Share

BAB 4

****

Iris berada di kamarnya, duduk diam sambil merenungi tawaran yang diberikan Duke Adorien. Ia mondar mandir dari ujung ke ujung mempertimbangkan jawaban apa yang harus diberikannya. Jika dia menolak, hidupnya pasti terancam bahaya. Berada di Agrynnor saja sudah merupakan bahaya besar apalagi jika Kaisar Agrynnor mengetahui bahwa masih ada yang tersisa dari Raja Lovec. Ia pasti dibunuh. Namun apabila Iris menerima tawaran Duke, maka keamanannya terjamin dan hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, apakah dia tidak akan dibunuh juga oleh Duke Adorien?

Iris sudah melihat bagaimana kejamnya pria itu dalam perang. Dengan jubah perangnya yang berwarna merah, lencana kekaisaran di kedua pundaknya, pedang besar yang ada di tangannya, ditambah sepasang mata merahnya, sudah bisa membunuh orang lain bahkan sebelum ia menggerakkan pedangnya. Belum lagi kekuatan sihir yang dimiliki Duke.

“Matilah aku.” Iris memegang kepalanya. Tapi jika melihat bagaimana sikap Duke sore tadi, rasanya Iris tidak percaya bahwa itu adalah pria yang sama yang ada di medan perang. Selain mata merahnya, Duke Adorien tampak tak seganas dalam perang. Apa aku percaya saja padanya?

Suara ketukan pintu kamar membuat Iris meloncat kaget. “Ma…masuklah…” ia berdiri waspada.

Ternyata yang datang adalah Hedia dan Gaia. Iris bernapas lega. “Oh, kalian.” Rasanya dunianya lebih terasa normal saat berada di dekat Hedia dan Gaia.

“Anda akan malam bersama Duke, Nona.” Hedia mendekati Iris dan dengan hati-hati membuka gaun tidur Iris. Gaia tampak sedang membawa sesuatu di tangannya.

“Eh? Bukankah seharusnya Duke makan malam tanpa saya?”

“Bagaimana bisa Tuan Duke makan malam tanpa anda yang merupakan calon isterinya?” Hedia tertawa lebar. “Ini hari yang luar biasa. Pertama kalinya kami melihat Tuan Duke begitu normal.”

Iris melongo. “Maaf. Saya bahkan belum memberikan jawaban…”

“Oh gaun ini akan sangat indah saat anda memakainya!” Gaia berseru.

Iris menoleh ke arah Gaia. Bibirnya gemetar. “Itu gaun untuk siapa?” Astaga, itu gaun yang sangat indah, seru Iris dalam hati. Bentuknya mengembang indah dengan bagian pinggang yang ramping, terlihat ringan dengan sedikit renda namun tetap elegan. Dan warnanya biru langit seperti warna mata Iris. Potongan lehernya berbentuk sabrina sehingga Iris percaya bahwa tulang selangkanya akan lebih menonjol.

“Tentu saja untuk anda. Tuan Duke memesan gaun ini setelah minum teh sore tadi bersama anda. Karena saat malam suhu di Adorien lebih dingin, syal bulu beruang ini akan menghangatkan anda.” Gais jelas sedang pamer kepada Iris tentang sang Duke yang royal.

“Ini…ini ada kesalahpahaman…” tapi Iris tak sempat protes ketika dengan tangkas Hedia mulai memasang korset untuknya dan Gaia menyiapkan riasan wajah, mengatur rambutnya dan gaun indah itu seakan sedang menantang Iris.

Sepertinya hidupku akan benar-benar berubah! Tuan Duke yang merepotkan! Iris berteriak di dalam hati. Ia yakin bahwa Duke Adorien menuntut jawabannya malam ini juga. Tidak ada besok pagi. Benar-benar pria yang kejam, keluh Iris.

****

Seumur hidup Eras, ia tidak pernah menghadiahi seorang perempuan dengan gaun ataupun sesuatu yang indah. Selama ini Eras menghabiskan waktunya dengan mengurus keluarga besarnya, wilayahnya, menikahkan para saudarinya, mengenang kematian orangtuanya dan berperang. Tugas-tugas berat sebagai Duke di usia muda membuat hidup Eras terasa datar dan dingin. Melayani seorang kaisar yang gila perang dan rakus akan perluasan daratan semakin membuat Eras seakan tak mengenal apa itu menikmati hidup. Wajahnya jarang tersenyum. Jikapun ia tersenyum, itu pertanda menyeramkan. Ia bisa membunuh musuh tanpa belas kasih. Mata merahnya yang diyakini orang-orang adalah pemberian iblis semakin membuat Eras tampak kejam. Semua orang takut sekaligus segan padanya. Tak ada yang berani menatap matanya secara langsung. Tetapi Iris berbeda. Putri dari negara runtuh itu berani membalas tatapannya dan menyerangnya dengan sihir. Bukankah itu menarik? Dan tanpa sadar Eras menyelamatkan gadis itu dan kini memberikan tawaran konyol dengan alasan perlindungan.

Dan lihatlah. Isi istananya gempar. Terutama Asel sang asisten yang seakan berubah menjadi mayat hidup saat Eras meminta untuk dibawa ke butik gaun terkenal di kota. Eras menekan pelipisnya. Ini hanya usaha memberikan perlindungan pada gadis lemah itu. Mereka tidak membutuhkan apa yang disebut rasa tertarik satu sama lain. Ya. Itu cukup. Eras menghibur dirinya sendiri dan mengangkat wajahnya saat Eliath mengumumkan kemunculan Iris.

