Mereka sampai di rumah, membuka pintu dan masih tetap bercanda tawa dan ceria seperti kemarin, tapi setelahnya mereka terkejut mendapatiku sudah duduk di sofa dan menatap mereka dengan nanar
"Mas Adam, adila, kemari! Aku ingin bicara!" kataku menatap mereka dengan serius. "Bicara apa, ini sudah malam dan kami lelah," balas Mas Adam. Lelah katanya, lelah darimana? Mas adam tak mengindahkan ucapanku, ia melengos dan berlalu namun aku tak mau tinggal diam. "Aku bilang, aku ingin bicara!" Mereka kaget, mas Adam sejetika membalikkan badan dan menghampiriku di sofa, tentu dengan raut heran. "Ada apa denganmu, sampai berteriak seperti itu, apa kamu waras?" "Aku belum gila Mas, aku hanya ingin bertanya kepada kalian berdua!" "Kalau begitu tanyakan, silakan!" Ia tak kalah sengitnya, namun aku tahu ini hanya cara untuk menggertakku. "Duduklah Mas," pintaku. "Gak usah." Ia berdiri dan berkacak pinggang kepadaku, tidak menimbang perasaan atau memberiku sebuah penghargaan sepantasnya sebagai seorang istri, mengapa ia berubah begini? "Aku ingin bertanya sekarang, kamu harus menjawabnya dengan jujur, Adila, Mas Adam," ujarku sambil menatap mereka bergantian. "Mau tanya apa Mbak?" "Apa hubunganmu dengan Mas Adam? Mereka berdua saling melirik, adik Perempuanku terlihat syok dan pucat sedang Mas Adam nampak gelisah. "Katakan!" sentakku sekali lagi. "Kami ... Tentu kami tak punya hubungan apa-apa, dan kamu, beraninya kamu menuduh kami, kamu sudah gila ya, bagaimana jika keluargamu mendengar semua itu," cecarnya berpura-pura tak tahu. "Aku memang tak berpendidikan tinggi dan hanya di rumah saja, tapi aku tidak bodoh, Mas." "Siapa yang mengatakan kau bodoh?!" "Jangan mengira aku gak tahu semuanya!" Kami bertengkar dan gadis itu mencicit di sofa. "Jangan bohong aku sudah berkali-kali melihat buktinya," ujarku emosi dengan napas memburu dan dada yang terasa berat. "Bukti apa? Mana? "Kalau kau semalam ke kamar Adila!" "Jangan mengada-ada, jaga ucapanmu, ini bisa jadi salah paham," balas Mas Adam. "Sudah terlanjur .. maka lanjutkanlah Mas," jawabku. "Apa maksudmu? Katakan apa hah?!" ayah Rain dan Clara terlihat sangat tidak suka dan emosi. "Jika kau telah berhubungan dengan Adila dan kau mencintainya, maka jujur saja, tidak perlu ada yang disembunyikan, Mas. Aku akan rela kau ceraikan." "Oh jadi kau sengaja mencari kesalahan padahal dirimu yang ingin bercerai kan?" tuduhnya tanpa alasan. "Aku tidak punya hubungan apa-apa, Mbak dengan suamimu," ucap gadis itu lirih. "Jangan munafik kamu, mengapa tempat tidurmu sangat berantakan setiap hari, setiap kali aku membersihkannya selalu begitu, kenapa kamu memakai pakaian seperti seorang Istri yang menunggu belaian suaminya, juga, mengapa spreimu dipenuhi noda sperma?" jeritku marah. "Nauzubillah apa yang kau katakan?!" mas Adam terbelalak dan menggeleng pelan. "Jangan sok suci kamu, Mas, katakan saja sejujurkan, dan legalkan hubungan zina kalian," teriakku. "Katakan Adila, katakan jika tiap malam kalian bertemu dan bercumbu, aku tahu namun tak mampu berbuat sesuatu hingga aku tak tahan lagi." Mereka nampak tak nyaman mendengar teriakanku, kelihatannya mereka berdua syok menghadapi kemarahan yang tak terduga. "Kami tidak punya hubungan apa-apa, kami gak melakukan seperti apa yang mbak tuduhkan, tega sekali kamu, Mbak," ujar gadis itu sambil meluncurkan air mata. "Ini ...." Kulempar benda yang kutemukan di balkon dekat jendela. "Aku temukan di bawah jendela kamar, Adila. Katakan bagaimana mungkin barang pribadimu ada di