Share

Bab 3

Author: Bagel
"Aku sudah bilang, aku tidak mencurinya!"

"Ayah, tolong, percayalah padaku!" Aku berlari mengejarnya dan meraih lengannya, air mata akhirnya menetes. "Aku bersumpah, aku tak pernah menyentuh berlian itu!"

Ayahku melepasku dengan kasar. "Cukup! Buktinya ada di depan mata. Sampai kapan kamu akan terus berbohong?"

"Ngaku saja, Adriana," ejek Martin padaku. "Kamu kira kami akan memaafkanmu hanya karena kamu menangis?"

Vincent menyeringai. "Adriana, mungkin kita harus mempertimbangkan kembali pertunangan ini sepenuhnya."

"Tidak! Aku tidak melakukannya!" Aku menoleh panik ke arah Karina. "Kamu tahu aku tidak melakukannya, kan? Kamu tahu aku tidak mencurinya!"

Sebuah senyum tipis melintas di bibir Karina sebelum ia menutupnya dengan ekspresi prihatin.

"Kak, mungkin kamu kelelahan dan bingung. Mungkin kamu melakukan sesuatu yang bahkan tak kamu ingat..."

Kesadaran itu menyergapku. Betapa bodohnya aku bertanya padanya?

Dialah yang paling ingin aku menjadi pencuri.

"Kurung dia!" perintah ayah.

Dua penjaga meraih lenganku. Aku melawan. "Lepaskan aku! Aku anak keluarga ini! Kalian tak punya hak!"

"Anak?" Martin tertawa sinis. "Anak yang mencuri pusaka keluarga? Layakkah kamu mendapat gelar itu?"

Vincent menambah dengan ejekan, "Seharusnya dikurung dari dulu. Jadi bisa membuat keluarga tetap terhormat."

Ketika mereka menyeretku ke sel penjara di ujung belakang rumah, aku melihat jelas kemenangan di mata Karina.

Dia mendekat, lalu berbisik, "Sepertinya aku yang akan mewakili keluarga di depan umum mulai sekarang."

Tiba-tiba aku tertawa. Ya, aku kalah.

Bukan cuma kehormatan itu. Semua di sini akan jadi miliknya sekarang.

Pintu sel menutup dengan dentuman keras, suara kunci berderak bak lonceng kematian.

Dibandingkan kesuraman makam, tempat ini jelas penjara modern.

Empat dinding metal halus, tanpa jendela, hanya satu bola lampu pijar redup di langit-langit yang menyorot tajam.

Lantainya dingin membekukan, satu-satunya penghiburanku adalah selimut tipis. Sel ini biasa menampung penghianat dan musuh keluarga. Sekarang menampung aku.

Aku meringkuk di sudut, rasa sakit di dadaku meluap seperti gelombang.

Setiap napas mencabik paru-paruku. Aku bahkan tak mampu berdiri.

Di jam-jam terakhirku, aku masih tak bisa memahaminya.

Bagaimana berlian itu bisa masuk ke sakuku?

Aku tak menyentuh apa pun selain batu nisan... kecuali...

Batuk hebat mengguncang tubuhku. Sesuatu yang basah menyentuh bibirku.

Saat aku mengulurkan tangan, darah menodai jariku.

Mungkin waktuku tak banyak lagi.

Pikiran mulai melayang mundur, memutar banyak kejadian lampau.

Aku tenggelam dalam ingatan, memutar ulang banyak peristiwa. Setiap jebakan Karina yang telah dirancang dengan hati-hati terpampang jelas di mataku.

Waktu di gala keluarga ketika dia tak sengaja menumpahkan anggur merah di gaun pesanan khususku, membuatku jadi bahan ejekan kalangan elite kota.

Waktu dia mengubah pesan di buku catatanku.

Dan yang paling buruk, ketika dia memakai pembuka surat di mejaku untuk melukai lengannya sendiri, lalu menyalahkanku.