“Nona Iris memasuki ruangan.”

Eras bangkit berdiri. Seperti yang diduganya, Iris sangat cantik dengan gaun yang dipilihnya. Tulang selangka Iris tampak menonjol cantik dengan kulitnya yang putih dan rambut peraknya digerai sepanjang punggung dan dihias jepitan batu Kristal yang dipilih Eras.

Iris merasa canggung saat melangkah memasuki ruang makan yang mewah itu. Dia melihat banyak menu di atas meja panjang dan Duke Adorien sedang menantinya. Pria itu berdiri dan melangkah mendekatinya. Malam itu juga sang Duke terlihat sempurna dengan pakaian malamnya. Iris mengepalkan tangannya. Sadarlah Iris, hidupmu sedang dipertaruhkan. Hidup atau mati.

“Gaunnya sangat indah.” Eras bermaksud memuji Iris namun terkesan lebih memuji gaun saja, membuat Eliath mengusap wajahnya dan Hedia terbatuk.

Iris tertawa dan membungkuk hormat. “Ya. Gaunnya sangat indah. Terimakasih Yang Mulia.” Ia berkata dengan nada tertawa.

Eras melirik Eliath yang berdiri di belakang Iris. Pria tua itu memberi tanda dengan menggeleng. Bibir Eliath komat kamit. Bukan gaunnya Tuan Duke.

Eras melihat Iris masih membungkuk hormat dengan memengan ujung gaun. Ia mengulurkan tangannya. “Maksud saya, anda cantik sekali dengan gaun itu.” Eras memperbaiki kalimatnya.

Iris menegakkan punggungnya dan menerima uluran tangan Eras. Ia tertawa lebar. “Terimakasih atas pujiannya Yang Mulia.” Pria di depannya ini demikian kaku bahkan saat memuji sekalipun. Yach, wajar saja pikir Iris saat Eras membimbingnya ke kursi. Duke Adorien lebih senang belajar pedang dari pada latihan memuji wanita.

“Adorien sangat dingin saat malam hari. Lebih baik anda tetap memakai syal.” Eras menahan gerakan Iris saat akan melonggarkan syal bulu. Ia memperbaiki letak syal itu di leher Iris.

Lagi-lagi Iris mendengar suara batuk Eliath, Hedia dan beberapa pelayan yang berdiri di belakang meja mereka menunggu perintah. Sepertinya Duke tidak terlalu peduli dan kembali ke kursinya. Mereka menikmati makan malam dengan nikmat. Iris jelas sangat menikmati makan malamnya yang lezat hingga saat pelayan membersihkan peralatan makan mereka dan menuangkan minuman anggur di gelas, Iris mendengar suara Duke Adorien.

“Saya menantikan jawaban anda saat ini juga, Iris.” Eras tak lagi menggunakan kata “nona” apalagi “putri” kepada Iris. Di telinga siapapun yang mendengarnya, nada bicara sang Duke terdengar lebih ramah dan lembut.

Iris meletakkan gelasnya. “Bukankah anda meminta jawabannya besok pagi?” ia bermaksud menunda jawabannya. Oh, berilah aku waktu semalaman, jerit Iris dalam hati. Ada berapa pasang telinga yang sedang menanti jawabannya, keluh Iris. Di luar ruang makan itu, sudah berjejer para pelayan, asisten Duke dan beberapa kesatria yang menanti jawaban Iris. Iris tahu itu sejak ia berjalan menunju ruang makan tadi.

Eras memberikan tanda pada Eliath. Iris mulai curiga. Eliath bergerak mendekati Duke dan memberikan sesuatu dari balik sakunya. Duke Adorien berdehem, menerima kotak kecil itu dan berjalan mendekati kursi Iris.

Eras membuka tutup kotak tersebut dan menunjukkannya pada Iris. “Saya melamar anda, Iris. Dalam dua hari saya akan membawamu ke Ibu kota saat pesta kemenangan Kaisar. Saya akan memperkenalkanmu kepada Paduka Kaisar dan segera mengurus pernikahan kita.”

Eras mengucapkan titik lemah Iris. Saat ini Iris tak mungkin menghindar lagi. Iris yakin bahwa berita sang Duke membawa seorang tahanan dari Lovec telah sampai ke telinga Kaisar. Semua pasukan melihat Iris yang dibawa Duke meski kemungkinan kecil mengenali Iris sebagai putri raja Lovec kecuali kesatria yang berada di kamar raja saat Eras membunuh raja.  

Eras membungkuk. “Surat kontraknya sudah saya persiapkan. Iris bisa ke ruang kerja saya setelah makan malam berakhir.”

Iris menelan ludah. Baiklah. Ayo jalankan saja rencana penyelamatan diri ini, pikir Iris. Dengan tersenyum, Iris memegang tangan bersarung Duke. “Saya sangat bahagia Yang Mulia.” Dan ia melihat senyum sang Duke bersamaan dengan sepasang matanya yang merah itu juga ikut tersenyum.

Oh, lebih baik aku pingsan saja, pikir Iris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status