Kinan menghabiskan Minggu sorenya dengan berkutat di halaman depan rumah tak terlalu luas. Mencoba menenangkan hati setelah insiden iuran sampah kemarin. Wanita muda itu pun tak terlalu menanggapi suami tak tahu malunya itu.
Merapikan susunan pot tanaman hias yang mulai tak teratur, mencabuti rumput liar yang tumbuh di beberapa pot, dan tak lupa memangkas pucuk tanaman yang sudah terlihat menguning. Koleksi tanaman hiasnya tak banyak, tapi cukup menghibur hati di kala sedang tak bersahabat.Melihat Rafif yang asyik dengan mainan mobil-mobilan berwarna kuningnya, hati Kinan sedikit tenang. Yang terpenting anaknya bahagia saat ini. Tak perlu menggugat nasib yang sedang dijalaninya.Perlahan tangan Kinan memotong beberapa tangkai daun asparagus yang tak lagi berwarna hijau. Setelah itu mencongkel tanah di pot tanaman wijaya kusuma yang sedang rimbun dengan kuncupnya. Saat tengah malam nanti kuncup-kuncup itu akan berubah bentuk menjadi bunga putih yang bermekaran. Bibir mungil Kinan menyunggingkan senyumnya saat melihat beberapa kuncup mawar yang siap menunjukkan baktinya. Terakhir tangannya sigap memangkas beberapa helai daun Calathea zebrina yang sudah tua. Aroma melati di pot semen berbentuk persegi menyeruak, memenuhi rongga penciumannya.Bukan tanaman hias mahal, tetapi bagi Kinan tanaman-tanaman itu sungguh berguna untuk dirinya. Saat hatinya gundah, melihat kelopak mawar ungu sedikit menenangkan jiwanya. Saat malam-malamnya resah, kelopak wijaya kusuma yang mulai membuka seolah mengingatkan dirinya bahwa keindahan itu akan tiba jika sudah waktunya. Tak mungkin pula bagi Kinan untuk mengoleksi tanaman hias mahal. Susu dan popok sekali pakai Rafif lebih berharga untuk ditukar dengan serumpun kecil tanaman hias yang sedang digandrungi saat ini."Kinan, lagi sibuk ya?" Terdengar suara teguran saat memecah keheningan.Kinan menolehkan kepalanya ke sebelah kanan, sumber asal suara. Tampak seorang wanita sedang berjalan ke arahnya. Rekan kerja sekaligus teman dan sahabat, bahkan Kinan sudah menganggap wanita itu sebagai saudaranya. Tinggal jauh dari keluarga, tak ayal Kinan harus mencoba mencari seseorang sebagai pengganti keluarganya. Keluarga kedua yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk dimintai tolong saat dibutuhkan. Kinan menegakkan tubuhnya yang sedari tadi berjongkok. Tak mau mengambil posisi membungkuk karena Kinan tahu posisi itu akan membuatnya tersiksa nanti malam. Dua tahun belakangan ini, Kinan sering merasakan pegal-pegal di punggungnya jika sering membungkuk."Kak Dinda? Darimana? Kenapa Kakak berjalan kaki?"Kinan berjalan menyambut kedatangan tamunya. Wanita yang umurnya sedikit lebih tua dari Kinan. Wanita yang disapa Kinan dengan nama Dinda itu hanya tersenyum. Sebenarnya tiap hari mereka bertemu di sekolah. Namun kedatangan Dinda kali ini tentu membawa kebahagiaan sendiri.Rumah Dinda ada di desa sebelah. Tentu saja kehadirannya sore itu ke rumah Kinan menimbulkan keheranan sendiri bagi si empunya rumah."Kakak menemani Bang Ridwan ke rumah Amir, temannya yang tinggal di rumah hijau itu." Dinda mengarahkan telunjuk kanannya ke arah salah satu rumah di seberang jalan." Oh, Bang Amir ... yang istrinya tukang jahit itu kan, Kak?"Kinan mencuci tangannya di keran air yang memang ada di halaman rumah. Biasanya digunakan untuk wudhu dan mencuci motor, selain tentunya untuk menyiram tanaman."Iya. Tapi Kakak juga kurang tahu apa urusan Bang Ridwan dengan Bang Amir. Biarlah ... urusan laki-laki. Eh, Nan ... ini Kakak bawakan beberapa mainan Iqbal! Kemarin Kakak kan beres-beres rumah. Iqbal nggak mau lagi main robot-robot model gini. Ya udah, Kakak langsung ingat Rafif." Dinda menyodorkan satu kantong plastik hitam berukuran cukup besar kepada Kinan."Kakak repot-repot sampai diantarkan segala seperti ini. Kenapa nggak telepon saja, biar aku ambilkan ke rumah?"Kinan melongok isi plastik hitam itu. Cukup banyak robot mainan dengan beraneka model dan warna. "Tadinya mau Kakak bawa besok ke sekolah. Eh, pas tadi denger Bang Ridwan mau ke daerah sini Kakak langsung mikir. Mending Kakak langsung saja antar sore ini. Lagi pula sudah Kakak lama nggak ketemu Rafif. Tapi maaf ya, Nan. Cuma bekas, bukan yang baru."Dinda langsung berjalan ke arah Rafif, mencium pipi bocah itu dengan gemasnya. Kinan tampak menyusul langkah Dinda."Ini saja sudah alhamdulilah, Kak. Masih bagus-bagus gini juga. Eh, kenapa nggak ajak Iqbal sekalian?""Mana mau anak itu ikut lagi, Nan. Mau main sama teman-temannya saja katanya tadi." Dinda menggendong Rafif dan mendudukkannya