Share

Bab 5

Aku menautkan jari jemari, mencari kata yang sesuai, saat Ibu menanyakan kabar suamiku itu.

Bagaimanapun beliau pernah melarang secara halus hubunganku dengan laki-laki yang lima tahun lebih tua dariku itu.

Ibu pernah menasehatiku.

"Nduk, pikirkan kembali apa kamu sudah mantap menerima pinangan Agung, Ibu lihat kalian terlalu terburu-buru."

Aku yang baru berusia sembilan belas tahun kala itu, baru mekar-mekarnya jika diumpamakan.

" Tidak, Bu. Mas Agung sudah mantap melamarku, ibunya juga akan datang kemari. Lebih baik menikah to, Bu? Daripada kami pacaran?"

" Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu ikut saja. Apa keluarganya sudah tahu tentang keadaanmu ini?" tanya Ibu lagi dengan nada khawatir.

Siapa yang tidak mengenal keluarga Mas Agung di kota ini? Salah satu kalangan ningrat yang konon katanya masih keturunan keraton?

Kekayaan mereka tidak perlu diragukan lagi. Swalayan yang tersebar di berbagai sudut kota,  sudah menunjukkan derajat mereka. Dibandingkan dengan diri ini, tidak ada apa-apanya. Siapa yang menghadirkanku ke dunia saja, aku tidak pernah tahu.

Aku termenung sejenak.

Apa Mas Agung sudah menceritakan asal usulku pada Ibunya?

Seingatku pada saat aku diajak ke sana, Ibu Sri tidak banyak bicara.

"Sudah. Keluarga Mas Agung sudah tahu, Bu."

Akhirnya aku memilih berbohong agar ibu tidak terus khawatir.

Ibu menghela napas panjang.

"Syukurlah jika begitu! Yang penting kamu sudah berkata jujur pada mereka, alhamdulillah mereka bisa menerima. Ibu ikut saja jika kamu sudah mantap. Baik-baiklah membawa diri!"

"  Insyaallah, Bu.Melati akan ingat nasehat ibu."

Aku sendiri gamang dengan keputusanku, walau Mas Agung berulangkali meyakinkan.

Flash back on

" Kamu sudah pikirkan matang-matang,  Mas? Bagaimana bisa kamu memilih aku jadi istrimu? Sementara aku ini cuma pegawai di swalayan milikmu."

Sekali lagi aku bertanya pada Mas Agung.

Laki-laki bertubuh tegap itu mengenggam tanganku.

"Kenapa kamumasih tidak percaya? Aku sudah katakan berulang kali, aku tidak pernah memandang semua itu. Bagiku semua orang sama di depan Tuhan, aku memilih kamu menjadi istriku karena aku jatuh cinta padamu."

Kami baru saja keluar dari swalayan setelah aku menyelesaikan shift kerjaku.

Mas Agung membawaku ke sebuah taman tidak jauh dari pusat kota.

Aku tersipu mendengarnya, walau Ibu sudah berpesan agar tidak mudah termakan rayuan laki-laki, tetap saja hatiku berbunga-bunga.

Aku yang baru beranjak dewasa belum mengenal seluk beluk dunia.

Apalagi pembawaan Mas Agung yang kalem, dirinya bisa memposisikan sebagai seorang kakak, bahkan ayah untukku.

Sosok laki-laki yang belum ada dalam bayanganku, menjelma dalam diri Mas Agung.

Kami layaknya pasangan yang dimabuk cinta. Baru kali ini juga aku merasakan debaran halus di dada saat berada di sampingnya.

Tak kupungkiri memang mataku sudah dibutakan cinta. Bahkan saat keluarga Mas Agung terutama ibunya menanggapi dingin kedatanganku.

Masih kuingat sindiran halus Bu Sri.

"Kamu yakin menikahi wanita seperti dia, Gung? Orangtuanya saja tidak tahu di mana? Bagaimana dengan bobot, bibit, dan bebetnya?  Apa bisa dia mengikuti aturan di rumah ini?"

Mas Agung yang membawaku ke rumah untuk meminta restu masih tetap kekeh.

" Agung yakin, Bu. Melati anak yang baik, walau tinggal di panti, tapi dia tumbuh dengan ajaran yang baik dari ibu pantinya."

tutur Mas Agung lembut.

Aku hanya bisa menunduk, meremas celana yang kupakai untuk mengurangi ketegangan.

Keringat dingin membasahi pelipis ini, seumur hidup baru kali ini bertemu dengan sosok sedingin itu.

