Share

BAB 3

Rashva memutuskan untuk mempercepat mandinya.

Setelah berpakaian, ia lalu segera berangkat ke kantornya. Letak kantor itu pun tak jauh dari kostnya. Hanya sekitar 300 meter jalan kaki. Sebuah kantor yang bergerak di bidang advertisement. Pekerjaan Rashva adalah sebagai penulis konten dan copywriter.

Sebuah pekerjaan yang menyenangkan sebenarnya. Sesuai dengan hobinya menulis.

Tetapi boss pemilik perusahaan itu yang kurang menyenangkan. Bahkan sangat tidak menyenangkan. Kalau ngasih kerjaan selalu mendadak. Mintanya selesai saat itu juga. Kadang jika ada revisi tidak tanggung-tanggung jam 1 malam pun tetap ditelpon.

Ingin rasanya Rashva pindah tempat kerja. Tetapi di tempat ini gajinya cukup bagus. Karena merupakan salah satu perusahaan Advertisement yang termasuk cukup besar di Malang. Bahkan cukup terkenal secara nasional.

Ruang kerja Rashva adalah sebuah ruangan kecil yang berisi 6 orang. Cukup sempit. Jika mau keluar ke kamar mandi, atau ada kegiatan lain, mereka harus behimpit-himpitan agar bisa lewat. Total ada 15 pegawai di perusahaan itu.

Semuanya tidak ada yang asik kepada dirinya. Mungkin karena mereka masing-masing sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Jarang sekali mereka saling mengobrol.

Begitu juga siang ini. Saat jam makan siang, mereka semua keluar sendiri-sendiri untuk cari makan. Tinggal Rashva sendirian dengan sang office boy.

“Gak makan siang, mas?” tanya si office boy yang baru berumur 16. Ia seorang lulusan SD.

“Gak mas. Diet. Hehe,” jawab Rashva.

“Wah harus mas. Berat badan sampean kayaknya sudah satu kuintal, hahaha,” Tawa si office boy.

Guyonan itu sangat menusuk hati Rashva. Bahkan seorang office boy pun bercandanya kurang ajar kepadanya. Tetapi ia memilih untuk tertawa, “Hahaha, iya mas. Waktunya diet.”

Beratnya memang saatnya mencapai 110 kilogram. Dengan tinggi sekitar 175, tentu Rashva kelebihan lemak. Ia sudah berusaha untuk berolahraga dan berdiet, tapi persahabatan dirinya dengan lemak nampaknya masih erat dan akan cukup panjang.

Mungkin karena makannya cukup banyak. Mungkin karena ia memang tidak suka aktifitas fisik. Mungkin juga karena ia lebih suka nonton di rumah dan baca buku, serta tentu saja main game. Mungkin karena ia gak punya banyak teman.

Masih banyak mungkin. Rashva tak ingin tahu. Tapi ditertawakan oleh seorang office boy memang cukup menampar harga dirinya. Ia tidak merasa dirinya lebih baik atau lebih tinggi daripada seorang office boy. Tetapi menjadi bahan tertawan orang itu yang membuat hatinya sedih.

“Kayaknya mulai besok aku harus mulai olahraga lagi. Tapi ya kemarin 3 bulan olah raga gak ada gunanya. Badan tetap gembrot,” tukas Rashva.

“Wah, gak ngerti ya mas. Kayaknya sampean memang bakat jadi orang Makmur. Hehehe.” Si office boy menggoda lagi. Lalu katanya, “Eh, mas. Ta tinggal dulu ya. Mau cari makan juga.”

“Oyi, bro,” jawab Rashva santai. Padahal hatinya agak mangkel juga.

Tak berapa lama setelah si office boy pergi, Rashva merasa ada yang aneh.

“Kenapa semua orang pergi? Nggak seperti biasanya kantor jadi sepi seperti ini. Tinggal aku sendirian.”

Akhirnya Rashva memutuskan untuk meneruskan saja kerjaannya. Tak sampai berapa lama, terdengar suara mobil yang berhenti di depan ruko kantor.

“Eh, ada customer? Wah, sial. CS (Customer Service) lagi keluar makan semua.”

Rashva segera bergegas ke ruang depan untuk menyambut customer.

Ternyata mereka sudah masuk duluan karena pintu depan memang tidak dikunci. Mereka semua ada 4 orang.

