Share

2. Sebuah Rencana

"Paduka tidak dapat menemui bangsa unicorn setiap saat, karena bangsa mereka memiliki ritual tertentu dan mereka hanya bisa ditemui bangsa lain dalam waktu tertentu." Patih Rouvin menginterupsi, membuat gerakan sang Raja yang sudah hendak bersiap pergi jadi terhenti.

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Patih Rouvin?" Raja Arsen menatap menyelidik ke arah sang Patih.

"Hamba mengatakan yang sebenarnya, Paduka."

"Lalu, kapan kita bisa menemui ratu bangsa unicorn itu, Patih Rouvin? Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Apa kau mau kabar tentang putriku ini menyebar ke seluruh negeri?" Ratu Cassandra yang menyahut.

Sebagai seorang ibu tentu saja sang ratu sangat khawatir. Aludra adalah seorang putri raja, bagaimana dia bisa menjalani hidup yang bahagia jika nasibnya seperti sekarang? Terlebih, bagaimana ia bisa mendapat jodoh seorang pangeran nantinya? Adakah pangeran yang bersedia mendampingi putri yang beraroma tidak sedap seperti Aludra? Ya, bahkan pikiran sang ratu sudah begitu jauh sampai memikirkan tentang jodoh putri Aludra di masa depan.

"Ampun, Permaisuri, hamba tentu tidak ingin kabar itu menyebar luas, semua orang ingin yang terbaik untuk putri Aludra. Tapi hamba khawatir Permaisuri akan kecewa," tutur sang patih lagi.

"Apa maksudmu, Patih Rouvin? Katakan dengan jelas!"

"Bangsa unicorn hanya bisa ditemui ketika bulan purnama bulan merah, Permaisuri," tutur Patih Rouvin lugas.

"Apa? Kau bercanda, bukan?" Sang ratu histeris mendengar penuturan Patih Rouvin.

"Yang dikatakan Patih Rouvin benar, Permaisuri!" Penasehat Evander ikut angkat bicara, setelah sejak tadi hanya sebagai pendengar setia saja mengikuti alur terjadinya rapat.

"Jadi itu benar? Lalu bagaimana nasib putriku, Penasehat Evander? Bulan merah baru saja terjadi beberapa hari lalu, dan itu akan terjadi tujuh belas tahun kemudian. Apakah selama tujuh belas tahun ini putriku akan menjalani penderitaan yang ... Ya Dewa! Aku tidak bisa membayangkan itu terjadi pada putriku." Seketika sang ratu terduduk lemas tak berdaya, seakan tulang-tulangnya diloloskan dari raganya.

"Bangsa unicorn termasuk bangsa yang suci, tidak sembarang orang bisa bertemu dengan bangsa mereka, kecuali mereka yang memiliki hati lembut," kata Penasehat Evander lagi.

"Lalu bagaimana caranya aku bisa bertemu ratu mereka? Apakah tidak ada cara lain selain menunggu bulan purnama bulan merah?" Raja Arsen pun semakin tak tenang mendengar tutur demi tutur yang dilontarkan sang patih dan juga penasehat kerajaan.

"Hamba memikirkan sebuah cara, namun aku tidak yakin ini akan berhasil, Paduka."

"Katakan! Sekecil apapun keberhasilan yang akan didapatkan, aku tetap akan berusaha dengan maksimal. Aku tidak akan diam saja melihat putriku menderita," pinta sang raja tegas.

"Paduka pernah dipertemukan dengan bangsa sebelumnya, itu artinya Paduka adalah orang terpilih. Menurut hamba, Paduka bisa melakukan komunikasi dengan ratu unicorn dengan cara meditasi. Dan itu harus dilakukan di lembah Ilusi, tempat pertemuan terakhir Paduka dengan ratu unicorn." Sang penasehat menuturkan pemikirannya.

"Apakah bisa seperti itu?" Sang raja menanyakan kepastiannya. Bukan meragukan, hanya saja ia telah mendengar pengakuan sang patih dan juga sang penasehat bahwa bangsa unicorn tidak akan mudah ditemui.

"Kita hanya bisa berusaha dan memohon pada Dewa Yang Agung agar rencana ini berhasil."

"Baiklah, aku setuju pada rencanamu, Penasehat Evander. Panglima Felix, atur perjalanan. Aku akan pergi sebelum fajar tiba!" titah sang raja.

"Baik, Paduka raja!"

Panglima Felix undur diri untuk melaksanakan perintah raja Arsen dan rapat pun diakhiri.

Sang permaisuri kembali ke kamar putri Aludra yang dijaga oleh pengasuhnya.

