"Mas, boleh pinjam laptopnya sebentar, gak?"
Mas Alif--suamiku yang tengah berkutat dengan gawai, hanya melirik ke arahku sekilas, kemudian mengangguk pelan.
Aku sedikit memicingkan mata, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Karena biasanya, Mas Alif akan sangat pelit, ketika menyangkut soal barang pribadinya.
Ya, aku pun memakluminya. Karena aku pikir, Mas Alif ingin memiliki sebuah privasi, meskipun kami sudah menikah pun.
"Terima kasih banyak, Mas."
Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung meraih laptop yang ada di atas meja kerja Mas Alif dan membawanya keluar.
Mungkin karena Mas Alif tahu, jika laptopku masih berada di tempat servis. Jadi, mungkin Mas Alif mengerti dan tak ragu meminjamnya padaku.
***
Sengaja aku membawa laptop Mas Alif ke kamar Panji--anak bujangku yang sudah berusia tujuh belas tahun.
Karena Panji sedang sekolah, jadinya aku bisa menggunakan kamarnya sesekali saja. Lagipula Panji tak melarangku untuk masuk ke kamarnya atau menggunakannya untuk sementara saja.
Sengaja kubuka laptop secara perlahan dan mulai menyalakannya. Tetapi, mataku sedikit memicing, kala tahu bila Mas Alif menggunakan kata sandi.
"Ah, mungkin tanggal pernikahan kami," gumamku.
Aku pun mulai mengetikkan deretan tanggal pernikahan kami, di mana ternyata sandi yang aku masukkan benar.
Seketika saja, kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Tak menyangka bila Mas Alif masih mengingat tanggal yang aku anggap sakral tersebut.
"Sebelum kerja, iseng nonton film dulu, ah!" gumamku seraya mencari folder di mana biasanya Mas Alif menyimpan film.
Kenapa aku tahu? Tentu saja karena aku biasa menonton film bersama Mas Alif, meskipun kadang dia tak pernah meminjamkan laptop tersebut padaku.
"Lah, ini folder apaan?"
Lagi-lagi aku bergumam, kala melihat sebuah folder yang terlihat cukup asing.
Malahan aku sempat celingak-celinguk ke arah pintu masuk seraya mengigit bibir kuat-kuat, takut Mas Alif tiba-tiba datang dan memarahiku yang cukup lancang.
Akan tetapi, karena rasa penasaranku jauh lebih besar, maka dengan sedikit keberanian aku pun membuka folder tersebut dengan hati-hati.
"Astagfirullah!" Aku memekik sambil menutup mulut, kala deretan video tak senonoh terpampang jelas di layar.
Namun, netraku tidak henti-hentinya berputar cepat, memindai satu demi satu video yang otomatis membuat detak jantungku terpacu lebih cepat dari biasanya.
"Tidak mungkin, bila Mas Alif mengoleksi video seperti ini."
Aku yang terlanjur membuka folder tersebut, segera menelusurinya hingga ke bagian akhir.
Di mana mataku tak kalah membeliak dengan mulut menganga dan tubuh yang tiba-tiba bergetar hebat.
Dadaku pun terasa begitu nyeri. Aku menutup mulut dengan satu tangan, secara tak disangka-sangka cairan bening meleleh, membasahi pipiku dengan begitu derasnya.
"Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini."
***
Di meja makan, tak henti-hentinya aku melirik ke arah Amel--kekasih anakku yang biasa dia bawa ke rumah.
Dari awal, aku tak setuju, bila Panji dan Amel berpacaran, mengingat latar belakang keluarga Amel yang tak jelas, belum lagi anakku itu baru beranjak dewasa, tak seharusnya dia sudah berpacaran dan harus berfokus pada pendidikan saja.
Akan tetapi, entah setan apa yang merasuki pikiran anakku, sehingga dia sama sekali tak mendengarkan perkataanku.
"Panji, habis ini kamu mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi, tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari Amel.
Anak gadis yang seumuran dengan Panji itu, tampak lahap memakan masakanku. Tetapi, ada satu hal yang menganggu pemandangan, di mana Mas Alif duduk tak jauh darinya dan sesekali sering mencuri pandang ke arah Amel.
"Aku mau nganterin Amel pulang, Bu. Katanya Ibu dia sudah telepon."
"Mel, kapan-kapan ajak Ibumu ke sini, ya! Tante, mau kenalan sama dia."
Amel yang tengah menyantap makanannya, seketika mengangguk pelan. Dia terlihat tersenyum tipis dan terkesan dipaksakan.
"Iya, Tante, nanti akan Amel sampaikan."
"Sampaikan-sampaikan, tetapi Ibumu tak kunjung menemui Tante, 'kan?"
Aku tertawa nyaring, tak bermaksud menyindir Amel. Tetapi, sepertinya gadis itu sudah terlanjur tersindir olehku, terbukti dari pipinya yang sudah memerah padam, raut wajahnya pun tak bersahabat.
"Mungkin Ibunya Amel sibuk, jadi dia gak bisa datang," ucap Mas Alif secara tiba-tiba, membuat suasana yang sempat canggung, kembali seperti semula.
Awalnya aku hanya menduga, kalau Mas Alif bersikap seperti itu, tiap kali aku menanyakan tentang Ibunya Amel adalah hal yang wajar.
Namun, sekarang aku justru paham, kenapa Mas Alif selalu bersikap seperti itu, tiap kali aku menanyakan hal yang sama pada Amel.
"Ya, sudah, kalau begitu biar Ibu saja yang antar Amel pulang."
"Apa maksud, Ibu?"
Aku yang tengah lebih dulu menyelesaikan makan, segera meraih segelas air dan meneguknya hingga habis.
"Biar sekalian Ibu bisa bertemu dengan Ibunya Amel. Bukannya, kalian sudah lama berpacaran dan Ibu sempat dengar, kalau kalian ingin sampai menikah, 'kan?"
Panji dan Amel saling lirik selama beberapa detik, tanpa menunggu persetujuan Amel, Panji pun mengangguk.
Dari situ dapat kulihat, bila Panji amat sangat mencintai Amel. Tetapi, apa Panji akan tetap mencintai Amel setelah mengetahui semuanya?
"Ah, betul juga, Bu!" sahut Panji dengan amat sangat bersemangat.
"Jadi, Tante bisa mengantarkan kamu pulang, 'kan, Amel?"
Amel sempat terpaku, kedua bola matanya membulat, barulah beberapa saat kemudian dia mengangguk, setelah sebelumnya aku mengetuk-ngetuk jari pada meja.
"I-iya, Tante. Bi-bisa, kok!" balas Amel dengan sedikit terbata-bata. Di mana sekilas, aku sempat melirik ke arah Mas Alif yang justru ikut membeku.
"Kena kamu, Mas!" batinku.
***
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s
Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m
Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t
Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja
"Dia ... orang yang mengantar Ibu barusan."Panji terlihat memutar bola mata malas, dia tampak kesal mungkin juga merah dengan apa yang aku katakan. Meskipun begitu, memang itulah yang sebenarnya terjadi. Aku tak mau menyembunyikan hal tersebut dariku, sebab bisa saja Panji semakin marah padaku."Begitu rupanya!"Tak lama kemudian, Panji tiba-tiba bangkit dari posisi duduk sembari menggeser piring ke hadapanku."Mau ke mana?" tanyaku secara spontan."Aku sudah kenyang, Bu. Ditambah lagi aku sudah ngantuk.""Baiklah, selamat tidur, Nak."Panji tak menjawab ucapanku, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku. Aku sendiri memilih untuk terdiam, tak banyak bicara. Takutnya kalau aku semakin banyak bicara, Panji justru akan semakin kesal padaku dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi."Ah, benar-benar memusingkan! Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan siapapun, aku takut Panji benar-benar salah paham."Aku bergumam seorang diri, kemudian kembali menyantap makanan yang suda
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya