Home / Romansa / RADINKA / Chapter 4. Berantem

Share

Chapter 4. Berantem

last update Last Updated: 2021-09-15 02:43:57

"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka

"Lo gak inget gue," Siswa osis

***

Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum berangkat.

"Lo biar gue anterin aja," kata Diki yang menghampiri Dinka dengan perasaan tidak mau Dinka berangkat sendiri. Karena ia melihat kembali raut wajah Dinka yang tak pernah mau ia lihat lagi. Ya, Raut wajah seperti ketakutan namun berusaha ia sembunyikan.

"Gak usah, gue bawa motor sendiri aja," tolak Dinka.

Diki menghela napas sejenak lalu menatap adiknya, "Lo mimpi buruk lagi ya? inget kejadian yang lalu lagi?" Dinka terdiam sejenak lalu menoleh ke arah kakaknya yang sedang khawatir kepadanya, untungnya orang tuanya berada dalam jarak yang lumayan jauh dan adanya suara bising dari motor membuat Dinka maupun Diki yakin pembicaraan ini tidak didengar oleh orang tuanya.

Tebakan Diki benar membuat Dinka memaksakan diri tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya kembali berusaha menutupi raut takutnya agar orang tuanya tidak mengetahui dan bertanya-tanya.

Walau ditimpa trauma mendalam di masa lalunya, Dinka berusaha menutupi dengan rapih hal itu dari kedua orang tuanya. Gadis itu berusaha senormal mungkin dan seolah tidak terjadi apa-apa, biarlah hanya Diki dan sahabatnya yang tau akan traumanya itu. Ia benar-benar takut orang tuanya menganggapnya aib keluarga dan terjadi hal yang tidak diinginkan dalam keluarganya.

Ditengah kilas balik akan traumanya, Dinka mengingat perkataan Radit kemarin membuat Dinka berpikir dia harus bawa motor sendiri agar tak berurusan dengan Radit lagi. entah benar atau tidaknya perkataan Radit kemarin. Dinka merasa harus selalu berjauhan dengan lawan jenisnya karena takut hal yang ia tidak inginkan terulang kembali.

"Udah biarin Dinka sendiri, lagi pula katanya kamu pagi ini mau bantu ayah berkebun kan?" Ucap ayah Dinka menghampiri dan sudah berada di belakang kedua anaknya.

"Tapi yah, nanti Dinka kan bisa capek kalau bawa motor sendiri, apalagi jalan yang Dinka lewatin itu naik-turun gunung terus," ucap Diki dengan sayang.

"Udah ya, kakakku sayang. Biarin gue bawa motor sendiri dulu hari ini ya. Kalau besok-besok gue lagi males buat bawa motor. Pasti gue minta lo yang nganterin gue. Ok?" seru Dinka memberi perhatian pada Diki.

Lalu Dinka mematikan motornya. Untuk mengambil helm sekalian mencium tangan ayah dan bundanya.

"Ok deh," ucap Diki mengiyakan.

"Ya udah ayah, bunda, Dinka berangkat ya. Kakak gue yang ganteng, adikmu yang cantik ini berangkat ya," ucap Dinka menaiki motornya sambil memakai helmnya.

"Hati-hati di jalan nak," seru ayah.

"Pelan-pelan bawa motor. Jangan ngebut-ngebut," ucap Diki.

"Iya-iya. Berangkat dulu ya," ucap Dinka sambil menghidupkan motornya dan berlalu pergi.

***

Dinka sudah masuk area sekolah. Dari balik helmnya, Dinka melihat banyak orang yang nongkrong di parkiran. Ya para lelaki. Benar-benar pemandangan yang menyebalkan dan mengerikan menurut Dinka.

Dengan motornya Dinka menuju parkiran ternyata di sana ada juga beberapa pengurus OSIS terlihat dari lambang sekolah yang dikhususkan warnanya berbeda dengan siswa lain. Sekedar informasi saja, pengurus OSIS ada di sana guna untuk merapihkan motor yang terparkir. Sekaligus membantu guru piket melihat siswa-siswi yang terlambat.

Dinka yang sudah mendapatkan tempat parkir tidak ingin bergaul dengan banyak orang, berusaha cuek, pura-pura tidak melihat sekitar dan pura-pura tuli. Saat melepaskan helmnya dan membuka bagasi motor untuk menyimpan helmnya, tiba-tiba ada yang menghampiri Dinka dan meletakkan tangannya dengan bebas di sadel motor Dinka.

