arah Leo.
"Harusnya kau sudah tahu tanpa bertanya. Cepat bersiap sebelum sore, atau aku akan memecatmu!"
"Baik, Tuan."
Ancaman Mahesa berhasil membuat Leo takut.
Tentu saja, Leo tak mau kehilangan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan.
Terlebih, dirinya sudah cukup mengerti pribadi Mahesa.
Setelah semua barang siap, Mahesa dan Leo pun masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke bandara.
Hanya saja, tak berselang lama setelahnya, Riana turun dari angkutan umum dan berjalan pelan menuju ke rumah Mahesa.
"Cari siapa, Non?"
Satpam yang menjaga rumah itu langsung menyapa Riana yang berdiri di depan gerbang.
Dengan baik, satpam itu membukakan pintu gerbang, hingga jarak di antara dirinya dengan Riana tak terhalangi apa pun lagi.
"Aku mau bertemu dengan pemilik rumah ini, Pak."
"Oh, Tuan Mahesa?"
Riana mengangguk.
"Aduh, sayang sekali. Tuan Mahesa baru saja pergi ke bandara."
"Bandara?" ulang Riana sembari mengernyitkan alis.
"Iya, Non. Dia akan berlibur ke luar negeri."
Jawaban satpam itu seketika membuat jantung Riana serasa berhenti berdetak.
"Kira-kira kapan dia akan kembali?"
"Saya tidak tahu, Non," jawab satpam itu sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.
Riana menundukan wajah sembari memilin jemarinya di depan perut.
Pupus sudah niatnya meminta pertanggung jawaban pada Mahesa. Nyatanya, lelaki itu malah pergi entah ke mana.
Di saat itu, sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di belakang Riana. Kedatangannya membuat Riana dan satpam itu menoleh.
"Eh, selamat datang Tuan Gustav!"
Satpam berwajah keriput itu menyapa dengan hormat. Melihat bagaimana sikap yang ditunjukan oleh satpam itu pada Gustav membuat Riana merasa kalau Gustav bukanlah orang sembarangan.
Namun, bukannya membalas sapaan dari satpam itu, Gustav malah melayangkan pandangannya pada Riana.
"Siapa dia?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Tadi nona ini katanya ingin bertemu dengan Tuan Mahesa, tapi Tuan Mahesa baru saja pergi ke bandara," ucap sang satpam dengan hormat.
"Untuk apa Mahesa ke bandara? Dia akan pergi ke mana?"
Gustav tampak terkejut.
"Ke Jepang, Tuan."
"Ck! Sial! Mahesa pasti sedang berusaha menghindari perjodohan, jadi dia sengaja kabur ke Jepang!" gerutu Gustav dalam hati.
Namun, itu tak lama karena matanya kembali tertuju pada wajah Riana yang cantik.
Hanya saja, begitu pria berusia 58 tahun itu mengamati penampilan Riana dari atas ke bawah, ia seketika tersenyum remeh.
"Pergilah! Aku ingin berbicara sesuatu dengan gadis ini."
"Baik, Tuan." Meski tidak mengerti, satpam itu membungkuk pada Gustav lalu kembali ke pos–meninggalkan Gustav berdiri berhadapan dengan Riana.
Seketika, tubuh Riana menegang dengan diiringi rasa gugup yang tiba-tiba menjalar.
Ia tidak tahu siapa pria paruh baya di hadapannya ini dan apa yang ingin dibicarakannya.
"Kau ingin bertemu Mahesa? Untuk apa? Apa kau salah satu wanita yang pernah berkencan dengan putraku?" tanya Gustav mendadak.
Terkejut, Riana membulatkan mata. Ia tak menyangka jika Gustav akan mampu menebak semuanya.
"Katakan! Apa niatmu bertemu Mahesa?" desak Gustav lagi.
"Aku hamil anaknya," jawab Riana akhirnya.
Ia pikir mungkin Gustav akan luluh jika mendengar dirinya mengandung calon cucunya.
