Share

BAB 1

Apakah mata pria ini semerah darah? Bola matanya berwarna merah, pikir Iris. Dia tidak boleh pingsan. Dia bisa mati seperti ayah dan ibu serta para kakak. Jika dia mati siapa lagi keturunan Laromannor. Tapi tubuh dan pikirannya tidak sejalan. Kepalanya pening dan tubuhnya gemetaran. Ia ketakutan dan mengerahkan sihir perlindungan dengan maksimal. Tapi sepertinya pria pembunuh di depannya itu sangat kuat.

“Kau bisa sihir?” Eras mencengkram makin erat kedua bahu Iris, namun yang dapatinya adalah gadis itu lunglai ke arahnya, jatuh tak sadarkan diri ke pelukannya.

“Yang Mulia, Lovec sudah takluk. Rakyatnya menyerah.” Seorang ksatria melaporkan situasi pada Eras.

“Bagaimana dengan puteri itu, Duke?”

Eras mengurungkan niatnya untuk membunuh Iris. Sebaliknya ia menggendong sang puteri dan berkata datar. “Bungkus puteri ini dengan mantel dan letakkan dia di kudaku. Jangan sampai rakyat Lovec tahu jika salah satu puteri mereka masih hidup. Umumkan kepala Raja di alun-alun, katakan bahwa semua keturunan raja telah mati dan aku akan segera kembali ke tenda membawa gadis ini.”

****

Iris mimpi buruk. Ia menyaksikan kematian ayah, ibu dan kakak-kakaknya. Ia melihat kobaran api di depan istananya. Ia mendengar teriakan ketakutan para dayang, suara pedang saling beradu dan percikan darah di mana-mana.

“Ayah!” Iris berteriak keras, wajahnya penuh airmata dan tangannya hanya menggapai udara kosong.

“Anda sudah bangun, Nona.”

Iris terdiam. Ia membuka lebar kedua matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar yang tinggi dengan lampu lilin gantung yang mewah. Selanjutnya tubuhnya merasakan empuknya ranjang dan aroma harum di sekitarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lembut yang bertanya padanya.

“Sepertinya anda masih dalam keadaan syok.”

Iris menoleh ke samping dan mendapati seorang wanita setengah baya sedang berdiri di samping ranjang, menatapnya dengan cemas bersama seorang gadis bergaun hijau sederhana yang memeluk vas bunga.

Iris mencoba duduk dan menekan pelipisnya. “Ini di mana?”

“Anda di istana Duke Adorien, Nona.” Kini gadis bergaun hijau itu yang menjawab pertanyaan Iris.

Bola mata Iris membesar. “Duke Adorien?” Iris menyibak selimut, melompat dari ranjang dan berlari kea rah jendela. Ia melihat keluar jendela dan melihat pemandangan taman luas membentang di depan matanya. Pemandangan langit yang cerah meski awannya tampak kelabu, taman yang indah, bangunan yang luas serta pemandangan bangunan-bangunan indah lainnya di sekitar pandangannya.

“Aku…Aku di mana?”

“Anda berada di Adorien. Kekaisaran Agrynnor.” Wanita setengah baya itu mendekati Iris, menarik lembut lengan Iris. “Nah sekarang anda harus mandi. Saya dan Gaia akan melayani anda. Duke menunggu anda.”

Iris masih tidak mengerti. Rasanya sebelumnya ia berada di negaranya yang hancur, melihat pembantaian keluarganya oleh pria raksasa bermata merah. “Siapa Duke Adorien?”

Gaia menjawab dengan tersenyum. “Duke Adorien adalah pemilik istana ini, Nona. Anda akan segera bertemu dengan beliau.”

Iris tak bisa berkata apa-apa lagi. Dua orang itu menggiringnya memasuki ruangan luas berisi kolam air hangat, membuka pakaiannya dan mulai membersihkan dirinya.

****

Eras meneliti setumpuk dokumen yang akan dipelajarinya. Selama ini dia meninggalkan tugas-tugasnya sebagai Duke karena pergi berperang sehingga ketika ia kembali ke istananya, dokumen-dokumen itu menjadi hantu sebenarnya dalam hidupnya. Asistennya berada di sisinya, tak bergerak sejengkalpun, memeriksa apakah sang Duke melaksanakan tugasnya dengan baik.