"Kakak gak denger saya manggil-manggil ya?" ucap seorang siswa menghampiri Dinka, yang Dinka lihat dari lambangnya merupakan Pengurus OSIS.

"Ya? Oh maaf saya gak denger. Kenapa?" ucap Dinka dengan sopan.

"Jangan naruh helm di parkiran kak. Di sini banyak anak nakal. Nanti helmnya dicuri. Mending bawa ke kelas," tutur siswa itu.

Mendengar ucapan siswa itu, Dinka berpikir akan repot membawa helm ke sana ke mari. Pasti ada yang menggosipinya nanti. Kebiasaan anak kota ya takut banget barangnya hilang, sok sok-anYa walaupun itu hanya ada dalam pikiran Dinka.

"Gak papa, kemarin juga saya taruh helm di sini gak papa," ucap Dinka meyakinkan.

Kringggg.... Sepertinya Apel pagi akan dimulai.

"Udah ya kak. Kalau kakak gak mau naruh di kelas mending helmnya kasih ke saya aja. Nanti saya taruh di kantor biar aman," saran siswa itu.

"Gak usah. Gak papa, saya taruh di sini aja," ucap Dinka menolak dengan halus.

"Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan untuk Apel sekarang."

Siswa itu gemas akan tingkah Dinka langsung saja mengambil helm yang masih di pegang Dinka. Siswa itu bergegas menuju kantor. Dinka yang sadar akan itu langsung saja menutup kembali bagasi motor, berlari mengikuti siswa itu yang ternyata berjalan sangat cepat.

Dinka sudah berada di samping siswa itu berusaha untuk menyesuaikan langkahnya, Dinka sadar langkah kakinya membawanya menuju kantor kepala sekolah. Kenapa harus di kantor kepala sekolah? Sambil menatap siswa itu yang sudah memasang wajah datar, Dinka berucap dengan rasa kesalnya.

"Kamu kenapa maksa sih? Kan saya bilang gak usah," cegah Dinka dengan wajah kesalnya.

"Kalau yang kakak khawatirin takut untuk ngambilnya. Nanti saya yang ambilin, pas pulang kakak tinggal tunggu di parkiran aja," ucap siswa itu.

"Sekali lagi, kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan Apel sekarang."

"Aish, terserah kamu aja," Dinka yang sudah jengkel langsung bergegas meninggalkan siswa itu. Bermaksud menuju kelas menaruh tasnya. Lalu bergegas menuju lapangan.

"Kak, nama saya Aryan kelas XI IPA!" teriak siswa itu. Dinka masih mendengarnya, mengatakan dalam hati 'Bodo amat!' melanjutkan langkahnya.

***

Sesuai kata Nada kemarin, setelah kegiatan pasti banyak jam yang kosong. Karena jam kosong, banyak siswa yang memilih keluar kelas sekedar untuk duduk di kursi taman dan ada juga yang pergi ke kantin. Tapi, Dinka hari ini memilih untuk tetap di dalam kelas karena cuaca hari ini begitu terik menyengat kulitnya.

Sambil duduk di kursinya, Dinka memilih memainkan ponselnya. Setelah beberapa lama asyik dengan ponselnya. Tiba-tiba saja Dinka mendengar keributan dari luar ternyata banyak siswa yang berlari menuju satu titik. Gea yang juga ada di dalam kelas memilih tidur di jam kosong ini pun jadi terusik. Gea terbangun langsung berdiri, karena 'kepo'. Dengan suara yang dibesarkan Gea bertanya pada orang yang tepat di depan kelas.

"Ada apa sih?"

"Ada gempa," ucap orang itu sambil berlari.

Walau saat itu tidak merasakan adanya gempa, Dinka langsung saja ikut berlari keluar kelas dan mengikuti kemana orang itu pergi dan Gea juga mengikuti. Aneh memang tapi itu terjadi secara spontan. Selepasnya lari, Dinka tiba-tiba berhenti tepat di depan kelas XII IPS. Ternyata orang-orang yang berlari tadi hanya ingin menyaksikan dua orang yang sedang berkelahi. Ah, Dinka sudah tertipu oleh orang itu 'Dasar usil.' batinnya.

"Aish, gue kira gempa beneran. Ganggu banget padahal gue udah tidur nyenyak tadi," Gea yang juga sudah berada di samping Dinka, berucap dengan kesal.

