LOGINSagara masih mencari keberadaan sosok pria yang ada di balik selembar foto di tangannya. Pria itu adalah salah satu yang menghancurkan usaha sang ayah selain Bagas. Beberapa tahun setelah kematiannya, dia menemukan surat ancaman di meja kerja sang ayah lalu dia melihat selembar foto pria dengan nama Andreas Anton.Dugaan sementara pria itu adalah salah satu yang membuat sang ayah meninggal dengan cara mengakhiri hidupnya, tetapi Sagara tak percaya."Sebenarnya siapa dirimu, Andreas?""Kenapa aku tak pernah bisa menemukanmu?"Selama delapan tahun ini Sagara terus mencari keberadaan sosok pria tersebut, tetapi sayang hasilnya mengatakan jika nama itu tak pernah ada."Ke mana lagi aku harus mencarinya?"Sagara menghela napas lalu dia menaruh kembali foto itu ke laci. Dia akan terus mencari sosok tersebut, tetapi sekarang ada acara yang harus di hadiri. Pertunangan Danastri dan Widipa.Sagara akhirnya bisa merasakan kebahagian melihat Danastri menemukan cinta dari sosok Widipa yang akan
Biasanya ruang makan itu terlihat penuh dengan obrolan pagi menyenangkan antara empat orang yang saling bertanya, tetapi kali ini suasana jelas berbeda.Di sana duduk tiga orang dengan pemikiran masing-masing menatap piring terisi roti panggang dan secangkir teh hangat. Mereka mulai memakan tanpa suara hanya terdengar denting garpu."Mas, ini kopinya," kata Vero menyodorkan kopi hitam kesukaan Bagas di pagi hari."Hmm ..." hanya berupa gumaman Bagas menjawabnya.Sementara Vero mengoles selai dan Bagas memakan rotinya, Dinara duduk tegak sendoknya bergerak pelan di atas piring. Wajahnya tampak pucat dan bibirnya kering. Dia menelan dengan susah payah, menahan rasa mual yang naik turun sejak bangun tidur."Kau baik-baik saja, Nara?" tanya Vero lembut. Tatapannya mengarah pada Dinara yang pucat."Apa yang sakit?" Ada nada cemas ketika memerhatikan Dinara seperti menahan sakit.Dinara mengangkat wajahnya. Senyum kecil terukir—rapi, terkontrol.“Hanya asam lambung, Bu.” Dinara mengangkat w
Danastri sudah tak terlalu memedulikan foto yang diberikan Dinara. Dia yakin Widipa tak mungkin mengingkari cinta mereka. Dia harus mempercayai Widipa.Untuk menjaga hubungan mereka agar tidak terjadi apapun, Danastri mengajak Widipa beberes ruang kerjanya meski enggan akhirnya Widipa mengiyakan apalagi sang ibu ikut-ikutan menggodanya.["Ayahmu selalu membantu ibu. Membantu istri beberes tak akan menurunkan wibawamu sebagai pria, Nak."]Dan pagi ini Widipa membersihkan ruang kerjanya yang berantakan karena kertas berserakan serta buku-buku lama yang sudah berdebu.Mereka berbagi tugas. Widipa membereskan bagian yang digunakan sedangkan Danastri membersihkan jendela, meja hingga lemari yang berdebu."Kira-kira berapa lama kau tak membersihkan ini?" tanya Danastri sembari bersin-bersin."Entahlah. Aku jarang menyuruh pelayan membersihkan ruangan ini kecuali aku yang meminta," jawab Widipa yang tak menyukai pelayan masuk ke ruang kerjanya."Nanti biarkan aku yang membersihkan ruanganmu.
Hujan gerimis turun tipis ketika Dinara masuk ke mobil hitam yang terparkir di depan rumah sakit. Julius sudah duduk di kursi pengemudi. Mesin menyala, tapi mobil tak langsung melaju. Mereka saling terdiam untuk beberapa saat. Tak ada yang membuka suara hanya suara ketukan air di jendela mobil. Julius masih ada rasa terkejut saat dia mendengar pembicaraan Sagara dan Dinara. Andai saja satu jam lalu Sagara tak menelepon untuk menjemput Dinara mungkin dia tak akan tahu mengenai berita tersebut. "Apa benar yang dikatakan dokter Sagara kalau kau hamil, Nara?" Akhirnya Julius yang membuka suara. "Bukankah kau sudah mendengarnya? Untuk apa lagi bertanya?" Dinara menyahut tanpa ekspresi. "Kau gila, Nara. Bagaimana bisa kau tidak tahu jika kau sedang hamil? Sementara itu kau selalu merokok dan meminum alkohol." "Mana aku tahu? Kau pikir aku dokter yang tahu tentang kondisiku sendiri?" Dinara menjawab dengan sewot. "Dinara … lihat aku.” Julius memalingkan wajah ke arahnya. “Siap
Rasa sakit yang melilit beberapa minggu ini membuat Dinara memilih untuk ke dokter, tetapi penglihatannya mengabur tepat di depan pintu ruang dokter. Tangannya sempat menyentuh gagang pintu lalu tubuhnya ambruk ke lantai."Nona ....!" seru seorang perawat yang melihat Dinara pingsan."Biar saya yang membawanya ke IGD."Dokter berkacamata tipis itu segera membawa Dinara yang pingsan langsung ke IGD untuk perawatan lanjutan. Dia tampak panik, tetapi tak bisa dipungkiri dirinya masih ada rasa dendam pada perempuan dalam gendongannya."Berikan dia infus, Sus. Saya akan memeriksa keadaannya," perintahnya dengan sigap."Baik, Dokter Sagara."Dinara segera ditangani dengan cepat. Sagara memeriksa semua kondisi fisik Dinara lalu pemeriksaan darah di laboratorium.Dinara masih tak sadarkan diri ketika seorang dokter wanita menghampirinya lalu mengajaknya bicara mengenai kondisi Dinara yang sebenarnya."Jika anda kenal keluarganya, tolong hubungi mereka. Keluarganya juga harus tahu kondisi tema
"Kau sakit? Tak seperti biasanya kau hanya melamun tanpa mengomel."Julius baru saja memasuki apartemennya ketika melihat Dinara duduk diam bersandar di sofa dengan selimut sembari memainkan ponsel.Biasanya Dinara akan mengoceh atau mengomel saat mereka bertemu lalu bercerita soal kegelisahannya atau pekerjaannya. Kini perempuan itu tampak bermalas-malasan."Iya aku sakit. Sakit hati atas semua yang terjadi beberapa bulan ini," sahut Dinara sedatar wajahnya menatap ponsel."Andai kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan, Ius?" Dinara melihat Julius yang berganti pakaian di depannya."Jika aku menjadi dirimu, aku akan pergi menjauh dari sini. Mungkin keluar negeri untuk memulai kehidupan baru dan melupakan semua hal," jawab Julius berada di dapur menyiapkan makan siang untuknya dan Dinara."Tapi ada orang yang kau cintai di sini, apa kau akan mengajaknya pergi bersamamu?" tanya Dinara ingin tahu reaksi Julius."Aku tak akan memaksanya untuk ikut denganku." Julius menjawabya sambil mema