Tadinya aku membayangkan sosok lemah lembut seperti Ibu panti, tapi bayangan itu lenyap seketika saat kulihat sorot tajam wanita yang melahirkan Mas Agung itu.

" Tapi, Gung, dia cuma pelayan di toko kita. Apa kamu lupa itu? Bisa-bisanya kamu jatuh hati pada perempuan ini?"

Bu Sri memandangku dari atas ke bawah.

Lidah ini terasa kelu. Aku memang cuma anak buangan yang tidak sengaja jatuh cinta pada bosku sendiri, tapi belum pernah ada yang memandangku sebegitu buruk.

Mas Agung menoleh ke arahku, tatap matanya seolah meminta untuk tenang. 

Setelah itu ia berdiri, lalu menghampiri ibunya.

"Ibu, aku sudah yakin dengan pilihanku. Melati akan menjadi ibu yang baik dan menantu yang berbakti pada ibu

Iya kan, Mel?"

Mas Agung memanggil namaku, yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.

Seutas senyum coba kuulas, tapi Bu Sri hanya membuang muka.

" Tetap saja ibu tidak setuju," ucapnya dengan nada keras.

Aku menggelengkan kepala pada Mas Agung saat pandangan kami beradu.

"Aku mundur!"

Seakan ingin kuteriakkan kalimat itu.

Namun, Mas Agung malah melepaskan tangannya dari bahu sang Ibu.

"Baiklah, kalau Ibu tidak merestui kami, detik ini juga kami akan pergi dari sini! Jangan pernah cari aku lagi, Bu!

Ayo, Mel!"

Mas Agung bergegas menghampiriku.

"Aaku ... kita ... Mas."

Ku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang setengah menyeretku.

" Agung!"

Wanita paruh baya itu berdiri seketika.

"Kalian berdua berhenti di situ!" teriaknya sebelum kaki ini melangkah keluar.

Kami masih bergeming. Saat aku menoleh, Mas Agung memberi isyarat agar kami meneruskan langkah.

Benar saja, baru mau melangkah lagi, suara Ibu Sri kembali menggema.

" Jangan ada yang pergi dari sini, aku akan merestui hubungan kalian!"

Apa telingaku tidak salah dengar? Benarkah kata-kata itu?

Mas Agung berbalik lalu menatap ibunya, seakan tidak percaya.

"Ibu serius, kan?" Laki-laki yang bertubuh tegap itu mengulangi pertanyaannya.

"Hem, tentu saja. Kalian boleh menikah, tapi ...." Bu Sri kembali duduk di kursi kebesarannya.

Aku dan Mas Agung saling berpandangan.

" Apa Bu? Kok pakai tapi?"

Kami menjawab serentak.

"Ada syaratnya! Setelah menikah, istrimu itu yang akan mengurus segala keperluanku dan rumah ini!"

"Tentu saja, Bu! Sebagai menantu, Melati akan mengurus ibu dengan baik, bukan begitu, Mel?"

Mas Agung menoleh ke arahku yang kujawab dengan anggukan.

Tentu saja, aku akan mengurus ibu dengan sebaik-baiknya. Sesuatu yang tidak bisa kulakukan untuk ibu kandungku, setidaknya bisa kulakukan pada ibu yang melahirkan Mas Agung itu.

Bayanganku sudah dipenuhi dengan rencana-rencana manis yang akan aku lakukan bersama ibu mertua.

Namun, rencana tinggal rencana.

Kenyataannya, bak panggang jauh dari api.

Flash back off

" Mbak, ditanyain Ibu tu, lho!"

Suara Rendi membuyarkan pikiranku yang melayang pada hari itu. Hari dimana awal dari kesedihan di hidupku.

"Eh iya, Bu. Mas Agung sudah mengusir kami," jawabku lirih.

Ibu nampak termenung, sesaat suasana hening.

"Kalau begitu, Mbak Melati bisa tinggal di sini sama kita ya, Bu!" Rendi menggoyang tangan ibu pelan.

Ibu mengangguk pelan.

"Sekarang kalian pergilah tidur, besok kita bicara lagi!" ucapnya sambil berlalu ke kamar.

Kulihat raut wajah ibu berbeda.

Aku tidak mengerti tapi hatiku berkata ada yang tidak baik-baik saja.

Bagjamana ini? Bagaimana kalau ibu tidak mengijinkan aku tinggal di sini?

Kemana aku harus membawa Aruna?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status