Kinan keluar dari kamar setelah menidurkan Rafif. Batita itu tampaknya kelelahan setelah bermain dengan banyak robot mainan baru dari Dinda.Membuka tudung saji yang ada di atas meja makan, Kinan menemukan dua potong ikan bawal masih tersisa di mangkuk. Kinan memasukkan mangkuk berisi potongan bawal lempah kuning nanas itu ke dalam kulkas. Sayang, mubazir jika dibuang. Dia memilih tak makan malam karena masih kenyang setelah menikmati beberapa potong empek-empek sebelum kedatangan Dinda tadi sore. Tampak Ardi duduk di depan televisi sambil memainkan gawainya. Tak jelas aktivitasnya saat ini. Acara televisi ataukah gawainya yang menjadi pilihan. Kinan menyiapkan beberapa perlengkapan untuk mengajarnya besok pagi."Mukamu sembab, Dek. Kamu habis menangis?" tanya Ardi sembari tetap menggerakkan jemarinya di layar pipih miliknya itu.Kinan tak menyadari jika bekas tangisannya tadi sore masih meninggalkan jejak di wajah putihnya. "Dek ... Ab
Kinan melanjutkan pertanyaannya. Berharap rasa penasarannya akan terjawab. Mungkin sekarang ini saatnya untuk meluapkan emosi yang selama ini terlah bergumul di dadanya. "Iya ... Kalau cukup uangnya, Abang berencana ingin berkebun sawit. Lumayanlah pengisi hari Sabtu dan Minggu. Lagi pula itu bentuk investasi keluarga kita. Abang selalu berpikir untuk jangka panjang. Bukan hanya sekarang saja."Ardi merasa tak ada yang salah dengan rencananya. Dia bertanggung jawab pada masa depan keluarganya. Bahkan sejak saat ini, semua itu telah dipersiapkannya. Toh dia juga menggunakan uang tabungannya sendiri, tak meminta pada Kinan. Hasil biji sawit yang terjual nanti dapat ditabung kembali untuk masa depan mereka. Dimana letak salahnya?"Abang hebat ya! Abang punya tabungan, tapi aku sebagai istri menghabiskan seluruh uang yang kudapat untuk kebutuhan rumah tangga kita. Aku ini tulang rusuk, Bang. Bukan tulang punggung. Bukan kepala keluarga yang harus menafkahi ke
Seminggu berlalu sejak Kinan mulai mencoba mengungkapkan isi hatinya pada sang suami. Tak ada perubahan yang dirasakan Kinan atas diri Ardi. Belanja kebutuhan sehari-hari tetap Kinan lakukan walau kadang dengan perasaan dongkol. Tapi jika tak belanja, dirinya dan Rafif harus makan apa?Percuma berharap kepada manusia yang hatinya bagaikan batu seperti Ardi. Hanya melelahkan saja untuk berbicara banyak hal terkait tanggung jawab padanya, tak ada gunanya. Yang ada ubun-ubun akan dipenuhi emosi saja nantinya.Kinan memasuki rumah yang tampak sepi. Jam mungil di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Rasa lelah benar-benar mendera tubuhnya. Hari Minggu yang harusnya digunakan untuk beristirahat dihabiskan Kinan untuk manggung di hajatan nikah. Bernyanyi, menyalurkan bakat sekaligus menyalurkan emosi agar tak memicu stres. Dan yang paling penting juga, ada beberapa lembar helaian biru yang akan Kinan terima setelah itu. Lumayan untuk belanja satu ming
Kinan bersuara sembari menatap wajah Yuk Diana. Memastikan jika ucapan wanita itu tak salah."Ayuk bukannya tak tahu, bagaimana Ardi memperlakukanmu selama ini. Ayuk mengenal Ardi sudah sejak lama. Bukan baru sekarang seperti dirimu."Kinan mulai mengerti arah pembicaraan wanita yang ada di hadapannya. Tapi rasanya, tak elok membuka aib suami sendiri kepada orang lain. Sekecewa apa pun dirinya pada Ardi, Kinan harus tetap menghargai laki-laki yang bergelar suaminya itu. Aib rumah tangga tentunya akan menjadi rahasia suami dan istri saja. Tak patut rasanya diumbar kepada siapa pun tentunya. Sesakit dan sekecewa apa pun dirinya pada sikap dan perlakuan lelaki itu, tetap saja status itu masih disandangnya sampai sekarang. Masih kewajibannya untuk menjaga keburukan lelaki itu."Ardi baik pada Kinan, Yuk. Mengapa Ayuk sampai berpikir Ardi memperlakukan Kinan dengan buruk?" Kinan mencoba berkelit. Aktivitas makan rujak tetap dilanjutkannya, seolah tak ada beban