Akan tetapi, melihat senyum miring langsung tersungging di wajah lelaki setengah baya itu, tubuh Riana pun merinding.
"Apa kau sudah pastikan kalau bayi itu benar-benar cucuku? Jangan-jangan dia adalah bayi dari lelaki lain yang juga ikut menabung cairannya di rahimmu."
PLAK!
Spontan, Riana melayangkan tamparan ke pipi kanan Gustav, hingga pria itu menyentuh pipinya dengan terkejut.
Tamparan dari tangan ramping Riana memang sama sekali tidak sakit, tapi Gustav merasa harga dirinya direndahkan.
"Jangan asal bicara! Aku tidak pernah tidur dengan siapa pun. Putra Andalah yang sudah memperkosaku dan membuatku hamil. Dia yang sudah merenggut kesucianku!" teriak Riana dengan keras.
Mata Gustav sontak berkilat dengan kemarahan meski ada sedikit raut terkejut yang tergambar di wajahnya.
"Bukan hanya kau, bahkan wanita penghibur pun bisa berkata seperti itu saat dia akan menipu. Aku tahu kau butuh uang, jadi katakan saja berapa uang yang kau mau? Jangan sungkan, aku tahu kau sedang berusaha memeras keluargaku."
Dengan cepat, pria tua itu mengeluarkan dompetnya dan membukanya di depan Riana.
"Aku tidak menyimpan banyak uang fisik, jadi ambil saja ini. Itu cek seratus juta, kau bisa langsung mencairkannya ke bank. Tapi aku minta setelah ini berhenti memeras keluargaku dan berhenti menunjukan wajahmu. Wanita miskin sepertimu pasti menginginkan ini, 'kan?" dengan gaya angkuhnya, Gustav menjulurkan cek itu ke arah Riana.
Hati Riana seketika sesak. Rasanya, seperti sedang dihimpit oleh sesuatu.
Perkataan Gustav benar-benar telah menyakiti hatinya.
Namun, sebisa mungkin, perempuan itu menahan tangisnya yang hampir luruh. Ia tak rela bila semakin direndahkan oleh lelaki paruh baya yang angkuh ini.
Jadi, Riana akhirnya mengambil cek itu dari tangan Gustav dan dirobeknya saat itu juga.
Melihat itu, tentu saja Gustav langsung melebarkan mata.
"Kau gila! Kenapa kau merobeknya?"
"Anda yang gila, Tuan. Aku datang ke sini untuk menjelaskan yang sebenarnya. Putra Anda yang brengsek itu sudah menghamiliku. Aku memang miskin, tapi aku bukan wanita licik yang mau memeras kalian,” tegas Riana, “jangan pikir karena Anda kaya, lalu Anda bisa seenaknya menjatuhkan harga diri orang lain!"
"Ck!” decak Gustav malas, “jika benar bayi itu milik Mahesa, sebaiknya segera gugurkan saja dia. Putraku akan menikahi wanita dari keluarga terhormat dalam waktu dekat. Bukan wanita yang berasal dari keluarga antah-berantah sepertimu!”
“Dan satu lagi yang perlu kau ingat, Mahesa tidak akan pernah sudi memiliki anak dari wanita kampungan seperti dirimu!"
Setelah mengatakan itu, Gustav pun tersenyum miring dan masuk ke dalam mobilnya–meninggalkan Riana yang masih terhenyak.
Tanpa bisa dicegah, air mata yang ditahan itu, luruh juga.
Sekarang apa yang akan ia lakukan di saat dirinya sudah tak bisa lagi menuntut pertanggung jawaban pada lelaki yang akan segera menikah?
Dengan gontai, Riana berjalan pulang, bahkan hingga memasuki rumahnya.
Akan tetapi, ia dikejutkan kala melihat sang ibu sudah menyambutnya dengan wajah muram di ruang tamu.
"Ibu?" ucap Riana bingung. Tak biasanya, Rita menatapnya dengan tajam.
"Ibu cari aku ya? Tadi aku keluar sebentar untuk ... "
"Kebohongan apalagi yang kau sembunyikan dari Ibu?"
Belum sempat menjelaskan, Rita telah memotong perkataan Riana terlebih dahulu.
"K-kebohongan? Apa yang Ibu maksud? Aku tidak mengerti?"
Napas Riana serasa tersekat di tenggorokan begitu mendengar ucapan Rita padanya.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Alat test kehamilan siapa yang ada di tempat sampah kamar mandimu?! Itu punyamu, 'kan?"
‘Ceroboh!’ maki Riana pada dirinya sendiri. Kenapa ia tidak membuang alat test kehamilan itu ke tempat lain? Sekarang, ibunya sudah menemukan benda itu dan pasti juga sudah melihat dua garis merah yang tertera di sana. "Riana, ibu sedang bertanya padamu! Benda ini punyamu, 'kan?" tanya Rita kembali. Ditunjukkannya alat test kehamilan yang dimaksud.Riana masih bergeming di tempatnya berdiri, hingga membuat Rita geram."Jawab!" bentaknya."I-iya, Bu. Alat itu punyaku," jawab Riana seraya menundukan wajah. Seketika itu juga, Rita langsung syok dan memegangi dadanya sendiri. "Hhh ... Riana." "Ibu!" Yasmin yang sejak tadi bersembunyi di dalam kamar karena takut melihat ibunya memarahi kakaknya, kini langsung menghampiri Rita saat tahu Rita mendadak lemas dan hampir jatuh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku Bu. Aku tidak jujur pada Ibu," panik Riana.Dibantunya sang ibu duduk di kursi. Riana juga segera berlutut di depan kaki ibunya dan memohon maaf. Ia pun menangis."Selama men
"Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan untuk tinggal," ucap Riana sambil melangkah tak tentu arah sembari mengangkat tas berisi pakaian miliknya. Langkah Riana terasa berat. Matanya memanas membayangkan saat ibunya mengusirnya. TIN!Seorang pemilik mobil membunyikan klakson dengan keras karena merasa Riana menghalangi laju mobilnya. "Hei! Minggir! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu!""Maaf." Begitu Riana menyingkir, mobil itu pun melaju kencang melewati dirinya. "Aku harus cari tempat tinggal. Tapi aku juga tidak punya uang untuk membayar kontrakan. Apa aku harus tinggal di kolong jembatan?" gumam Riana dalam hati. Namun, Riana merasa ragu saat membayangkannya. Mendadak perutnya terasa mual. Terik matahari juga membuat kepala Riana terasa pusing. Menundukkan pandangan, Riana terbelalak kaget saat melihat sedikit darah yang luruh dari jalan lahirnya. "Ya Tuhan! Bayiku!" Namun, detik selanjutnya tali tas itu pun lepas dari genggaman Riana, kemudian jatuh ke aspal be
Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. "Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. "Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. "Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak pu
"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah. "Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu. "Kenzie?" Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya. "Ke mana dia?" Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie. Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan. "Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!" Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya. Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana. "Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala
"Sebenarnya bossmu itu aku atau ayahku?" Mata Mahesa menyipit sinis ke arah Leo. Namun, sekretarisnya itu berpura-pura tidak mendengar. "Lima belas menit lagi pesta dimulai. Segeralah bersiap-siap, Tuan." "Lalu apa kau akan terus berdiri di sana dan melihatku berganti pakaian?" Mahesa menatap kesal pada Leo. Leo tahu jika sebenarnya Mahesa kesal dengan pertunangan ini, namun tidak tahu harus meluapkannya ke mana. "Aku akan tetap berdiri di sini hanya sampai kau turun dari tempat tidurmu. Baru aku akan keluar dari kamar ini." Mendengus masam, Mahesa menyibak selimut tebal yang menutupi kakinya, kemudian bangkit dari ranjang. "Kau lihat? Aku sudah turun dari tempat tidurku. Sekarang keluarlah dari kamarku dan biarkan aku bersiap-siap!" "Dengan senang hati, Tuan Mahesa. Oh iya, ada satu hal yang lupa kusampaikan padamu." Leo menahan langkahnya dan berbalik menatap Mahesa. Alis Mahesa mengernyit. "Tolong pasang sedikit senyum di wajahmu saat berhadapan dengan para tamu.
