Share

Wanita Bernama Rani

Penulis: Gyuu_Rrn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-24 18:44:53

"I-Ibu!"

Amel memekik, malahan dia sampai berlari ke arah pintu masuk, seperti hendak mencegah agar pintu tak terbuka.

Akan tetapi, semuanya nihil. Sebab, pergerakan pintu lebih cepat, sehingga baru saja Amel sampai di ujung teras, pintu tersebut sudah terbuka, menampilkan seorang wanita berpakaian minim. 

Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Di mana ada banyak sekali tato yang menghiasi tubuh wanita tersebut.

"Tidak salah lagi!" gumamku seraya melangkah masuk.

"Amel, siapa wanita itu?"

Sebelum Amel menjawab, aku sudah lebih dulu menjulurkan tangan ke arah wanita tersebut.

"Saya Melda, Ibunya pacar Amel," jawabku penuh penekanan ditiap kalimat.

"Pacar Amel?"

Wanita yang berada di hadapanku tak langsung membalas uluran tanganku, melainkan memicingkan mata sembari menatap Amel lekat.

"Ya, anak laki-laki yang selalu datang menjemput dan mengantarkan Amel kemari. Apa kamu tak tahu?"

"Ya, saya tahu!" balas wanita itu dengan ketus. Dia masih saja tak mau membalas uluran tanganku. 

Maka dari itu, aku pun segera menarik uluran tanganku kembali dan mengepalkannya kuat-kuat.

"Ada apa kamu datang kemari?"

Sontak, aku langsung menyeringai, lalu menjatuhkan bokongku sendiri di atas teras yang sedikit kotor, seperti sudah lama tak tersentuh kain pel.

Meskipun begitu, aku terpaksa duduk di atasnya, karena tak kuat bila harus terlalu lama berdiri.

"Dari yang aku dengar, kamu seperti sudah lama mengenal saya. Lantas, apa memang kita saling mengenal?"

Wanita itu terperanjat, di mana detik berikutnya, dia langsung memalingkan wajah dengan ekspresi sinis.

Apa aku salah bertanya, hingga membuatnya kesal?

"Aku tak mengenalmu. Tetapi, apa aku salah bila bertanya tentang maksud dan tujuanmu datang kemari?"

Aku menggeleng sebagai jawaban singkat, kedua sudut bibirku pun malahan ikut tertarik ke atas.

"Tentu saja tidak. Tetapi, apa salah bila saya datang ke rumah pacar anak saya?"

"Tidak!" sahut wanita itu dengan sinis.

"Baiklah." Ekor mataku melirik ke arah Amel sekilas. "Amel, apa bisa saya masuk ke rumahmu? Di sini membuat saya sedikit tak nyaman!"

Amel yang sedari tadi terdiam seraya menunduk, akhirnya mengangguk cepat. Dia sama sekali tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Boleh, Tante. Mari masuk!"

"Terima kasih, Amel. Kamu memang tahu betul cara menyambut tamu,” ucapku sebagai sebuah sindiran halus.

Setelah melepas alas kaki, aku pun bergegas naik ke atas teras. Pandangan matanya tak lepas menyoroti wanita yang masih berdiri tak jauh dariku.

"Mari masuk, tak enak bila harus mengobrol di luar. Takutnya ada tetangga yang mendengar."

Barulah wanita itu masuk lebih dulu, di susul olehku dan Amel. 

***

Ketika berada di dalam rumah, Amel mempersilahkan aku untuk duduk di sebuah sofa lapuk. 

Netraku pun tak henti-hentinya memindai sekeliling, bermaksud mencari foto keluarga yang biasanya di pasang di dinding atau meja yang ada di ruang tengah.

"Mel, cepat ambilkan air putih!" titah wanita tersebut pada Amel yang justru mematung di samping sofa.

"Ba-baik, Bu."

Ketika menjawab perintah wanita tersebut, Amel sedikit gelagapan, kepalanya pun turut menunduk dalam.

Aku tak mengerti dengan Amel, kenapa dia seperti takut dan sedikit segan dengan wanita tersebut, tak seperti Ibu dan anak saja.

"Kalau kamu ingin memintaku agar berbicara baik-baik dengan Amel, jangan harap aku mau!" ucap wanita yang sudah duduk di depanku dengan begitu arogan.

Namun, belum sempat aku menjawab, wanita tersebut kembali menimpali ucapannya sendiri. 

"Kamu bisa memanggil saya Rani."

"Ya, Bu Rani," balasku seraya memandangnya lekat. "Tetapi, apa yang Bu Rani katakan tidak benar, karena bukan atas dasar itu saya datang ke sini."

Seketika saja, wajah angkuh serta arogan yang sempat Rani perlihatkan, perlahan pudar tergantikan oleh ekspresi terkejut.

Apa Rani paham dengan apa yang aku ucapkan? Jika, benar berarti dia cukup peka.

"Lantas, atas dasar apa?"

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Rani, karena pada saat itu, tiba-tiba saja Amel datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas air putih.

Ketika menyajikan air di atas meja, sesekali ekor mata Amel melirik ke arahku. Tetapi, ketika aku membalasnya, Amel justru mengalihkan pandangan.

"Ini ada cemilan yang sengaja saya bawa dari rumah, semoga kalian suka!"

"Mel, masuk ke kamar!"

Entah ada maksud apa, tiba-tiba saja Rani menyuruh Amel untuk pergi. 

Akan tetapi, bukannya itu merupakan kesempatan yang bagus untukku?

"Iya, Bu."

Tak lama kemudian, Amel pergi dari hadapanku dan Rani. Dia bergegas melangkah ke sebuah ruangan yang hanya tertutup kain tipis.

"Apa kamu benar-benar Ibunya, Amel?" tanyaku beberapa saat kemudian.

Rani yang hendak meminum segelas air, segera mengurungkan niatnya. Dia justru menatapku tajam.

"Kamu adalah orang asing, apa sudah seharusnya bertanya seperti itu?"

"Lantas, siapa Ayah Amel sebenarnya?"

Bibir Rani mengatup rapat, kedua bola matanya pun ikut melebar. Tak disangka, dada Rani ikut kembang-kempis.

"Itu bukan--"

"Apa ada urusannya dengan Mas Alif?"

Sontak, wajah Rani pucat pasi, bibirnya pun turut pias. Di saat itu pula, aku memanfaatkannya untuk menekan Rani.

"Katakan padaku, apa hal itu ada hubungannya dengan Mas Alif atau tidak?!"

"A-aku tak mengenal pria yang kamu maksud!" hardik Rani.

"Apa kamu yakin?" tantangku pada Rani seraya menaik-turunkan alis.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Urusan Pribadi

    Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Bersandiwara

    Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pulang

    Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pemakaman

    Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Tangis yang Benar-benar Pecah (Panji POV)

    Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Kabar Duka (2)

    Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status