di pangkuan.Iqbal putra semata wayang Dinda itu memang diketahui Kinan sudah duduk di kelas enam SD."Itu tandanya Kakak sama Bang Ridwan wajib tambah satu lagi hehe .... Kakak duduk dulu ya! Aku goreng empek-empek dulu sebentar. Kebetulan tadi pagi buat empek-empek buat stok camilan."Kinan meletakkan kantong plastik hitam itu di dekat Dinda. Dinda mengambil salah satu mainan di dalamnya dan menyodorkannya kepada Rafif. Batita itu senang sekali tampaknya."Alhamdulillah, rezeki. Sudah lama Kakak tidak mencicipi empek-empek buatanmu. Eh, ngomong-ngomong Ardi di dalam ya Nan?""Nggak, Kak. Bang Ardi sedang ke rumah temannya. Tadi pergi habis Zuhur, belum kembali sampai sekarang. Titip Rafif ya Kak!"Kinan melangkah cepat ke dalam rumah. Dinda menganggukkan kepala seraya sibuk dengan menggoda Rafif. Dunia anak-anak begitu dengan mereka. Di taman kanak-kanak tempat mereka bekerja, beragam tipikal anak mereka temui. Ada yang mudah diatur, tapi ada juga yang bawaannya manja luar biasa. Bagi mereka yang mencintai dunia anak, hal itu tak masalah. Terkadang rasa lelah yang muncul akan terobati saat melihat senyum dan tawa anak-anak didik mereka itu.Kinan kembali muncul dengan sepiring empek-empek hangat yang aromanya sungguh menggoda. Semangkuk cuka hitam dengan tambah jeruk kunci khas daerah mereka memberikan sensasi aroma yang tak kalah nikmatnya."Wah, enak sekali baunya! Mantap nih sore-sore begini menikmati empek-empek hangat seperti ini!" ujar Dinda yang langsung tersenyum sumringah melihat Kinan yang muncul bersama priring di tangannya itu Kinan tersenyum. "Aku ambilkan air putih dulu ke dalam, Kak!" ujar Kinan seraya meletakkan empek-empek dan cukanya di atas meja kecil, tak jauh dari posisi duduk Dinda.Tak lama Kinan kembali. Meraih Rafif yang ada di pangkuan Dinda dan mendudukkannya sembari mengambil beberapa robot mainan dari dlaam kantong plastik hitam."Kakak makan dulu, mumpung masih hangat."Dinda tak menjawab dan langsung mengambil beberapa potong makanan favoritnya itu. Menyiramkan kuah cuka ke atas empek-empek dan mulai menyantapnya. "Empek-empek buatanmu emang maknyus, Nan! Beda dengan rasa buatan Kakak. Eh, ngomong-ngomong ... Ardi mau membeli kebun sawit ya Nan?"Kinan tersentak mendengar pertanyaan Dinda. "Semalam Bang Ridwan cerita. Sore kemarin Bang Ridwan ketemu Ardi dengan temannya di lokasi kebun sawit Ilham, teman Bang Ridwan. Setahu Bang Ridwan, kebun sawit itu mau dijual."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak mengerti dan bingung."Kemarin memang Bang Ardi melihat kebun sawit dengan Rahmat sih Kak! Tapi Bang Ardi nggak pernah ngomong kalau mau beli." Kinan menyampaikan apa yang diketahuinya. Tak mungkin jika Ardi berniat membeli kebun sawit yang harganya pasti mahal."Kakak iri dengan kalian, Nan. Baru menikah sudah mampu membeli rumah. Apalagi gaji Ardi sebagai satpam di bank kan besar. Kalian benar-benar harus banyak bersyukur."Kinan menyunggingkan senyumnya."Rumah ini dibayar dengan pinjaman dari bank, Kak. Sepuluh tahun masa pinjamannya. Masih tersisa lima tahun lagi.""Masih mending, Nan. Kakak dan Bang Ridwan itu lima tahun menikah masih ngontrak. Mengumpulkan recehan agar bisa membeli tanah dan membangun rumah. Mau pinjam uang ke bank takut tak terbayar. Kamu paham sendiri, Bang Ridwan sebagai montir itu pendapatannya tak tetap."Lagi-lagi Kinan hanya menyunggingkan senyum. Apakah dia harus bersyukur dengan pekerjaan dan pendapatan Ardi yang katanya tetap tiap bulannya itu, sedangkan dia sendiri tak tahu berapa nominal gaji laki-laki yang bergelar suaminya itu? Bulir bening tak mampu dicegah Kinan, lolos dengan sendirinya membasahi pipi."Kamu menangis, Nan? Kakak salah bicara ya?" Dinda meletakkan piringnya. Masih tersisa beberapa potong empek-empek di sana.Kinan memejamkan matanya. Dinda bukan orang lain baginya. Dinda tak tahu bagaimana rasanya menjadi istri bayangan seperti yang telah dijalaninya selama ini. Hanya gelar istri yang dia dapatkan, lainnya tidak.Dinda meraih jemari Kinan dan menggenggamnya. Ada kehangatan yang dirasakan Kinan pada wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak kandung itu."Kakak percaya jika aku tak tahu berapa gaji Bang Ardi setiap bulannya?Kinan memejamkan matanya. Membayangkan betapa buruk nasibnya selama ini. Orang lain mungkin tak pernah menyangka jika dia sampaikan hal ini. Dinda hanya mampu terperangah mendengar penuturan Kinan."Selama lima tahun menikah kamu tak pernah tahu berapa gaji Ardi? Maksudnya bagaimana, Nan?""Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta