Share

Luapan Rasa

"Selama lima tahun menikah kamu tak pernah tahu berapa gaji Ardi? Maksudnya bagaimana, Nan?"

Kinan tak menjawab. Tapi Dinda yakin isakan tangis yang dikeluarkan wanita di hadapannya itu menjawab segalanya. Kinan menutupi sesuatu, Dinda meyakini itu.

"Kalau kamu percaya pada Kakak, bicaralah! Ungkapkan semua yang kamu pendam! Tak baik menyimpannya sendiri. Kakak yakin, kamu menutupi sesuatu, Nan!" ucap Dinda seraya mengeratkan pelukannya pada Kinan.

Tak ada jawaban. Hanya raungan tangis yang semakin jelas terdengar, walau Dinda tahu Kinan berusaha menahannya.

"Kita masuk ke dalam saja, Nan! Tak enak dilihat orang yang lewat nantinya."

Dinda menguraikan pelukannya. Mengangkat tubuh Rafif masuk ke dalam rumah melalui pintu depan. Ruang tamu yang kebetulan tak terkunci memudahkan gerakan Dinda. 

Setelah memindahkan tubuh Rafif, Dinda pun ikut memindahkan beberapa mainan Rafif dari teras tadi. Beruntung, batita itu tak banyak tingkah.

Terlihat Kinan mulai mengangkat tubuhnya perlahan. Tampak jelas di mata Dinda, wanita yang selama ini terlihat tegar itu sedang dalam kondisi tak baik.

"Kamu dapat bercerita jika memang itu dapat mengurangi resah yang kau rasa, Nan!" Perlahan Dinda kembali mencoba menenangkan Kinan dengan duduk di sampingnya. Merangkul bahu Kinan untuk membagi kekuatan yang ada pada dirinya. 

"Ini aib keluargaku, Kak! Tak pantas aku membukanya." Isak tangis terdengar lirih menyertai ucapan Kinan.

"Kakak tak memaksa. Kakak hanya menawarkan saja padamu jika hendak berbagi rasa. Kakak sudah menganggapmu seperti adik sendiri. Aib keluargamu, aib keluarga Kakak juga artinya. Insya Allah, Kakak amanah! Kakak rasa bercerita akan mengurangi beban yang kamu rasa saat ini, Nan." Dinda mengelus pundak Kinan berkali-kali. Mencoba menenangkan hati wanita yang mungkin saat ini sedang terpuruk menyimpan semua lukanya sendiri.

Kinan memiringkan tubuhnya. Netranya beradu dengan bening mata Dinda. Kinan mencoba meyakinkan dirinya, haruskah membuka kisah rumah tangganya?

Dinda tersenyum, mencoba meyakinkan Kinan bahwa dirinya berharap yang terbaik untuk wanita yang dia tahu tak punya saudara di daerah ini.

"Jaga aib keluargaku, Kak!" pinta Kinan dengan wajah memelas.

Dinda menganggukkan kepalanya. Lagi-lagi tersenyum seolah terus memberi kekuatan pada Kinan untuk membuka kisah yang selama ini dipendamnya sendiri.

"Kakak percaya jika aku tak pernah tahu berapa besar gaji Bang Ardi setiap bulannya?"

Dinda tak menjawab. Hanya mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti.

"Lima tahun pernikahanku, Bang Ardi tak pernah memberikan uang gajinya kepadaku."

Dinda membelalakkan matanya. Cukup menunjukkan tanda bahwa pernyataan Kinan sungguh mengejutkannya.

"Semua kebutuhan rumah tangga ini aku yang menutupinya dengan gajiku. Termasuk dengan honor yang kudapat saat dapat orderan manggung bersama kelompok Bang Iwan."

Kinan dan Dinda memang cukup beruntung. Bekerja di sebuah Taman Kanak-kanak yang cukup terkenal di daerah mereka, membuat penghasilan mereka jauh lebih tinggi dari rata-rata gaji guru Taman Kanak-kanak lainnya. Tempat pendidikan sekaligus penitipan itu menyediakan jasa layanan yang sangat membantu para orang tua yang bekerja sampai sore hari. Tak heran, banyak yang memilih sekolah mereka sebagai tempat pendidikan putra-putrinya.

Jika Senin sampai Jumat mereka bergelut dengan anak-anak didik sampai pukul empat sore, hari Sabtu mereka dapat pulang lebih cepat. Jam dua belas siang aktivitas pembelajaran selesai. Pekerjaan yang lelah, namun sebanding dengan penghasilan yang mereka terima tiap bulannya. Di atas Upah Minimum Rata-rata yang ada.

"Astagfirullah ... kamu serius, Nan?"

Dinda jelas-jelas sangat terkejut. Matanya sampai membulat dan mulutnya terbuka sesaat. Terperangah mendengar kisah pilu Kinan.

"Kamu memangnya tak pernah meminta, Nan? Ardi waras kan? Atau jangan-jangan laki-laki itu otaknya tak penuh!" ujar Dinda dengan nada geram. 

Isakan tangis lagi-lagi terdengar dari bibir Kinan. 

"Tentu pernah, Kak. Di awal pernikahan kami Ardi memang masih tak membebankan urusan tangga padaku. Mungkin karena aku belum bekerja saat itu, setelah berhenti dari pekerjaanku sebelum menikah dengannya. Aku hanya mengeluarkan uang tabunganku yang tersisa sedikit untuk membeli keperluan pribadiku saja. Semua kebutuhan rumah tangga, Bang Ardi sudah menyediakannya. Jadi aku tinggal memasak dengan bahan-bahan yang sudah dibelikannya."

