‘Ceroboh!’ maki Riana pada dirinya sendiri.
Kenapa ia tidak membuang alat test kehamilan itu ke tempat lain?
Sekarang, ibunya sudah menemukan benda itu dan pasti juga sudah melihat dua garis merah yang tertera di sana.
"Riana, ibu sedang bertanya padamu! Benda ini punyamu, 'kan?" tanya Rita kembali. Ditunjukkannya alat test kehamilan yang dimaksud.
Riana masih bergeming di tempatnya berdiri, hingga membuat Rita geram.
"Jawab!" bentaknya.
"I-iya, Bu. Alat itu punyaku," jawab Riana seraya menundukan wajah.
Seketika itu juga, Rita langsung syok dan memegangi dadanya sendiri.
"Hhh ... Riana."
"Ibu!"
Yasmin yang sejak tadi bersembunyi di dalam kamar karena takut melihat ibunya memarahi kakaknya, kini langsung menghampiri Rita saat tahu Rita mendadak lemas dan hampir jatuh terduduk di lantai.
"Ibu, maafkan aku Bu. Aku tidak jujur pada Ibu," panik Riana.
Dibantunya sang ibu duduk di kursi.
Riana juga segera berlutut di depan kaki ibunya dan memohon maaf. Ia pun menangis.
"Selama mendidikmu, ibu tidak pernah mengajarimu untuk menjadi wanita yang tidak baik. Tapi, kau tega sekali mengecewakan Ibu."
Wajah Rita berusaha tegas kala berkata demikian pada sang putri, tetapi matanya tak bisa berbohong. Wanita itu menangis meratapi nasib anaknya.
"Maaf, Bu," ucap Riana lagi. Ia menenggelamkan wajahnya di punggung tangan Rita.
"Siapa lelaki yang sudah menghamilimu, Riana? Apa selama ini kau berpacaran dengan lelaki brengsek?" tanya Rita dengan mendesak Riana untuk menjawab sejujurnya.
"Tidak, Bu. Dia bukan pacarku. Malam itu aku mengantar pesanan pizza ke rumahnya. Dalam keadaan mabuk, dia malah memperkosaku. Aku takut bercerita pada Ibu, jadi aku memilih merahasiakan ini."
Setelah mendengar cerita dari Riana, Rita menarik napas berat, kemudian menghembuskannya dengan kasar.
"Ayahmu pasti akan kecewa jika tahu anak gadisnya tak bisa menjaga kehormatannya dengan baik."
Riana menggeleng cepat."Ini bukan mauku, Bu. Saat itu aku tak kuasa melawannya."
"Siapa nama lelaki itu? Kita minta pertanggung jawaban padanya!" tanya Rita.
Namun, Riana justru menunduk membuat kening Rita berkerut.
"Sebenarnya aku baru saja mendatangi rumahnya, tapi aku tak bertemu dengan dia. Lelaki itu pergi ke Jepang entah untuk berapa lama. Aku hanya bertemu dengan ayahnya," tutur Riana berusaha menjelaskan apa yang dilakukannya.
"Lalu? Apa yang ayahnya katakan?"
"Ayahnya mengatakan putranya tidak akan mau bertanggung jawab karena dia akan menikah dengan wanita yang sepadan. Dia juga memintaku menggugurkan kandunganku," ucap Riana sembari mengusap pipinya yang basah.
"Maaf, Bu. Aku minta maaf. Aku tahu ibu pasti akan kecewa. Maafkan aku, Bu."
Mata Rita masih menatap Riana dengan intens dan tegas, sedangkan Yasmin masih duduk di samping ibunya. Ia tak ingin melihat sang kakak kembali ditampar oleh ibu mereka.
"Bu, tolong maafkan Kak Riana. Kak Riana tidak pernah menginginkan hal ini terjadi," bujuk Yasmin berusaha meluluhkan hati ibunya.
Namun, rasa kecewa terlalu dalam dirasakan oleh Rita, membuatnya sulit untuk menerima kenyataan ini.
"Baiklah, ibu akan memaafkanmu."
Seketika selarik senyum tipis pun tersungging di bibir Riana dan Yasmin.
