"Kau, harus pakai ini nanti malam!"" pinta Sarah ketus sembari melemparkan tas berisi lingerie yang baru saja ia beli di atas sofa. Terpaksa ia melakukan itu, agar nanti malam suaminya tak lagi tahan dengan pendiriannya.Sejak Aris dan Henni pergi ke kantor, dan setelah ia tak juga menemukan titik terang permasalahannya. Sarah memutuskan melakukan rencana konyolnya. Walau ia tahu, resiko yang akan ia tanggung adalah suaminya mungkin akan candu dengan tubuh Nisa saat Gadis itu memakai lingerie. "Agh, masa bodoh! itu urusan belakang. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya Nisa hamil agar aku bisa bersandiwara atas kehamilanku didepan Mama!" gerutunya dalam hati."Ini apa Mbak?" tanya Nisa sembari membuka tas yang dilempar Sarah. Matanya terbelalak saat mengeluarkan pakaian yang begitu menjijikkan dimatanya."Nisa, kau sudah menandatangani perjanjian kita di atas kertas resmi. Jadi, lakukan tugasmu dengan benar!" ucapnya Sarah tak berperasaan."Saya tahu, Mbak. Tapi saya tidak
Sarina dan Desi terperangah saat Sarah membuka pintu Apartemennya. Mata mereka tak berkedip memandangi setiap isi ruangan yang terlihat mewah."Nisa, beruntung sekali dirimu bisa tinggal ditempat seperti ini. Huh! seharusnya aku yang ada disini!" rutuk Desi menyesal."Jika saja aku tak menggantikan Desi dengan bocah itu, pasti Desi yang akan mendapatkan semua ini!" Sesal Sarina dalam hati.Sarah mencari Nisa keseluruh ruangan, meninggalkan Sarina yang terpaku ditempatnya bersama Desi.Tok tok tok tok!"Nisaaa!" teriak Sarah menggedor pintu kamar yang terkunci."NISAA!" lantangnya lebih keras.Nisa yang baru saja terlelap begitu tersentak saat mendengar gedoran pintu bersamaan dengan teriakan Sarah yang menggelegar mendegupkan jantungnya."NISA!" Masih terdengar teriakan Sarah diluar sana.Dengan terpaksa Nisa bangkit, ia meringis saat kepalanya terasa pusing karena tidurnya yang hanya sebentar. Kemudian dengan ragu ia melangkah mendekati pintu. Tubuhnya gemetar karena takut.Takut jika
Nisa mengerjapkan matanya. Dirinya melihat samar-samar wajah seseorang didepannya. Sampai ia menggeliat, menyadari dengan nyata seseorang yang tengah terlelap di hadapannya.Setelahnya Nisa melihat jam dinding, sudah masuk waktu dzuhur, namun dirinya tak lekas beranjak dari pembaringannya. Matanya sibuk mengamati wajah lelaki yang telah halal untuknya. Ingin rasanya ia membelai wajah itu, namun dirinya ragu.Ada rasa yang tak dapat ia artikan. Sampai gelenyar aneh itu muncul lagi. Menjalar mengikuti aliran darah, dan berhenti tepat dijantungnya yang kian berdebar. Nisa tak menyadari. Tangannya sudah menepel dipipi Suaminya, membelainya lembut. Membuat Aris terjaga.Aris membuka matanya saat ia rasa tangan lembut Nisa membelai wajahnya. Membuat Nisa reflek menarik tangannya begitu cepat."Em ... Nisa mau sholat Mas!" dalihnya kemudian beranjak, namun rona merah pipi itu masih dilihat dengan jelas oleh Aris.Aris yang melihat tingkah Nisa mengulas senyumnya. Ia sungguh bahagia mendapat
Sebenarnya sejak tadi sore, Aris merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Berkali-kali ia tepis rasa itu. Namun, hasrat yang ia rasakan malah semakin menjadi. Begitu besar, hingga keringat keluar dari pori-pori tubuhnya.Aris meneguk air putih sebanyak mungkin, berharap bisa mendinginkan tubuhnya yang semakin terasa panas."Mas Aris kenapa?" tanya Nisa merasa curiga, ia lantas menghampiri suaminya yang sedari tadi tak bisa diam. Mondar-mandir ke dapur dengan wajah cemas."Gak papa," sahutnya lirih, namun masih tak bisa menyembunyikan gurat gelisah di wajahnya. Demi apapun, dan entah kenapa dirinya sangat berhasrat melihat Nisa. Susah payah Aris menahannya. Membuat sesuatu dibawah sana terasa sesak dan sakit."Nisa sholat maghrib dulu ya, Mas," Pamitnya setelah meneguk segelas air. Kemudian meninggalkan Aris yang masih di dapur.Aris hanya mengangguk menanggapi. Pandangannya masih tak lepas dari punggung istrinya yang kian menjauh hingga hilang dibalik tembok. Aris menghembuskan nafas kasar
Setelah Sarah terusir dari apartemennya sendiri. Dan setelah puas kebut-kebutan melampiaskan amarahnya. Sarah memutuskan menghubungi teman teman sosialitanya. Menghilangkan penat dan segala kemarahan yang berkecamuk dalam dada. Ia harus tetap berfikir waras agar semuanya tidak menjadi berantakan, seperti saat tadi. Saat Suaminya datang tak disangka sangka dijam kerjanya. Menyebalkan!Tak apa jika hari ini ia tersakiti karena pengusiran itu. Tapi lihat saja nanti. Rencana awalnya tak akan gagal!Sarah menyeringai licik saat ia mengingat telah mencampurkan obat perangsang dosis tinggi kedalam seluruh air minum di hunian itu. Membuatnya tersenyum puas.Dengan begitu, jika mereka berhubungan, ia tak akan pusing lagi memikirkan kehamilan palsunya. Dirinya hanya tinggal menunggu sampai benih suaminya berkembang di rahim Nisa. Kemudian ia dapat mengabarkan kehamilannya ke mertua tersayangnya itu. Ah, rasanya tak sabar dirinya menantikan hal itu terjadi.****Setelah seharian puas berbelanja.
