"I-Ibu!"
Amel memekik, malahan dia sampai berlari ke arah pintu masuk, seperti hendak mencegah agar pintu tak terbuka.
Akan tetapi, semuanya nihil. Sebab, pergerakan pintu lebih cepat, sehingga baru saja Amel sampai di ujung teras, pintu tersebut sudah terbuka, menampilkan seorang wanita berpakaian minim.
Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Di mana ada banyak sekali tato yang menghiasi tubuh wanita tersebut.
"Tidak salah lagi!" gumamku seraya melangkah masuk.
"Amel, siapa wanita itu?"
Sebelum Amel menjawab, aku sudah lebih dulu menjulurkan tangan ke arah wanita tersebut.
"Saya Melda, Ibunya pacar Amel," jawabku penuh penekanan ditiap kalimat.
"Pacar Amel?"
Wanita yang berada di hadapanku tak langsung membalas uluran tanganku, melainkan memicingkan mata sembari menatap Amel lekat.
"Ya, anak laki-laki yang selalu datang menjemput dan mengantarkan Amel kemari. Apa kamu tak tahu?"
"Ya, saya tahu!" balas wanita itu dengan ketus. Dia masih saja tak mau membalas uluran tanganku.
Maka dari itu, aku pun segera menarik uluran tanganku kembali dan mengepalkannya kuat-kuat.
"Ada apa kamu datang kemari?"
Sontak, aku langsung menyeringai, lalu menjatuhkan bokongku sendiri di atas teras yang sedikit kotor, seperti sudah lama tak tersentuh kain pel.
Meskipun begitu, aku terpaksa duduk di atasnya, karena tak kuat bila harus terlalu lama berdiri.
"Dari yang aku dengar, kamu seperti sudah lama mengenal saya. Lantas, apa memang kita saling mengenal?"
Wanita itu terperanjat, di mana detik berikutnya, dia langsung memalingkan wajah dengan ekspresi sinis.
Apa aku salah bertanya, hingga membuatnya kesal?
"Aku tak mengenalmu. Tetapi, apa aku salah bila bertanya tentang maksud dan tujuanmu datang kemari?"
Aku menggeleng sebagai jawaban singkat, kedua sudut bibirku pun malahan ikut tertarik ke atas.
"Tentu saja tidak. Tetapi, apa salah bila saya datang ke rumah pacar anak saya?"
"Tidak!" sahut wanita itu dengan sinis.
"Baiklah." Ekor mataku melirik ke arah Amel sekilas. "Amel, apa bisa saya masuk ke rumahmu? Di sini membuat saya sedikit tak nyaman!"
Amel yang sedari tadi terdiam seraya menunduk, akhirnya mengangguk cepat. Dia sama sekali tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Boleh, Tante. Mari masuk!"
"Terima kasih, Amel. Kamu memang tahu betul cara menyambut tamu,” ucapku sebagai sebuah sindiran halus.
Setelah melepas alas kaki, aku pun bergegas naik ke atas teras. Pandangan matanya tak lepas menyoroti wanita yang masih berdiri tak jauh dariku.
"Mari masuk, tak enak bila harus mengobrol di luar. Takutnya ada tetangga yang mendengar."
Barulah wanita itu masuk lebih dulu, di susul olehku dan Amel.
***
Ketika berada di dalam rumah, Amel mempersilahkan aku untuk duduk di sebuah sofa lapuk.
Netraku pun tak henti-hentinya memindai sekeliling, bermaksud mencari foto keluarga yang biasanya di pasang di dinding atau meja yang ada di ruang tengah.
"Mel, cepat ambilkan air putih!" titah wanita tersebut pada Amel yang justru mematung di samping sofa.
"Ba-baik, Bu."
Ketika menjawab perintah wanita tersebut, Amel sedikit gelagapan, kepalanya pun turut menunduk dalam.
Aku tak mengerti dengan Amel, kenapa dia seperti takut dan sedikit segan dengan wanita tersebut, tak seperti Ibu dan anak saja.
