Share

RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU
RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU
Author: Gyuu_Rrn

Rahasia Di Balik Laptop

"Mas, boleh pinjam laptopnya sebentar, gak?" 

Mas Alif--suamiku yang tengah berkutat dengan gawai, hanya melirik ke arahku sekilas, kemudian mengangguk pelan.

Aku sedikit memicingkan mata, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Karena biasanya, Mas Alif akan sangat pelit, ketika menyangkut soal barang pribadinya.

Ya, aku pun memakluminya. Karena aku pikir, Mas Alif ingin memiliki sebuah privasi, meskipun kami sudah menikah pun.

"Terima kasih banyak, Mas."

Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung meraih laptop yang ada di atas meja kerja Mas Alif dan membawanya keluar.

Mungkin karena Mas Alif tahu, jika laptopku masih berada di tempat servis. Jadi, mungkin Mas Alif mengerti dan tak ragu meminjamnya padaku.

***

Sengaja aku membawa laptop Mas Alif ke kamar Panji--anak bujangku yang sudah berusia tujuh belas tahun.

Karena Panji sedang sekolah, jadinya aku bisa menggunakan kamarnya sesekali saja. Lagipula Panji tak melarangku untuk masuk ke kamarnya atau menggunakannya untuk sementara saja.

Sengaja kubuka laptop secara perlahan dan mulai menyalakannya. Tetapi, mataku sedikit memicing, kala tahu bila Mas Alif menggunakan kata sandi.

"Ah, mungkin tanggal pernikahan kami," gumamku. 

Aku pun mulai mengetikkan deretan tanggal pernikahan kami, di mana ternyata sandi yang aku masukkan benar.

Seketika saja, kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Tak menyangka bila Mas Alif masih mengingat tanggal yang aku anggap sakral tersebut.

"Sebelum kerja, iseng nonton film dulu, ah!" gumamku seraya mencari folder di mana biasanya Mas Alif menyimpan film.

Kenapa aku tahu? Tentu saja karena aku biasa menonton film bersama Mas Alif, meskipun kadang dia tak pernah meminjamkan laptop tersebut padaku.

"Lah, ini folder apaan?" 

Lagi-lagi aku bergumam, kala melihat sebuah folder yang terlihat cukup asing.

Malahan aku sempat celingak-celinguk ke arah pintu masuk seraya mengigit bibir kuat-kuat, takut Mas Alif tiba-tiba datang dan memarahiku yang cukup lancang.

Akan tetapi, karena rasa penasaranku jauh lebih besar, maka dengan sedikit keberanian aku pun membuka folder tersebut dengan hati-hati.

"Astagfirullah!" Aku memekik sambil menutup mulut, kala deretan video tak senonoh terpampang jelas di layar.

Namun, netraku tidak henti-hentinya berputar cepat, memindai satu demi satu video yang otomatis membuat detak jantungku terpacu lebih cepat dari biasanya.

"Tidak mungkin, bila Mas Alif mengoleksi video seperti ini."

Aku yang terlanjur membuka folder tersebut, segera menelusurinya hingga ke bagian akhir.

Di mana mataku tak kalah membeliak dengan mulut menganga dan tubuh yang tiba-tiba bergetar hebat.

Dadaku pun terasa begitu nyeri. Aku menutup mulut dengan satu tangan, secara tak disangka-sangka cairan bening meleleh, membasahi pipiku dengan begitu derasnya.

"Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini."

***

Di meja makan, tak henti-hentinya aku melirik ke arah Amel--kekasih anakku yang biasa dia bawa ke rumah.

Dari awal, aku tak setuju, bila Panji dan Amel berpacaran, mengingat latar belakang keluarga Amel yang tak jelas, belum lagi anakku itu baru beranjak dewasa, tak seharusnya dia sudah berpacaran dan harus berfokus pada pendidikan saja.

Akan tetapi, entah setan apa yang merasuki pikiran anakku, sehingga dia sama sekali tak mendengarkan perkataanku.

"Panji, habis ini kamu mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi, tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari Amel.

Anak gadis yang seumuran dengan Panji itu, tampak lahap memakan masakanku. Tetapi, ada satu hal yang menganggu pemandangan, di mana Mas Alif duduk tak jauh darinya dan sesekali sering mencuri pandang ke arah Amel.

"Aku mau nganterin Amel pulang, Bu. Katanya Ibu dia sudah telepon."

"Mel, kapan-kapan ajak Ibumu ke sini, ya! Tante, mau kenalan sama dia."

Amel yang tengah menyantap makanannya, seketika mengangguk pelan. Dia terlihat tersenyum tipis dan terkesan dipaksakan.

"Iya, Tante, nanti akan Amel sampaikan."

"Sampaikan-sampaikan, tetapi Ibumu tak kunjung menemui Tante, 'kan?"

Aku tertawa nyaring, tak bermaksud menyindir Amel. Tetapi, sepertinya gadis itu sudah terlanjur tersindir olehku, terbukti dari pipinya yang sudah memerah padam, raut wajahnya pun tak bersahabat.

"Mungkin Ibunya Amel sibuk, jadi dia gak bisa datang," ucap Mas Alif secara tiba-tiba, membuat suasana yang sempat canggung, kembali seperti semula.

Awalnya aku hanya menduga, kalau Mas Alif bersikap seperti itu, tiap kali aku menanyakan tentang Ibunya Amel adalah hal yang wajar.

Namun, sekarang aku justru paham, kenapa Mas Alif selalu bersikap seperti itu, tiap kali aku menanyakan hal yang sama pada Amel.

"Ya, sudah, kalau begitu biar Ibu saja yang antar Amel pulang."

"Apa maksud, Ibu?"

Aku yang tengah lebih dulu menyelesaikan makan, segera meraih segelas air dan meneguknya hingga habis.

"Biar sekalian Ibu bisa bertemu dengan Ibunya Amel. Bukannya, kalian sudah lama berpacaran dan Ibu sempat dengar, kalau kalian ingin sampai menikah, 'kan?"

Panji dan Amel saling lirik selama beberapa detik, tanpa menunggu persetujuan Amel, Panji pun mengangguk.

Dari situ dapat kulihat, bila Panji amat sangat mencintai Amel. Tetapi, apa Panji akan tetap mencintai Amel setelah mengetahui semuanya?

"Ah, betul juga, Bu!" sahut Panji dengan amat sangat bersemangat.

"Jadi, Tante bisa mengantarkan kamu pulang, 'kan, Amel?"

Amel sempat terpaku, kedua bola matanya membulat, barulah beberapa saat kemudian dia mengangguk, setelah sebelumnya aku mengetuk-ngetuk jari pada meja.

"I-iya, Tante. Bi-bisa, kok!" balas Amel dengan sedikit terbata-bata. Di mana sekilas, aku sempat melirik ke arah Mas Alif yang justru ikut membeku.

"Kena kamu, Mas!" batinku.

***

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status