Share

Bab 4

Bab 4

Bu Ratmi melepaskan pelukannya, lalu menghapus airmata di pipi ini.

" Sudah! Jangan menangis, kamu pasti lelah! Dimana cucu ibu tadi? Rendi adiknya dibawa ke sini," panggilnya pada anak laki-laki tadi.

Entah kemana dia menggendong Aruna, yang pasti sudah tak terdengar lagi tangisannya.

Tak lama, suara bayi yang sedang tertawa semakin terdengar.

" Apa ya, Dik? Ibu ini panggil-panggil, kita kan lagi asyik mainan."

Wajah lucu itu membuat Aruna tertawa lagi.

Anak itu segera menyerahkan Aruna kepada Ibu.

" Ini ya, cucu Nenek yang cantik? Apa sayang? Kamu pasti kedinginan ya, jalan-jalan ke sini."

Ibu seakan bisa berbicara dengan Aruna sehingga bayi berumur sembilan bulan itu tergelak.

" Lucunya cucu Nenek. Siapa namanya Mel?" Ibu menoleh kepadaku.

" Namanya Aruna, Bu."

Belum sempat aku menjawab, sudah di dahului anak yang tadi.

" Kamu sendiri namanya siapa? Dari tadi Mbak tanya kok nggak dijawab?"

Aku berdiri lalu duduk di sampingnya.

" Namanya Rendi, Nduk. Baru setahun tinggal di sini," kata Ibu menjelaskan. Tangannya menggenggam jari jemari Aruna.

Ada yang hangat di sini, di dalam hati.

Ibu Ratmi yang bukan siapa-siapa, bisa dengan mudah jatuh cinta pada anakku.

Sedangkan neneknya kandungnya sendiri, menanyakan saja tidak pernah, apalagi menggendong.

Dimatanya, aku dan Aruna tidak lebih hanya pembawa sial.

Entah apa yang salah pada diri kami sehingga ibu sangat membenci cucu dan menantunya ini.

" Cucu Nenek haus ya, mau minum?"

" Iya, Nek. Aku haus nih!"

Rendi berpura-pura menjadi Aruna.

Mereka tertawa menggoda bayi yang nampaknya haus itu.

Begitu dekat, begitu akrab.

Wajahku kembali memanas, sebelum cairan itu keluar lagi, aku memilih untuk menahannya.

" Ih, Kak Rendi haus juga?" selorohku.

Seketika kami tertawa melihat Rendi menggaruk kepalanya.

" Diberi minum dulu, Nduk!" Ibu menyerahkan Aruna yang sudah menangis.

Dua anak perempuan yang tadinya sudah tidur jadi bangun karena tangisan Aruna.

Keduanya menatap kami bingung, seperti bertanya ada apa?

Bu Ratmi memandang mereka bergantian.

"Rima, Lisa, mulai sekarang Mbak Melati dan adik bayi Aruna akan tinggal bersama kita, ya!"

Mata mereka yang semula mengantuk, terang seketika.

" Mbak Melati tinggal di sini lagi?" tanya Rima, gadis kecil yang selalu menguntitku kemana-mana dulu.

Aku hanya tersenyum.

Salah satu anak yang berambut kriwil itu bertanya. "Beneran, Bu? Wah asyik dong kita jadi ada temennya ya, Lis!"

Dia menoleh pada anak di sampingnya.

"Iya, mbak sama adek mau tinggal di sini lagi? Boleh nggak, Mbak Lisa, Mbak Rima?"

Aku menyebut nama mereka satu persatu.

" Boleh dong, kan malah jadi ramai. Adek bayinya cantik."

Rima menjawil gemas pipi Aruna yang sedang menyusu.

" Sama aku juga dong," sahut Rendi tak mau kalah.

Kami tertawa melihat tingkahnya.

" Sudah-sudah kalian pergi tidur lagi! Biar Mbak Melati juga bisa istirahat. Ibu siapkan makan ya, Nduk! Kamu pasti laper." Bu Ratmi berdiri dan melangkah ke dapur yang terletak di belakang.

" Biar Rendi bantuin, Bu!"

Keduanya berlalu dari pandanganku, sementara Lisa dan Rima sudah tidur lagi.

Kubaringkan Aruna di kasur, tempat tidurku dulu.

Tempat tidur yang biasa kubagi dengan Lastri, sahabat kecilku di panti ini. Entah bagaimana kabarnya sekarang? Setelah menikah, Mas Agung benar-benar memutus hubunganku dengan dunia luar.

Tubuh kecil itu menggeliat, mungkin lelah karena terlalu lama digendong.

Kupandangi lagi wajah mungil itu, lalu meninggalkan beberapa kecupan di sana.

" Anak bunda, tumbuhlah jadi wanita kuat! Dunia boleh kejam, tapi kita tidak boleh lemah." 

Kubisikkan kalimat itu di telinganya.

" Dia akan sekuat kamu! Percaya kata ibu!" Bu Ratmi mengelus pelan bahuku.