"Kalau kamu ingin memintaku agar berbicara baik-baik dengan Amel, jangan harap aku mau!" ucap wanita yang sudah duduk di depanku dengan begitu arogan.
Namun, belum sempat aku menjawab, wanita tersebut kembali menimpali ucapannya sendiri.
"Kamu bisa memanggil saya Rani."
"Ya, Bu Rani," balasku seraya memandangnya lekat. "Tetapi, apa yang Bu Rani katakan tidak benar, karena bukan atas dasar itu saya datang ke sini."
Seketika saja, wajah angkuh serta arogan yang sempat Rani perlihatkan, perlahan pudar tergantikan oleh ekspresi terkejut.
Apa Rani paham dengan apa yang aku ucapkan? Jika, benar berarti dia cukup peka.
"Lantas, atas dasar apa?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Rani, karena pada saat itu, tiba-tiba saja Amel datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas air putih.
Ketika menyajikan air di atas meja, sesekali ekor mata Amel melirik ke arahku. Tetapi, ketika aku membalasnya, Amel justru mengalihkan pandangan.
"Ini ada cemilan yang sengaja saya bawa dari rumah, semoga kalian suka!"
"Mel, masuk ke kamar!"
Entah ada maksud apa, tiba-tiba saja Rani menyuruh Amel untuk pergi.
Akan tetapi, bukannya itu merupakan kesempatan yang bagus untukku?
"Iya, Bu."
Tak lama kemudian, Amel pergi dari hadapanku dan Rani. Dia bergegas melangkah ke sebuah ruangan yang hanya tertutup kain tipis.
"Apa kamu benar-benar Ibunya, Amel?" tanyaku beberapa saat kemudian.
Rani yang hendak meminum segelas air, segera mengurungkan niatnya. Dia justru menatapku tajam.
"Kamu adalah orang asing, apa sudah seharusnya bertanya seperti itu?"
"Lantas, siapa Ayah Amel sebenarnya?"
Bibir Rani mengatup rapat, kedua bola matanya pun ikut melebar. Tak disangka, dada Rani ikut kembang-kempis.
"Itu bukan--"
"Apa ada urusannya dengan Mas Alif?"
Sontak, wajah Rani pucat pasi, bibirnya pun turut pias. Di saat itu pula, aku memanfaatkannya untuk menekan Rani.
"Katakan padaku, apa hal itu ada hubungannya dengan Mas Alif atau tidak?!"
"A-aku tak mengenal pria yang kamu maksud!" hardik Rani.
"Apa kamu yakin?" tantangku pada Rani seraya menaik-turunkan alis.
***
Keesokan paginya, aku bergegas menemui Panji yang tengah berada di kamarnya. Kebetulan sekarang hari libur, jadi anakku tak pergi ke sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.Tok ... tok ...."Masuk!" sahut Panji dari dalam kamar.Gegas aku meraih handle pintu dan menariknya secara perlahan. Sebelum masuk, aku sempat menyembulkan kepala dari belakang pintu."Kamu tak sibuk 'kan, Nak?"Panji yang berbaring di atas ranjang dengan kacamata yang bertengger di hitungnya, tak luput dia pun memegang sebuah buku tebal."Tidak, Bu. Ada apa?""Boleh Ibu masuk?"Tanpa ragu Panji pun mengangguk, bersamaan dengan itu dia bangkit dari posisi berbaring."Tentu saja, Bu. Masuk saja!"Aku pun segera melangkah masuk ke kamar Panji, kemudian menutup pintunya perlahan.Kami berdua sama-sama duduk di pinggir ranjang, di mana buku yang sempat Panji baca tergeletak di pangkuannya."Ada apa, Bu?" sambung Panji tak berbasa-basi.Sebelum menjawab pertanyaan Panji, aku lebih dulu mengeluarkan gawai
