Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membuat nyalinya menciut. Bayangan akan kemarahan Zein semakin terlihat nyata di depan mata. Bagaimana jika Zein kembali murka? "Ya Tuhan aku harus beralasan apa agar Mas Zein tidak meminta malam ini? Tidak mungkin aku melayani. Aku tidak sanggup untuk meladeni kemarahannya malam ini." Kedua mata Zoya terpejam kuat. Rasanya ingin lenyap sejenak hingga Zein terlelap. Namun menghindar bukanlah pilihan baik untuk menyelesaikan masalah. Zoya menarik nafas dalam sebelum dia masuk dan menghadapi Zein. Perlahan Zoya membuka pintu kamar. Terlihat Zein sudah membuka pakaian dan hanya menyisakan celana pendeknya saja. Semakin ragu Zoya untuk masuk tetapi pergerakannya justru memberikan kesempatan pada Zein saat tangan begitu lancar mengunci pintu kamar. "Mas..." Zein melangkah mendekat dan menarik pinggul Zoya hingga masuk ke dalam pelukannya. Mengecup bibir ranum milik Zoya tanpa memberi kesempatan untuk Zoya menolak dan menghindar. Tangannya pun mulai bergerilya sesuka hati membuat Zoya semakin panik. "Mas maaf, malam ini aku sedang tidak bisa," lirih Zoya setelah Zein melepaskan pagutan dan mulai turun mencumbu leher jenjangnya. Zein terdiam mendengar penolakan dari Zoya. Rahangnya mengeras mendengar Zoya yang mengatakan jika dirinya sedang tak bisa disentuh. Rasa ingin sekejap berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Tatapan keduanya kembali beradu dengan kedua mata Zein yang tajam siap untuk mengamuk. Tak lama Zoya tersentak saat Zein melepaskan tubuhnya dengan kasar. "Bukannya baru seminggu yang lalu, Zoya? Kamu berbohong kepadaku? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" Zoya menelan kasar salivanya. Begitu sulit menghindari. Tatapan suaminya begitu mengintimidasi dan pertanyaan itu seakan menjawab arti kata penolakannya. Namun Zoya harus bisa membuat Zein percaya. Sekuat hati dia bertahan menatap kedua mata Zain yang semakin membuat nyalinya habis. "Tadi sore keluar flek, Mas. Mungkin karena aku kecapekan karena kegiatan semalam. Besok malam aku usahakan bisa," jawab Zoya dengan lirih. Sekuat hati meraih tangan Zein tetapi dengan cepat pria itu menepisnya. Zein tak menjawab apapun. Pria itu mendengus kesal kemudian melangkah menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi demi melampiaskan amarah yang sudah memuncak karena malam ini pun tak lagi bisa menuntaskan rasa inginnya. Zoya menghela nafas lega. Setidaknya malam ini dia bisa mangkir demi menyelamatkan diri dari amukan Zein. Namun hati semakin bersalah pada suaminya. Tidak pernah sekalipun Zoya menolak. Malam ini perdana dia lakukan dan rasanya sungguh sangat menyesal. "Maafkan aku, Mas. Aku yang salah." Pagi ini Zoya kembali sibuk dengan segala aktivitasnya sebagai istri. Sebelum ke kantor, Zoya lebih dulu menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Zoya bergegas turun ke dapur untuk membuatkan sarapan. Kebetulan Bibi sedang pulang kampung jadi semua harus Zoya yang mengerjakannya sendiri. "Kopinya, Mas!" ucap Zoya saat melihat Zein turun dengan pakaian kantornya. Zoya sudah membuatkan dua cangkir kopi untuk suami dan juga kakak iparnya. Meletakkan di meja masing-masing hingga keduanya turun siap untuk sarapan. Zein hanya berdehem lalu menyeruput kopi buatannya. Zoya tersenyum melihat itu tetapi dia sama sekali tidak menawarkan Gama minum. Zoya enggan bersinggungan. Menganggap tak ada meskipun tak lupa juga membuatkan untuk kakak iparnya. Setidaknya kebenciannya pada Gama tak terlihat oleh Zein. Zoya masih berusaha bersikap normal seperti biasanya. Namun agaknya Gama tidak mempermasalahkan akan sikapnya yang tak seperti biasa. Dengan santai pria itu menyeruput kopi dan bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Bagi Zoya ini tidak