Kenangan-kenangan itu menekan napasku. Jantungku berdegup lemah dan tidak teratur.

Namun bahkan saat itu, kenangan indah masih menyelinap.

Martin saat tujuh tahun, pulang dengan luka dan memar setelah berkelahi dengan anak-anak yang menggangguku. "Tak seorang pun boleh mengganggu adikku!" katanya.

Ayah duduk di samping tempat tidur semalaman ketika aku sakit, tangan kasarnya mengelus dahiku. "Putri kecilku, Ayah akan melindungimu."

Gambar itu begitu hidup, seakan baru terjadi kemarin.

Kenapa... kenapa mereka berubah begitu banyak?

Penglihatanku mulai kabur, anggota tubuhku terasa kebas.

Sakit di dadaku mereda, digantikan rasa ringan yang aneh.

Mungkin inilah rasanya saat sekarat.

Beberapa tahun yang lalu, ketika ayah mengkhianati janji pernikahannya, dia bilang itu hanya hukum dunia bawah, tak ada kepala mafia yang hanya setia pada satu wanita.

Ibuku yang setia pada pernikahan itu, tak bisa menerima dan memilih pergi.

Dia ingin membawaku bersamanya, jauh dari Novarelle, tapi ayah dan kakakku memohon agar aku tetap tinggal.

Mereka bilang mereka membutuhkan aku. Aku masih muda dan tak kuat melihat mereka memohon, jadi aku meyakinkan ibuku untuk membiarkan aku tinggal.

Kalau aku ikut ibuku saat itu, apa semuanya akan berbeda? Apakah aku masih akan menjadi Adriana mereka, yang dibungkus kasih sayang?

Di ambang kesadaran, kupikir aku mendengar ibuku memanggil.

"Adriana, sayang, maukah kamu ikut Ibu?"

'Maaf, Bu. Aku harus pergi dulu.'

Detak jantungku melambat. Hitungan mundur terakhir hidupku.

Sepuluh... sembilan... delapan... tujuh...

Aku menutup mata dan membiarkan gelap menelan seluruhnya.

Dunia senyap.

Pukul enam pagi keesokan harinya, Antoni datang memeriksa sel penjara seperti biasa.

Setelah bekerja untuk Keluarga Mahendra selama tiga puluh tahun, ia telah melihat banyak kehidupan dan kematian, tapi saat ia mengintip lewat jendela kecil di pintu besi, pemandangan di dalam membuatnya tersentak.

"Nona Adriana! Nona Adriana!" serunya, suaranya gemetar sambil meninju pintu.

Tak ada jawaban.

Sosok yang meringkuk di sudut tidak bergerak, wajahnya pucat dengan jejak darah kering di sudut bibir.

Tangan Antoni gemetar sampai nyaris tak bisa memasukkan kunci ke lubang. Akhirnya pintu terbuka dan ia berlari masuk.

"Nona Adriana! Bangun!" Ia berlutut di sampingku dan meraih untuk memeriksa napas.

Dingin. Hampa.

Antoni ambruk ke lantai.

Di ruang makan utama, Indra sedang sarapan dengan santainya seperti biasa.

Karina duduk rapi di sampingnya, menyerahkan koran pagi.

Martin juga di sana, meninjau laporan pendapatan semalam.

"Tuan! Tuan Muda Martin! Cepat kemari!" Antoni sampai lupa sopan santun, menerobos masuk, suaranya penuh teror yang tak pernah didengar Indra sebelumnya.

"Aku sudah bilang kemarin soal perilaku ini. Kenapa harus berteriak begitu pagi-pagi?" Indra mengernyit, jelas tak senang dengan gangguan itu.

Antoni tersandung masuk ke ruang makan. "Tuan! Ini gawat! Nona Adriana, dia..."

"Apa lagi sekarang?" Martin bertanya tanpa menengok dari kertasnya. "Apa dia pura-pura sakit lagi?"

