“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?”
Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diam menatapnya penuh tanya. Zoya pun melengos membuang muka. Namun sebelum Zoya benar-benar masuk, dia sempatkan untuk berbicara pada Gama. "Jangan sok menjadi pahlawan, Kak! Kamu tidak ada bedanya dengan Zein!" Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai padahal di mata Zoya, Gama tidak ada bedanya dengan Zein. Sama-sama buruk setelah malam itu. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa berubah. Zoya pun segera masuk kamar meninggalkan Gama yang masih diam di sana. Dia tak ingin Gama semakin ikut campur akan rumah tangganya. Zoya yakin dia bisa mengatasinya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Meskipun dia sadar jika masalah sekarang membuatnya ragu untuk menghadapi Zein. Namun, Zoya tak ingin Gama semakin masuk ke dalam kehidupannya. Apalagi secara tidak langsung Gama memberikan perhatian atas sikap buruk Zein padanya. Seharian Zoya tidak keluar kamar. Dia memilih mengistirahatkan diri tetapi jangankan bisa terlelap dan tidur nyenyak. Memejamkan mata saja sulit ia lakukan. Bayangan akan semalam dengan Gama kembali berputar dalam ingatan. Zoya berusaha keras melupakan semua yang terjadi dan menganggap tak ada yang berarti, tetapi nyatanya tak semudah yang ia pikir. Bahkan bayangan pagi tadi saat pertengkaran dengan Zein terjadi hingga disaksikan oleh Gama membuatnya gelisah. Seketika ancaman dari Zein kembali terngiang diingatan. Bagaimana jika Zein mencari tau kejadian yang sebenarnya? Zoya pusing memikirkan semua yang telah terjadi. Terlebih sikap Zein yang semakin hari semakin kasar padanya. Dia bisa benar-benar mati di tangan Zein. "Sudah sore, sebentar lagi Mas Zein pulang. Aku harus menyiapkan makan malam untuknya," gumam Zoya sembari bergegas ke dapur setelah seharian meratapi takdirnya yang seakan sedang bercanda. Zoya pun mulai menyibukkan diri di dapur, karena seperti biasa, dia akan memasak untuk suaminya. Hanya saja, hari ini ia bolos bekerja sehingga bisa mulai masak lebih awal. Zoya tak peduli akan resiko kena semprot manager atau Gama sekalipun, karena ia hanya ingin mengistirahatkan diri dan menenangkan pikirannya yang kacau. Zoya yang sibuk dengan pikiran dan masakannya tidak sadar kalau Gama datang. Pria itu haus dan ingin mengambil minum. Gama melangkah menuju kulkas bertepatan dengan Zoya yang melangkah mundur lalu berbalik tanpa melihat situasi. Brugh Tubuh keduanya bertabrakan bahkan menempel tak berjarak. Kedua mata itu terpaut dalam satu arah. Nafas pun terasa hangat menyapa hingga menimbulkan rasa canggung diantara mereka. Hening, hanya debaran jantung keduanya yang bertalu terdengar nyaring. Nyatanya usaha mereka menjaga jarak dan berusaha bersikap biasa, tak seiring dengan jalan yang telah digariskan. Justru takdir mengkhianati keinginan mereka, karena keduanya kembali bersinggungan tanpa sengaja. Lagi dan lagi, bertemu dengan posisi yang membuat salah paham. Zoya bergegas mundur menghindar, tanpa ia sadar jika di belakangnya ada kompor sedang menyala. Beruntung tangan kekar pria itu menahan dan menarik tubuhnya. Namun niat baik untuk melindung justru membuat keduanya kembali bersinggungan. Pelukan itu terasa hangat dan dapat Zoya rasakan debaran jantung Gama pun tak biasa. Zoya pun nampak kaku saat dada bidang Gama begitu posesif ia rasakan. "Jangan mundur-mundur! Kamu belum mematikan kompornya," bisik Gama dengan terus menatap lekat wajah Zoya. Sama-sama berdebar hingga dentumannya seakan beradu dalam satu titik karena jarak yang tak bersekat. Perlahan pelukan itu tak lagi Zoya rasakan setelah Gama melepaskannya. Terlihat pria itu segera mengambil minum dari dalam kulkas lalu