RAHASIA SLIP GAJI SUAMIKU
BAB 4Aku memandang Mas Fauzan dan mengerutkan kening karena Mas Fauzan memesan ayam geprek beserta nasinya lima porsi, sedangkan kami hanya berempat saja."Tapi, kenapa kamu beli ayam gepreknya lebih, Mas? Di rumah ibu kan hanya ada empat orang," tanyaku menunjuk ke arah kantong kresek hitam yang berada di tangan kiri Mas Fauzan."Aku sengaja membeli lebih, Sayang. Siapa tahu Ibu atau Putri masih mau, jadi aku gak perlu bolak-balik. Lagipula ibu biasanya kalau makan ayam geprek memang dua porsi," terang Mas Fauzan memberi alasan.Sebenarnya alasan itu cukup masuk akal. Mungkin jika seperti biasa aku akan menerimanya, tetapi tidak setelah mendengar percakapan Mas Fauzan dengan Anita tadi. Aku curiga jika satu porsi ayam geprek itu untuk Anita. Aku pasti akan mencari tahu lebih dalam rahasia yang disembunyikan oleh Mas Fauzan dariku. Semuanya tanpa terkecuali."Kamu kenal sama Anita, Mas?" tanyaku kepada Mas Fauzan dan dia terlihat terkejut."Kenapa kamu bertanya seperti itu?""Gak kenapa-napa, kok, Mas. Hanya bertanya saja."Aku berusaha tersenyum dan terlihat tenang agar Mas Fauzan mengira aku tidak curiga. Dia tidak boleh tahu kalau aku mendengar percakapan nya dengan Anita dan sedang mencari tahu tentang hubungan mereka."Tentu saja aku mengenalnya karena dia tetangga Ibu. Tapi hanya kenal dan tidak akrab, Sayang. Aku gak mau terlalu akrab karena merasa gak enak dengan suaminya. Aku juga menghindari pandangan buruk dari para tetangga yang lain."Alasan yang sangat bagus menurutku. Karena bisa membuat Mas Fauzan dan Anita terdengar tidak memiliki hubungan yang dekat, dan juga bisa membuatku lebih percaya kepada Mas Fauzan. Namun, tentu saja aku tidak percaya dengan perkataan Mas Fauzan."Suaminya kerja di mana, Mas?""Hm, aku juga kurang tahu, Sayang. Aku kan gak sering ke rumah Ibu, jadi aku gak begitu mengenal Anita dan suaminya. Kenapa kamu bertanya?""Ya, kan kalau sesama lelaki biasanya mudah akrab, Mas.""Aku hanya berpapasan beberapa kali dengan suaminya dan kami gak berbicara banyak.""Jadi sudah berapa lama mereka tinggal di sana?"Kali ini Mas Fauzan tidak segera menjawab pertanyaan yang kuajukan. Mas Fauzan menghentikan langkahnya dan menatapku dengan curiga."Kenapa kamu terdengar seperti sangat penasaran dengan Anita? Aku dan dia gak dekat, jadi aku gak begitu tahu tentang dirinya.""Aku kan hanya bertanya, Mas. Gak usah marah begitu.""Aku bukannya marah, Sayang. Aku hanya tidak senang kamu terus menerus menanyakan tentang Anita yang aku juga tidak tahu mengenai dirinya.""Aku hanya penasaran karena dia bisa hidup sendiri saat suaminya sedang di luar kota, Mas. Anita terlihat tenang dan baik-baik saja. Jika itu aku, aku pasti akan sangat sedih kalau kamu tidak ada di sisiku, Mas."Sontak tatapan Mas Fauzan berubah sendu, lalu memelukku dengan erat. Sungguh, aku sangat tidak ingin Mas Fauzan memelukku karena teringat kejadian di rumah Anita. Akan tetapi, jika aku mendorongnya tentu Mas Fauzan akan curiga."Kamu tahu kan kalau aku juga sangat mencintaimu?""Tentu saja, Mas."Mas Fauzan meregangkan pelukannya dan mendaratkan ciuman lembut di keningku dan sepertinya harus kugosok dengan garam atau mandi air laut dan air kembang tujuh rupa agar jejak Mas Fauzan terhapus di sana."Kita pulang sekarang, yuk. Takut Ibu lama menunggu. Kasihan Ibu sudah lapar," ajak Mas Fauzan sambil menggandeng tanganku.Saat aku dan Mas Fauzan melintas di depan kontrakan Anita, wanita itu sedang duduk di depan rumahnya. Wajahnya tertekuk tidak senang saat melihat aku dan Mas Fauzan bergandengan tangan dan terlihat begitu