Share

BAB 05 : Lupakan Aku, Ratu

            Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh.

            “Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?” 

            Ratu tak perlu berbasa-basi sekarang. Sudah banyak waktu yang terbuang atas nama basa-basi demi mengikuti perasaan Reksa selama ini. Ia harus menuntaskan masalah mereka. Sekarang atau tidak sama sekali.

            “Ka-kamu ada di Mempawah?” Reksa kaget, suaranya terdengar dua kali lebih berat.

            “Kenapa? Kamu ada disini, kan?” pancing Ratu.

            “Eng… Ngapain kamu ke Mempawah? Ada urusan apa?” Reksa tak perlu lagi menahan segalanya dalam dada.

            “Kita perlu bicara, Sa. Sudah lama kamu diam dan membuat aku tak tahan dengan berbagai pertanyaan tak terjawab yang bermunculan dibenakku selama ini.”

            “Ratu, aku…”

            “Reksa please… Sampai kapan kamu terus-terusan menghindari aku seperti ini?” Ratu berusaha menahan emosinya.

            Reksa diam. 

            “Baik. Sekarang katakan dimana posisi kamu?” tanya Ratu, tegas. Kini ia harus diikuti, bukan mengikuti, tekadnya.

            Reksa akhirnya menyerah. “Oke. Aku sekarang ada di radio Gantara AM, jalan Chandramidi.”

            “Kamu share loc, sekarang,” pinta Ratu mengakhiri telepon.

            Ratu lantas menyimpan ponselnya diatas tatakan HP yang ada dashboard, Ia kembali memacu mobilnya, meluncur ke jalan Chandramidi sesuai lokasi yang dibagi sama Reksa. Walau jarang mengunjungi Kota Bestari ini, tapi Ratu yakin bisa menemukan alamat yang dimaksud. Lagipula tak susah untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan radio Gantara AM, karena Mempawah adalah kota kecil yang akses alamatnya sangat mudah untuk dilacak keberadaannya. 

            Saat mobilnya tiba di halaman radio Gantara AM, Ratu terkejut. Apakah lokasi yang dibagikan Reksa keliru? Apa ia tersesat? Jika benar lokasinya, apakah Reksa benar-benar bekerja di tempat ini? Setelah mematikan mesin mobilnya, Ratu tak segera keluar. Ia masih tercenung sembari menatap bangunan yang ada di depan matanya lekat-lekat dari kabin mobil. Tak sadar Ratu bergumam dalam hati. Bentuk fisiknya sangat jauh dari kata sebuah studio radio, apalagi sekelas Galaxy FM yang mentereng, tempat dimana dulu Reksa bernaung. Sudah bisa ketebak, program-program apa saja yang tersaji di radio ini. Dan Ratu tak mau repot-repot memikirkannya. Ia kemudian keluar dari mobil dengan langkah setengah ragu.

            Saat Ratu masuk, Reksa sudah selesai siaran. Cowok jangkung itu sedang berdiri di depan pintu, seakan menanti kedatangan Ratu di tempat barunya ini. Dari tadi sikapnya terus-terusan gelisah melihat keberadaan Ratu. Asap rokok terus mengepul di mulutnya. Mereka kemudian ngobrol di ruang tamu. Keadaan radio yang sepi membuat mereka leluasa bicara. Dari sikap yang ditampilkan Reksa, kentara sekali kalau ia  malu dengan keadaannya sekarang.

            “Kenapa sih kamu sepertinya menghindar dari aku?” Ratu tak kuasa menahan emosinya. Cowok itu sudah keterlaluan. Sekarang ia harus menerima ganjaran.

            “Aku bukannya menghindar, Ra. Tapi aku…”

            “Kamu jangan jadi pengecut, Sa…” potong Ratu.

            “Tolong kamu mengerti. Seandainya saja kamu yang menjadi aku…”

            “Aku mengerti. Tapi jangan itu dijadikan alasan untuk membuat jarak diantara kita,” sesal Ratu. Matanya kini berkaca-kaca.

            “Ratu dengar!” Reksa lantas mendekat dan duduk di samping Ratu, menggenggam tangan gadis itu. “Aku perlu waktu untuk sendiri,” bisiknya.

            “Kenapa?” tanya Ratu. Airmata kini membanjiri wajahnya.

            “Kamu jangan membuat aku ikut-ikutan sedih, dong,” pujuk Reksa sambil menyeka airmata Ratu. Namun sikap lembutnya malah membuat Ratu kian tergugu.

            “A-aku bingung dengan sikap kamu, Sa,” isak Ratu.        

            “Ratu tolong mengerti aku. Setelah apa yang menimpa keluargaku, aku limbung. Aku malu dan minder sama semua orang terutama sama kamu.”