Aris keluar dari kamar dengan gelak tawa yang menggelegar memenuhi ruangan. Puas sekali rasanya ia menjahili Nisa. Membuat pipinya memerah seperti kepiting rebus.Aris terduduk di sofa sembari menghembuskan nafas dalam. Kejadian semalam seakan membuatnya candu. Rasa ingin mengulangnya begitu dalam. Tapi sungguh tak tahu diri jika ia meminta lagi haknya. Andai saja pernikahannya bukan dengan jalan seperti ini, dirinya pasti sangat bahagia bersama Nisa. Tak ada Sarah dan rencana liciknya. Hanya Dirinya dan Nisa.Entahlah, Aris sendiri tak tahu apa yang harus dilakukannya pada Sarah. Perasaannya sudah mati melihat kelakuannya yang tak dapat lagi ia toleransi. Namun, menceraikannya bukanlah keputusan yang bijak jika hanya karena sifatnya. Namun hidup dengannya terasa hambar, tak ada rasa.Aris melihat jam tangan. Setengah delapan pagi. Ia memutuskan menghubungi ibunya untuk menggantikannya memimpin rapat."Halo Ma?" sapa Aris, setelah Henni menjawab panggilannya."Ada apa, sayang?" tanya
Sarah menggeliat saat merasakan cahaya matahari yang sudah terasa panas. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, kemudian melihat jam yang tertera dilayar ponsel. Sudah jam sebelas.Setelahnya ia bangkit, berjalan malas ke kamar mandi sembari menguap tiada henti. Entah jam berapa semalam ia tidur, sampai membuatnya bangun kelewat siang.Setelah mandi dan berdandan. Sarah keluar kamar, menuruni anak tangga. Hatinya cemas memikirkan suaminya yang tak kunjung menghubunginya "Apakah Mas Aris benar-benar marah?" gumamnya dalam hati."Bi Limah!" panggil Sarah, membuat Bi Limah tergopoh menghampiri."Iya, Non!""Mas Aris, tadi udah pulang belum?" tanyanya. Barangkali suaminya pulang untuk mengambil berkas-berkas kantor."Enggak, tuh, Non," jawabnya menggelengkan kepala.Sarah meremas tangannya geram."Teganya kamu Mas! kau bahkan tak meminta maaf atas perlakuanmu kemarin!" batinnya memaki."Yasudah, Bik!" balas Sarah, kemudian berlari menaiki anak tangga. Ia segera mandi dan berdandan secepat mungki
"Kamu tidur dulu ya," titah Aris pada Nisa yang tengah berbaring di ranjang sembari memejamkan mata."Nanti Mas bangunin kalo makanannya sudah datang," lanjutnya mengecup kening Nisa kemudian pergi keluar kamar.Aris mencari keberadaan Sarah. Ia membuka pintu kamar utama. Dirinya terperanjat saat melihat isi kamar itu sudah tak beraturan dengan barang-barang berserakan memenuhi lantai. Aris tak tahu jika Sarah mempunyai sifat sekeras ini. Sejauh ini memang tak pernah ada pertengkaran dalam rumah tangganya. Karena selama ini dirinya selalu menuruti keinginan Sarah. Sungguh, ia merasa menjadi suami yang gagal untuknya.Aris melangkah mencari sela-sela lantai kosong untuk ia pijaki. Ia menghampiri Sarah yang tengah duduk memeluk lututnya di tepi ranjang."Sarah ..." ia panggil nama itu lirih, sampai sang pemilik mendongak, menampakkan keadaannya yang sungguh berantakan."Mas Aris!" balas Sarah lantas berdiri, kemudian memeluk erat suaminya.Aris ragu untuk membalas pelukan Sarah. Rasa ke