"Om, tadi Om bilang mau obati tanganku?" Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Mahesa. Pria itu pun mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Ah, iya. Ayo kita masuk ke dalam mobil Om. Biar Om bantu berdiri." Kenzie tersenyum dan membiarkan Mahesa menuntunnya memasuki mobil. Setelah pria itu membuka kap belakang, Kenzie pun duduk di sana. "Aww ... sakit!" "Maaf, tahan sedikit ya," pinta Mahesa sembari tetap mengoleskan obat merah di luka Kenzie. "Boleh Om tahu, kenapa kau mau menyebrang jalan sampai hampir tertabrak mobil Om? Jujur, tadi itu Om terkejut melihatmu tiba-tiba melintas di depan. Untung saja hanya tersenggol, jadi lukamu tidak parah." "Tadi aku sedang duduk di bangku itu sambil memegang robot mainanku yang baru saja dibelikan mama." Kenzie menunjuk bangku yang tadi didudukinya. "Tapi ada anak nakal yang mencurinya dan lari menyebrang jalan. Aku mau mengejarnya ... " "Tapi malah hampir tertabrak oleh mobil Om," tebak Mahesa. Kenzie mengangguk dengan bibir yang meng
Mata Mahesa melebar tak percaya. Meski telah enam tahun berlalu, namun wajah gadis yang terpampang di kamera CCTV-nya masih tampak jelas dalam ingatan. "Aku harus mengejarnya! Aku yakin itu dia." segera, Mahesa bangkit berdiri dan berjalan cepat menyusul Riana yang berjalan menuju ke arah dapur restoran. Sialnya, saat Mahesa baru saja akan masuk ke sana, seorang manajer restoran menahannya. "Maaf, Tuan. Anda tidak bisa sembarangan masuk ke dapur kami. Area ini hanya untuk para koki dan asistennya," ucap manajer itu dengan sopan. "Aku sedang mencari seseorang.""Seseorang? Dan siapakah orang itu? Mungkin aku bisa membantu Anda menemukannya." "Aku ... aku lupa siapa namanya. Aku sudah mencarinya sejak lama. Dia seorang wanita bertubuh langsing, memakai seragam waiters, kurasa dia baru saja masuk ke dalam dapur ini." "Apa kau yakin?" manajer itu mengernyitkan alis. Mahesa mengangguk. "Bisakah kau mengizinkanku masuk ke dalam dapur untuk mencarinya? Aku bisa membayar berapapun yan
"Aku sangat berharap kau mau menerima lamaranku, Ri. Jika belum siap menikah, aku akan sabar menunggu sampai kau siap. Selama ini aku terlalu takut mengungkapkan perasaan ini. Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikannya lagi," jelas lelaki berbola mata abu itu pada Riana. Kedua matanya menatap wajah Riana yang menunduk. Wanita cantik itu tampak sedang berpikir. "Sekarang aku tidak ingin hanya jadi sekedar temanmu saja, tapi juga jadi orang yang bisa melindungimu da Kenzie. Aku juga ingin jadi ayahnya Kenzie. Aku berani bersumpah perasaanku sangat tulus." "Apa aku harus menerima lamaran Aram? Aku tidak mencintainya, tapi lelaki itu sudah banyak membantuku sejak aku hamil Kenzie. Aku banyak berhutang budi pada Aram. Jika aku menolak, Aram pasti akan kecewa. Terlebih, ibunya terlihat sangat ingin melihat Aram memiliki pasangan hidup," gumam Riana dalam batinnya. Di antara dilema yang dirasakannya, Riana akhirnya memberanikan diri mengambil sebuah keputusan. Kini manik matanya teran