Share

RACUN UNTUK MADUKU
RACUN UNTUK MADUKU
Penulis: Pena_kinan

Bab 1

RACUN UNTUK MADUKU

Bab 1

Aku merapikan tempat tidur anakku, melipat selimutnya bergambar Spiderman berwarna biru. Sesekali menepuk-nepuk bantal dan juga guling. 

Plok

Seketika aku menoleh ke lantai membersihkan tempat tidur anakku dengan sapu lidi yang biasa aku gunakan.

"Apa itu?" gumamku pelan. Lalu kembali memperhatikan benda yang tidak asing lagi di mataku. Perlahan namun pasti langkahku mendekati benda tersebut.

"Astagfirullahaladzim," ucapku pelan sembari tangan menutup mulut. Jantungku kian cepat, seiring kepalaku mulai berdenyut. Astaga, apa ini? Anakku berusia lima belas tahun menyimpan benda yang seharusnya tidak ia miliki karena belum saatnya. 

Pikiranku berkeliaran jauh, entah apa yang dilakukan putraku sedini ini. Apakah aku terlalu membiarkan dia berkembang menjadi remaja pada umumnya, terlalu bebas? Apakah aku yang kurang memperhatikan? Ya Tuhan, cobaan apa yang akan Engkau berikan kepada hamba-Mu yang lemah ini?

Tidak terasa bulir-bulir air bening itu meluncur begitu saja. Ada rasa sesal dan juga rasa marah. Aku segera bangkit dari dudukku, berjalan ke ruang tamu mencari benda pipih yang tadi aku letakan di atas nakas.

Segera aku menekan nomor yang bertuliskan Mas Ilham. Berniat ingin menanyakan perihal alat kontrasepsi itu.

Aku Paramitha Ayu, usia 40 tahun. Pernikahan kami cukup lama, lima belas tahun. Usia pernikahan kami sama dengan usia anak satu-satunya yang aku miliki. Kami menikah di saat usia kami masih terbilang muda bukan aku tetapi Mas Ilham, ketika menikah dia masih berusia 20 tahun. Sedangkan aku 25 tahun. 

Setelah menikah kami langsung diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua. Itu yang membuat kebahagiaan kita semakin lengkap. Aku menganggap usia bukanlah sebuah masalah. Karena selama ini Mas Ilham adalah sosok suami yang bertanggung jawab dan juga perhatian. Namun nampaknya diusianya yang ke 35 tahun ini. Sepertinya ia mengalami masa Buper kedua. Terbukti dia memilih berselingkuh dibelakangku. Itu yang aku pikirkan saat ini.

"Halo, Assalamualaikum," salam terdengar dari seseorang yang ada  di seberang telepon mampu membuyarkan lamunanku.

"Mas, kapan tugasmu di luar kota selesai?" tanyaku setelah menjawab salam darinya.

"Ada apa, Dek? Bukannya Mas sudah bilang masih seminggu lagi? Tidak ingatkah kamu?"

"Ada sesuatu, Mas. Aku tidak bisa menjelaskan di telepon. Aku harap kamu bisa pulang secepatnya."

"Ada apa? Apakah itu soal Rendy?"

"Ya, tentang putra kita." Aku menggigit bibir bawahku.

"Sudahlah, Dek. Rendy sudah mulai besar, kamu harus sedikit membebaskannya. Jangan terlalu dikekang. Nanti dia tidak nyaman."

"Justru aku terlalu membebaskannya hingga tanpa aku sadari aku sudah merusaknya."

"Apa maksudmu, Dek?"

"Pulanglah, akan aku ceritakan semua di rumah."

"Aku akan berbicara dengan pimpinan terlebih dahulu. Jika beliau berkenan, Mas akan pulang lebih dulu."

***

Rendy duduk di salah satu kursi di meja makan. Rumah yang lumayan besar ini hanya ditinggali aku dan juga Rendy, putra satu-satunya yang aku miliki. Ada satu orang pembantu, namun dia bekerja dua hari sekali. Datang ke rumah lalu pulang kembali. Aku memang tidak suka jika harus tinggal dengan orang asing. 

"Rendy, bisa Mama bicara sebentar?" tanyaku sembari tangan meletakan gelas berisi jus jambu.

"Bicara apa, Ma? Sepertinya penting." Putraku menjawab setelah meletakan benda pipih yang ada ditangannya.

"Ini apa?" tanyaku langsung pada intinya. Membuat Rendy melirik ke arah benda yang diletakan diatas meja. Netranya membulat sempurna, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Putraku langsung mengambil gelas yang berisi air putih lalu meneguknya hingga tandas. Seolah kerongkongan nya kering, terlihat dengan susah payah dia menelan cairan bening itu.

