Share

Putri Rahasia CEO
Putri Rahasia CEO
Author: Ndin (Seichiko17)

1. Kehidupan di Usia 22 Tahun

"Masuk ke dalam sini, Non?" tanya Karmin sambil menghentikan mobilnya di depan gerbang berwarna hitam yang masih terbuka lebar.

"Iya, tadi kata Ibu nama tempatnya ini."

2 tahun yang lalu, Juli datang ke sebuah Resto & Bar untuk menjemput Ayahnya yang sedang mabuk. Tidak, Ayah bukan seorang peminum. Hanya saja hari itu Ayah sedang mengadakan entertain untuk investor baru di perusahaan tempat Ayah bekerja. Dan sekitar 20 menit yang lalu, ada satu panggilan dari Ayah yang minta dijemput, suaranya kurang jelas dan sesekali tertawa kencang. Menandakan Ayahnya sedang mabuk. Ibu yang panik langsung membangunkan Juli dan memintanya untuk menjemput Ayah diantar oleh Karmin sang supir keluarga yang memang tinggal di rumah mereka.

Tidak ada suara dentuman musik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Dengan merapatkan sweaternya, Juli berjalan beriringan dengan Karmin yang tadi pagi hanya mengantar Ayah sampai ke kantor. Menurut petugas bar, Ayah dan 2 orang lainnya berada di ruangan 21.

Juli membuka pintu sedikit, kepalanya melongok dan berkata pelan... "Permisi."

Suasana senyap, ada 3 orang yang menundukkan wajah di meja. Mata Juli yang minus 1,5 harus memincing untuk mencari dimana sosok Ayah.

"Ayah?" panggil Juli.

Kepala Ayahnya menegak. "Di sini, di sini, Ayah di sini Jul," Ayah melambaikan tangan dengan ceria. Matanya yang merah tersenyum hangat pada Juli.

Dengan berjingkat Juli berjalan ke arah Ayah, sedangkan Karmin ia minta menunggu di luar ruangan. "Ayo Yah, pulang," Juli bersiap membopong Ayah, sampai ada satu sosok bertubuh tinggi yang berdiri menghadang Juli.

"Kamu siapa?" tanya lelaki yang sepertinya berwajah tampan meskipun dicahaya remang.

"Juli," jawab Juli singkat. Kata Ayah, siapapun yang kenal dengan Ayah harus diwaspadai. Namun jika ada yang bertanya, tetap harus dijawab sebagai bentuk hormat.

"Mau minum?" tanyanya lagi.

Juli melirik ke arah Ayah, namun sulit mengartikan tatapan matanya. Semacam ada peringatan 'jangan', namun juga 'ya sudah dicoba saja sedikit agar lelaki itu tidak marah.'

"Boleh, tapi sedikit saja."

Lelaki itu menuangkan setengah gelas wine dengan kadar alkohol rendah dan memberikannya pada Juli.

"Aku minum ya Pak," ijin Juli dengan sopan.

Melihat wajah Juli yang memerah, lelaki itu terdiam. Seorang gadis dengan wajah polos tanpa riasan, memakai piyama bermotif bunga hitam putih berbalut sweater dan rambut hitam panjang ikal dikuncir kuda.

"Enak?"

Tanpa sadar Juli mengangguk. Untuk pertama kalinya Juli mencoba minuman untuk orang dewasa. Ada semacam rasa yang membakar lidahnya. Aneh, namun sangat cocok dipadukan dengan suasana yang remang ini. Membuat pikirannya menjadi kosong untuk sesaat.

Lelaki itu menundukkan tubuh, bibirnya mendekat ke telinga Juli, lalu ia berbisik... "Saya Okta, senang berkenalan dengan kamu."

Bulu kuduk Juli meremang. Meski wajahnya tidak jelas, namun suaranya yang agak berat terdengar berwibawa dan maskulin. Saat sekolah dulu Juli pernah dekat dengan lelaki, namun usianya sepantaran. Berbeda dengan lelaki ini, yang sepertinya sudah terlalu dewasa. Membuat ada perasaan aneh dan debar bersamaan.

Ayah Juli terdiam melihat lelaki itu mendekati anaknya, dadanya terasa agak sesak. Bukan rahasia umum jika lelaki yang sejak semalam ia temani minum-minum setelah menandatangani kontrak kerjasama adalah seorang casanova. Mungkin beratus wanita pernah menemaninya, dan Ayah Juli tidak ingin anaknya menjadi salah satu dari daftar wanita-wanita tersebut.

Dengan gerakan cepat Ayah berdiri di depan tubuh Juli. "Maaf Pak, tapi anak saya ini baru 20 tahun dan masih dibawah umur," ucap Ayah yang bingung kenapa memilih kalimat tersebut untuk menghalangi Okta.

Okta menatap tajam dan sedikit menyeringai.

Sedangkan Juli terdiam, menunggu akan ada adegan apa lagi diantara mereka bertiga.

Di dunia Okta yang gemerlap, sulit menemukan gadis yang berhasil membuatnya tertarik pada pandangan pertama. Semuanya memiliki topeng yang sama, membuat sikap mereka terlihat palsu di hadapan Okta. Namun Juli berbeda, gadis mungil di hadapannya ini terlihat begitu polos dan berani. Mungkin karena gadis ini tidak mengenal siapa Okta sebenarnya.

"Permisi Pak, ini sudah selesai belum?" tanya lelaki satunya lagi, sang asisten Okta yang sebenarnya sejak Juli masuk tadi sudah tersadar dan melihat serangkaian tingkah laku Bosnya yang terkadang implusif.