Eras menatap asistennya dan berkata jemu. “Aku akan mengerjakan semua ini, Asel. Jadi…apakah kau tak ingin beristirahat?”

Asel membetulkan letak kacamatanya. Ia menggeleng dengan tegas. “Tidak Yang Mulia. Anda harus menyelesaikan beberapa laporan di sebelah kanan untuk segera saya serahkan kepada mereka yang menunggu tanda tangan anda.”

Eras mengembuskan napasnya. Ia melirik Asel dari balik bulu matanya. “Apakah puteri Iris sudah sadar?”

Asel mengerutkan dahinya. “Saya rasa Hedia dan Gaia sudah membersihkan beliau.”

Eras mendengus dan meletakkan pena bulunya. Ia mengingat bagaimana Iris tidak sadarkan diri selama perjalanan kembali ke Agrynnor. Sepertinya gadis itu mengalami syok yang luar biasa sehingga pingsan selama berhari-hari. Eras menunggu Iris sadar untuk bertanya banyak hal terutama sihir yang dimiliki gadis itu saat melawannya yang hendak membunuhnya.

Setahu Eras, negara Lovec bukanlah negara yang diberkahi sihir. Bahkan keluarga Rajapun tak memiliki sihir saat ia mempelajari Lovec sebelum penyerangan malam itu. Bagaimana Iris, yang berambut perak dan bermata keemasan yang seperti jelmaan elf itu memiliki sihir? Jika Zenith tahu bahwa Eras menyisakan keturunan Raja Lovec, Iris bisa saja mati di tangan Zenith, sang Kaisar Agrynnor.

Suara ketukan pintu menyadarkan Eras dari pikirannya. Ia mengangkat mukanya dan mengangguk saat Asel membuka pintu. Hedia muncul dan membungkuk hormat di hadapan Eras.

“Puteri Iris akan menghadap anda, Yang Mulia.”

Duke Adorien menegakkan punggungnya, bersandar santai di sandaran kursinya dan meletakkan kedua tangannya di depan dada dengan tenang. Sosok mungil itu muncul. Rambutnya yang berwarna perak itu tergerai sepanjang punggung dan seperti dugaan Eras, gaun bekas kakaknya ternyata cukup pas di tubuh Iris. Hedia terlihat puas atas hasil dandanannya pada Iris. Kurasa wanita itu akan meminta agar menjadi pelayan Iris, keluh Eras saat melihat tatapan berbinar Hedia.

Iris berdiri kaku di depan Duke Adorien. Kedua lututnya bergetar dan kedua tangannya terkepal. Pria yang mengacungkan pedang padanya kini duduk dengan tenang di balik meja besarnya yang mewah, mengenakan setelah rapi bukannya jubah perang seperti malam itu. Janggutnya tercukur rapi dan tak ada percikan darah di pipi dan sekitar rahang pria itu. Reaksi Iris tampak dari bawah kakinya yang mulai memunculkan sihir perlindungan dan hal itu tak luput dari pengamatan Eras.

“Anda…”Iris berkata lirih, tak percaya bahwa pria yang membunuh keluarganya atas perintah Kaisar masih membiarkannya hidup.

Eras tersenyum tipis, ia menggerakkan telapak tangannya ke arah Iris. “Simpan sihirmu, puteri jika tak mau aku juga melawanmu dengan sihirku.”

Iris mengingat bagaimana sang Duke memecahkan sihir perlindungannya dengan sekali serangan. Ia yakin itu bukanlah tenaga penuh dan itu sudah membuat Iris lemah. Iris menyimpan sihirnya dan menatap sepasang mata Duke. Bola matanya benar-benar merah, kata Iris dalam hati.

Eras bangkit berdiri, mendekati Iris dan meraih tangan berkulit putih itu. “Saya senang anda sudah sadar. Bagaimana jika kita menikmati minuman sore hari?” Eras tak ingin berseteru dengan Iris Odeya Laromannor. Sebaliknya, ia mendapatkan ide gemilang sejak melihat reaksi Iris dan sihirnya.

Eras akan menyembunyikan keberadaan Iris dari kaisar Agrynnor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status