mesra."Aku kangen deh jalan bersama sambil bergandengan tangan seperti ini, Mas."Sengaja aku menyandarkan kepala di bahu Mas Fauzan, sengaja memprovokasi Anita. Benar saja, Anita terlihat segera beranjak dari duduknya dan berjalan memasuki rumah sambil menghentakkan kakinya. Pemandangan yang sangat menarik, terlebih Mas Fauzan sepertinya tidak melihat keberadaan Anita karena begitu fokus denganku.Saat aku dan Mas Fauzan tiba di rumah Bu Ana, kulihat beberapa piring makan sudah tersedia di meja makan. Aku pun menata ayam geprek yang telah kami beli.Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami semua pun makan dengan lahap. Bahkan Mas Fauzan yang tadi sudah makan pun tampak sangat menikmati ayam geprek itu. Rasanya memang enak, apalagi sambalnya yang pedas dan nikmat. Membuat siapa saja yang memakannya menjadi ketagihan."Kamu bawakan Anita sisa satu porsi ayam gepreknya, ya, Fauzan. Kasihan dia sendirian di rumah karena suaminya sedang ke luar kota," ucap Bu Ana saat Mas Fauzan baru saja memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya.Aku menatap heran ke arah ibu mertua dan suamiku. Menuntun penjelasan karena perkataan Mas Fauzan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh ibunya."Kok dikasih ke tetangga, Bu? Tadi kata Mas Fauzan untuk ibu karena ibu suka makan porsi dobel."Bu Ana tampak gugup karena tidak mengkonfirmasi dulu sebelumnya dengan Mas Fauzan. Sepertinya ibu dan anak itu kurang briefing, makanya tidak kompak jawabannya."Iya, biasanya Ibu memang makan porsi dobel, kok. Tapi karena kali ini ibu sudah kenyang dan kasihan sama tetangga sebelah yang seorang diri, makanya Ibu bilang ayam geprek itu untuk Anita saja," kilah Bu Ana yang kuyakin tengah berbohong kepadaku.Aku pun hanya terdiam dan berpura-pura menyetujui kebaikan sang Ibu Mertua. Meski sebenarnya tidak seperti itu.Ya Tuhan, ternyata suamiku dan keluarganya selama ini telah menipuku. Mereka berkerjasama untuk menyakitiku secara diam-diam. Kurang baik apa aku selama ini kepada mereka, hingga tega berbuat seperti ini kepadaku. Ah, atau aku terlalu baik kepada mereka hingga berani seperti ini?Aku baru menyadari jika diriku selama ini telah dibohongi mentah-mentah. Akan kuhempaskan Suami benalu dan keluarga benalunya ini. Aku bukan wanita bodoh dan lemah yang tidak bisa hidup tanpa Mas Fauzan. Sebaliknya, aku justru sangat bisa hidup tanpa Mas Fauzan."Kamu kan, sudah selesai, Fauzan. Jadi tolong bawakan ayam geprek ini untuk Anita, ya."Lagi dan lagi Bu Ana menyuruh Mas Fauzan untuk membawakan Anita ayam geprek tersebut. Seolah-olah ibu mertuaku itu sudah mengatur agar Mas Fauzan bisa berduaan dengan Anita. Hm, jangan-jangan tadi Anita mengadu ke ibu mertuaku."Iya, Bu, aku cuci tangan dulu, ya," jawab Mas Fauzan sambil beranjak dari duduknya.Kulihat Mas Fauzan berjalan menuju kamar mandi sambil bersenandung. Sebegitu senangnya kamu akan bersama dengan Anita, Mas? Sakit hatiku melihat kamu seperti itu."Aku sekalian merokok dulu, ya, di luar, Sayang," pamit Mas Fauzan kepadaku dan hanya bisa kusetujui.Padahal aku sudah tahu kalau semua itu hanya sandiwara agar dia bisa lebih lama bersama dengan Anita. Pantas saja Mas Fauzan menghabiskan makanannya lebih cepat dari biasa. Rupanya ada maksud maksud tertentu. Ada udang di balik bakwan.Aku, Bu Ana, dan Putri kembali menyantap makanan kami. Meski rasanya telah berubah, tidak lagi senikmat tadi. Makananku terasa mengganjal di tenggorokan, tetapi aku harus berpura-pura menikmatinya."Kamu jangan marah Ibu kasih ayam geprek ke Anita, Laura. Dia itu perempuan yang baik, kok. Anita