Okta menoleh dan berdehem singkat.

"Sudah, kita pulang sekarang!" ujar Okta masih dengan menatap wajah Juli tajam.

"Terima kasih Pak, hati-hati di jalan," sahut Ayah Juli.

Juli menunduk sampai mereka berdua keluar dari ruangan. Dan seketika oksigen yang ia hirup kembali utuh. Tadi, saat ada lelaki itu udaranya begitu pengap membuat dada Juli sedikit sesak.

"Dia itu siapa Yah?" tanya Juli saat melihat kedua orang tadi sudah menghilang di belokan.

Ayah menghembuskan nafas berat, kesadarannya sudah pulih 100% sejak melihat tatapan Okta pada Juli. "Sudah lah Jul, belum waktunya kamu tahu siapa orang itu."

Meski bingung, Juli menganggukkan kepalanya. Dengan menggandeng lengan Ayah, Juli berkata... "Ayok Yah pulang, Ibu pasti nggak tidur lagi karena nunggu kita di rumah."

Sejak malam itu, Okta mencatat Juli dalam hidupnya. Sedangkan Juli tidak pernah lagi melihat sosok lelaki yang bahkan dalam hitungan hari sudah ia lupakan, baik wajah maupun namanya. Namun, sejak pertama kali mencicip wine, Juli menganggap minuman itu sebagai sahabatnya dikala penat.

***

DUK, DUK, DUK...

Suara gaduh dari lantai atas terdengar memekakan telinga dan membuat Juli membuka mata perlahan. Kepalanya terasa berat, matanya terasa lengket, lambat laun ia sadar bahwa dirinya tertidur di ruang tamu saat pulang dari klub semalam. Kini, ia semakin berteman dengan minuman dikala menjelang akhir pekan. Tidak rutin, hanya sebulan sekali atau saat kepala Juli terasa penat. Seperti minggu ini, dimana gosip mengenai penyelundupan dana yang Ayahnya lakukan semakin santer di berita. Membuat dirinya harus menahan diri karena sang Ayah belum memberi penjelasan apapun. Sedangkan Ibu? Entah lah. Pasti Ibu sudah tahu, namun memilih diam agar Juli tidak panik.

"NON! NON JULI!!!" jerit Inah sang asisten rumah tangga dari arah kamar Ibu.

Ini baru jam tujuh pagi kan? Kenapa sudah heboh sih?

"Hemn," Juli terduduk, mencerna kira-kira ada kejadian apa dari atas sana.

Dengan langkah perlahan Juli menaiki anak tangga. Dari kamar ujung sebelah kanan, pintu terbuka lebar. Hal yang tidak pernah terjadi karena Ibunya sangat anti kamarnya dimasuki oleh orang lain kecuali pada jam bersih-bersih.

Ibu?

Juli menyeret kakinya yang masih lemas, air matanya mulai mengalir turun, begitu sampai di depan kamar...

"IBUUU..." jerit Juli histeris.

Ia berlari dan memeluk tubuh Ibunya yang telah lunglai dengan mata terpejam di atas karpet berbulu dan di hadapan Inah.

“INI IBU KENAPA?” jerit Juli histeris.

“Nggak tahu Non, justru bibi kaget lihat pintu kamar Ibu terbuka. Jadinya bibi masuk, dan…” Inah tidak sanggup melanjutkan bicaranya.

Juli berusaha menyadarkan Ibunya, namun nihil. Seketika ia berlari ke arah tangga menuju pos security untuk mencari Karmin.

“PAK, PAK, TOLONG IBU PAK!” jerit Juli.

Karmin yang sedang bersiap menyiram taman terlonjak kaget dan melempar selang air yang masih tergulung. Ia ikut berlari mengikuti Juli menuju lantai atas.

“Ibu kenapa Non?” tanya Karmin disela-sela berlarinya.

“Nggak tahu, nggak tahu, aku nggak tahu Ibu kenapa.”

Inah masih memeluk Ibu Juli dan menatap Juli serta Karmin dengan wajah pias. “Ibu belum bergerak juga Non.”

Juli menelan saliva.

"PAK, ANGKAT IBU DAN BAWA KE RUMAH SAKIT!" perintah Juli yang berusaha mengangkat tubuh Ibunya bagian atas.

Dengan sigap Karmin mengangkat kaki Nyonya-nya. Dengan hati-hati mereka bertiga turun ke lantai bawah dan masuk ke dalam sedan yang terparkir di depan teras rumah.

Juli masuk sebentar ke dalam rumah untuk mengambil sling bag dan long coat yang tergantung di ruang ganti, mengingat pakaiannya semalam agak minim.

Tubuh Ibu masih hangat, namun denyut nadinya entahlah… Juli bingung. Di pergelangan tangan kirinya ada bekas goresan yang samar dan tidak dalam meski ada darah segar.

Juli melihat wajah Ibunya yang pucat, berkali-kali ia mencium tangan Ibunya dengan air mata berurai. Di kursi depan, Inah dan Karmin berdo'a agar Tuhan masih berbaik hati pada Nyonya.

Lalu bagaimana keluarga ini akan berdiri jika porosnya sedang diambang hidup dan mati??

"Bu... Juli nggak mau sendiri. Juli takut. Kenapa Ibu begini?" suara Juli terdengar menyayat hati. Membuat Inah dan Karmin ikut meneteskan air mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status