melangkah kembali ke kamar dan meninggalkannya yang masih berdebar tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas Zoya mematikan kompornya dan bersandar di meja dapur. Dia menghela nafas lega setelah melihat Gama sudah kembali ke kamar. Zoya tak tau jika Gama pun tidak berangkat ke kantor. Mungkin lelah atau memang sengaja karena tak ada pekerjaan yang penting hari ini. Namun dengan adanya Gama di rumah membuat Zoya tak nyaman. .... Malam ini Zoya melayani sang suami dengan baik. Mengisi piring Zein dan memperhatikan kebutuhan suaminya. Pemandangan yang selalu Gama lihat setiap pagi dan malam hari. Sudah tak heran tetapi malam ini terasa berbeda. Hal yang membuat iri bagi siapa saja yang melihat. Zoya yang begitu telaten. Hingga rasa rindu pada masa itu hadir. Gama yang sudah cukup lama menduda tak lagi merasakan manisnya pelayanan dari seorang istri setelah perceraian beberapa tahun yang lalu. "Mau nambah udangnya, Mas?" tanya Zoya pada sang suami. "Sudah cukup Zoya, kamu makanlah yang banyak agar malam ini staminamu terjaga!" perintah Zein yang membuat Zoya terdiam. Dia tau maksud suaminya, tetapi bagaimana mungkin dia melayani Zein malam ini jika jejak yang ditinggalkan oleh Gama masih ada. Zoya harap Gama tak mendengar ucapan suaminya. Zoya berusaha bersikap santai dan segera menghabiskan makanannya tanpa menjawab perintah dari Zein. Menunduk tak ingin sama sekali kembali bersitatap dengan Gama. Namun, Zoya tau jika sejak tadi Gama memperhatikannya. Apa mungkin pria itu mendengar semuanya? Bisakah sejenak menulikan telinga agar dirinya tidak semakin malu akan permintaan Zein yang blak-blakan seperti tadi. Zoya yakin Gama pun mengingat akan tanda yang telah dia buat di tubuhnya. Rasanya Zoya pusing sendiri memikirkan ini. Berharap tak ada satu kata pun dari Gama yang menyinggung akan itu. “Aku tunggu di kamar!” Zein segera beranjak setelah menyelesaikan makannya dan tak lama Gama pun meninggalkan meja makan. Zoya hanya diam melihat itu. Rasa takut kembali hadir dalam dirinya akan permintaan Zein malam ini. Tanpa dia tau jika Gama pun merasakan perasaan yang sama. Zoya melangkah menuju kamar dengan perasaan yang tak menentu. Rasa takut semakin menjadi, khawatir, dan juga bingung. Kalimat apa yang pas untuk menolak ajakan suaminya. "Zoya!" Deg."Berani duduk dan mendekati istriku, maka kamu akan aku pecat!" DEG Bagai tersambar petir di siang yang terik. Dito yang baru saja hendak duduk seketika berdiri lagi setelah mendengar ancaman dari Gama. Mana berani jika apa yang akan dilakukan mempertaruhkan pekerjaan. Dito yang sudah lama mengabdi dengan Gama hingga memiliki banyak tabungan dan aset untuk di masa depan tentu saja tidak akan menyia-nyiakan apa yang sudah berjalan. "Kenapa? Ayo Pak! Saya nggak mungkin habis sendirian," ajak Zoya. "Maaf Nyonya, tapi saya lebih baik kembali ke ruangan saya. Jika Nyonya takut tidak bisa menghabiskannya sendiri, maka Nyonya bisa mengajak Pak Gama untuk makan bersama." "Nggak mau, nanti muntah lagi malah repot. Mau ngajak yang mau-mau aja. Kamu nggak usah takut, Pak Dito! Kalau Mas Gama nggak mau bayar kamu, nanti saya yang menggaji Pak Dito dengan nominal yang sama dengan yang diberikan oleh suami saya." Gama mengerutkan keningnya setelah mendengar itu. Setelahnya Gama
