Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh.
“Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?”
Ratu tak perlu berbasa-basi sekarang. Sudah banyak waktu yang terbuang atas nama basa-basi demi mengikuti perasaan Reksa selama ini. Ia harus menuntaskan masalah mereka. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Ka-kamu ada di Mempawah?” Reksa kaget, suaranya terdengar dua kali lebih berat.
“Kenapa? Kamu ada disini, kan?” pancing Ratu.
“Eng… Ngapain kamu ke Mempawah? Ada urusan apa?” Reksa tak perlu lagi menahan segalanya dalam dada.
“Kita perlu bicara, Sa. Sudah lama kamu diam dan membuat aku tak tahan dengan berbagai pertanyaan tak terjawab yang bermunculan dibenakku selama ini.”
“Ratu, aku…”
“Reksa please… Sampai kapan kamu terus-terusan menghindari aku seperti ini?” Ratu berusaha menahan emosinya.
Reksa diam.
“Baik. Sekarang katakan dimana posisi kamu?” tanya Ratu, tegas. Kini ia harus diikuti, bukan mengikuti, tekadnya.
Reksa akhirnya menyerah. “Oke. Aku sekarang ada di radio Gantara AM, jalan Chandramidi.”
“Kamu share loc, sekarang,” pinta Ratu mengakhiri telepon.
Ratu lantas menyimpan ponselnya diatas tatakan HP yang ada dashboard, Ia kembali memacu mobilnya, meluncur ke jalan Chandramidi sesuai lokasi yang dibagi sama Reksa. Walau jarang mengunjungi Kota Bestari ini, tapi Ratu yakin bisa menemukan alamat yang dimaksud. Lagipula tak susah untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan radio Gantara AM, karena Mempawah adalah kota kecil yang akses alamatnya sangat mudah untuk dilacak keberadaannya.
Saat mobilnya tiba di halaman radio Gantara AM, Ratu terkejut. Apakah lokasi yang dibagikan Reksa keliru? Apa ia tersesat? Jika benar lokasinya, apakah Reksa benar-benar bekerja di tempat ini? Setelah mematikan mesin mobilnya, Ratu tak segera keluar. Ia masih tercenung sembari menatap bangunan yang ada di depan matanya lekat-lekat dari kabin mobil. Tak sadar Ratu bergumam dalam hati. Bentuk fisiknya sangat jauh dari kata sebuah studio radio, apalagi sekelas Galaxy FM yang mentereng, tempat dimana dulu Reksa bernaung. Sudah bisa ketebak, program-program apa saja yang tersaji di radio ini. Dan Ratu tak mau repot-repot memikirkannya. Ia kemudian keluar dari mobil dengan langkah setengah ragu.
Saat Ratu masuk, Reksa sudah selesai siaran. Cowok jangkung itu sedang berdiri di depan pintu, seakan menanti kedatangan Ratu di tempat barunya ini. Dari tadi sikapnya terus-terusan gelisah melihat keberadaan Ratu. Asap rokok terus mengepul di mulutnya. Mereka kemudian ngobrol di ruang tamu. Keadaan radio yang sepi membuat mereka leluasa bicara. Dari sikap yang ditampilkan Reksa, kentara sekali kalau ia malu dengan keadaannya sekarang.
“Kenapa sih kamu sepertinya menghindar dari aku?” Ratu tak kuasa menahan emosinya. Cowok itu sudah keterlaluan. Sekarang ia harus menerima ganjaran.
“Aku bukannya menghindar, Ra. Tapi aku…”
“Kamu jangan jadi pengecut, Sa…” potong Ratu.
“Tolong kamu mengerti. Seandainya saja kamu yang menjadi aku…”
“Aku mengerti. Tapi jangan itu dijadikan alasan untuk membuat jarak diantara kita,” sesal Ratu. Matanya kini berkaca-kaca.
“Ratu dengar!” Reksa lantas mendekat dan duduk di samping Ratu, menggenggam tangan gadis itu. “Aku perlu waktu untuk sendiri,” bisiknya.
“Kenapa?” tanya Ratu. Airmata kini membanjiri wajahnya.
“Kamu jangan membuat aku ikut-ikutan sedih, dong,” pujuk Reksa sambil menyeka airmata Ratu. Namun sikap lembutnya malah membuat Ratu kian tergugu.
“A-aku bingung dengan sikap kamu, Sa,” isak Ratu.
“Ratu tolong mengerti aku. Setelah apa yang menimpa keluargaku, aku limbung. Aku malu dan minder sama semua orang terutama sama kamu.”