Sejak perbincangannya dengan Yuk Diana sore itu, batin Kinan semakin tak tenang. Hatinya selalu menduga-duga, apakah yang dikatakan Yuk Diana itu benar adanya? Apakah Ardi benar-benar telah melakukan perbuatan itu hanya untuk mendapatkan dirinya?Bukan hanya sekali atau dua kali, berkali-kali Kinan mendapatkan pertanyaan tentang pilihannya untuk melabuhkan hati pada Ardi. Bukan hanya dari orang lain, bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Bahkan sejak awal dirinya memohon restu."Kamu yakin mau menikah dengan Ardi, Nan? Maaf ... bukan Bapak tak setuju dengan pilihanmu. Bapak juga bukan tipikal memilih-memilih menantu. Yang penting anak Bapak bahagia, itu yang utama."Tampak Bapak menarik napas dalam-dalam. Putri pertamanya sudah dewasa, sudah layak untuk berumah tangga. Namun entah mengapa, hati kecilnya merasa tak rela dengan pilihan hati gadisnya."Perkenalanmu dengan Ardi baru enam bulan, cukup singkat bagi Bapak dan Ibu. Kamu sarjana, Nan. Se
Kinan melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. Diambilnya piring dari rak. Saat hendak mengisi piringnya dengan lauk, lagi-lagi Kinan terperanjat. Lauk yang sudah dimasaknya tadi pagi hampir tak bersisa. Ayam yang dimasaknya dengan pucuk daun kedondong hanya tersisa beberapa potongan kecil saja. Tanpa daging sama sekali. Perut yang sudah terasa lapar memaksa Kinan tak banyak bicara. Diambilnya seluruh potongan ayam yang tersisa. Untung saja, pucuk daun kedondong yang ditambahkan dalam masakan khas daerah mereka itu cukup banyak. Cukup menjadi penambah lauknya siang menjelang sore itu. Daripada hanya sekadar makan nasi putih saja.Tepat suapan terakhirnya, Kinan melihat Ardi keluar dari kamar tidur. Raut wajahnya tenang, tak ada rasa bersalah. Wajahnya segar, berbanding terbalik dengan wajah Kinan yang menahan lapar dan rasa kesal."Abang habiskan lempah kuning ayamnya ya?"Kinan tak sabar mendapatkan jawaban atas praduganya. Sebenarnya
Kinan meletakkan gawainya di atas kasur. Dua puluh menit Kinan menghabiskan waktu berbincang dengan ibunya. Tak bertatap muka secara langsung, namun cukup untuk mengobati rasa rindu di hati atas wanita yang telah melahirkannya itu. Jarak yang membentang di antara mereka. Meskipun di pulau yang sama namun tetap saja Kinan tak dapat sering-sering menemui orang tuanya. Ada tanggung jawab yang tak boleh diabaikannya.Saling bertukar kabar, Kinan tetap memilih menutup semua pedih dan rasa sakit hati atas perlakuan suaminya. Bagaimanapun, Ardi adalah pilihannya. Lelaki yang dipercayainya dengan sepenuh hati dan jiwa sebagai sandaran hidup untuk menua. Bukan hasil perjodohan orang tuanya. Apalagi ayahnya cukup merasa keberatan atas sosok laki-laki yang dipilihnya itu sejak awal. Restu itu terpaksa diberikan karena Kinan yang bersikeras.Kinan menghela napas panjang. Kabar yang disampaikan ibunya tadi cukup membuat otaknya berpikir keras. Bukan tentang kesehatan kedua oran
"Aku minta sekali ini saja kamu mampu menggunakan hati dan otakmu, Bang! Aku mau kita memberikan uang untuk membantu resepsi Sekar nantinya. Paling tidak ... kita menyumbang satu pondok makanan nanti. Aku malu jika tak memberikan apa-apa, Bang! Aku bekerja, kamu juga bekerja. Tak mungkin kita tak menyumbang apa-apa, Bang!"Akhirnya Kinan harus berkata cukup keras untuk menyampaikan niatnya. Semoga Ardi paham dengan maksud hatinya."Apa kamu tak malu jika kita tak ikut menyisihkan sedikit rezeki kita pada Sekar, Bang? Aku malu! Walaupun mungkin Abang sudah putus urat malu itu."Apa Abang melarangmu? Kan tidak, Dek. Abang sudah bilang, jika ada uang ... berikan semampumu. Abang tak melarang. Silahkan!"Kinan harus berkali-kali mengucapkan istighfar. Walaupim reaksi Ardi sudah diduganya, tetap saja rasa kesal dan emosi muncul saat berhadapan dengan laki-laki ini. Hati boleh sama bentuknya, namun tak semua orang ternyata memiliki nurani. Jik