“Kamu yang namanya Rashva?” tanya salah seorang. Nampaknya dia alpha-nya kelompok itu. Ganteng, tinggi, badannya seperti terlatih di gym. Outfit yang dia pakai pun keren. Sepertinya bukan dari kalangan biasa. Sekilas terlihat mobil yang parkir di luar adalah Rubicon.

“Wah iya mas. Ada apa ya?” tanya Rashva. Hatinya mulai ketar-ketir karena tampang dan kata-katanya terlihat tidak bersahabat.

Kamu kok berani nembak pacarku?” dia berjalan sangat cepat menuju Rashva. Jelas sekali ingin berkelahi.

“Loh siapa mas?” Rashva masih belum mengerti.

“Vasya.”

“Loh kirain Vasya itu masih single. Soalnya saya dengernya gitu,” jawab Rashva panik. Setahu dia Vasya memang jomblo. Bahkan ketika Vasya ditanya langsung, gadis itu memang menjawab seperti itu.

Buat apa Vasya bohong?

“Single apaan? Bangsat!”

Bogem pun melayang, tepat di mata kiri Rashva. Berikut tendangan dan pukulan dari kawanan itu.

Bak! Buk! Bak! Buk!

Rashva sudah tidak bisa menghitung berapa banyak pukulan yang masuk ke tubuh dan wajahnya. Matanya terasa kunang-kunang. Kepalanya pusing. Perutnya mual.

Dalam keputusasaannya dia mencoba mengucapkan kata itu lagi.

“Meigma!”

“Meigma!”

“Meigma!”

Tidak ada satu pun yang terjadi.

Jadi semua itu hanya mimpi rupanya.

“Hahahahah!”

Tiba-tiba Rashva tertawa.

Di dalam sakit dan jatuhnya, ia memilih tertawa.

Orang-orang yang mengeroyoknya menjadi heran. “Kok tertawa? Dasar gembrot gila!”

“Daripada menangis mending ketawa, Mas. Hahaha” Rashva menjawab dengan santai. Padahal ia sedang mengalami pemukulan bertubi-tubi.

Sampai Rashva tergeletak di lantai kantor dan tak dapat melakukan apa-apa lagi, ia masih bisa tertawa.

Apa yang ia tertawakan?

Tentu saja menertawakan nasibnya sendiri.

Nasib yang selama ini tidak pernah berpihak kepadanya.

Kehilangan ayah di usia 7 tahun.

Di sekolah setiap hari di bully karena tubuhnya yang gemuk.

Lalu ketika kuliah selalu dianggap aneh karena lebih suka ngegame dan baca buku ketimbang bersosialisasi dengan orang.

Saat bekerja kantoran, jatuh hati sama seseorang yang malah membuatnya dikeroyok.

Semalam mimpi aneh yang membuat dirinya mengira ia seorang pendekar hebat atau superhero.

Hidup kok gini amat ya?

Dilanjutin apa dihentiin aja hidup ini?

Itulah kenapa Rashva tertawa.

Kalau hari ini sekalian mati, kayaknya lebih baik.  Paling cuma ibunya saja yang akan kehilangan dirinya. Dunia ini sama sekali nggak bakalan merindukan atau kehilangan seorang Rashva.

Dalam kelemahannya, Rashva berkata, Pukulanmu kurang keras, guys. Kayak pukulan bayi. Wkwkwkwk.”

“Ooo Kirik!!!

Anjing.

Dapat diduga pukulan dan tendangan mereka semakin menjadi-jadi.

Rashva hanya dapat meringkuk di lantai sambil menutupi kepalanya dengan tangannya. Ia memang tidak bisa beladiri.

Semuanya kemudian menjadi sangat gelap bagi Rashva.

Lalu tiba-tiba, “Roaaaaaaaaarrrrr!”

Terdengar suara seperti auman serigala.

Kawanan itu terhenyak. Lalu tanpa mereka tahu, tubuh mereka terhempas kencang dan menabrak tembok di belakang mereka.

Seluruh ruangan berantakan karena hempasan ini.

Tubuh mereka terluka, bahkan ada yang patah tulang dan kepalanya bocor.

Saat mereka baru menyadari apa yang sedang terjadi, tampaklah di hadapan mereka sesosok serigala yang besar sekali.

Serigala putih yang tampan, gagah, dan penuh keagungan!

“A…ada…se..tan…setaaaan!” teriak mereka sambil berlari ketakutan. Meninggalkan Rasva yang terkapar sendirian di lantai. Tak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status