"Kamu kenapa, Rendy? Pelan-pelan minumnya."

Uhuk … uhuk

Rendy tersedak hingga terbatuk-batuk. Aku yang melihat respon Rendy seketika berpikir jauh. Ya Tuhan, jangan sampai apa yang ada di dalam pikiranku saat ini benar adanya. Aku harap semua ini hanya kesalahpahaman saja.

"Rendy, nggak papa, Ma."

"Bisa kamu jelaskan soal ini?"

Rendy menunduk, semakin membuatku penasaran. Entah kenapa mataku mulai memanas, tingkah Rendy membuatku semakin tidak karuan. Menerka-nerka sesuatu yang tidak pasti.

"Jawab, Rendy! Ini apa?!" Kini suaraku mulai meninggi.

"Itu milik Papa, Ma," ucap Rendy dengan suara bergetar.

Duar

Bagai disambar petir disiang hari. Dadaku kian gemuruh hebat, apakah aku tidak salah dengar? Benda ini milik suamiku? Tapi selama ini aku melakukan hubungan suami istri tidak pernah sekalipun memakai benda itu.

"Apa maksudmu benda ini milik Papa, Rendy?" Aku kembali bertanya.

Rendy masih diam membisu, kini dia terlihat menunduk. Pandangannya jelas ke arah tangan yang terlihat gelisah dibawah sana.

"Jawab Mama, Rendy!" Kini suaraku terdengar lantang. Pandanganku semakin lama semakin mengabur, pertanda air bening itu sudah siap meluncur. 

Aku mengarahkan pandanganku ke segala arah. Menghapus air yang hampir jatuh di sudut mata. 

Aku berkali-kali menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Sesekali memejamkan mata lalu membukanya, berharap semua ini hanya mimpi belaka. Namun sayang, ini nyata adanya. 

Jika benda ini berada di kamar Rendy, berarti benda ini milik anak lelakiku. Ya Tuhan, hukum aku jika ini benar adanya. Aku sudah gagal mendidik putraku. Aku sudah tidak bisa dianggap Ibu. Bagaimanapun ini sesuatu yang tidak wajar, tidak baik.

Namun dia mengatakan benda ini milik Mas Ilham, papanya. Lantas apa yang dilakukan Mas Ilham dengan benda ini? Apakah dia selama ini telah bermain api di belakangku? Pikiran-pikiran negatif itu terus aja menghantuiku.

"Ma," ucap putraku pelan.

"Apa Rendy? Kamu jelaskan semuanya pada Mama!"

"Rendy sudah telat, Ma." 

Astagfirullahaladzim, aku lupa seharusnya Rendy pergi ke sekolah sejak sepuluh menit yang lalu. Kini dia harus berangkat ke sekolah sedikit terlambat. Aku segera membuang napas dengan kasar. Meraih kunci mobil yang tergantung. Segera aku mengantar Rendy kesekolah.

Setibanya disekolah, Rendy mencium tanganku dengan takzim. Namun masih menunduk. Apakah pertanyaanku tadi melukai hatinya. Ya Tuhan, maafkan hamba- Mu ini yang tidak bisa mengontrol amarah.

Aku menurunkan kaca mobil, memperhatikan setiap langkah putraku berjalan menuju gerbang sekolah. Disana terlihat wanita mengenakan kemeja coklat dan juga rok span dengan panjang selutut.  

Menundukan kepala saat melihat aku menatap ke arahnya. Parasnya cantik mengenakan kacamata dan juga rambut yang digerai. 

Dia adalah salah satu guru yang mengajar di sekolah ini. Entah pelajaran apa yang ia berikan. 

Ya, Putraku memang sekolah di salah satu sekolah swasta di kota. Memasukan sekolah swasta menurutku keputusan yang tepat. 

Maka dari itu kebanyakan pakaian yang dikenakan oleh pengajar di sekolahan itu tidak mengenakan seragam guru pada umumnya.

Dert

Ponselku terdengar bergetar, segera aku mengusap layar dan mencari tahu siapa yang sudah mengirimiku pesan.

Deg

Bagai disambar petir di siang hari. Tanganku mendadak dingin, jantungku seakan berdetak lebih cepat. Setelah aku melihat foto-foto pernikahan suamiku. 

Astagfirullahaladzim.

Aku beristighfar dalam hati, lalu mencoba menghubungi Mas Ilham.

"Halo, Assalamualaikum, Ma. Ada apa?"

"Kamu dimana, Mas?"

"Aku …" Cukup lama Mas Ilham tidak menjawab ku. Terkesan dia gugup dan salah tingkah. Ayo, Mas. Jawab pertanyaanku, dimana kamu dan juga gundikmu itu!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status