INICIAR SESIÓNSurya sebenarnya tidak mendengar terlalu banyak tentang perkataan Ikhsanun. Dia merasa orang-orang Keluarga Gutawa tidak bisa dipercaya, termasuk Ikhsanun. Bagaimanapun juga, saat itu Rangga pergi bersama orang-orang Keluarga Gutawa, tetapi sekarang semua kesalahan malah dialihkan ke Pangeran Kedua. Apa saja yang sudah terjadi di balik layar, semuanya masih penuh tanda tanya.Kedua mayat yang berada di dalam ruangan sudah dibawa pergi dan bekas darah pun sudah dibersihkan, tetapi udaranya masih dipenuhi bau amis yang samar-samar. Sedikit demi sedikit, semua itu menekan dan mengusik saraf Surya.Surya menahan tatapannya yang dingin, lalu menoleh ke arah Ikhsanun dan berkata, "Tuan Ikhsanun, istirahatlah yang baik. Malam ini, para pembunuh itu seharusnya nggak akan datang lagi."Ikhsanun menganggukkan kepala saat mendengar perkataan itu, lalu kembali berterima kasih. "Terima kasih untuk malam ini, Pangeran Surya."Surya tersenyum, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya sendiri.Keesokan h
Surya berpikir malam ini sepertinya tidak akan tenang.Saat larut malam tiba, pos pemberhentian itu tenggelam dalam keheningan.Surya berbaring di atas ranjang dengan tanpa melepaskan pakaiannya dan sebuah belati yang telah terhunus berada di samping tangannya. Cahaya bulan menembus kisi-kisi jendela dan meninggalkan bayangan samar-samar di lantai.Saat tiba-tiba terdengar suara genting yang diinjak seseorang dengan pelan dari atap, mata Surya langsung terbuka. Dia menahan napas, lalu bangkit dari ranjang dengan pelan. Pada saat itu, terdengar suara benturan dari kamar sebelah tempat Ikhsanun menginap dan diikuti suara bertarung. Tanpa ragu sedikit pun, dia keluar dari kamar dan langsung menendang pintu kamar Ikhsanun hingga terbuka.Di dalam kamar, tiga pria berpakaian hitam sedang mengepung Ikhsanun. Salah satu pedang panjang mereka telah merobek lengan bajunya dan darah menetes dari lengannya ke lantai.Melihat itu, Surya segera memelesat masuk dan menusuk ke arah pembunuh yang pali
Setengah bulan kemudian.Musim hujan di Negara Tarbo datang lebih awal dibandingkan Negara Darsa. Semalam turun hujan lebat di Kota Yuzo sampai butir-butir air hujan turun sepanjang malam, seolah-olah ingin menutupi seluruh kota dengan air hujan.Surya berdiri di depan jendela penginapan sambil memegang erat surat kiriman burung yang baru saja diterimanya. Dia sangat mengenal tulisan di atas kertas, itu adalah tulisan dari Enes. Jemarinya mengusap tepi kertas surat itu untuk memastikan tanda rahasia yang nyaris tak terlihat itu. Sepertinya, Enes memang benar-benar selamat.Saat itu, terdengar suara langkah kaki di belakang Surya. Ternyata yang melangkah masuk itu adalah Ikhsanun dengan jubah sutra biru dan token besi hitam di pinggangnya yang bergoyang dengan lembut. "Pangeran Surya, sekarang kamu sudah boleh tenang mengikutiku ke ibu kota."Surya membakar surat itu di atas nyala lilin, lalu menyaksikan kertas itu berubah menjadi abu. "Ternyata Tuan Ikhsanun benar-benar menepati janji.
Tatapan Surya berkilat tajam. Ternyata tempat persembunyian Enes pun sudah diketahui pihak lawan. Keluarga Gutawa memang tidak bisa diremehkan."Kalau begitu, untuk apa Tuan Ikhsanun muncul hari ini?" Suara Surya terdengar lebih tenang, tetapi masih mengandung kewaspadaan.Ikhsanun menggulung kembali kain sutra itu dan menyimpannya ke dalam lengan bajunya. "Untuk mengantar Pangeran ke ibu kota.""Oh?" Surya menaikkan alis. "Sebagai tahanan?""Sebagai tamu," koreksi Ikhsanun. "Kepala keluarga kami ingin bertemu denganmu."Baru saja kalimat itu dilontarkan, Enes langsung berseru, "Kak, jangan pergi!"Keluarga Gutawa berkuasa mutlak di Negara Tarbo. Jika Surya mengikuti Ikhsanun ke ibu kota, bukankah itu sama saja dengan masuk ke sarang harimau?Namun, Surya harus pergi. Karena semua saudaranya kini berada di tangan Keluarga Gutawa. Sekalipun yang menantinya di ibu kota Negara Tarbo adalah jurang api, dia tetap harus ke sana.Surya menatap Ikhsanun dengan tenang dan berkata dengan suara b
Surya akhirnya menatap ke atas. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman penuh makna. "Kamu tinggal ketuk pintunya."Pelayan itu bingung, tetapi tetap menuruti dan mundur.Enes tampak heran. "Kak, di ruang sebelah siapa?"Surya tak menjawab. Dia menuang segelas arak untuk dirinya sendiri. Cairan di dalamnya beriak halus, memantulkan tatapannya yang dalam.Dari tangga terdengar suara langkah kaki ringan. Jika tak benar-benar mendengar, bunyinya mudah tenggelam oleh hiruk-pikuk di bawah. Jari Surya sempat berhenti di bibir gelas, lalu dia kembali mengetuknya dengan irama tenang.Krek! Pintu ruang privat itu terbuka. Sosok berbaju bulu rubah putih berdiri di ambang pintu, membelakangi cahaya sehingga wajahnya tidak tampak jelas. Hanya liontin besi hitam di pinggangnya yang memantulkan kilauan dingin di bawah lampu."Pangeran." Suara orang itu dingin bagai es. "Lama tak bertemu."Surya menengadah dan melihat. Itu adalah putra sulung Keluarga Gutawa, Ikhsanun. Dia lantas mempersilakan I
Angin di luar semakin kencang, menimbulkan suara berderak di jendela yang tipis.Tatapan Surya jatuh ke dada Enes. "Biar aku lihat lukamu."Wajah Enes sedikit pucat. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pakaiannya. Seketika, terlihat perban putih di dada yang sudah berlumuran darah segar hingga membentuk noda merah tua."Sebulan lalu, saat aku menyelidiki lokasi terakhir kemunculan Kak Uraga, aku diserang." Enes menggertakkan gigi, membuka perbannya, memperlihatkan luka panjang yang menganga dari tulang selangka sampai rusuk. Kulit dan dagingnya terbelah, jelas belum sepenuhnya sembuh."Penyerangnya kejam. Setiap serangan mengarah ke titik mematikan. Kalau bukan karena malam itu hujan deras dan jalanan licin hingga aku jatuh ke sungai, mungkin aku sudah mati."Tatapan Surya berhenti sejenak pada luka itu. Sorot matanya perlahan mendingin. "Sayatan miring ke atas ... orang kidal yang melakukannya. Kamu sempat melihat wajah mereka?""Nggak." Enes mengerutkan kening. "Malam itu g