Mata Kinan menerawang. Pandangannya lurus ke depan. Tapi jelas sekali terlihat, wanita itu mencoba mengurai kisah yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. Lagi-lagi dengan dalih itu adalah aib keluarga.

"Tapi setelah aku mulai bekerja lagi, semua kebutuhan rumah tangga seolah-olah adalah tanggung jawabku, Kak. Uang belanja kebutuhan rumah tangga dialihkan Bang Ardi untuk tabungan kami."

Kinan mengurai kisahnya dalam isakan. Sebenarnya berat bagi Kinan untuk membuka kisah ini kepada orang lain. Namun saat ini, dadanya terasa sesak. Dia harus melepaskan sedikit beban yang menghimpit dadanya.

"Untuk kebutuhan sehari-hari kalian juga, Nan?" Dinda bertanya seraya menyodorkan kotak tisu yang diambilnya dari atas meja.

Tak menjawab, Kinan hanya menganggukkan kepala. 

"Padahal Ardi juga menikmati semua masakan yang sajikan, bukan? Apa memang Ardi tak punya rasa malu lagi, menikmati jerih payah istri setiap harinya?"

Lagi-lagi Kinan tak menjawab. Kali ini kedua telapak tangannya menutup wajah yang penuh air mata itu. Untung saja, Rafif belum terlalu mengerti kondisi yang terjadi saat ini. Sibuk dengan mainan robot-robotnya, tak terlalu memperhatikan ibunya.

Dinda menarik napas dalam-dalam. Tak menyangka mendengar semua kisah Kinan, wanita yang begitu rapi menyimpan lukanya.

"Setiap aku menyinggung tentang pendapatanku yang habis untuk belanja kebutuhan rumah, Bang Ardi akan mengungkit tentang pekerjaanku. Memang benar, aku bekerja di sekolah kita salah satunya karena rekomendasi paman Bang Ardi. Beliau kebetulan kenal dengan ketua yayasan. Dan itu seakan dijadikan senjata oleh Bang Ardi, seolah-olah yang aku peroleh juga berkat bantuan keluarganya.

"Paman Ardi? Pak Imam maksudmu? Setahu Kakak, beliau memang kenal dengan Pak Agung, ketua yayasan. Tapi Pak Agung tipikal orang yang tak mau menerima seseorang untuk  bergabung di yayasan, walaupun atas rekomendasi. Beliau akan tetap menerima pegawai berdasarkan hasil seleksi. Murni, tak bisa diganggu gugat."

Kinan cukup terkejut mendengar pernyataan Dinda.

"Kakak yakin?" Kinan mengangkat wajahnya yang yang ditempeli beberapa potongan tisu.

"Yakin, bahkan seyakin-yakinnya! Soalnya Kakak kan duluan bekerja dari kamu di sana, Nan. Pernah ada seseorang yang melamar dengan menggunakan rekomendasi pak Bupati. Namun hasil tes akademik dan wawancaranya peringkat ke empat, sedangkan yang dibutuhkan cuma dua, jadi gadis itu tidak diterima."

Kinan semakin tersedu. Ternyata selama ini dirinya tak pernah berhutang budi pada keluarga Ardi. Apakah Ardi tahu tentang hal ini? Atau itu hanya senjata Ardi semata untuk menekannya? Mengungkit-ungkit masalah hutang budi yang sebenarnya tak pernah ada. Jika benar semua itu, sungguh Kinan tak akan memaafkan laki-laki itu.

"Orang tuamu tahu tentang semua ini, Nan?"

Hanya gelengan kepala yang menjadi jawaban Kinan atas pertanyaan yang diajukan Dinda. Tak perlu mengeja kata, Dinda pasti tahu maknanya.

"Kakak boleh menanyakan sesuatu padamu? Mungkin agak sensitif. Tapi sejak pertama mengenalmu, pertanyaan ini sudah ada. Hanya saja, Kakak tak nyaman menyampaikannya."

Kinan kembali menoleh ke arah Dinda. Memicingkan mata seolah bingung dengan arah pertanyaan yang akan disampaikan. Tapi tak urung, kepalanya mengangguk.

"Kenapa kamu memilih Ardi sebagai suami? Dari segi fisik saja, kamu cantik, Nan! Kakak yakin, banyak laki-laki yang menginginkan dirimu untuk dijadikan istri dulunya. Satu hal lagi, kamu sarjana. Kok bisa-bisanya menikah dengan Ardi yang cuma tamatan paket C saja? Bukan maksud Kakak merendahkan Ardi, tapi semua orang berpikir seperti Kakak. Timpang seperti itu, Nan! Semua orang di daerah sini tahu semua tentang kehidupan Ardi selama ini," ucap Dinda dengan nada kesal.

Kinan hanya mampu menarik napas panjang. Dalam-dalam, mencoba mengisi rongga jantungnya dengan suplai oksigen yang penuh.

"Rahasia Allah, Kak. Kita tak pernah mampu merancang takdir. Dan inilah takdirku, Kak."

Dinda hanya mampu menyimpan rasa kecewa akibat pertanyaan yang mendapat jawaban tak seperti yang diharapkannya. Bagi Dinda, Kinan sungguh luar biasa, masih mampu menjalani takdir yang sungguh benar-benar tak berpihak padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status