"Ada apa dengan Tuan, Nyonya?" tanya Asisten Dito yang dengan tanggap dan gerakan cepat sudah sampai di kantin untuk membantu Gama. "Tidak kenapa-kenapa, hanya aku suruh makan somay tapi Mas Gama tidak mau katanya. Alhasil seperti itu," jawab Zoya. Sebenarnya ingin kasihan tapi kok malah geregetan. "Pak lebih baik anda segera ke ruangan anda dulu dari pada nanti tambah patah di sini," ujar Asisten Dito. Sebagai orang kepercayaan Gama dan orang yang sudah lama ikut dengan Gama tentu tau apa yang Gama suka atau tidak. Terlahir dari orang kaya pastinya jarang makan makanan yang dijual di pinggir jalan atau sekelas kantin. Hanya saja biasanya Gama tidak begini. Entah karena bawaan bayi atau memang Gama benar-benar mual melihat bentukan somay. Namun jika diperhatikan, tidak ada yang menggelikan. Dilihatnya enak-enak saja. "Bawa ke ruangannya saja, Pak! Nanti aku nyusul. Aku masih mau... " "Sayang kamu ikut sekalian! Jangan memancing celaka! Aku nggak suka!" sahut Gama dengan
Gama mengusap kasar wajahnya kala tak menemukan Zoya. Entah dimana sang istri. Cepat sekali kaburnya. Gemas rasanya Gama dan ingin menyusul sang istri tetapi dia kehilangan jejak Zoya. "Kamu pasti tidak jauh dari sini, Sayang. Apa mungkin kamu kembali diculik? Astaga.... Zoya." Gama segera melihat CCTV kantor untuk mengetahui kemana perginya Zoya. Sementara Dito sudah lebih dulu pergi mencari keberadaan istri dari Gama Prasetyo. Pengalaman membuat Gama semakin posesif saja. Lepas sedikit, Gama tidak akan bisa tenang. Gama tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada Zoya. Dering ponselnya pun membuyarkan fokus Gama dari layar laptop. Gama meraih ponselnya dan langsung menerima panggilan dari Dion. "Bagaimana?" tanya Gama, kedua alisnya menukik mendengar jawaban dari Dion. Pria itu pun beranjak dari duduknya kemudian melangkah panjang meninggalkan ruangannya. Gama hampir berlari untuk menuju tempat dimana Zoya berada saat ini. Kedua tangan Gama terkepal kuat hingga urat tangan
"Terimakasih sudah diperkenankan masuk, Nyonya. Saya pamit pulang," ujar Dito dan dianggukki oleh Sinta. "Oh ya, silahkan! Terimakasih sudah mengantarkan pesanan dari Zoya tadi. Jangan lupa titipkan salam untuknya!" kata Sinta dengan ramah. "Baik, permisi." Dito pun bergegas pergi dari sana. Pria itu melangkah memasuki mobil kemudian segera kembali ke kantor. Ada hal yang harus dilaporkan pada Gama setelah apa yang atasannya itu perintahkan selesai dikerjakan. Dito juga tidak mampir ke mana-mana lagi. Tidak juga mampir untuk memberikan makan siang untuk Sena. Rasanya enggan karena tadi pagi sempat ditolak mentah-mentah yang mana malah berujung tidak ribut. Sampai di kantor bertepatan dengan para karyawan yang keluar dari ruangan meeting. Dito pun segera masuk ke dalam ruangan itu tetapi begitu herannya Dito saat melihat Gama dan Zoya ribut. "Kamu mas! Tuh mereka jadi berpikiran yang nggak-nggak sama aku!" "Berani apa mereka? Mau aku pecat memangnya? Biarkan saja!K
"Mas kamu jangan ketaluan!" pekik Zoya tetapi setelahnya kembali mendesah dengan sangat indah. Kegiatan panas pagi ini membuat hidup keduanya semakin indah. Suami istri yang saling beradu peluh ini tak lagi kuasa menahan gejolak yang ada. Sampai dimana suara panjang yang melegakan diiringi hal yang melenakan membuat mereka merasakan getaran yang membuat ketagihan nantinya. Gama menghela nafas panjang dan mengecup pucuk dada Zoya sebelum beranjak dari tubuh sang istri. Gama tersenyum menatap Zoya yang terlihat lemas di atas meja kerja. "Kenapa kamu selalu membuatku lemas begini, Mas? Kamu lama sekali, sengaja 'kan? Tubuh aku remuk, Mas," keluh Zoya yang hendak beranjak saja sulit. Mana medianya meja kerja. Geregetan Zoya jadinya. Kenapa tidak bisa cari tempat lain yang lebih nyaman agar bisa lebih leluasa dan tubuh tidak sakit begini setelahnya. "Pentok sini sakit, pentok sana sakit, ya Tuhan ini badan aku sakit banget," keluh Zoya dengan dibantu oleh Gama. Pria itu