baik sama Ibu dan sering kasih barang-barang bagus untuk Ibu."Ah, secara tidak langsung Bu Ana membongkar sendiri kejelekannya. Rupanya selama ini dia telah disogok dengan benda oleh Anita. Jadi, itulah alasan mengapa ibu mertuaku berpaling dariku dan mendukung hubungan terlarang anaknya."Anita juga sering membantu Ibu dan Putri. Saat putri kesulitan mengerjakan tugas, Anita yang membantunya mengerjakan tugas itu. Saat Putri tidak mengerti suatu pelajaran, Anita yang memberinya penjelasan."Aku mengalihkan pandangan dari piring ke arah Putri. Dia tersentak, mungkin tidak mengira jika ibunya akan ikut menyeretnya ke dalam perbincangan ini."Iya, kan, Putri?" Bu Ana menyenggol lengan Putri."I-iya, Mbak."Putri segera menunduk dan menghindari kontak mata denganku. Terlihat begitu menikmati makanannya. Rupanya dia juga tahu sesuatu, artinya seluruh anggota keluarga Mas Fauzan terlibat dengan semua ini."Anita juga perempuan yang sangat mandiri dan tidak bergantung kepada suaminya."Ah, aku sangat muak mendengar nama Anita. Ternyata ibu mertuaku begitu menyanjungnya. Pantas saja dia setuju saat anaknya berbuat salah. Namun, aku masih belum paham kenapa ibu mertuaku begitu memuji Anita di depanku. Entah apa maksudnya."Anita juga–""Maaf, Bu. Ayam geprek Laura sudah habis, Laura pamit cuci tangan dulu, ya. Tangan Laura kepedesan kena sambal gepreknya," pamitku dan segera beranjak membawa piring bekas makanku. Aku tidak sanggup lagi mendengar nama Anita sebut dan dipuji oleh ibu mertuaku."Ibu kenapa bicara tentang Mbak Anita terus, sih, Bu?! Nanti Mbak Laura bisa curiga, loh.""Loh, Ibu kan cuma membanggakan tetangga Ibu. Apa yang salah dengan itu?""Yang salah karena ibu membahasnya di depan Mbak Anita.""Tapi Ibu kan gak berlebihan memuji Anita, Putri. Ibu hanya mengatakan yang sebenarnya, apa adanya, dan tidak menambah-nambahkan.""Putri tahu, Bu. Tapi, tolong nanti Ibu jangan mengungkit tentang Mbak Anita lagi di depan Mbak Laura. Tadi saja jantungku rasanya hampir melompat ke luar waktu ibu bertanya sama aku dan Mbak Laura menatapku.""Iya, iya, kamu bawel banget sih, Put!"Kudengar bisik-bisik antara Putri dan ibu mertuaku saat aku pamit ke kamar mandi. Mereka tidak tahu jika aku belum jauh dan sedang bersembunyi di balik tembok.Aku menggenggam piring bekas makanku dengan kuat karena menahan emosi. Beruntung piringnya tidak pecah. Gegas aku mencuci tangan dan mencari keberadaan Mas Fauzan."Mas Fauzan.""Mas Fauzan?"Aku sengaja berteriak memanggil nama Mas Fauzan dengan keras saat melihat Mas Fauzan berada di teras rumah Anita. Kalang kabut Mas Fauzan memakai sandalnya."Ka-kamu sudah selesai makan, Sayang? Aku baru saja selesai membawakan ayam geprek untuk Anita. Tadi aku merokok dulu, baru membawakan ayam gepreknya.""Kenapa gugup, Mas?" tanya Laura. "Gugup? Mana ada aku gugup, Sayang, kamu tadi kan panggil aku. Jadi ya Mas jawab panggilan kamu." jawab Fauzan berusaha sesantai mungkin. "Terus kenapa kamu lama Mas?" Laura mengerutkan dahinya menatap Fauzan yang terlihat salah tingkah. "Ya tadi kan aku sudah bilang, kalau ngerokok dulu. Tadi Mas itu ngerokok dulu baru antar geprek ini buat Mbak Anita. Lagi pula Mas rasa itu cuma perasaan kamu aja, Sayang. Perasaan Mas malah Mas cuma sebentar nganternya." Fauzan selalu saja membuat alasan yang membuat Laura semakin curiga. "Ayo Mas kita masuk." Laura menarik tangan Fauzan untuk masuk ke dalam rumah. Saat Laura menarik tangan Fauzan, Fauzan sedikit menoleh ke rumah Anita. "Kalian kenapa tarik-tarikan gitu?" Bu Ana mengerutkan dahinya melihat Laura yang menarik tangan Fauzan. "Nggak apa-apa Bu, cuma pengen istirahat saja. Capek rasanya," jawab Laura sekenanya. "Oh ya Ra."Laura yang dipanggil Bu Ana menghentikan langkah kakinya dan duduk di se
