"Hana! Cepat kamu bayar hutang kamu, kalau tidak bersiaplah menjadi istri ke empat ku." Ucap Broto, seorang rentenir yang kejam.
"P–pak, Broto. Aku akan bayar semua hutang orang tuaku, tapi aku mohon berikan waktu makam ayahku masih basah, mana mungkin ..." Ucapan Hana terhenti, suara lantang dan sorot mata tajam itu kembali terdengar. "Kamu pikir uang ku itu uang ibumu, hah! Cepat bayar hutang kamu, aku kasih waktu satu minggu kalau tidak, gaun pengantin dan penghulu yang akan ke sini. Paham kamu!" Tegas Broto. Pria berbadan tambun itu, menyeringai melihat wajah cantik alami Hana. Ya, Broto pria yang terkenal dengan kekejian, seorang rentenir sekaligus juragan tanah. Sifatnya yang semena-mena terhadap orang di sekitarnya, terlebih mereka yang memiliki utang piutang dengan Broto. "Tolong, berikan aku waktu lagi pak. Aku janji akan melunasinya," Hana memohon dengan suara yang bergetar. Entah cara apa ia mampu melunasi hutang orang tuanya, mengingat jumlah yang tidak sedikit sedangkan dirinya hanya lah seorang karyawan restoran. "Tidak ada waktu lagi. Aku tidak mau rugi lagi! Tunggu lah manis, kamu akan menjadi istriku," Broto mengancam dengan seringai menjijikan. "Cih! Jangan mimpi!" Hana menjawab dengan nada yang tegas. Sampai kapanpun Hana tidak akan menyerahkan diri pada pria yang pantas di panggil ayah itu. "Berani melawan hah?" sentak Broto, wajahnya merah karena marah. Tangannya terulur menyentuh wajah Hana, beruntung dengan gerakan cepat Hana menghindar. "Aku tidak takut padamu, pak Broto. Aku tidak akan menjadi istri ke empatmu. Aku lebih baik mati daripada menjadi istrimu," Hana menjawab dengan keberanian yang tidak terduga. Broto terkejut dengan jawaban Hana, dia tidak menyangka Hana akan berani melawan dirinya. "Kamu akan menyesali jawabanmu ini, Hana. Kamu akan menjadi istriku, tidak peduli apa yang terjadi," Broto mengancam dengan mata yang menyala-nyala. Broto melangkah maju, wajahnya semakin merah karena marah. "Kamu pikir kamu bisa melawan aku? Aku adalah orang yang paling berkuasa di kota ini, dan kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak berdaya," katanya dengan nada yang menghina. Hana tidak gentar dengan ancaman Broto. "Aku tidak peduli siapa anda, pak Broto. Aku tidak akan pernah menjadi istri ke empatmu. Aku lebih baik mati daripada hidup sebagai istrimu, camkan itu juragan Broto!" Katanya dengan suara yang tegas. Broto tertawa keras. "Kamu benar-benar tidak tahu diri, ya? Aku akan membuat kamu menyesali jawabanmu ini. Aku akan membuat kamu merangkak di bawahku, dan kamu tidak akan bisa menolak apa pun yang aku inginkan," katanya dengan nada yang mengancam. Hana tidak menjawab, dia hanya menatap Broto dengan mata yang penuh dengan kebencian. Broto semakin marah ketika melihat Hana tidak takut padanya. "Kamu ingin bermain-main dengan ku? Baiklah, aku akan membuat kamu menyesali hari ini. Aku tidak sabar memakaikan gaun pengantin padamu," katanya sambil mengangkat tangan untuk memukul Hana. Plak Wajah Hana terasa panas, namun senyum itu tak hilang dari bibirnya. Rasa perih di sudut bibirnya tak membuat Hana menyerah, meski sejujurnya Hana begitu takut. Berapa anak buah Broto menatapnya bengis. "Kita lihat apa yang akan