            “Sa... Kamu nggak perlu berpikiran seperti itu. Aku ini pacar kamu. Kamu bisa berbagi sama aku kalau kamu mau,” rajuk Ratu, terus terisak.

            Reksa menggeleng. “Nggak Ratu! Aku nggak akan sanggup mengungkap kebobrokan keluargaku sendiri, walau sama kamu sekalipun.”

            “Bagiku itu bukan kebobrokan, Reksa. Itu nasib.”

            “Apapun namanya, yang pasti hal itu sudah membunuh hidupku.”

            “Tapi bukan berarti kamu harus mengabaikan aku, kan?”

            “Aku nggak mengabaikan kamu, Ratu… Sama sekali enggak,” bisik Reksa lembut.

            “Tapi mengapa semua panggilanku nggak pernah kamu jawab? WA, bahkan telepon pun nggak kamu angkat. Aku bingung, Sa. Tolong ngertiin perasaan aku,” Ratu kembali menangis.

            Reksa meraih kepala Ratu dan mendekapnya di dada.

            “Ssstttt… Jangan menangis, dong. Aku mengerti perasaan kamu. Yang  tak kumengerti adalah perasaanku sendiri,” bisik Reksa. Suaranya terdengar serak seperti menahan tangis.

            Ratu terkesiap. Kepalanya terangkat, menatap wajah Reksa. “Maksud kamu?”

            “Aku bukan Reksa yang dulu, Ra. Aku nggak akan bisa membahagiakan kamu.”

            “Bagiku kamu tetap Reksa yang dulu. Keadaan keluargamu tak mengubah perasaanku padamu,” tegas Ratu, seakan memberi suntikan semangat pada Reksa, padahal itu untuk dirinya.

            “Tapi kini aku merasa kerdil, Ra. Apa kata keluargamu, orangtuamu, kalau mereka tahu hubungan kita. Apalagi tahu keadaan keluargaku?”

            “Orangtuaku memang belum tahu hubungan kita. Tapi kalau pun mereka tahu tentang keluargamu, kurasa mereka tak sepicik apa yang kamu bayangkan, Sa. Mereka pasti memaklumi dan bisa mengerti kalau itu hanyalah musibah dan bukan kesalahan kamu,” yakin Ratu. Padahal dalam hatinya terdalam, ia sendiri meragukan ucapannya.

            “Tapi… Tapi kepercayaan diriku telah musnah, Ra. Peristiwa itu berhasil melumpuhkan kepercayaan diriku.”

            “Jadi kamu mau terus-terusan seperti ini? Membunuh hatiku secara perlahan?”

            “Ratu, please… Beri aku waktu,” pinta Reksa. 

            “Sampai kapan?” desak Ratu.

            “Entahlah… Aku…” Reksa bingung. Ia lantas melepaskan pelukannya pada Ratu dan berdiri membelakangi gadis itu. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok lagi, coba mengusir perasaan sesak yang dari tadi tak mau juga hilang dari relung hatinya.

            “Mana Reksa yang penuh semangat dulu?” erang Ratu.

            “Reksa yang dulu telah mati, Ra. Papaku yang telah membunuhnya,” desah Reksa sambil menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. 

            “Reksa! Kamu jangan bilang seperti itu.” Ratu kemudian berdiri, menggapai bahu Reksa yang membeku. “Kamu harus bangkit!”

            “Jangankan untuk bangkit, beranjak saja aku rasanya tak sanggup.”

            “Reksa! Kenapa kamu jadi seperti ini?”

            “Maaf, Ratu. Sebaiknya kamu lupakan aku,” pinta Reksa dengan suara lirih. Sama dengan Ratu, Reksa sebenarnya juga sedih. Dan kalau boleh memilih, ia juga tak mau keadaan menjadi seperti ini. Ini seperti buah simalakama yang mau tak mau mesti ditelannya.

            “Reksa…?” Ratu tak bisa berkata-ata lagi. Hanya dapat menatap gamang pada Reksa.

            “Lupakan aku, Ra…” bisik Reksa namun terdengar seperti perintah.

            Ratu terluka. Tak sadar ia berteriak. “Kamu jahat, Sa! Jahaaat…” 

            Ratu kemudian beranjak meninggalkan Reksa, melangkah tergesa-gesa masuk kedalam mobilnya tanpa sudi lagi menoleh kearah cowok yang sekarang dibenci sekaligus dikasihinya itu. Reksa hanya memandang kepergian Ratu dengan tatapan hampa tanpa berniat untuk menenangkan gadis itu apalagi mencegah kepergiannya. Dan saat mobil Ratu meninggalkan pekarangan radio, tak sadar airmata Reksa menetes di pipinya.

                              ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status