Share

RAHASIA CALON MERTUA
RAHASIA CALON MERTUA
Penulis: Reinee

PART 1

[Dek, nanti bisa tolong mampir ke rumah sebentar nggak sepulang kerja?]

 

Pesan dari Mas Alvin, calon suamiku, yang terkirim ke ponselku pagi ini saat aku baru saja tiba di kantor tempatku bekerja.

 

[Ke rumah Mas Alvin? Memangnya ada apa, Mas?] 

 

[Aku hari ini ada lembur mendadak, mungkin pulang malam. Padahal tadi aku udah janji sama bapak mau nganterin periksa ke dokter. Kamu bisa kan gantiin mas anterin bapak?]

 

[Ooh, iya bisa. Memangnya bapak sakit apa, Mas? Trus, periksa ke dokter mana?]

 

Dan Mas Alvin pun menuliskan alamat praktek si dokter tempat biasa calon bapak mertuaku memeriksakan sakit lambungnya yang katanya memang sering bermasalah.

 

Karena takut terlambat membawa calon bapak mertuaku ke dokter, sore itu pun aku pulang sedikit lebih awal dan langsung meluncurkan mobilku ke rumah orang tua Mas Alvin yang jaraknya lumayan jauh dari kantor tempatku bekerja. 

 

Sesampainya di sana, seorang wanita paruh baya segera menyambutku ketika melihat mobilku baru saja terparkir di halaman rumah. Dia adalah calon ibu mertuaku, usianya memang sudah di atas kepala 5 tapi penampilannya masih seperti anak muda.

 

"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku ketika turun dari mobil. 

 

"Eh, Mbak Nana. Kok tumben ke sini?" 

 

"Iya, Bu. Tadi Mas Alvin minta tolong Nana buat nganter bapak ke dokter. Apa bapaknya sudah siap?" tanyaku setelah mencium punggung tangannya dengan takzim.

 

"Ooh, gitu. Iya, iya, sudah kok. Yuk masuk dulu!" ajaknya. Di ruang tamu, aku lihat calon adik ipar perempuanku sedang asik mengobrol dengan istri adiknya Mas Alvin.

 

"Eh, Mbak Nana," ucap mereka kompak, lalu keduanya pun menyambutku dengan pelukan hangat.

 

Mas Alvin memang anak sulung dari tiga bersaudara. Dia memiliki satu adik laki-laki yang sudah menikah dan adik bungsu perempuan yang masih kuliah semester akhir. 

 

Mas Alvin baru memutuskan akan menikah di usianya yang hampir 30 tahun ini karena dia lebih mementingkan membiayai hidup orang tuanya dan kuliah kedua adiknya dibanding kehidupan pribadinya. Dia pun tidak keberatan saat adik lelakinya mendahuluinya menikah sesaat setelah adiknya itu lulus kuliah. 

 

"Dian, Mbak Nana mau ngantar bapak periksa, sana gih suruh bapak siap-siap dulu ganti baju," perintah calon ibu mertuaku pada adik bungsu mas Alvin sesaat setelah aku duduk.

 

"Kenapa nggak Ibu aja sih? Aku lagi seru nih ngobrol sama mbak Vita," sahut adik bungsu Mas Alvin yang segera kembali duduk berdempet dengan kakak iparnya di sofa ruang tamu lagi. 

 

"Huuh, anak ini disuruh malah ganti nyuruh orang tua," kata wanita paruh baya itu setengah mengomel, lalu segera masuk ke dalam kamar. "Tunggu sebentar ya, Mbak Nana," pamitnya padaku.

 

"Iya, Bu," sahutku sedikit tak enak hati. 

 

Sebenarnya ada banyak orang di rumah ini, tapi kenapa tugas mengantar periksa harus dilakukan juga oleh mas Alvin? Apa yang lainnya tidak bisa? Aku merasa sedikit keheranan. Kalau cuma butuh mobil untuk bisa mengantar orang tua yang sudah sepuh, kan sekarang sudah banyak taksi online yang bisa dipanggil? 

 

Sebenarnya bukannya ingin menggerutu. Tapi, agak aneh saja ada orang sebanyak ini di rumah tapi tak ada yang bisa melakukan pekerjaan itu. 

 

Tak lama kemudian bapak pun sudah siap dengan kemeja batik dan celana panjangnya. Lalu aku berjalan mengiringinya menuju mobil bersama ibu. Sementara itu, adik dan ipar mas Alvin masih saja sibuk dengan obrolan mereka di ruang tamu. 

 

Aku mendesah saat sampai di dalam mobil menyadari hal itu. Apalagi saat ternyata calon ibu mertuaku itu pun tidak ikut mengantar bapak ke dokter. Jadilah aku sendirian yang mengantar calon bapak mertuaku itu periksa.

.

.

.