"Kenapa? Biasanya gak pernah nolak?""Maaf, Mas, aku lagi halangan. Jangan sentuh-sentuh takutnya kebablasan." Fauzan menghela napasnya. Sebenarnya dia sedang ingin. Bahkan, menggilir dua wanita sekaligus pun Fauzan rasanya sangat mampu. Itu lah yang sejak dulu ia pikirkan ketika akan menikahi Anita. Yah, Fauzan dan Anita memang sudah menikah secara siri. Awalnya memang berjalan sukses karena Laura tidak mengetahuinya. Namun, kini sepertinya Laura mulai curiga dan jangan harap Laura akan diam saja. "Mas gak mau minta kok, cuma mau peluk saja." Fauzan kembali memeluk Laura dari belakang. Bahkan, tangannya sudah meremas area intim Laura yang menonjol yang sangat disukainya itu tidak besar tidak juga kecil. Sangat pas di tangannya. Namun, alih-alih Laura mendesah, ia justru menepis kasar tangan suaminya itu. Laura pun merubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Ia menatap tajam Fauzan yang masih bingung dengan sikapnya yang mulai berubah. "Kamu kenapa sih, Dek? Sejak tadi sore aku perha
Laura mengambil sandal itu dan melihat secara seksama. Apakah itu benar sandal milik adik iparnya atau bukan. "Iya, ini memang sandal milik Putri. Masa iya dia nginap di sini?" Laura masih menerka-nerka . "Apa aku coba cek aja ke kamar Putri?""Ah iya, kayaknya aku harus cek dulu ke kamar Putri." Laura berbalik arah pulang ke rumah. Ia ingin melihat apakah Putri ada di kamarnya atau tidak. Ia berjalan dengan jantung yang berdetak tak karuan. Entahlah, meski sebenarnya Laura sudah tahu jawabannya setelah ia mendengar dan melihat sendiri apa yang terjadi pada Fauzan dan Anita tadi malam. Namun, rasanya untuk memgetahui lebih detailnya, Laura rasa sedikit takut. Akan tetapi, jika terus dibiarkan maka rasa penasaran itu semakin membuat Laura tersiksa. Tanpa Laura sadari akhirnya ia pun sampai di deoan kamar Putri. Segera ia membukanya sedikit dan secara perlahan agar tidak menimbulkan bunyi. Saat melihat di kamar Putri, Laura terkejut ternyata Putri sedang tidur pulas di kamarnya. "K
"Suara siapa itu? Apa suara Mas Fauzan? Tapi aku kayak gak asing sama suaranya."Ia pun menyusuri jendela-jendela hingga sampai tepat di depan sebuah jendela yang ia yakini itu kamarnya Anita. Sebab rumah Anita memang hanya memiliki dua kamar saja. Laura mengintip di celah gorden yang sesekali terbang tertiup angin dari kipas. Beruntungnya, gorden itu sedikit terbuka. Dengan lampu yang temaram ,Laura memicingkan mata dan menatap tajam ke dalam kamar dari gorden yang tersingkap itu. Ia pun melihat keadaan dalam ruangan tersebut. Mata Laura membelalak saat melihat sebuah pemandangan yang begitu membuatnya jijik. Hingga Laura hampir saja memuntahkan isi dalam perutnya. Bagaimana tidak? Jika Laura sedang melihat Anita dan juga Fauzan yang sedang bergurau tanpa sehelai pakaian. Bahkan, tangan mereka saling mengelus serta membelai ke area intim tubuh mereka. Pikiran Laura langsung sigap kalau ternyata Fauzan dan juga Anita telah melakukan hubungan suami istri. Dada Laura bergemuruh. Ia