"Asal bayi itu harus segera digugurkan," lanjut Rita yang saat itu juga sukses membuat senyum di wajah kedua putrinya memudar, berganti dengan raut terkejut.
"D-digugurkan?" ulang Riana tergagap saking tak percayanya jika ibunya akan sampai hati berkata demikian.
"Iya. Jika dibiarkan, perutmu akan semakin besar dan membuat orang-orang mencemooh keluarga kita. Ibu tidak mau hal itu terjadi. Mumpung kandunganmu masih sangat muda, ini waktu yang tepat untuk menggugurkannya."
"Tapi Bu. Aku tidak mau membunuh bayiku sendiri."
"Itu berarti kau lebih memilih bayi itu daripada ibumu. Terserah kau saja. Jika ingin tetap mempertahankan bayi itu, berarti kau harus siap angkat kaki dari rumah ini dan juga siap untuk memutuskan hubungan dengan Ibu!"
Setelah mengatakan itu, Rita bangkit dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan ruang tamu.
Riana sontak menyusul ibunya. "Bu! Tolong jangan lakukan ini! Jangan berikan pilihan sulit ini padaku, Bu!"
Sayang, sang ibu telah masuk ke dalam kamar dan mengunci diri di dalam sana.
"Ibu, aku mohon. Maafkan aku dan biarkan aku tetap mengandung bayi ini."
Diketuknya pintu kamar Rita berkali-kali, namun Rita seakan enggan bicara lagi.
Riana menangis dan menempelkan keningnya di daun pintu.
"Kak Riana." Yasmin tak kuasa melihat Riana bersedih, “jangan pergi! Ibu hanya berbohong, Kak. Ibu tidak mungkin tega mengusir kakak."
Melihat Riana yang keluar kamar sambil membawa tas berisi pakaian, Yasmin pun langsung mencegah kepergiannya.
"Yasmin! Biarkan dia pergi. Jangan tahan dia."
"Tapi Kak Riana anak Ibu juga," ucap Yasmin sambil masih memegangi tangan Riana agar tak beranjak dari rumah mereka.
"Sekarang tidak lagi. Dia sudah memilih keputusannya untuk mempertahankan bayi haram itu. Dia sama sekali tidak peduli dengan Ibu. Jadi Ibu tidak akan peduli padanya," tegas Rita sambil melemparkan tatapan tajamnya ke arah Riana.
Meski sudah tahu, Riana masih saja terperangah–tak percaya jika kalimat itu akan keluar dari mulut ibu kandungnya yang selama ini menjadi panutan baginya.
"Bu, apa yang kulakukan memang salah, tapi tidak seharusnya Ibu membenci bayi ini. Dia berhak hidup. Dia tidak berdosa," kata Riana. Matanya yang sembab itu balas menatap pada Rita dengan sorot memohon.
Namun, sang ibu justru memalingkan wajahnya.
"Cepat bawa keluar semua barang-barangmu! Aku tidak mau melihatmu lagi di rumah ini. Dan mulai sekarang, jangan pernah lagi memanggilku dengan sebutan Ibu. Karena aku sudah bukan ibumu lagi."
Dada Riana semakin sesak menahan rasa sakit yang menyergapnya.
Belum sembuh traumanya akan kejadian malam itu, kini Riana justru dibenci ibunya sendiri karena tak mau menggugurkan kandungannya.
Apakah dia salah memilih keputusan?
Riana segera menepis pikirannya itu lalu kembali berpamitan pada sang Ibu.
"Baik, Bu. Aku akan pergi. Terima kasih banyak karena selama ini sudah menjadi ibu terbaik dalam hidupku. Aku sayang Ibu dan sampai kapanpun akan selalu sayang Ibu. Sampai jumpa!"
Menahan tangis, Riana mengeratkan genggamannya pada tas yang ia bawa. Ia melangkah pergi keluar dari rumah yang selama ini menemani masa kecilnya hingga dewasa. Tapi, sekarang rumah ini sudah tak akan lagi menjadi tempat Riana berteduh dan mencari kenyamanan.
"Kak Riana! Jangan pergi, Kak! Kakak!" Yasmin berlari keluar rumah, menyusul langkah Riana yang kini sampai di teras depan.