aku lakukan padamu, Hana! Kau akan menjadi istriku dan itu tidak terbantahkan! Bersiaplah, sampai kapanpun kamu menjadi budak di rumahku. Tapi ingat sebelum itu kau akan aku jadikan ratu, hanya ratu di kamarku!" "Cih!" Entah keberanian dari mana, tiba-tiba Hana meludah di depan Broto. Sehingga mematik kemarahan pria buncit itu Brakk "Wanita sialan! Tunggu neraka mu." Tubuhnya luruh ke lantai, sesak begitu sesak rasa yang menghimpit dadanya. Kepergian sang ayah, meninggalkan rasa yang lebih pedih. Apa Hana membenci ayahnya? Jawabannya adalah tidak. Hana tahu kemana uang yang di pinjam oleh ayahnya. "Ayah, ibu, tolong aku. Kenapa kalian tidak membawa ku bersama kalian, aku takut," lirihnya. Tetangga yang sejak tadi hanya melihat berangsur pergi, mereka tahu siapa Broto. Seorang rentenir dan juragan tanah, memiliki perangai buruk, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang di inginkan termasuk menikahi Hana. ** "Hana bibir kamu kenapa?" tanya Sita rekan kerjanya. "Aku baik-baik saja, ini cuma ..." Ucapan Hana terhenti, sita menariknya mendekat. "Ini ulah pak Broto?" "Sit, satu minggu waktu yang di kasih buat aku. Aku harus gimana?" lirihnya, putus asa. "Kamu yang sabar ya, kamu coba ajukan pinjaman sama bos kita. Barang kali mereka memberikannya," Hana menggeleng, uang yang akan ia pinjam tidak sedikit. Mana mungkin pihak restoran bersedia meminjamkan nya. "Apa salahnya kamu mencoba Hana. Kita tidak tahu hasilnya, jika bos kita tidak memberikannya setidaknya masih ada waktu buat kamu mencari jalan keluarnya," "Baiklah, aku akan coba," Di sinilah Hana, di hadapan manajer yang hanya bisa tertunduk lesu. Bukan jumlah pinjaman yang di ajukan Hana, tapi alasan lain yang membuatnya terpaksa mengatakan pada Hana. "Maafkan aku Hana, kamu tahu bos kita seperti apa. Aku juga sama kayak kamu, cuma pegawai di sini. Keputusan tetap saja bos kita," ucap pria yang hanya menatap wajah sendu Hana. "Tidak apa-apa, pak. Permisi," Hana meninggalkan ruang manajer, helaan nafas panjang yang sulit untuk sekedar bernafas sesaat. Ancaman Broto seakan menjadi alarm untuknya, setiap saat berbunyi mengingatkan. "Maafkan aku Hana, jika aku membantumu maka seluruh karyawan akan kehilangan pekerjaan ini. Semoga tuhan memberikan jalan keluar untukmu, dia yang memiliki kuasa ini Hana." Lirihnya, selepas Hana meninggalkan ruang manajer. Hari berlalu dengan cepat, satu minggu tinggal menghitung jam. Namun, uang yang di inginkan juragan Broto tidak ada. Berbagai cara di lakukan hingga meminjam di tempatnya berkerja seakan keadaan tidak berpihak padanya pemilik hingga manajer restoran menolak pinjaman yang di ajukan oleh Hana. "Kemana aku mencarinya," Hana menghitung uang tabungan dan sisa uang takziah, tubuhnya bergetar. "Masih kurang banyak," isaknya, dalam kesendirian. "Hana, ada tamu!" seru salah satu tetangga. "I–iya, Bu, ada apa?" Hana menelisik, penampilan sosialita di depannya. Barang yang menempel di tubuh wanita paruh baya itu semua branded. "Kamu yang bernama Hana? Boleh saya masuk?" Hana mengangguk bingung, sebab ini kali pertama Hana melihat wanita di depannya. "Aku tahu masalahmu, dan aku akan memberikan jalan keluar padamu. Dan aku butuh cucu, jadi sepakati kerja sama ini. Tugasmu cuma satu mengandung dan melahirkan penerus keluarga kami!" Hana tersentak mendengar penuturan w sita paruh baya di depannya. "Ya, anda benar. Saya butuh solusi dari masalah saya. Tapi ..." "Stt, kamu akan mendapatkan kemewahan jika kamu bisa mengandung cucuku. 