Dengan hati penuh tanya akhirnya aku pun menyelesaikan tugas dari Mas Alvin. Sebelum adzan maghrib aku sudah membawa bapak pulang kembali ke rumah. Lumayan, biaya periksa dan obat calon bapak mertuaku itu habis hampir setengah juta. Dan aku mengeluarkan uang itu dari dompetku sendiri, karena memang tidak ada orang di rumah mas Alvin tadi yang ikut bersamaku.

 

Saat kemudian kembali di rumah Mas Alvin, ibu sudah menyuguhiku minuman hangat dan sekaleng biskuit. Lalu selepas adzan maghrib, aku pun segera berpamitan agar bisa sholat maghrib di rumah. 

 

Namun baru saja ingin masuk ke dalam mobil, calon ibu mertua ternyata menyusulku dengan tergopoh-gopoh.

 

"Mbak Nana, tunggu sebentar! Ibu mau bicara," katanya dengan nada sedikit gugup. 

 

"Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran, urung membuka pintu mobil yang sudah kupegang handlenya.

 

"Ini Mbak, anu. Ibu mau minta tolong, boleh?" tanyanya sedikit ragu.

 

"Mau minta tolong apa, Bu? Insya Allah kalau Nana bisa, Nana akan bantu."

 

Jujur saja, aku baru tiga kali ini datang ke rumah calon mertuaku ini. Pertama, saat Mas Alvin mengajakku berkenalan dengan keluarganya. Dan kedua, saat aku dan orang tuaku datang untuk bersilaturahmi dan menentukan tanggal pernikahan kami setelah keluarganya datang ke rumahku untuk melamar. 

 

Berbeda dengan Mas Alvin yang memang sudah lama kukenal karena dia adalah kakak tingkatku saat kuliah, keluarganya satu pun belum ada yang pernah kukenal. 

 

Aku dan Mas Alvin dipertemukan kembali beberapa tahun setelah kami lulus dari kuliah. Dan saat itulah kami baru menjalin hubungan yang langsung serius memutuskan untuk ke jenjang pernikahan. Aku tak ragu menerima lamaran Mas Alvin karena aku tahu bagaimana reputasinya di kampus waktu itu. Seorang mahasiswa yang cerdas, pekerja keras, dan tidak terlalu banyak bergaul dengan lawan jenis. 

 

"Eee, ini Mbak Nana. Anu ... ibu ada sedikit keperluan mendesak. Boleh nggak kalau ibu pinjem uang mbak Nana dulu sedikit? Minggu depan ibu kembalikan, soalnya minggu depan ibu kan dapat arisan," katanya setengah berbisik. Entah kenapa dia bicara berbisik seperti itu padahal tidak ada seorangpun yang dekat dengan tempat kami berbicara. 

 

"Oooh," jujur aku shock. Calon mertuaku meminjam uang? Ini benar-benar aneh menurutku. Seharusnya kan dia menjaga image sebagai calon mertua, tapi kenapa justru ini? 

 

Tak ingin berprasangka buruk, mungkin dia memang sedang ada keperluan mendesak. Hingga aku pun segera bertanya. 

 

"Kalau boleh tau, berapa ya, Bu?"

 

"Lima juta saja, Mbak. Minggu depan pasti ibu balikin," katanya dengan pasti. 

 

Alamaaak, Lima juta? Itu besar bagiku.  Meskipun aku sebenarnya juga punya tabungan, tapi tak urung bertanya juga, untuk apa calon ibu mertuaku ini meminjam uang sebanyak itu? Padahal setahuku, biaya hidup di rumah ini sudah ditanggung oleh Mas Alvin dan adik laki lakinya. Lalu untuk apa ibuku yang hanya seorang IRT itu butuh uang sebanyak itu?

 

"Ada kan, Mbak?" Wanita itu bertanya lagi, membuyarkan pikiranku yang sedikit kacau karena permintaan tolongnya. 

 

"Iya, Bu, ada kok, tapi di rekening. Atau besok saja saya ke sini lagi?" saranku.

 

"Oh gini aja, Mbak. Saya kasih nomer rekeningnya Dian ya, nanti mbak Nana transfer saja ke sana?" katanya tanpa malu-malu.

 

Karena tak ingin terus berprasangka buruk, aku pun mengiyakan saja usulannya. Lalu dia pun masuk kembali ke rumah dan kembali dengan sesobek kertas bertuliskan nomer rekening Dian.

 

"Nanti saya transfer setelah sampai rumah ya, Bu. InsyaAllah," kataku kemudian.

 

"Bener ya, Mbak. Ibu tunggu lho. Ibu janji kok,  minggu depan Ibu sudah kembalikan. Terima kasih banyak ya, Mbak Nana. Dan tolong banget jangan bilang sama Alvin ya kalau Ibu pinjam uang ke mbak Nana? Takutnya nanti dia malu."

 

Hah? Kenapa begitu? Kenapa aku tidak boleh bilang ke Mas Alvin? Ada apa sebenarnya dengan calon ibu mertuaku ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
pinjam uang sebagai dasar kasih Sayang selama ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status