“Sa... Kamu nggak perlu berpikiran seperti itu. Aku ini pacar kamu. Kamu bisa berbagi sama aku kalau kamu mau,” rajuk Ratu, terus terisak.
Reksa menggeleng. “Nggak Ratu! Aku nggak akan sanggup mengungkap kebobrokan keluargaku sendiri, walau sama kamu sekalipun.”
“Bagiku itu bukan kebobrokan, Reksa. Itu nasib.”
“Apapun namanya, yang pasti hal itu sudah membunuh hidupku.”
“Tapi bukan berarti kamu harus mengabaikan aku, kan?”
“Aku nggak mengabaikan kamu, Ratu… Sama sekali enggak,” bisik Reksa lembut.
“Tapi mengapa semua panggilanku nggak pernah kamu jawab? WA, bahkan telepon pun nggak kamu angkat. Aku bingung, Sa. Tolong ngertiin perasaan aku,” Ratu kembali menangis.
Reksa meraih kepala Ratu dan mendekapnya di dada.
“Ssstttt… Jangan menangis, dong. Aku mengerti perasaan kamu. Yang tak kumengerti adalah perasaanku sendiri,” bisik Reksa. Suaranya terdengar serak seperti menahan tangis.
Ratu terkesiap. Kepalanya terangkat, menatap wajah Reksa. “Maksud kamu?”
“Aku bukan Reksa yang dulu, Ra. Aku nggak akan bisa membahagiakan kamu.”
“Bagiku kamu tetap Reksa yang dulu. Keadaan keluargamu tak mengubah perasaanku padamu,” tegas Ratu, seakan memberi suntikan semangat pada Reksa, padahal itu untuk dirinya.
“Tapi kini aku merasa kerdil, Ra. Apa kata keluargamu, orangtuamu, kalau mereka tahu hubungan kita. Apalagi tahu keadaan keluargaku?”
“Orangtuaku memang belum tahu hubungan kita. Tapi kalau pun mereka tahu tentang keluargamu, kurasa mereka tak sepicik apa yang kamu bayangkan, Sa. Mereka pasti memaklumi dan bisa mengerti kalau itu hanyalah musibah dan bukan kesalahan kamu,” yakin Ratu. Padahal dalam hatinya terdalam, ia sendiri meragukan ucapannya.
“Tapi… Tapi kepercayaan diriku telah musnah, Ra. Peristiwa itu berhasil melumpuhkan kepercayaan diriku.”
“Jadi kamu mau terus-terusan seperti ini? Membunuh hatiku secara perlahan?”
“Ratu, please… Beri aku waktu,” pinta Reksa.
“Sampai kapan?” desak Ratu.
“Entahlah… Aku…” Reksa bingung. Ia lantas melepaskan pelukannya pada Ratu dan berdiri membelakangi gadis itu. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok lagi, coba mengusir perasaan sesak yang dari tadi tak mau juga hilang dari relung hatinya.
“Mana Reksa yang penuh semangat dulu?” erang Ratu.
“Reksa yang dulu telah mati, Ra. Papaku yang telah membunuhnya,” desah Reksa sambil menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat.
“Reksa! Kamu jangan bilang seperti itu.” Ratu kemudian berdiri, menggapai bahu Reksa yang membeku. “Kamu harus bangkit!”
“Jangankan untuk bangkit, beranjak saja aku rasanya tak sanggup.”
“Reksa! Kenapa kamu jadi seperti ini?”
“Maaf, Ratu. Sebaiknya kamu lupakan aku,” pinta Reksa dengan suara lirih. Sama dengan Ratu, Reksa sebenarnya juga sedih. Dan kalau boleh memilih, ia juga tak mau keadaan menjadi seperti ini. Ini seperti buah simalakama yang mau tak mau mesti ditelannya.
“Reksa…?” Ratu tak bisa berkata-ata lagi. Hanya dapat menatap gamang pada Reksa.
“Lupakan aku, Ra…” bisik Reksa namun terdengar seperti perintah.
Ratu terluka. Tak sadar ia berteriak. “Kamu jahat, Sa! Jahaaat…”
Ratu kemudian beranjak meninggalkan Reksa, melangkah tergesa-gesa masuk kedalam mobilnya tanpa sudi lagi menoleh kearah cowok yang sekarang dibenci sekaligus dikasihinya itu. Reksa hanya memandang kepergian Ratu dengan tatapan hampa tanpa berniat untuk menenangkan gadis itu apalagi mencegah kepergiannya. Dan saat mobil Ratu meninggalkan pekarangan radio, tak sadar airmata Reksa menetes di pipinya.
***Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g