1 milyar untuk anak laki-laki, bukan cuma itu saja. Kamu akan mendapatkan rumah mewah dan 1 unit butik."Arsa mendorong tubuh pria itu dengan kasar. Tatapannya menyala penuh amarah.“Lepaskan Hana! Dia bukan milikmu!”Juragan Broto tersenyum miring, wajah tuanya tampak keji. “Kau masih tidak paham, Arsa. Sebelum menikah denganmu, gadis ini sudah menjadi incaranku. Hutang orang tuanya belum lunas sampai sekarang. Dengan menjadi istriku, Hana bisa menebus semuanya.”Hana menggigil, wajahnya pucat. “Hutang? Hutan apa lagi? Aku sudah melunasinya, bagaimana hutang itu masih ada. Jika masih kenapa diam saja hah? Bukankah ini tipuan anda juragan Broto? Berapa kali aku katakan. Aku tidak akan pernah jadi istrimu! Lebih baik aku mati daripada masuk dalam kehidupanmu, juragan Broto!”Broto tertawa terbahak, suaranya memecah malam. “Mulutmu masih tajam seperti dulu, Hana. Kau pikir Arsa bisa melindungi mu selamanya? Aku punya cara untuk membuatmu bertekuk lutut. Aku bisa habisi namamu, bisnismu, bahkan anakmu.”Mendengar itu, Arsa tak bisa menahan diri lagi. Ia maju, meninju karangan bunga hingga h
Pesta meriah berganti dengan desas-desus tentang Hana. Semua di lakukan oleh Davina, hatinya memanas melihat perjuangan Arsa yang ingin mendekati Hana. Bukan hanya itu saja keluarga besarnya mendukung penuh keinginan Arsa. "Aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu Hana. Kamu penyebab hancurnya rumah tangga ku, aku tidak akan terima kamu bahagia di atas penderitaan aku." Gumam Davina. Melihat kepergian keluarga besar Prasaja, keluarga Devan mengenal keluarga Prasaja meski hati Dania begitu kesal.Keluarganya tidak habis pikir bagaimana mungkin keluarga terhormat seperti keluarga Prasaja bisa melakukan hal serendah itu. Terlebih Davina adalah sahabat keponakannya dan sangat mengenal Devan. Sejak awal ia mengagumi sikap dan kerja keras Hana, wanita muda dengan segudang prestasi bukan hanya dalam pendidikan yang bisa di rampungkan dalam waktu singkat. Tetapi kegigihannya dalam mengola bisnis menjadi sebesar sekarang semua berkat tangan dan kerja usahanya. Sayang di balik itu semua tersi
Hana terperanjat, tubuhnya kaku seakan tak sanggup bergerak. Suara itu begitu familiar, suara yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Saat menoleh, matanya membesar, Arsa. Lelaki itu berlari menghampiri, napasnya memburu, sorot matanya penuh kerinduan bercampur penyesalan."Ma-mas Arsa..," Gumam Hana, tidak percaya jika akan bertemu dengan Arsa di pesta itu."Ya, ini aku. Apa kabar bundanya Elvan?" Ujar Arsa, mendekati wanita yang terlihat bingung."Mas, tadi kamu panggil..," Hana menatap wajah Arsa dan Elvan bergantian. Gemuruh di dalam dadanya semakin kuat. Terlebih anak itu begitu tampan dan wajah anak itu bak pinang di belah dua.Arsa tersenyum, langkahnya semakin dekat. Begitu dekat sampai Hana menahan nafasnya.“Hana, dia Elvano. Anak kita,” ucap Arsa dengan suara bergetar, memeluk erat bocah kecil yang duduk di pangkuan Hana.Dunia Hana seakan berhenti berputar. Kata-kata itu menampar hatinya. Anak yang ia lahirkan, yang dulu direbut dari pelukannya, kini ada di depannya. Anak y