Seperti hari-hari biasanya, Amel selalu datang ke rumahku tiap kali pulang sekolah. Tak ada hal lain yang dia lakukan, selain menumpang makan dan internet yang ada di rumahku.Katanya sih, di rumah Amel tak ada sambungan internet, sehingga dia lebih sering berada di rumahku."Mel, Tante boleh ngomong sesuatu, gak?" "Apa, Tante?"Amel yang tengah bermain ponsel, hanya menjawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari benda pipih tersebut."Jangan sering-sering ke sini, ya. Tante, gak enak sama tetangga, mereka sering membicarakan kalian.""Biarin ajalah, Tante. Lagian Amel ke sini juga bukan buat maksiat, tapi mengerjakan tugas!""Kamu yakin, Amel?"Sontak, Amel mendongak, menyoroti kedua netraku lekat."Tentu saja, Tante. Memangnya Tante pernah melihat aku aneh-aneh sama Panji?""Tidak."Aku menghela napas panjang, lalu bergegas pergi dari hadapan Amel. Kadang aku merasa muak pada anak tersebut, karena tiap kali dinasehati selalu saja menjawab dengan seenaknya.Lagipula, jawa
Semakin banyak aku mendengar obrolan manis antara Mas Alif dan Amel. Hatiku hancur berkeping-keping, air mataku pun turut luruh membasahi pipi dengan derasnya.Tubuhku bersandar pada tembok, hingga saat aku hendak kehilangan keseimbangan, tiba-tiba saja sebuah tangan menangkap punggungku."Apa yang Ibu lakukan?"Sontak, aku membuka mata, kemudian mengerjap selama beberapa saat."Pa-Panji, apa yang kamu lakukan?" tanyaku tergagap-gagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat."Aku yang bertanya pada Ibu. Sebenarnya apa yang Ibu lakukan?"Aku dan Panji malah saling melontarkan pertanyaan yang sama dengan nada pelan, malahan hampir persis seperti sebuah bisikan."Sudah, ayo cepat pergi dari sini!"Tanpa menunggu aku membuka suara, Panji sudah lebih dulu menarik tanganku, membawaku menuju dapur.Dengan cekatan, Panji menuangkan segelas air putih dan segera menyodorkannya padaku."Ibu, tidak haus, Nak!" ucapku seraya menggeleng, menolak segelas air putih yang Panji sodorkan."Diminum dulu,
"Nak, apa Bapakmu akan benar-benar percaya pada perkataan kamu tempo hari?"Aku dan Panji yang tengah berada di ruang tengah, sesekali mengobrol dengan suara rendah, takut tiba-tiba Amel yang tengah pamit ke kamar mandi kembali datang."Sudah, Ibu jangan khawatir!" Kedua bola mata Panji ikut berputar, seperti tengah mengawasi sesuatu. "Amel, datang!" peringat Panji pada akhirnya.Aku pun sempat berdehem, membersihkan kerongkongan yang terasa tercekat.Layaknya hati-hati biasa, Amel pasti akan mampir ke rumahku. Sekarang aku paham, perselingkuhan itu tercipta karena aku lebih sering berada di toko sembako di bandingkan di rumah.Malahan aku tak sadar, bila tiap kali Amel datang ke rumah, sesekali kulihat bila Panji sering datang ke toko, misalnya untuk mengambil makanan ataupun mengantar pesanan.Ya Tuhan, begitu besarnya 'kah rasa percayaku pada Mas Alif, karena berpikir kalau kami sudah lama menikah dan dia tak akan macam-macam?"Mel, nanti malam Tante mau adakan acara makan-makan gi
Kami berempat berdiri secara berhadapan. Amel sempat tersenyum canggung padaku, tak seperti Rani yang justru mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Andin, kenalin ini Bu Rani dan ini Amel, pacarnya Panji.""Apa, pacarnya Panji?"Andin terperanjat, keningnya mengkerut dengan mulut yang menganga. Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan soal hubungan Panji pada siapapun, termasuk Andin."Iya, anakku masih sekolah udah punya pacar, kayak kamu dulu!""Lah, kenapa malah bawa-bawa aku, sih!" hardik Andin seraya menatap Rani dan Amel dengan sinis."Pasti kamu goda Panji duluan, 'kan?" sambung Amel, melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel."Maksud, Tante apa?" Amel justru balik bertanya, tentunya dengan nada rendah. "Sudah, lupakan!"Andin memang terkenal cukup angkuh dan blak-blakkan, makanya aku begitu bersemangat, ketika tahu Andin pulang ke tanah air."Maafkan Andin, ya, Bu Rani, Amel. Dia orangnya memang seperti itu, tetapi dia baik, kok!"Bu Rani tak menanggapi ucapanku. Wanita itu