"Tidak! Tuan... Nona Adriana... dia mati! Dia mati di sel!" Suara Antoni pecah, dipenuhi ketakutan yang luar biasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 9

    Karina menaruh bukti komunikasi dengan Keluarga Nugraha di mobil Vincent dan memalsukan dokumen di kantornya yang merinci pengkhianatan terhadap rahasia Keluarga Mahendra.Lalu dia membocorkan bukti itu ke Keluarga Mahendra, membuat mereka percaya Vincent telah menghianati aliansi mereka.Di dunia kami, hanya ada satu hukuman untuk pengkhianatan.Vincent ditembak di tempat oleh anak buah Indra, tewas tanpa pernah tahu bahwa dia tak lebih dari kambing hitam.Aku harus mengakui, bahkan sekarang pun, metode Karina mengesankan.Dia menyingkirkan Vincent dan memberi keluarga saingan alasan sempurna untuk menyerang Keluarga Mahendra.Tepat saat itu, ponselku berdering.Martin.Aku menatap nama di layar, ragu beberapa detik, lalu menjawab."Dik..." Suara Martin lemah, terdengar dentuman tembakan intens di latar. "Aku salah..."Aku menggenggam ponsel erat, mendengarkan suara yang akrab tapi terasa jauh itu.Kakak yang dulu melindungiku."Martin." Suaraku tenang dan terkendali."Aku tahu... aku

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 8

    Keesokan harinya, orang-orang dari Keluarga Mahendra panik dan berusaha menghubungiku.Panggilan telepon, email, mereka bahkan mengirim orang langsung ke gedung Keluarga Wijaya.Tapi aku menolak menemui siapapun.Sebagai gantinya, aku melanjutkan balas dendamku."Bagaimana persiapan pengambilalihan Kasino Surya Perdana?" Aku tanya kepada tim hukum di kantorku."Semuanya siap," lapor penasihat hukum utama. "Kita sudah menguasai cukup banyak saham untuk melancarkan pengambilalihan secara paksa.""Bagus." Aku mengusap gelasku. "Itu sumber aliran kas terpenting Keluarga Mahendra."Dirga masuk. "Ada kabar dari bank internasional. Gravona setuju membekukan rekening utama Keluarga Mahendra.""Jumlahnya?""Sekitar satu triliun tiga ratus miliar." Aku mengangguk dengan puas.Sekarang, Keluarga Mahendra terpojok, di dunia legal maupun ilegal.Tepat saat itu, sekretarisku mengetuk pintu."Nona Adriana, Indra Mahendra ada di sini. Dia mengatakan harus bertemu Anda."Aku melirik monitor keamanan da

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 7

    "Saham Keluarga Mahendra turun dua puluh persen," lapor Dirga dengan data terbaru."Terus lakukan aksi jual pendek." Aku memutar lembut anggur di gelasku. "Aku ingin mereka hancur."Ibuku masuk dengan anggun seperti biasa. "Adriana, mereka akan hadir di gala malam ini.""Aku tahu." Aku berdiri dan melangkah ke jendela besar yang menghadap Harapana. "Sudah delapan tahun. Saatnya mereka bertemu Adriana yang sebenarnya.""Kamu siap menghadapi mereka?" tanya ibuku dengan cemas."Bu, Adriana yang merendahkan diri untuk mereka sudah mati." Aku menoleh, mata membara dingin. "Yang akan mereka hadapi sekarang adalah A.W. yang sedang menguras habis Keluarga Mahendra."Tiga hari kemudian, di hotel paling mewah di Harapana, Gala Amal Tahunan Keluarga Wijaya resmi dimulai.Aku berdiri di depan cermin, mengenakan gaun malam berwarna hitam.Enam bulan latihan telah mengubahku total.Aku bukan lagi Adriana yang lemah dan ingin menyenangkan orang, melainkan seorang ratu dingin yang penuh tekad untuk me