"Mas kamu mau bawa aku kemana?" tanya Zoya yang kini melangkah panjang mengikuti Gama. Dia berusaha untuk mengimbangi Gama sampai kakinya terasa seperti melayang. Namun Zoya diam tanpa mengeluhkan itu meskipun rasanya hati ketar ketir dan jantungnya berpacu dengan cepat. Zoya sama sekali tidak mencoba melepaskan diri. Zoya tau apa yang akan Gama lakukan padanya. Sayangnya sikap Gama padanya justru menimbulkan pikiran negatif dari para karyawan. Mereka semakin tidak suka pada Gama setelah diam-diam menyaksikan pergerakan keduanya. Gama membawa Zoya masuk lift dengan bertujuan membawa Zoya menuju ruangan pria itu. Ruangan yang ada di lantai tertinggi dari gedung tersebut. Tak ada ruangan lain yang lebih aman di kantor ini selain ruangan CEO bukan. Ruangan yang bebas untuk Gama menghukum sang istri yang berani membuat cemburu. Gemas sekali Gama. Belum lagi omongan para karyawan yang justru menjodohkan Zoya dengan yang lainnya. "Mas kamu nggak malu dilihat sama karyawan kam
Zoya terduduk dengan pikiran mengarah pada Sena. Dia menoleh ke arah ruangan sana yang digunakan untuk menyembunyikan Sena. Kembali dia menatap ke arah Gama yang kini duduk di hadapannya. "Jangan pikirkan apapun, Sayang! Dia pantas mendapatkan ini semua." "Tapi apa tidak terlalu berlebihan, Mas? Kamu sudah sangat menyiksanya." "Kamu bisa sangat tega dengan Amanda, tapi kenapa dengan Sena tidak? Bukankah dia sudah sangat menyakitimu? Dia juga sama dengan Amanda yang ingin melenyapkanmu, Sayang. Buka matamu! Jangan melulu memikirkan orang yang jelas sudah ingin menggantikanmu!" Gama mengusap pipi Zoya kemudian beranjak dari sana dan berbalik menatap ke arah Dito yang masih berdiri tak jauh dari mereka. "Siapkan berkas yang akan digunakan untuk meeting hari ini! Setelah itu aku ingin kamu pergi ke rumah keluarga Atmanegara untuk mengirimkan makanan atas nama Zoya, istriku," perintah Gama. "Baik Tuan." "Bukan hanya itu, lihat bagaimana keadaan Nenek dan jika ada yang
Zoya semangat menghabiskan sarapannya. Dia sangat penasaran sekali akan kondisi Sena saat ini sedangkan wanita itu sedang merintih kesakitan karena kedua kaki dan tangan yang tak bisa keluar dari pasung yang terpasang. "Tidak usah sok baik padaku! Kamu sama jahatnya dengan Gama! Pergi sana! Aku nggak akan mau makan. Cuih!" Sena melempar ludah di wajah Dito yang memancing kemarahan pria itu. Tangan Dito meraih rambut Sena yang kusut dan menariknya ke belakang hingga wanita itu mendongak kesakitan. "Sakit Bangsad! Lepas!" "Kamu yang bangsad! Kamu nggak tau diuntung! Masih beruntung hanya di pasung tapi kamu malah kurang ajar seperti itu! Minta ampun dulu padaku, baru aku lepaskan!" sahut Dito kesal. "Tidak sudi!" PLAK Asisten Dito membuat Sena terhuyung dan membentur pinggir ranjang. Emosi Dito meluap karena Sena yang semakin kurang ajar. Tidak tau kalau masih diperhatikan, diberikan kesempatan untuk hidup, tapi malah membuat orang semakin emosi saja. "Sakit!" sen
"Tugas... " Dito seperti bingung ingin menjawab. Di sisi lain memang Gama pernah mengatakan untuk tidak menceritakan pada siapapun untuk masalah ini. Apa Zoya juga termasuk? Itu yang membuat Dito ragu. "Apa, Pak Dito?" "Itu Bu, eh Nyonya. Nganu... Mmm... " Kedua alis Zoya mengkerut mendengar penuturan dari Dito yang terbatas dan tak jelas. Zoya menatap penuh curiga pada Dito yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Zoya yakin, sangat yakin, jika Dito tengah menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan hal besar hingga membuat pria itu ragu menjawab. Zoya melangkah mendekati pria itu. Tatapannya tak lepas dari wajah Dito yang nampak bingung. Zoya sampai lupa akan batasan jika Gama melihat. Apalagi dia yang sengaja mendekati. Sampai Zoya tak sadar jika Gama memperhatikan dari atas. Gama nampak terkejut akan kedekatan keduanya. Gama memperhatikan keduanya dengan bergantian. Namun Zoya yang begitu gemas karena Dito tak kunjung menjawab membuatnya benar-benar tak main-mai