Empat tahun berlalu sejak Hana meninggalkan rumah besar keluarga Prasaja. Waktu yang panjang itu mengubahnya menjadi sosok yang jauh lebih kuat dan berwibawa.Hidup sederhana di rumah peninggalan orang tuanya menjadi titik balik. Hana berhasil menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda, meraih gelar sarjana dengan predikat membanggakan. Semua perjuangan itu ia jalani sambil membangun kembali usahanya, daycare yang dulu sempat runtuh karena ancaman.Kini, tempat itu telah berkembang pesat. Dari sebuah rumah sederhana, Hana berhasil membuka cabang baru di ibu kota. Ruangannya lebih modern, guru-guru terlatih mengajar dengan penuh dedikasi, dan banyak orang tua mempercayakan anak-anak mereka pada tangan Hana.Di balik pencapaiannya, Hana tetaplah sosok lembut yang sederhana. Setiap kali menutup mata, bayangan Elvano masih hadir. Putra kecilnya yang tak bisa ia peluk setiap hari menjadi alasan terbesarnya untuk tidak menyerah.Di depan cabang barunya, Hana berdiri dengan senyum hangat, men
Alexi duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, memijat keningnya yang berdenyut. Hidupnya yang dulu dipenuhi pesta dan kemewahan kini terasa sempit. Perceraian Davina dengan Arsa membuat segalanya berubah, sumber keuangan yang selama ini menopang gaya hidup mereka seakan lenyap begitu saja.“Davina,” ucap Alexi tajam, menatap putrinya. “Kamu harus cari cara agar bisa kembali ke Arsa. Jangan biarkan dia lepas begitu saja. Tanpa Arsa, kita, kita tak ada apa-apanya.”Davina terdiam, matanya berkaca-kaca. “Mama, Arsa tidak akan mau lagi. Dia sudah tahu semuanya, apa yang kita harapkan dari Arsa, dia ..,"“Menurut kamu?” potong Alexi cepat. “Kalau begitu, gunakan cara lain. Jangan biarkan semua ini sia-sia.”Namun, bukannya mendekati Arsa, Davina justru mencari pelarian pada Andres. Mereka bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah kafe kecil jauh dari pusat kota. Andres menatap Davina dengan tatapan penuh rindu, menggenggam tangannya. “Kita bisa bersama, Davina. Lupakan Arsa. Aku akan menjagamu.”
Hana berjalan tanpa arah, langkahnya gontai meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki enggan meninggalkan tanah yang pernah menjadi saksi kebahagiaannya bersama orang tua. Malam itu udara dingin menusuk, tapi hati Hana jauh lebih dingin, hampa. Hana memilih penginapan sederhana, bukan karena tak memiliki uang namun Hana tak ingin menghabiskan mengeluarkan tabungannya hanya untuk sesaat."Ini kamarnya mbak, semoga betah. Jangan khawatir di sini aman," hana mengangguk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan matanya sejenak, hatinya terasa sesak mengingat putranya. Sedangkan apa sekarang?Sementara itu, pagi harinya Devan datang berkunjung. Matanya membelalak begitu melihat rumah Hana sebagian hancur, kaca pecah, pintu tercongkel, dan sisa kayu terbakar di halaman. “Astaga, siapa yang tega begini?” gumamnya, suaranya tercekat.Salah satu warga yang diam-diam mendekat berbisik lirih, “Mas, mas temannya Hana?" Devan menoleh sebab suara wa