Share

Rumah Amel

Sore harinya, aku bergegas mengantar Amel pulang. Sengaja aku membawa berbagai cemilan dari rumah, karena aku yakin, Amel tak memilikinya.

Bukan bermaksud menghina, hanya saja aku sering kali secara tak sengaja mendengar dari mulut kecilnya, tiap kali mengobrol dengan Panji. Semisal dia tak memiliki makanan ringan di rumahnya.

Miris memang, hanya saja aku juga tak menyukai dengan hubungan anakku dan Amel. Karena memang usia mereka masih remaja dan aku takut terjadi hal yang tak diinginkan menimpa keduanya.

"Kok, malah diem aja, sih! Ayo, naik!"

Aku yang sudah berada di dalam mobil, segera memanggil Amel yang masih mematung di teras.

Pandangan mata Amel sedikit kosong. Malahan aku sudah bosan menunggu, karena dia tak kunjung selesai mengikat tali sepatu lusuh miliknya.

"I-iya, Tante."

Gegas Amel bangkit dari posisi duduknya, kemudian berlari kecil ke arahku. Lagi-lagi Amel terdiam di samping mobilku, seperti orang yang tengah kebingungan.

"Ayo, masuk! Lagi nunggu apa lagi?"

"Iya, Tante."

Amel menarik pintu mobil, tetapi aku sedikit mengernyitkan dahi, kala tahu Amel duduk di kursi belakang.

"Saya bukan supir kamu. Jadi, cepat pindah ke sini, jangan duduk di sana!"

"Iya, Tante."

Gegas Amel keluar kembali dari mobilku dan duduk di sampingku. Sekilas, kulihat wajah Amel sedikit masam, mungkin dia kesal denganku yang banyak maunya.

Bukan apa-apa, hanya saja aku ingin lebih nyaman lagi mengobrol bersama dengan Amel.

Setelah di rasa cukup, aku pun segera menjalankan mobil keluar dari pekarangan rumah dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.

***

"Rumah kamu di mana, Mel?"

Ketika sudah berada jauh dari rumah, aku pun segera melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel yang sedari tadi terus membisu.

Tak lama kemudian, Amel mendongak, ekor matanya sedikit berputar perlahan.

"Masih lama, Tante," balas Amel seraya menoleh padaku.

Aku mengangguk paham, lalu kembali melanjutkan perjalanan. 

Dalam hati, aku sedikit tak percaya dengan Amel, takut anak ingusan itu malah mempermainkanku dan mengajak berputar-putar tak jelas.

"Kamu gak bohong sama Tante, 'kan?"

Amel menggeleng dengan cepat, mimik wajahnya terlihat begitu serius.

"Tidak, Tante. Aku benar-benar tak bohong."

"Baguslah, kalau begitu. Tetapi, kalau kamu bohong, nanti akan Tante adukan pada Panji."

"I-iya, Tante!"

Seketika saja, Amel berkata dengan sedikit tergagap-gagap. Sudah aku duga, kalau dia takut kehilangan Panji.

Ya, mau takut kehilangan bagaimana. Selama ini anakku sudah seperti supir pribadinya Amel. Berangkat sekolah di jemput, pulangnya diantarkan.

Enak sekali, 'kan?

"Makanya, jangan bohongin Tante, ya!"

"Iya, Tante."

***

Tepat di sebuah belokan, tiba-tiba saja Amel menjentikkan jarinya, menunjuk ke salah satu gang kecil yang sudah terlewat oleh mobilku.

"Tante, itu yang rumahku!"

Sontak, aku langsung menepikan mobil ke pinggir jalan, kemudian menghela napas panjang.

Aku sempat mengambil gawai yang ada di dasbor mobil, mengecek waktu saat ini. Tetapi, alangkah terkejutnya aku, ketika tahu bila perjalanan dari rumahku menuju tempat tinggal Amel memakan waktu hingga tiga puluh menit lamanya.

Pantas saja, Panji selalu pergi pagi-pagi buta, hingga melupakan sarapan. Karena ternyata, dia hendak menjemput gadis ini.

"Ya, sudah, ayo turun!" ajakku pada Amel yang masih duduk di sampingku.

"Iya, Tante."

"Memangnya di mana rumahmu?"

Amel yang tengah membenarkan letak tas punggungnya, segera tersenyum tipis, kemudian menunjuk ke arah gang kecil yang ada di depannya.

"Lewat sana, Tante."

"Kamu jalan saja lebih dulu, biar Tante ikuti."

Amel mengangguk pelan, dia berjalan lebih dulu di depanku, lalu di susul olehku.

Selama perjalanan menuju rumah Amel, sesekali aku memperhatikan sekitar, di mana gangnya cukup sempit. Malahan sesekali hidungku mencium aroma tak sedap dari pembuangan air yang sesekali aku temui.

"Masih jauh, Mel?"

"Masih, Tante. Soalnya rumah aku ada paling belakang."

"Baiklah."

Tanpa sepengetahuan Amel, sesekali aku memperhatikan gerak-geriknya dari belakang. 

Tidak ada yang aneh memang, bila diperhatikan secara sekilas. Hanya saja, bagiku Amel memang cukup misterius.

"Ini rumah saya, Tante."

Kakiku berhenti bergerak, kala Amel berucap. Aku pun mendongak, menatap sebuah rumah berukuran kecil yang cukup memperihatinkan.

"Ini rumah kamu?" tanyaku sedikit mempertegas perkataan Amel.

"Iya, Tante."

Anehnya, saat aku dan Amel beradu pandang, kulihat wajahnya sedikit pucat pasi dengan bibir yang sudah memutih.

Aku sendiri tak memperlihatkan ekspresi apapun, ketika menatap Amel dan rumahnya secara bergantian.

"Boleh Tante masuk?"

Namun, kala aku hendak melangkah masuk ke pekarangan rumah tersebut, tiba-tiba saja Amel menghentikan pergerakanku.

"Tu-tunggu dulu, Tante. Ja-jangan masuk dulu!"

Mataku memicing, satu sudut bibirku terangkat ke atas, ketika mendengar penuturan Amel.

"Kenapa, Amel. Memangnya apa yang kamu takutkan, kalau semisalnya Tante masuk?"

Kulihat Amel memalingkan wajah, tenggorokannya pun sedikit bergerak, seperti orang yang tengahnya menelan ludah.

"Tidak, Tante. Hanya saja--"

"Amel, kamu sedang mengobrol bersama siapa?" teriak seseorang dari dalam rumah, membuat aku dan Amel langsung menoleh secara serentak ke arah pintu masuk yang tiba-tiba berdecit.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status