Tapi pikir Dinka, mengapa tidak sekalian saja ikut melihat selagi sudah di sini. Karena banyak yang berkerumun dan posisi Dinka yang berada di belakang. Membuatnya tak bisa melihat siapa yang sedang berkelahi.

Perkelahian itu tinggal adu mulut dan dorong-dorongan saja. Sepertinya yang baru datang ketinggalan melihat adu jotosnya, itu karena Dinka bisa melihat salah satu dari mereka ada yang babak belur dan Dinka pun tidak mengenali itu siapa. Tapi, walau hanya tinggal adu mulut tidak ada yang mau beranjak dari tempatnya tetap saja menyaksikan. Ingin mengetahui permasalahannya mungkin?

Tak lama kemudian datang guru BK.

"Sudah-sudah kalian yang tidak bersangkutan silahkan bubar."

Setelah guru BK berkata seperti itu, beberapa siswa yang menyaksikan pergi meninggalkan tempat, ya bubar. Kebetulan perkelahian itu berada di depan kelas jadi yang lain tak memikirkan untuk bubar sama seperti Dinka.

Karena beberapa siswa sudah bubar, akhirnya Dinka melihat siswa yang satunya lagi. Tunggu, itu bukannya laki-laki yang menghampiri Dinka kemarin? Ternyata benar dugaan Dinka, laki-laki itu anak yang nakal.

"Raka, Gani, ke ruangan bapak sekarang."

"Tapi Raka yang salah pak!" ucap Gani tak terima. Raka? Dia responnya biasa saja. Mungkin saja dia sudah sering keluar-masuk ruang BK.

"Sudah nanti kamu jelaskan di ruang BK saja," ucap guru tersebut dengan kedua tangan di belakang punggung dan menepuk-nepuk punggung guru itu sendiri dengan kayu rotan yang kebetulan dipegangnya sambil melangkahkan kakinya menuju ruangannya.

Merasa Raka dan Gani tidak mengikutinya dari belakang, sontak saja guru tersebut memberhentikan langkahnya dan berbalik.

"Tunggu apa lagi?" ucap guru tersebut sambil melangkah kembali menuju dimana Raka dan Gani berdiri saling menatap benci.

"Masih perlu saya tuntun lagi?" ucap Guru tersebut sambil menepuk pelan rotan yang dipegangnya ke telapak tangan guru itu sendiri, mendengar hal itu Raka dan Gani sontak saja langsung berjalan dan mengatakan.

"Tidak perlu pak," ucap Gani dengan takut.

"Tidak usah repot-repot pak. Saya bisa jalan sendiri," ucap Raka dengan cepat. Karena tahu apa yang akan Guru BK lakukan setelah berbicara seperti itu.

"Tunggu!" ucap guru tersebut, berjalan sambil merenggangkan kedua tangannya.

"Sini kalian," dan langsung menjewer satu telinga Raka dan Gani sambil melanjutkan langkahnya.

"Aaaa iya pak!"

"Sakit aelah!"

Setelah yang bermasalah dibawa ke ruang BK, tinggallah siswa-siswi yang masih berada di tempat kejadian lebih tepatnya di taman depan kelas XII IPS sembari berbasa-basi.

"Ko? itu mereka kenapa bisa berantem sih?" tanya Gea penasaran kepada salah satu siswa di kelas itu.

"Itu Ge, kelas gue kan disuruh bersih-bersih sama wali kelas. Nah Gani sama Raka dapat bagian untuk nyabut rumput-..." Belum selesai ucapan siswa itu, Gea sudah memotong ucapannya.

"Oo.. Gue tahu. Gani marah sama Raka karena Raka gak ngelakuin tugasnya. Alhasil cuma Gani doang yang nyabut rumput. Benerkan!" seru Gea seolah ia tahu apa yang terjadi.

"Gue belom selesai ngomong!" ucap siswa itu dengan kesal.

"Lah tapi yang gue omongin benerkan?" ucap Gea dengan percaya diri.

"Kurang tepat!" ucap siswa itu.

"Biasa aja kali."

"Terus yang tepat apa?" ucap Dinka yang juga penasaran.

Sepertinya siswa itu tidak memperhatikan adanya Dinka di situ. Sontak saja siswa itu mengeluarkan ekspresi kagetnya.