Riana menghentikan langkah, kemudian berbalik menatap wajah Yasmin yang juga basah oleh air mata.
“Maafkan Kakak, kamu harus–”
"Aku tidak mau berpisah dengan kakak. Kenapa Ibu tega mengusir Kak Riana?" potong sang adik.
"Jangan sedih, Yasmin. Kakak akan baik-baik saja. Kau harus janji pada kakak untuk selalu menjaga Ibu dengan baik. Mulai sekarang, tanggung jawab kakak beralih di pundakmu. Kakak sayang padamu."
Kedua anak yatim itu kembali menangis bersama sembari berpelukan dengan erat.
Seerat mungkin, seakan tak rela bila takdir memaksa mereka melepaskannya.
“Berjanjilah, Kak. Kamu harus kembali nanti bersama keponakanku.”
"Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan untuk tinggal," ucap Riana sambil melangkah tak tentu arah sembari mengangkat tas berisi pakaian miliknya. Langkah Riana terasa berat. Matanya memanas membayangkan saat ibunya mengusirnya. TIN!Seorang pemilik mobil membunyikan klakson dengan keras karena merasa Riana menghalangi laju mobilnya. "Hei! Minggir! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu!""Maaf." Begitu Riana menyingkir, mobil itu pun melaju kencang melewati dirinya. "Aku harus cari tempat tinggal. Tapi aku juga tidak punya uang untuk membayar kontrakan. Apa aku harus tinggal di kolong jembatan?" gumam Riana dalam hati. Namun, Riana merasa ragu saat membayangkannya. Mendadak perutnya terasa mual. Terik matahari juga membuat kepala Riana terasa pusing. Menundukkan pandangan, Riana terbelalak kaget saat melihat sedikit darah yang luruh dari jalan lahirnya. "Ya Tuhan! Bayiku!" Namun, detik selanjutnya tali tas itu pun lepas dari genggaman Riana, kemudian jatuh ke aspal be
Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. "Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. "Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. "Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak pu
"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah. "Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu. "Kenzie?" Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya. "Ke mana dia?" Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie. Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan. "Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!" Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya. Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana. "Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala
"Sebenarnya bossmu itu aku atau ayahku?" Mata Mahesa menyipit sinis ke arah Leo. Namun, sekretarisnya itu berpura-pura tidak mendengar. "Lima belas menit lagi pesta dimulai. Segeralah bersiap-siap, Tuan." "Lalu apa kau akan terus berdiri di sana dan melihatku berganti pakaian?" Mahesa menatap kesal pada Leo. Leo tahu jika sebenarnya Mahesa kesal dengan pertunangan ini, namun tidak tahu harus meluapkannya ke mana. "Aku akan tetap berdiri di sini hanya sampai kau turun dari tempat tidurmu. Baru aku akan keluar dari kamar ini." Mendengus masam, Mahesa menyibak selimut tebal yang menutupi kakinya, kemudian bangkit dari ranjang. "Kau lihat? Aku sudah turun dari tempat tidurku. Sekarang keluarlah dari kamarku dan biarkan aku bersiap-siap!" "Dengan senang hati, Tuan Mahesa. Oh iya, ada satu hal yang lupa kusampaikan padamu." Leo menahan langkahnya dan berbalik menatap Mahesa. Alis Mahesa mengernyit. "Tolong pasang sedikit senyum di wajahmu saat berhadapan dengan para tamu.