"Tunggu!"Aku yang baru saja hendak menyalakan laptop, tiba-tiba mendongak, menatap Panji yang sudah berdiri dari kursinya.Panji tersenyum penuh arti, lalu berjalan ke arahku yang masih mematung di tempat."Biar aku saja yang lakukan, Ibu bisa duduk!""Tidak usah, Nak. Biar Ibu saja," tolakku secara halus.Akan tetapi, Panji tak bergeming, dia justru menggeleng cepat dan melangkah ke samping tubuhku."Karena ini acara ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak. Jadi, Ibu hanya tinggal menonton saja, biar aku yang memberikan kejutan ini pada kalian!"Panji begitu bersikeras ingin melakukannya sendiri, hingga pada akhirnya aku mengangguk, mengalah dari anakku sendiri."Jadi, silahkan Ibu duduk kembali di samping, Bapak," ucap Panji padaku yang perlahan mulai menjauhinya."Baiklah, lakukan sesukamu, Panji.""Tentu, Bu!"Sebenarnya apa yang aku dan Panji obrolkan kali ini, adalah salah satu bagian dari skenario yang kami buat. Namun, aku tak menyangka, bila apa yang aku dan Panji lakukan cuku
Ibu mertuaku bangkit dari duduk dengan kasar, matanya membulat, dadanya kembang-kempis dengan gigi yang bergemertuk hebat."Mau ke mana kalian?!" Ibu mertuaku berteriak, ketika melihat Amel dan Rani hendak berdiri."Diam kalian dan jelaskan semuanya padaku, termasuk dirimu, Alif!" Sesekali aku melirik ke arah Panji, di mana anak laki-lakiku itu masih berdiam diri di tempat, menatap laptop dengan tatapan kosong.Perlahan aku bangkit dari duduk, menghampiri Panji yang tiba-tiba menunduk, menyembunyikan raut wajah kecewanya."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?""Aku baik-baik saja, Bu," lirih Panji tanpa mendongak sedikitpun.Aku adalah Ibunya Panji, wanita yang melahirkannya dan mengurusnya hingga sebesar ini.Jadi, aku tahu betul dan bisa merasakan kesedihan yang tengah Panji pendam seorang diri.Sebagai seorang Ibu dan wanita yang turut menjadi korban, aku pun segera merangkul Panji, membawanya dalam pelukan. Barulah beberapa saat kemudian, kurasakan tubuh Panji bergetar hebat, bersamaa
Malam semakin larut, suasana pun semakin mencekam. Mungkin tetangga kami di luar sana mengira, kalau kami tengah menikmati acara dengan keluarga.Akan tetapi, tak ada satupun yang mereka tahu, bila acara malam ini justru berubah menjadi sebuah bencana. Di mana sorot mata masing-masing orang hampir sama.Penuh kebencian, dendam, serta amarah yang menggebu-gebu."Rasanya aku ingin mati," lirih Ibu mertuaku, menarik perhatian semua orang untuk menoleh padanya.Aku yang merasa amat sangat bersalah, segera melepas rangkulanku pada Panji yang masih tak henti-hentinya menangis, lalu menghampiri Ibu mertuaku."Ibu, maafkan aku."Ibu mertuaku menoleh, kedua alisnya saling bertautan, tak lama kemudian dia menggeleng pelan."Kenapa kamu meminta maaf, Melda. Memangnya apa salahmu? Kamu tak memiliki kesalahan apapun, Sayang.""Tet