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 6

    Langkah kaki terdengar dari lantai atas, dan Karina turun dengan gaun tidurnya."Kak, kamu sudah pulang? Biar aku hangatkan susu untukmu."Martin mengangguk, meski ada rasa jengkel samar yang mengusik hatinya.Karina membawa segelas susu. Gelasnya bersih, suhunya pas.Tapi saat ia meneguknya, Martin tahu ada sesuatu yang tidak beres.Saat itu juga, Indra keluar dari ruang kerjanya."Kalian belum tidur juga?" tanyanya dengan suara letih."Ayah masih mengurus soal transaksi senjata itu?" tanya Martin."Syarat mereka terlalu berat. Aku tidak bisa memikirkan strategi balasan yang bagus," gumam Indra sambil memijat pelipisnya.Karina berkata lembut, "Ayah terlalu memaksakan diri. Mungkin sebaiknya dibicarakan lagi besok."Indra mengangguk, tapi tiba-tiba sebuah suara muncul di benaknya, 'Ayah, mungkin kita bisa memanfaatkan jalur pengiriman. Kalau kita ambil risiko tambahan di transportasi, mereka bisa saja mau mengalah soal harga.'Itu suara Adriana.Dalam transaksi serupa dua tahun lalu,

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 5

    Mataku terbuka lebar saat otakku berjuang memproses informasi itu."Siapa... siapa yang meracuniku? Siapa yang ingin aku mati?"Ibuku berjalan ke jendela, mengepalkan tangannya. "Ingat segelas susu yang Karina siapkan untukmu setiap malam sebelum tidur?""Dan kue-kue yang dia panggang sendiri, sup bergizi yang dia bilang baik untukmu, setiap dosis vitamin penuh kasih..."Dia menoleh, matanya membara dengan amarah. "Semua itu mengandung sedikit racun."Kenangan itu melintas di kepalaku seperti film.Malam-malam dulu, Karina selalu membawa segelas susu hangat ke kamarku, matanya penuh perhatian. "Kak, ini akan membuatmu tidur lebih nyenyak. Dokter bilang kamu butuh lebih banyak nutrisi."Dia selalu memikirkan aku dengan menyiapkan suplemen. "Aku buat ini khusus untukmu. Ini baik untuk kesehatanmu."Dan aku, seperti orang tolol, minum dan makan semuanya dengan penuh syukur."Tidak... tidak mungkin..." Aku menggeleng, tubuhku gemetar. "Bagaimana dia bisa... dia kan hanya yatim piatu, dia b

  • Putri yang Tak Diharapkan   Bab 4

    "Cukup!" Indra membanting cangkir kopinya dengan keras. "Aku tidak mau dengar nama putri yang tidak tahu berterima kasih itu saat sarapan.""Tuan, tolong, kamu harus dengar aku!" Antoni hampir menangis. "Nona Adriana tidak merespons! Aku rasa dia mungkin...""Mungkin apa?" Martin akhirnya menatap ke atas, wajahnya penuh ketidaksabaran. "Tiba-tiba jadi baik?"Karina tampak cemas. "Ayah, mungkin kita harus cek kakak dulu? Bagaimana kalau dia memang tidak sehat...""Dia cuma berpura-pura! Ini bukannya pertama kalinya." Martin berdiri. "Baiklah. Aku akan lihat drama macam apa yang dia buat kali ini."Indra dan yang lain mengikuti Martin ke sel. Di pintu, Martin menendang gerbang besi. "Adriana! Berhenti pura-pura mati! Bangun!"Hening dari dalam."Aku bilang bangun! Kamu dengar aku?!" Suara Martin meninggi."Tuan," kata Antoni, suaranya bergetar. "Aku benar-benar merasa ini tidak benar...""Minggir!" Martin mendorong Antoni dan mengintip melalui celah pintu.Dia melihat Adriana, tubuhnya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status