Mendekati sang putri yang telah tertidur, ratu Cassandra mengusap pipi bayi mungil itu dan menciumnya penuh kasih. Jika orang lain mungkin akan merasa jijik atau mual untuk sekedar mendekati putri Aludra yang berbau tidak sedap ketika malam hari, namun tidak bagi ratu Cassandra. Wanita yang dikenal sebagai ratu dengan hati yang lembut itu memperlakukan putri Aludra seperti seharusnya, menyayangi dengan sepantasnya.

"Kau boleh pergi, Miya, aku ingin tidur berdua saja dengan putriku. Aku akan mengurus putriku," titah sang ratu pada pengasuh putri Aludra.

"Baik, Permaisuri, hamba undur diri."

Ratu Cassandra membelai pipi putrinya. Dengan perasaan terluka sang ratu menatap putri mungilnya itu, hingga tanpa sadar air mata menetes dari sudut mata wanita itu.

"Putriku, ibu dan ayah tidak akan tinggal diam. Kami akan berusaha sebaik mungkin agar kau bisa sembuh, agar kutukan itu runtuh." Ratu Cassandra berbicara sambil terus memandangi putrinya. Lalu tiba-tiba bibir putri mungilnya itu terangkat, membentuk sebuah senyum yang amat cantik. Ya, bayi itu tersenyum dengan mata yang terpejam.

Ratu Cassandra ikut tersenyum, gemas melihat sang putri tersenyum. Hatinya terasa sejuk. Sesaat perasaan cemasnya terganti oleh perasaan hangat menyelimuti.

Ratu Cassandra merasa, arti senyum sang putri adalah sebuah penerimaan.

"Jadilah gadis yang berhati baik, Putriku. Ibu yakin kau akan tumbuh menjadi wanita yang hebat." Usai mengucapkan kalimat itu, ratu Cassandra mengecup kening putri Aludra kemudian berbaring di sisi sang putri.

"Selamat malam, Putriku."

***

Dini hari Raja Arsen mendatangi kamar putrinya untuk memberitahu sang permaisuri bahwa dirinya harus segera pergi ke lembah Ilusi, seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.

Raja Arsen mendekati sang permaisuri yang tengah menimang putri mereka yang kebetulan tengah terjaga ketika Sang Raja masuk ke ruangan tersebut.

"Biarkan aku menggendongnya," pinta raja Arsen mengambil alih putrinya dari gendongan ratu Cassandra.

"Dia seperti tahu kau akan pergi, hingga dia tidak tenang saat tidur dan kemudian terbangun," ujar ratu Cassandra.

"Putriku ternyata sangat peka. Aku bisa merasakan bahwa dia adalah gadis berhati lembut seperti dirimu, Permaisuriku," puji raja Arsen yang juga merupakan sebuah doa untuk putrinya.

Rau Cassandra tersenyum simpul, merasa tersanjung.

"Apa kau sudah akan pergi, Suamiku?"

"Benar, Panglima Felix dan pasukannya sudah menunggu. Tapi sebelum aku pergi aku ingin menemui putri kita dan menyampaikan bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi—"

"Kau akan baik-baik saja, Suamiku. Kau tidak pergi berperang, kau hanya meminta keadilan, jadi kau harus kembali dengan selamat." Ratu Cassandra menyela ucapan sang raja.

Raja Arsen membuang napas panjang. "Aku tidak pernah merasa takut sekali pun aku akan pergi ke medan perang yang sangat berbahaya, namun kali ini aku sangat merasa takut. Bagaimana jika aku gagal? Aku tidak sanggup jika aku harus menyaksikan putri kita menderita sepanjang hidupnya."

"Kau tidak boleh bicara seperti itu, Suamiku. Lihatlah, putri kita tersenyum, dia sama sekali tidak merasa menderita. Dia gadis yang baik. Dia mampu menerima cobaan yang menimpanya, Dewa menyayangi putri kita."

Melihat putri Aludra tersenyum, entah mengapa sang raja tak kuasa untuk tidak tersenyum.

"Putriku, ayah akan berusaha semampu ayah untuk mematahkan kutukan itu. Ayah akan berusaha yang terbaik untukmu. Kau harus dengarkan ayah, jadilah gadis penurut, kau tidak boleh merepotkan ibumu selagi ayah pergi. Ayah mencintaimu," tutur raja Arsen kemudian mengecup kening putri Aludra cukup lama seolah menyalurkan rasa sayangnya.

"Aku harus segera pergi," lanjut sang raja.

"Berikan padaku. Bergegaslah, jangan membuat mereka terlalu lama menunggu. Ayo, aku dan putri kita akan mengantar kepergianmu."

"Kalian di dalam saja, di luar terlalu dingin."

"Jangan halangi niatku, Suamiku."

"Baiklah, ayo." Sang raja akhirnya mengalah, membiarkan saja ratu Cassandra membawa putri Aludra untuk melepas kepergiannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status