"Astaga, gue kira lo hantu..." ucap siswa itu sambil memalingkan wajahnya.

Tidak heran jika siswa itu mengira hantu, karena Dinka berdiri di sampingnya dengan rambut hitamnya yang panjang terurai.

"Yang tepatnya itu, kata Gani gak masalah sebenernya kalau Raka gak ngebantu dia. Asalkan Raka gak ganggu yang lain lagi kerja. Soalnya Gani tahu watak Raka tuh kayak gimana. Susah banget buat disuruh bersih-bersih kelas," jelas siswa itu.

"Terus?" tanya Gea.

"si Gani kan lagi nyabut rumput yang tinggal dikit lagi udah selesai, tiba-tiba aja Raka yang lagi lari-lari terus gak sengaja nendang rumput yang udah dicabut terus dikumpulin sama Gani. Alhasil kehambur lagi."

"Terus mereka berantem, gitu?" tanya Dinka.

Siswa itu mengangguk menyetujui.

"Iya. Gimana gak jengkel juga si Gani. Raka gak minta maaf sama sekali sama Gani yang udah kepanasan kerja di bawah teriknya matahari nyabut rumput. Malahan Raka masih sempet mau lari-lari lagi," ucap siswa itu dengan memberhentikan penjelasannya untuk menghela nafasnya sejenak.

"Terus Gani panggil si Raka. Dan terjadi lah kayak yang tadi," lanjut siswa itu.

"Oh, sampe segitunya diberantemin," lanjut Gea dengan suara kecil dan Dinka mengangguk menyetujui.

'Anak nakal' Ucap Dinka dalam hati.

"Yaudah, makasih yaudah ngejelasin. Gue balik kelas dulu. Yuk Din kita ke kelas," ujar Gea sambil menarik tangan Dinka.

"Iya," seru Dinka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RADINKA   Chapter 23. Pergi Menjauh

    Dinka menundukkan kepalanya menerima lemparan demi lemparan telur yang tertuju padanya, orang-orang yang melempari beberapa namun banyak yang ikut mengerumuni, mereka melakukan itu karena menganggap Dinka hanyalah pengganggu."Cuma titipan tapi sok ngelabrak Vania!""Lo bukan apa-apanya dibanding Vania!""Dibaikin ngelunjak!""Lepas jaket lo penyakitan!"Woi!" Radit menembus kerumunan diikuti Jayden, Radit menatap sejenak pada Vania sembari menghela napas lalu menatap kerumunan."Woo!""Pahlawannya dateng!""Kalian bisa gak sih gak ngebully orang?! Kalian gak tau maksud dibelakangnya! Gak usah sok tau! dan gak usah sok ngebela dan nyudutin orang lain!" Geram Radit menatap satu per satu pelaku yang melempari Dinka menggunakan telur.Radit menatap ke belakangnya melihat Dinka yang saat ini sedang pegang bahunya oleh Jayden, Radit memang berdiri menghalangi teman-temannya yang melempar Dinka berusaha menutup

  • RADINKA   Chapter 22. Mundur dan Mengalah

    Setelah tiga hari dirawat, Dinka memaksakan diri untuk ingin pulang. Bunda gadis itu pun yang ikut melihat perkembangan dan menjaga saat Dinka dirawat pun memilih mengiyakan Dinka untuk pulang ke rumah dari pada mendapat tatapan iba dari teman-teman kerjanya di puskesmas yang bisa saja mengganggu ketenangan Dinka.Diki yang hari itu memilih menunggu di rumah menyambut kepulangan adiknya dengan senyum serta tatapan hangat, saat Dinka menapakkan kakinya di halaman rumah, kakak gadis itu langsung berjalan cepat padanya memberikan pelukan kasih sayang pada gadis itu. Tidak ada yang boleh menyakiti adiknya.Diki tau tatapan takut Dinka pada ayahnya sendiri masih ada walaupun hari sebelumnya ayahnya sudah meminta maaf dan berakhir menangis bersama antara keluarga itu, karena itu jugalah Diki memilih mengalihkan perhatian ketakutan Dinka denga