Laura pun akhirnya meninggalkan rumah Anita dan menuju pos ronda yang memang setiap malam minggu akan diadakan siskamling bergantian. Dia berjalan sedikit tergesa karena takut kalau Anita dan Fauzan terlebih dahulu menyelesaikan hasrat mereka. Meski Laura harus berusaha menahan hawa dingin yang menusuk kulit tapi semua ia lakukan demi memberi pelajaran pada suami dan gundiknya itu. "Lihat saja, kalian akan menyesal karena sudah menghianatiku." Mata Laura memicing saat melihat ada empat orang pria sedang duduk di pos ronda. Laura pun bergegas mendekati mereka. "Pak, Mas!" Ke empat orang pria tersebut terkejut mendapati Laura yang tiba-tiba saja berdiri di depan mereka. Bahkan, salah satu dari mereka melihat telapak kaki Laura apakah menempel ataukah tidak. "Mbak ini hantu apa manusia?""Astaga, Pak, masa cantik-cantik begini dikata setan? Aku manusia asli, Pak.""Oh syukurlah kalau manusia. Say kira setan, Mbak. Lagian malam-malam begini kenapa keluyuran, Mbak? Ada apa?""Anu, Pak,
Laura meradang. Ia lalu menyuruh para warga mengarak Fauzan dan juga Anita ke balai desa. "Arak saja ke balai desa Pak RT! Biar mereka tau rasa!""Iya setuju! Arak saja mereka berdua ke balai desa ramai-ramai biar malu sekalian kedua orang itu."Para warga mengusulkan untuk mengarak Anita dan juga Fauzan agar semua warga tau kelakuan buruk mereka berdua. Dan kasus Fauzan juga Anita menjadi pelajaran untuk yang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Fauzan dan Anita pun mulai diarak warga ke balai desa. Anita menangis sesenggukan karena rasanya sangat malu sekali. Fauzan tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dirinya pun pasrah, saat ia diarak tak sedikit pun Fauzan menenangkan istri siri nya itu. Fauzan teramat malu karena kini seluruh warga tau kalau Fauzan telah mempunyai istri. Padahal ia dan sang Ibu sudah mati-matian membuat image keluarga harmonis dan bahagia. Ditambah dia juga membuat dirinya terlihat sempurna sebagai suami yang setia dan penyayang istri. Sampailah mereka
RAHASIA SLIP GAJI SUAMIKUSampailah mereka bertiga di kediaman Laura dan Fauzan. Anita yang melihat rumah Laura sangat besar dan bagus, langsung tersenyum. Bayangan indah berkelebat dalam benaknya. Ia membayangkan kalau di rumah itu, dirinya akan menjadi nyonya Fauzan. Laura turun dari mobil diikuti dengan Fauzan dan Anita. Saat Anita ingin masuk ke dalam rumah, Laura mencegah Anita untuk masuk dan menyuruh Anita menurunkan dan membawa masuk barang bawaan mereka. Anita menatap Fauzan, seolah-olah Anita meminta pembelaan dari Fauzan. Fauzan menggeleng, ia pun tak berani membantah ucapan Laura karena Fauzan sadar kalau posisi Fauzan saat ini adalah serba salah. "Eh, kamu mau ke mana?" tanya Laura pada Anita saat Anita mengekor di belakang Laura. "Y-ya mau masuk lah, Mbak." Anita menjawab dengan ragu. "Emang siapa yang nyuruh kamu masuk duluan? Tuh, bawa barang-barang yang di bagasi ke dalam rumah. Ingat! Jangan sampai ada yang ketinggalan." Laura melenggang pergi meninggalkan Anita
"Wah, nggak bisa dibiarin ini! Jangan biarkan pelakor merajalela di kampung kita. Benar nggak ibu-ibu?""Iya betul, ayo kita hajar saja itu pelakor. Jangan biarkan dia merdeka di kampung kita!" ujar Mpok Ipeh dengan api yang berkobar. "Huuu dasar pelakor!" Ibu-ibu menyoraki Anita, ada yang melemparkan telur busuk ke arah Anita, ada juga yang tidak segan-segan meremas payudara milik Anita hingga membuat perempuan itu menjerit karena kesakitan."Aargh! Lepaskan! Saya bukan pelakor!""Mana ada maling ngaku! Lanjut ibu-ibu!"Anita dihajar ibu-ibu kampung habis-habisan. Ada yang menjambak, ada yang melempar tepung yang sudah dibungkus per kilo tepat ke kepala Anita. Ada juga yang menampar pipi milik Anita. Yang lebih ekstrim, ada juga yang memasukkan bubuk cabai ke dalam daster Anita. Anita pun menangis, ia meminta para ibu-ibu berhenti, namun tidak ada satu pun yang berhenti dengan aksinya. Anita sudah seperti adonan donat yang gagal ngembang. Laura yang melihatnya pun miris dengan a