Share

Bab 2

RACUN UNTUK MADUKU

Bab 2

"Aku lagi ada meeting, Ma. Ada apa?"

"Penting banget ya? Bisakah kita bicara?" Aku mencoba meminta Mas Ilham bicara lebih lama. Agar aku tahu dan memastikan apa yang aku lihat baru saja tidaklah benar.

"Penting? Masalah Rendy?"

"Ya."

"Kita bicara nanti, Ma. Papa nggak enak jika harus menerima telepon terlalu lama. Kesannya papa nggak menghargai atasan. Maaf, ya Ma. Nanti kita bicara lagi."

Tut … Tut

Benar saja Mas Ilham menutup telepon tanpa berpamitan padaku. Perasaanku dan juga pikiranku semakin tidak karuan. Aku segera menghubungi nomor yang baru saja mengirimku gambar-gambar tersebut. 

Tidak tersambung, nomor yang baru saja mengirimiku pesan sudah tidak aktif. 

Ya Tuhan, jangan sampai apa yang aku lihat ini nyata. Aku hanya berharap rumah tanggaku akan baik-baik saja.

*****

Sudah dua hari dua malam, nomor Mas Ilham tidak dapat dihubungi. Entah apa yang dia lakukan diluar kota. Membuat pikiranku menerawang jauh kesana. 

"Ma." Rendy berjalan mendekat, menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa ruang tamu berdekatan denganku.

"Ada apa, Ren?" tanyaku pada anak lelakiku yang sudah beranjak remaja. 

"Rendy mau jujur sama mama."

"Soal?"

"Soal tempo hari." Aku membenarkan dudukku. Memperhatikan anak semata wayangku dengan seksama. Tanganku menggenggam erat tangannya. Berharap apa yang aku takutkan tidaklah benar.

Sesekali tanganku membenarkan rambutnya yang kian menutupi mata.

"Barang itu sebenarnya milik …." Rendy tidak melanjutkan ucapannya. Seperti ada keraguan. Entah merasa takut jika aku marah atau lainnya.

"Katakan, Nak. Mama nggak akan marah." Aku kembali meyakinkan Rendy, agar dia mau berterus terang kepadaku.

"Waktu itu Rendy berniat meminjam laptop milik papa untuk mengerjakan tugas. Mama ingat, pernah membawa laptopku ke tukang service karena rusak?"

Aku mengingat-ingat, ternyata benar. Aku pernah membawa laptop milik Randy pada tukang servis. Laptopnya sempat jatuh. Membuat benda itu tidak mau menyala kembali. 

"Lantas dimana kamu menemukan itu?"

"Di dalam tas Papa, disana ada benda tersebut. Saat Rendy hendak mengambil laptop milik papa. Rendy tidak sengaja menemukan itu, Ma. Maafkan Rendy. Sudah membuat Mama khawatir."

Ya Tuhan, apa ini? Sebuah kenyataan pahit yang diungkap oleh putraku sendiri. 

"Mungkin itu milik teman papa." Aku mencoba menenangkan pikiran Rendy. Agar remaja itu tidak berpikiran jauh. Namun aku rasa aku juga hanya menyenangkan hatiku. Agar tidak terlalu terluka. Meskipun kenyataan begitu adanya. Ditambah beberapa foto pernikahan suamiku yang kuterima kemarin. 

"Mama nggak papa?" tanya anakku. Akupun terkesiap lalu mencoba tersenyum kembali.

"Mama nggak papa. Mama ke kamar dulu ya." ucapku sembari tangan mengusap lembut rambut Rendy. 

Entah apa yang akan terjadi padaku. Pada hatiku, jika foto itu benar nyata adanya. Entah apakah aku akan kuat menghadapinya sendirian.

Aku menutup pintu kamar rapat-rapat berharap Randy tak mendengar isakanku. Tanpa dikomando air mataku tumpah. Aku luruh di lantai kamar. Tanganku membekap erat mulut agar tidak keluar tangis yang begitu perih.

Cobaan apa yang dberikan kepadaku? Aku menjalani mahligai rumah tangga tidaklah sebentar. Cukup lama, dan aku yakin suamiku tidak seperti itu.

Lantas siapa yang ada di balik foto itu? Dan siapa yang sudah mengirimiku foto tersebut?

Kepalaku berdenyut nyeri, dadaku sesak seakan ada bogem besar yang menghantam. Ada luka namun tak berdarah. 

Cukup lama aku menangis. Menangis dalam kesendirian. Meratapi apa yang sudah terjadi. Setia, taat dan juga berbakti. Semua aku jalani dengan ikhlas. Menemani suami dari merintis karir hingga seperti ini. Apakah hanya soal umur? Apakah kesetiaanku padanya tidak berarti lagi?

Apakah aku kurang memuaskan di ranjang? Apakah masakanku tidak pernah mengenyangkan? 

Tuhan, kenapa engkau buka semuanya sekarang. Kenapa di usia pernikahan ini sudah cukup aku banggakan.

Usia pernikahan kami terbilang cukup lama. Cukup lama mengenal satu sama lain. Cukup lama merajut kenangan bersama. Cukup lama membuat semuanya mustahil. Mas Ilham adalah sosok ayah yang baik, perhatian. Dia sosok lelaki yang sempurna. Sosok suami yang kurasa tidak mungkin mendua. Dia lelaki sempurna tanpa cela di mataku.

Namun, semua sirna sudah. Runtuh sudah, kebaikannya, perhatiannya kesempurnaannya, hilang tak berbekas. 

Apakah kamu benar-benar mengkhianatiku, Mas? 

Tok … tok.

"Mama nggak papa?" Lamunanku buyar segera aku menghapus air mata dengan kasar. Mengusap lendir yang mengalir di bawah hidung.

Menatap langit-langit agar bulir itu tak kembali jatuh. 

Ketika mendengar putraku menanyakan keadaanku.

Ceklek

Aku tersenyum, mendapati Rendy tengah berdiri di hadapanku.

"Mama …." Putraku menghamburkan pelukannya kepadaku. Aku lupa, aku lupa bahwa dia bukanlah anak kecil lagi. Dia tidak bisa dibohongi. Tanpa menjawab dan bercerita, dia tahu aku terluka.

Aku kembali menumpahkan perih ini. Dalam pelukan Rendy. Rendymengusap lembut bahuku. Dia tahu bahwa aku tengah terluka. Terlihat dari wajahnya yang menyiratkan kesedihan. Aku tidak sanggup melihat dia bersedih. Namun, aku hanya manusia biasa. Aku juga merasakan apa yang dia rasakan. Aku tidak ingin rumah tangga ini,.pernikahan ini hancur begitu saja.

Aku melonggarkan pelukan Rendy. Mengusap lembut air mata yang jatuh di pipi. Bibir kupaksa tersenyum meski hati tersayat. 

"Mama nggak papa. Mama akan pastikan keluarga kita akan tetap utuh, sayang. Kamu jangan khawatir!" ucapku meyakinkan pada Rendy. Anak itu mengangguk lalu memberikan senyuman. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status