terlalu buruk dan berharap Gama tak menyinggung hal itu. "Mas, boleh aku menumpang mobilmu? Ikut sekalian ya. Pagi ini aku agak kurang enak badan. Boleh ya?" tanya Zoya dengan penuh harap, karena dia sedang malas sekali naik taksi. Sebenarnya bisa saja ikut dengan Gama. Namun pria dingin itu tak mungkin sudi jika dia ikut. Hubungan keduanya pun tak seakrab itu, seperti memiliki batasan karena paham hanya ipar. Ditambah lagi setelah apa yang terjadi dengan mereka. Zoya pun sudah terbiasa menjaga jarak dengan kakak iparnya. Tak menjadikan satu tujuan sebagai alasan untuk pulang pergi bersama. "Aku harus langsung ke lokasi. Ada meeting pagi ini dengan klien penting," tolak Zein dengan sikap datar. Pria itu segera minum air putih lalu beranjak dari sana. Sementara Zoya yang melihat suaminya sudah ingin berangkat, buru-buru meninggalkan makannya dan ikut beranjak dari sana. Zoya buru-buru mengejar Zein yang sudah lebih dulu melangkah keluar rumah. Terlihat suaminya begitu tergesa masuk mobil dan meninggalkannya begitu saja. Malang betul nasibnya, mendapatkan penolakan di saat hati sedang gundah. Kenapa tidak bisa sedikit saja bersikap manis agar tak menimbulkan pemikiran buruk orang lain? "Mas kamu tuh..." Zoya mengangkat kepalanya agar air mata tak lagi membasahi pipinya pagi ini. Sudah biasa ditolak tetapi entah mengapa pagi ini rasanya sungguh sangat menyakitkan. Sampai dimana orang yang sangat ia hindari kembali menghampiri. "Mau bicara apa lagi, Kak? Kamu sudah tau semuanya!" ujar Zoya pada Gama yang hanya mengangkat kedua alis mendengar ocehanhya. "Miris! Kamu terlalu naif, Zoya!" "Kak!" pekik Zoya."Sembunyikan apa?" Gama terlihat santai berbeda dengan Zoya yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Zoya mendadak bingung dalam bersikap, panik juga, khawatir semua terbongkar meskipun Zoya tau pasti ada masanya semua akan tau apa yang terjadi pada Sena. "Mas... " Zoya menyentuh lengan Gama tetapi pria itu justru meraih tangannya kemudian melepaskannya begitu saja. Zoya bungkam mengikuti langkah Gama yang terlihat maju mendekati Bara. "Apa yang Om curigakan? Katakan saja sekiranya aku bisa meluruskan atau menjelaskan. Tidak masalah! Aku akan menjawabnya," kata Gama tanpa takut. Bara pun melangkah mendekati hingga keduanya saling berhadapan. Bara menatap Gama dengan tatapan menyelidik. "Dimana Sena? Apa kamu menyembunyikannya? Selama menikah kamu tidak pernah datang membawa Sena. Kamu juga lebih sibuk dengan istri pertamamu itu." "Ingat Gama! Kamu sendiri yang meminta Sena padaku. Seharusnya kamu lebih bertanggung jawab dengan putriku! Bukan pilih kasih dengan ha
"Apa aku sehina ini, Dito? Aku hanya ingin mencintai dan dicintai oleh orang yang aku sayang. Bukan diperlakukan seperti ini." Suara Sena terdengar lemah dan tatapan wanita itu begitu mengiba dan memelas. Kedua mata Sena pun semakin tak henti mengeluarkan air mata hingga terlihat sangat menyedihkan. Memang Sena sangat-sangat menyedihkan sekali. Selain berantakan dan kotor seperti tak terurus. Sena juga terlihat seperti orang yang tidak waras. Padahal wanita itu masih bisa diajak berpikir. Hanya saja mungkin ada gangguan mental karena ambisi dan obsesi hingga merusak otak dan hati Sena. Penyakit hati memang sangat-sangat berbahaya bagi penderitanya. Maka dari itu dianjurkan menjadi manusia yang baik-baik saja. Tidak bisa diraih ya ikhlaskan. Bukan malah terus menginginkan hingga memicu perbuatan yang tercela. "Aku ingin bebas, Dito." "Aku sudah mengajakmu untuk berubah, Sena. Aku juga sudah menjanjikan untukmu bebas jika kamu mau berubah." Dito menarik nafas dalam dan se
