MasukRuang tengah siang ini terdengar suara pembawa berita gosip. Dinara duduk tanpa melihat siaran televisi, benda itu hanya diputar untuk meramaikan rumahnya yang sepi setelah ayah ibunya berangkat kerja.Sementara itu dirinya sedang asyik duduk sambil merapikan kuku karena nanti sore pemotretan. Dia begitu tenang seolah dunia baik-baik saja setelah dia mendorong wanita tua tak berdaya dari kursi roda kemarin.Tak berselang lama Julius datang dari arah pintu, tak perlu mengetuk atau meminta ijin bertemu karena sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Dia lalu duduk begitu saja di samping Dinara."Aku punya kabar yang mengejutkan. Kau mau mendengarnya?"Dinara menutup tutup kuteks dan meniup kuku-kukunya perlahan. “Bicara apa? Kau terlihat muram sekali.”Julius menelan ludah mencoba memulai dengan hati-hati.“Aku baru pulang mendengar dari ibuku. Ibuku bercerita jika Widipa minggu depan—” Julius menatap Dinara, ragu lalu meneruskan kata-katanya.“—Widipa melamar Danastri.”Dinara berhenti m
Koridor ruang IGD masih lengang ketika Sagara akisakeluar dari ruang tindakan. Dia baru saja selesai memasang infus pada pasien anak dan berniat menuju ruang dokter untuk meneguk kopi saat ponselnya bergetar.Alisnya mengernyit seketika. Panggilan dari tempat itu hampir tidak pernah datang kecuali dalam keadaan genting.Sagara menggeser tombol hijau, cemas akan terjadi sesuatu pada orang yang disayanginya."Halo ... dengan dokter Sagara." Suara perempuan terdengar panik."Iya suster. Ada apa?""Dokter, maaf menganggu kesibukan anda. Kami memberitahu mengenai kondisi ibu dokter. Tadi siang ada insiden. Kami butuh dokter ke sini secepatnya.”Langkah Sagara langsung terhenti. Detak jantungnya melonjak. “Insiden apa? Apa yang terjadi dengan ibu saya?”“Kami… menemukannya terjatuh dari kursi roda di tangga turun menuju ruang terapi. Tidak ada saksi," kata perawat di seberang terdengar ragu."Lalu bagaimana dengan kondisi ibu saya sekarang?""Kami sudah melakukan pemeriksaan di bagian kepal
Sagara keluar dari apotek, kantong kecil berisi obat di tangannya dan sebotol air mineral. Asam lambungnya beberapa hari ini kambuh. Hanya minum obat dari apotek sudah mengurangi rasa sakitnya.Nada notifikasi ponselnya terdengar di saku kantung, dia pun mengambil dan membaca isi pesan dari Danastri lalu tersenyum. Hatinya ikut gembira meski dia tahu Danastri tak akan bisa dia miliki.["Mas, minggu depan ayah Sailendra meminta kami untuk bertunangan. Aku harap mas datang sebagai saksi."]Widipa baru hendak memasukkan ponsel ke saku ketika sebuah suara yang sangat familiar menghentikan langkahnya. Dia menoleh mendapati Dinara berdiri di sana dengan pakaian santai.Sagara langsung memalingkan wajah, berniat berjalan melewatinya. Namun Dinara bergerak cepat dan menghalangi langkah Sagara, dia ingin mengutarakan isi hatinya.“Hei ... Kita perlu bicara, Mas!"“Aku tidak punya waktu.” Sagara berhenti, rahangnya mengetat."Hanya sebentar tidak sampai setengah jam," desak Dinara yang kini men
Cahaya mentari menerobos tirai tipis jendela, membentuk garis-garis lembut di lantai apartemen. Dia bangun menyadari apartemennya kini terasa hidup setelah dua hari Widipa menemaninya.Di luar kamarnya terdengar suara gemerisik serta aroma masakan.Danastri turun dari ranjang lalu berjalan pelan menuju dapur.Sudah dua hari ini Widipa sibuk di pagi hari sedang memasak telur dan menyiapkan bubur ayam instan yang dia modifikasi seolah itu hidangan hotel bintang lima.“Pagi, Sayang." Widipa menoleh. Begitu melihat Danastri, dia tersenyumDanastri hanya berdiri di ambang pintu. Kadang dia berpikir benarkah Widipa sudah kembali? Dia tak ingin kehilangan pria itu lagi.“Hari ini aku buat bubur andalanku. Hanya dua macam sarapan yang bisa aku buat." Widipa meletakkan spatula dan mendekat.“Tidak apa. Masakanmu enak kok."Danastri menunduk sedikit, suaranya pelan.Mereka duduk berhadapan di meja makan kecil. Suasana hening sejenak, hanya ada suara sendok yang mengetuk mangkuk.Selama dua hari
Dinara bangun dari tidurnya, memungut pakaiannya lalu memakainya kembali. Semalam dia bergelut mesra dengan Julius. Kebiasaan buruk Dinara jika sedang emosi, dia akan meminta Julius untuk memuaskannya.Dinara melihat Julius sudah tidak ada di atas kasus, dia tak peduli lalu menyisir rambutnya dan mengoleskan bedak kemudian pergi meninggalkan apartemen sahabat sekaligus teman tidurnya.["Aku pergi. Ada roti dan susu di lemari pendingin."]Dia membaca pesan Julius yang ditempel di balik pintu kamar. Dia mendecih lalu berjalan melewati meja makan, dia lebih memilih meminum susu sembari mencari nomer seseorang yang ingin dia mintai bantuan."Sudah kau siapkan barang yang kupinta semalam?""Sudah, Nona. Mau saya kirim ke mana?""Biar aku saja yang ambil di kantormu," kata Dinara meneguk habis botol kecil susu putih tersebut.Dinara mulai merencanakan sesuatu untuk memisahkan Danastri dan Widipa. Dinara bergegas pergi dan menutup pintu apartemen Julius kemudian menaiki lift. Ketika pintu li
Danastri keluar dari hotel dengan langkah terseret, napasnya memburu seperti baru saja lari dari sesuatu yang menakutkan. Kerlap-kerlip lampu kota terasa terlalu terang, terlalu ramai, terlalu bising untuk hati yang sedang pecah.Matanya berkaca-kaca, tetapi dia menolak menangis. Ketika sebuah taksi berhenti di depannya, Danastri hanya membuka pintu dan masuk tanpa bicara apa pun."Selamat malam, Nona. Mau ke mana tujuannya?" "Putari saja kota ini yang jauh sampai saya berkata untuk berhenti. Nanti saya akan bayar ongkosnya berapa saja," ucap Danastri nyaris berbisik."Baik, Nona." Tanpa banyak bicara bapak tua itu pun menyetir perlahan seolah tahu jika sang penumpang memiliki masalah.Taksi melaju menembus malam. Danastri bersandar pada jendela sambil memandangi lampu kota yang memanjang seperti goresan cat. Dada terasa penuh, tenggorokan perih, dan pikirannya kacau. Semua terasa seperti mimpi yang buruk.Dia benar-benar terkejut saat Widipa mengatakan dia tak hilang ingatan dan bek