Aku mengangguk lalu menuntun wanita paruh baya itu ke dapur yang menyatu dengan ruang makan.

Nampak hidangan lezat tertata rapi di atas meja. Ada tahu tempe goreng sayur sop dan sambal.

Seketika terbit air liurku.

Cacing di perut sudah menari entah dari kapan.

Seingatku, belum ada yang memberi mereka makan dari tadi pagi.

Ibu Sri tidak akan membiarkan menantunya ini untuk beristirahat walau hanya sekedar mengisi perut.

Padahal ibu menyusui seperti aku gampang sekali merasa lapar.

Rendi sudah duduk dengan tenang, nampak dihadapannya satu piring nasi lengkap dengan lauk.

" Ayo, makan dulu, Nduk!"

Bu Ratmi menyedokkan nasi ke piring setelah aku duduk.

Tangannya cekatan mengisi piring dengan sayur, disusul tempe dan ayam goreng yang hanya sepotong.

Ibu pasti menyisihkannya untukku. Aku tahu betul, ayam goreng adalah lauk mewah di sini.

Hanya di waktu-waktu tertentu kami dapat menikmatinya.

Maklum saja, Ibu hanya mengandalkan bantuan dari donatur setiap bulan.

Kadang banyak, kadang tidak ada sama sekali.

Untuk mencukupi kebutuhan kami, Bu Ratmi juga menerima pesanan kue dan beragam masakan.

Kue-kue itu juga yang aku dan Lastri bawa untuk dijajakan di sekolah.

Tidak ada kata malu dalam hidup kami, karena kami memang tidak pernah diinginkan.

" Makan yang banyak!

Kamu kan sedang menyusui, ada anak yang ikut makan juga lewat air susu."

Kata-kata Ibu membuat kerongkonganku tersekat.

Susah payah kutelan nasi dalam mulutku.

Perhatian itu harusnya kudapat di rumah itu, rumah yang Mas Agung janjikan membawa kebahagiaan untukku. Nyatanya tak lebih dari neraka.

Wajahku kembali memanas.

" Dibilangin kok, malah nangis? Makan dulu!"

Disodorkannya gelas berisi air putih.

Aku menenggaknya sampai habis, berharap sesak itu ikut hilang.

" Mbak Melati malah nangis. Kalau nggak dimakan, ayamnya buat aku,lho!" canda Rendi kemudian.

Mau tidak mau aku tersenyum, airmataku luruh begitu saja diiringi tawa.

" Ren, piring kotornya dicuci sekalian, ya! Punya Mbakmu juga, dia kan baru datang, masih capek."

" Lah Bu, aku juga capek. Baru dateng sudah suruh cuciin piring, gimana nanti kalau sudah tinggal di sini?" gerutu Rendi sambil mengemas sisa nasi dan lauk.

" Ya nanti sekalian cuci baju sama momong Dek Aruna juga, Ren!" timpalku.

Seketika bocah berkulit sawo matang itu nyengir kuda.

Dibawanya piring kotor itu, tak lama terdengar gemericik air.

" Rendi, anaknya baik, ya? Memang kenapa dia bisa tinggal di sini, Bu?"

Aku menyeret kursi untuk lebih mendekat pada Bu Ratmi.

" Iya. Jadi setahun yang lalu pas Ibu ke pasar, dia sedang kedapatan mencuri. Warga sudah sangat marah pada waktu itu dan hampir saja menghakimi Rendi dengan kejam. Beruntung ibu mengetahuinya. Ibu bilang saja kalau dia anak ibu dan ibu minta maaf karena dia sudah mencuri. Ibu berjanji akan mendidiknya lebih baik lagi."

Ibu menoleh ke arah dapur memastikan Rendi tidak mendengarnya.

Aku ikut menoleh.

"Kasihan Rendi," gumamku pelan.

Ibu melanjutkan ceritanya lagi.

"Jadi Ibu terpaksa berbohong supaya Rendi tidak diamuk masa. Setelahnya ibu mengajak dia pulang ke rumah ini, karena ternyata dia gelandangan yang mencuri sepotong roti untuk mengganjal perut."

"Ya Allah."

Aku membekap mulut. Tidak menyangka perjalanan hidup anak sekecil itu sudah sangat tragis.

Setidaknya aku lebih beruntung tidak perlu tinggal di jalanan.

Kalau tidak ke sini, kemana lagi aku akan membawa Aruna?

Kami berpura tidak membicarakan sesuatu saat Rendi kembali.

" Sudah selesai, Bu," lapornya dengan tersenyum.

" Ya sudah, sana tidur!" perintahku.

Dia menggeleng dan malah duduk di samping Ibu.

" Mau dengerin cerita mbak aja."

Aku pura-pura melotot ke arahnya.

"Anak kecil ini!"

"  Jadi bagaimana kabar Agung, Nduk?" tanya Ibu kemudian.

Dadaku bergemuruh kembali mendengar nama itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status