Kedua insan yang tengah dimabuk cinta kini sama-sama terlena dengan gelombang cinta yang mereka buat. Hasilnya, tubuh gemetar hebat di kala pelepasan yang sangat melenakan. Gama cukup berhati-hati meskipun hal itu membuat Zoya geregetan sendiri. Namun keduanya sama-sama menikmati dan kini tengah terengah menikmati denyutan kecil yang membuat keduanya tersenyum senang. "Mas... " "Hhmm... Makasih Sayang." "Ya," kata Zoya. "Apa ada yang sakit? Bagaimana dengan anak kita? Dia baik-baik saja?" tanya Gama yang kemudian memiringkan tubuhnya untuk menjangkau Zoya. "Sepertinya sangat suka dikunjungi oleh Ayahnya," jawab Zoya dengan senyum tipis dan tangan mengusap rahang Gama. Wajahnya mungkin saat ini masih terlihat sangat seksi. Buktinya Gama mengecup tangannya hingga Zoya kemudian beralih pada tengkuk Zoya dan berbisik di sana. "Wajah kamu sangat menantang sekali, Sayang. Apa kamu tau jika setelah mengejang, kamu sangat seksi?" "Apa yang ada di dalam pikiranmu hanya
Di rumah besar keluarga Atmanegara, Bara terduduk menyesap kopi buatan sang istri. Diam terlihat banyak beban sampai di mana sang istri mendekati dan duduk di samping pria paruh baya itu. "Ada apa, Mas? Aku lihat kamu sedang banyak pikiran. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" "Aku merindukan Sena. Apa kamu melihatnya saat ke rumah Gama?" Bara menoleh ke arah sang istri yang menggelengkan kepala. Terlihat Santi pun sangat merindukan Sena meskipun ada rasa sakit mengingat Sena pernah membangkang. "Lalu kemana?" "Katanya Sena belum pulang, masih seperti dulu, Sena akan mencari kesenangan sendiri tanpa memikirkan orang di sekitarnya. Aku kadang tidak enak hati dengan Gama, Mas." "Gama pasti sangat membandingkan Sena dan Zoya. Sementara Zoya masih rajin dan ikut membantu Gama di kantor. Sifatnya sangat jauh sekali dengan Sena." Terdengar Bara mendesah kasar mendengar penuturan dari sang istri. Diam keduanya sama-sama saling berpikir sampai dimana Bara memutuskan untuk
"Mas kamu sungguh tidak ada malu! Aku nggak enak hati dengan Asisten Dito, tapi kamu malah sengaja banget. Lagian mau ngapain, Mas?" Sepertinya Zoya pura-pura tidak tau, padahal kalau sudah begini, mau apa lagi jika bukan bercinta tujuannya. Sayangnya wanita kadang suka sekali menutupi hanya untuk sebuah kejelasan. "Mau apa lagi jika bukan untuk mengeksekusi kamu, hhmm? Bersiaplah Sayang! Kamu sulit aku abaikan," kata Gama dengan langkah yang membawa mereka ke dalam kamar. Tak lupa Gama pun mengunci pintu kamar agar tidak ada yang menganggu kegiatan mereka. Namun Zoya mengalihkan inginnya Gama. Padahal niatnya hanya iseng, tidak taunya kepancing sampai ingin digemesin begini. Pria memang suka tidak tahanan. "Mas kamu nggak mau makan dulu? Mandi gitu? Gemesnya sama aku pending dulu! Jangan begini!" Namun Gama tidak bisa dinanti-nanti. Pria itu merebahkan tubuh Zoya ke ranjang yang menjadi media untuk bercinta. Ya, bercinta. Mau apa lagi? Gemasnya Gama tidak lagi bisa d
Zoya menahan tawa kala Gama kembali menghubunginya. Bolak balik menelpon membuatnya geli sendiri. Ya ampun Mas suami kalau sedang tantrum begini banget. "Maaf Mas, aku sudah mengerjaimu. Lagian kamu bikin aku pengan usil. Hihihi.... " Gama menghubungi dengan nada dering yang malah membuatnya ingin menari. Iseng banget emang bumil satu ini. Ampun dech, minta dicipok depan belakang atas bawah. Tidak tau saja suaminya sudah menahan gemas. Andai tidak ada banyak pekerjaan, pasti Gama sudah meluncur pulang. "Loh Nyonya kok seneng banget kelihatannya. Malah joget-joget. Itu bukannya Tuan yang telepon, Nyonya?" "Iya, Bi. Biarin aja, dia lagi tantrum Bi. asyik buat digodain," jawab Zoya santai dan Bibi hanya menggelengkan kepala mendengar itu dan terkekeh melihat kelakuan bumil satu ini. "Duh, Nyonya. Telepon rumah berdering. Itu pasti Tuan yang menghubungi." "Biarkan saja, Bi." "Nanti kalau Tuan marah gimana, Nyonya?" "Nggak akan Bi. Udah Bibi tenang aja ya! Serahka