  • RADINKA   Chapter 21. Trauma dan Berubah

    Setelah diberikan izin oleh Jayden, Radit melangkah masuk ke ruang rawat Dinka, "Din, H-Hai.." sapa canggung Radit karena takut-takut akan membuat Dinka merasa tidak nyaman akan kehadirannya. Berbeda seperti biasanya, Radit melihat Dinka yang sekarang bukanlah Dinka yang ia temui sebelumnya, tatapan gadis itu seperti kosong tak ada maksud. Radit dengan perlahat mendekat sembari menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun tetap, hal yang ia dapatkan hanyalah kebisuan dalam ruangan itu, kedipan mata Dinka pun seperti tak memiliki arti manusia yang ingin melanjutkan hidupnya. Sangat kosong dan benar-benar kosong. Sama halnya saat tatapan Dinka melempar ke arah luar, Jayden yang sengaja mengintip dan mendapatkan tatapan seperti itu dari Dinka pun merasakan bahwa tatapan gadis itu hanyalah refleks tubuhnya tanpa terbawa perasaan apapun, seperti perasaan bernyawa namun terkesan mati. "Hai Din," sapa Radit lagi kepada Dinka yang tetap menatapnya diam. Radit tetap

  • RADINKA   Chapter 20. Jenguk Dia

    Sampai di rumah dengan cepat ayahnya mematikan motor dan mulai menarik kasar tangan Dinka untuk masuk ke dalam dapur, Dinka mulai ketakutan melihat ayahnya yang tak menunjukan wajah ramah seperti biasanya kepadanya.Plak!Terdengar suara tamparan berasal dari tangan sang ayah yang tak pernah menampar anak-anaknya itu. Dinka yang dihadiahi tamparan itu merasa kaget, dan langsung meneteskan air mata saking kuat dan sakitnya tamparan ayahnya.Bahkan tiga orang, Bunda, Jayden dan Diki yang berada di ruang tamu terkaget akan kejadian yang cepat terjadi itu."A-Ayah," ucap Diki ikut ketakutan melihat Dinka yang ditampar oleh ayahnya yang mulai menampakkan wajah beringasnya. Ayah dua anak itu mengabaikan ucapan Diki.Dinka yang tertunduk menahan tangis yang rasanya mulai meluruh akan tindakan ayahnya tidak pernah sekalipun marah kepadanya."Ayah gak pernah sekalipun ajar

  • RADINKA   Chapter 19. Luka Dinka

    "Andra lo nggak sadar sama apa yang udah lo lakuin ke gue? Bukan lo yang tersakiti disini tapi gue, jadi jangan seolah-olah elo yang jadi korban!" ucap Dinka menunjuk dirinya sendiri dengan suara yang mulai hilang.Andra yang sebenarnya juga tidak kuat kuasa menahan dan mendengar suara lirih Dinka mulai mengusak-usakan rambutnya ke belakang."Apa?!" tegas Andra. Andra menarik napasnya sebelum mengangkat bicara lagi."Apa yang gue nggak ngerti disini?! apa yang nggak gue sadar?! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo jalan sama Jordan! Sepupu gue sendiri Dinka! Bahkan di jalan gue lihat lo pelukan sama dia, lo selingkuh Din! dasar murahan!" ucap Andra menahan suaranya agar tidak membesar dan didengar oleh orang-orang."Andra," ucap Dinka sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak lalu mulai mencoba berani menatap Andra dan dirinya sungguh-sungguh ingin menuntaskan percakapan ini walau dirinya

  • RADINKA   Chapter 18. Hurt

    Setelah Jayden dan Dinka membersihkan diri, semuanya berkumpul di ruang makan mereka menyantap makan malam bersama dengan tenang. Sementara ayah saat melihat jika santapan makan malam itu sudah hampir tandas, kepala rumah tangga itu mulai mengangkat bicara dan mengatakan pada Dinka."Dek? Besok kamu ikut ayah ke rumah temen ayah ya? yang anaknya yang seumuran kamu itu, siapa ya namanya? kok ayah lupa."Orang yang diajak bicara oleh ayah tersedak karena merasa kaget akan mengucapkan sang ayah, bukan hanya Dinka melainkan Diki dan juga Jayden merasa kaget akan hal itu.Sedangkan bunda yang mengetahui rencana ayah untuk mengajak Dinka silahturahmi ke teman lama sekaligus senior saat kuliah suaminya itu hanya ikut terdiam. Walaupun mulai terburu-buru berusaha untuk mengambil air minum dan memberikannya kepada Dinka karena Dinka yang sedang tersedak."Maksud Ayah, kita ke rumah Andra?" tanya Dinka setelah meras

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status