"Om, tadi Om bilang mau obati tanganku?" Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Mahesa. Pria itu pun mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Ah, iya. Ayo kita masuk ke dalam mobil Om. Biar Om bantu berdiri." Kenzie tersenyum dan membiarkan Mahesa menuntunnya memasuki mobil. Setelah pria itu membuka kap belakang, Kenzie pun duduk di sana. "Aww ... sakit!" "Maaf, tahan sedikit ya," pinta Mahesa sembari tetap mengoleskan obat merah di luka Kenzie. "Boleh Om tahu, kenapa kau mau menyebrang jalan sampai hampir tertabrak mobil Om? Jujur, tadi itu Om terkejut melihatmu tiba-tiba melintas di depan. Untung saja hanya tersenggol, jadi lukamu tidak parah." "Tadi aku sedang duduk di bangku itu sambil memegang robot mainanku yang baru saja dibelikan mama." Kenzie menunjuk bangku yang tadi didudukinya. "Tapi ada anak nakal yang mencurinya dan lari menyebrang jalan. Aku mau mengejarnya ... " "Tapi malah hampir tertabrak oleh mobil Om," tebak Mahesa. Kenzie mengangguk dengan bibir yang meng
Mata Mahesa melebar tak percaya. Meski telah enam tahun berlalu, namun wajah gadis yang terpampang di kamera CCTV-nya masih tampak jelas dalam ingatan. "Aku harus mengejarnya! Aku yakin itu dia." segera, Mahesa bangkit berdiri dan berjalan cepat menyusul Riana yang berjalan menuju ke arah dapur restoran. Sialnya, saat Mahesa baru saja akan masuk ke sana, seorang manajer restoran menahannya. "Maaf, Tuan. Anda tidak bisa sembarangan masuk ke dapur kami. Area ini hanya untuk para koki dan asistennya," ucap manajer itu dengan sopan. "Aku sedang mencari seseorang.""Seseorang? Dan siapakah orang itu? Mungkin aku bisa membantu Anda menemukannya." "Aku ... aku lupa siapa namanya. Aku sudah mencarinya sejak lama. Dia seorang wanita bertubuh langsing, memakai seragam waiters, kurasa dia baru saja masuk ke dalam dapur ini." "Apa kau yakin?" manajer itu mengernyitkan alis. Mahesa mengangguk. "Bisakah kau mengizinkanku masuk ke dalam dapur untuk mencarinya? Aku bisa membayar berapapun yan
"Aku sangat berharap kau mau menerima lamaranku, Ri. Jika belum siap menikah, aku akan sabar menunggu sampai kau siap. Selama ini aku terlalu takut mengungkapkan perasaan ini. Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikannya lagi," jelas lelaki berbola mata abu itu pada Riana. Kedua matanya menatap wajah Riana yang menunduk. Wanita cantik itu tampak sedang berpikir. "Sekarang aku tidak ingin hanya jadi sekedar temanmu saja, tapi juga jadi orang yang bisa melindungimu da Kenzie. Aku juga ingin jadi ayahnya Kenzie. Aku berani bersumpah perasaanku sangat tulus." "Apa aku harus menerima lamaran Aram? Aku tidak mencintainya, tapi lelaki itu sudah banyak membantuku sejak aku hamil Kenzie. Aku banyak berhutang budi pada Aram. Jika aku menolak, Aram pasti akan kecewa. Terlebih, ibunya terlihat sangat ingin melihat Aram memiliki pasangan hidup," gumam Riana dalam batinnya. Di antara dilema yang dirasakannya, Riana akhirnya memberanikan diri mengambil sebuah keputusan. Kini manik matanya teran
"Om Mahesa, kenalkan, ini mamaku." Kenzie beralih ke samping Riana dan menggenggam tangan kanannya di depan Mahesa. Sementara Mahesa dan Riana masih saling mengikat pandangan. Mahesa masih dengan wajah terkejutnya, sedangkan Riana menatap dengan sorot kebencian. "Lelaki itu, dia yang sudah membuatku diusir dari rumah. Dia yang sudah menghancurkan kehidupanku. Kenapa aku harus kembali bertemu dengannya," ucap Riana dalam hati.Diam-diam tangan kiri Riana terkepal kuat. Menahan diri untuk tak melayangkannya ke pipi Mahesa. "H-hai! Aku Mahesa." Riana menatap tangan kanan Mahesa yang terjulur ke arahnya. "Mama, kenapa malah melamun? Om Mahesa mengajak Mama berkenalan." Kenzie sedikit menggoyangkan tangan Riana hingga wanita cantik itu tersadar dari lamunannya lalu membalas uluran tangan Mahesa. "Riana.""Riana, enam tahun kita tidak bertemu. Lalu sekarang kita kembali dipertemukan oleh Kenzie," batin Mahesa. Matanya menatap Riana dengan lamat. Merasa risih ditatap sedalam itu, Ri