kamarnya?" cecarku. "Apakah kalian membuangnya demi menutupi semua perbuatan kalian?!" Mereka tercekat, gadis itu menunduk sedang Mas Adam mengcengkeram jemarinya kuat-kuat, rahangnya mengeras menahan emosi. "Mungkin mendengar keributan di ruang tamu, Rain datang dan terdengar Clara mulai menangis di kamar utama." Aku bangkit untuk mengambil anakku sambil tetap mengawasi mereka berdua. "Tunggu di sini!" * Rain menyusul ke kamar, ia khawatir melihatku dengan wajah memberengut kesal sedang ayah dan tantehya terdiam di depan sana. "Bunda apa yang terjadi, aku dengar teriakan bunda dari atas," tanya Rain. "Bunda lagi bicara sama ayah, kamu naiklah, jangan khawatir.", "Bunda, semuanya akan baik-baik saja, kan?" "Insya Allah ...." Kuangkat Clara lalu membawanya ke ruang tamu. "Jika kalian tidak mengaku, maka aku akan mengusir kalian berdua." "Apa katamu, ingin mengusirku karena asumsi gilamu, apa karena aku sering menjemput adikmu kau jadi cemburu, apa karena dia lebih cantik hatimu diliouti dengki yang mengakar?" Tega sekali ia mengucapkan kalimat itu. Tega sekali ia membandingkan istri yang sudah melayaninya selama bertahun-tahun dengan seorang gadis yang tinggal di rumahnya bahkan belum 1 tahun. "Aku tak akan mengusir adila karena kecemburuanmu, aku harus menjaga kehormatanku dan perasaan mertua, kalau kau sudah gila kau pergi saja dari tempat ini," tantangnya. "Ayah ...." Rain mendengar ucapan ayahnya seketika menjadi sedih. "Kenapa ayah mengusir Bunda." "Masuk kamar kamu! Anak kecil kok berani nimbrung!" tuding Mas Adam pada putra sulungku. "Jangan mengalihkan topik dengan menghardik bocah yang tidak bersalah, ayo selesaikan denganku, jika kalian tidak mengaku, aku akan membawa Adila ke rumah sakit untuk visum apakah ia pernah berhubungan intim dalam waktu dekat ini," ujarku sambil menarik tangan Adila. "Kamu sudah gila, hah?!" Mas Adam berteriak sangat keras hingga kupingku mendengung mendengarnya. Ia merebut tangan Adila dan gadis itu bersembunyi di belakang Mas Adam sambil menangis. Tentu saja melihat prilaku semacam itu aku semakin yakin dengan perselingkuhan mereka. "Kau mencoba melindunginya?" "Aku melindungi dia dari kegilaanmu, Aisyah, mungkin kau butuh konseling karena terlalu sibuk di rumah," ujar Mas Adam. "Hahaha, benarkah, aku belum gila, Mas, tapi menyaksikan kebohongan kalian aku sungguh akan gila!" ucapku sedih. "Aku akan berikan sebuah pilihan, jika Adila memang tak bersalah, dan kalian tak punya hubungan apa apa, maka mulai besok jangan berinteraksi lagi dengan adikku, aku tak mau kedekatan kalian mengganggu kewarasanku, itupun jika kamu memang mencintaiku Mas." Mendengar permintaanku, Mas Adam menelan ludah dan membulatkan matanya terkejut. "Sanggupkah Mas melakukan itu untukku?" "Ak-aku akan melakukannya," jawabnya. "Bagus, aku ingin kalian menjaga jarak dan batas." Adikku kemudian naik ke kamarnya sedang aku langsung meninggalkan ruang tamu membawa Clara ke kamarku. Aku diam, bukan berarti aku tak akan menyimak perbuatan merekaHingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t
Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K
Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m
"Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na
Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin
Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami
Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini
Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se
Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei