Samudera Biru menempatkan Renata di atas meja pipih terbuat dari batu giok hijau muda yang dingin.
“Pukk!! Pukk!! Pukk!!"
Hei, bangun!!!”
Renata mengerang, tubuhnya terasa kosong, seolah seluruh energinya terhisap oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Apa?” tanya gadis itu nyaris tak terdengar.
“Buka matamu.”
“Hem.” Kinara mengangkat sedikit kelopak, mati-matian bertahan agar tidak jatuh dan menutup kembali.
“Tahan sebentar, ini cukup menyakitkan.”
Samudera Biru memegang ujung jarum, lalu menarik dalam satu gerakan kuat.
“Arrghh!!”
Jeritan Renata dipantulkan dinding-dinding batu. Nyeri teramat hebat mendera, seperti sesuatu yang berakar dicabut paksa dari bahunya.
Bagaimana tidak, ujung jarum itu ternyata terpecah menjadi enam bilah sangat tipis dengan ujung menekuk seperti jangkar. Daya cengkeramnya tidak main-main, sejumput daging ikut tercabut keluar.
Darah mengalir
Renata membuka mata perlahan. Merasakan dingin batu giok mencucuk hingga jauh ke dalam kulit, daging dan tulangnya.Tak ada lagi rasa panas membara, hanya tersisa rasa ringan yang aneh. Seolah seluruh tubuhnya hanya berisi partikel-partikel kecil yang melayang di udara.“Kau sudah bangun?”Satu suara mengalun membuat Renata seketika terjaga penuh. Di depannya Samudera Biru tampak sedang membaca buku tua dengan kaki terlipat.“Ini jam berapa?” tanya Renata sambil mengusap wajah.“Jam satu siang.”“Astaga, aku harus membuka toko,” ucapnya panik.Samudera Biru menurunkan buku. Memandang penuh geli.“Setelah melewati fase antara hidup dan mati hal pertama yang terlintas di kepalamu adalah membuka toko? Ck, kau luar biasa.”“Tentu saja, toko itu seperti penyambung nyawaku. Dari sana aku bisa bertahan hidup,” sahut Renata sambil beringsut. Namun kembali me
Renata berjalan tertatih sambil menepuk bagian dress yang kotor. Wajahnya menekuk, menatap frustasi pada lutut dan siku yang tergores cukup lebar. Bekasnya pasti tidak sedap dipandang mata.Samudera Biru sangat keterlaluan. Ia baru saja selamat dari racun tapi sudah diserang secara brutal.“Latihan macam apa itu? Bilang saja mau menindasku, huh! Dasar rubah licik tak berperasaan!” umpat Renata sambil meniup luka di telapak tangannya.“Bugh! Aww!!”Karena terlalu fokus Renata menabrak sesuatu yang lebar, keras dan wangi.“Aish, sialnya,” keluh gadis itu sambil menyentuh kening yang berdenyut.Renata mengangkat kepala, menemukan kaus putih dan jas kasual biru laut menggantung sempurna di satu dada kokoh. Ia menelusur, terhenti di paras rupawan dengan bibir semerah kelopak mawar dan mata sejernih kristal.Sungguh keindahan yang bisa meruntuhkan akal sehat, membuat bodoh dan linglung penatap
Renata menghambur, memeluk tubuh lemas Shiny. Menepuk-nepuk wajahnya yang sudah kembali ke wujud aslinya dengan panik. “Astaga, ada apa denganmu? Hei, bangun, jangan menakutiku, Shiny.” “Aroma lotusmu membuat dia kehilangan kontrol.” Renata menoleh, menatap Samudera Biru yang berjalan mendekat. “Apa separah itu efeknya?” Renata menyeka darah Shiny dengan ujung dress. “Untuk makhluk berkekuatan rendah seperti dia itu sangat menyiksa. Instingnya dengan mudah mengambil alih kesadarannya.” “Apa tidak ada cara untuk menghilangkan aroma lotusku?” “Ada.” “Bagaimana caranya?” “Nanti kau akan tahu, sekarang kemasi barang-barangmu dulu.” “Tapi Shiny?” “Jangan khawatir, dia hanya mengalami luka dalam ringan.” Muntah darah dan tak sadarkan diri dianggap luka dalam ringan? Renata ingin memaki namun tatapan dingin Samudera Biru membuatnya terpaksa menelan kekesalannya dalam hati.
Renata menyalakan senter ponsel gemetar. Keringatnya menetes dari setiap pori-pori, sangat kontras dengan udara dingin di bukit.Saat cahaya menyentuh gulita ia nyaris melompat, sekelilingnya penuh oleh berbagai makhluk mengerikan.Meski terbiasa melihat makhluk alam lain tetap saja kali ini terasa berbeda, terlalu banyak, terlalu menekan energinya.Makhluk-makhluk itu mengendus, membaui aroma lotus. Mata mereka persis seperti mata Shiny tadi, buas dan haus.“Ibu, apa perisaimu bisa menahan mereka semua
Mata Renata membeliak. Dadanya teramat sakit dan pengap.Pandangannya perlahan menggelap dan pikirannya yang melemah menampilkan beberapa wajah secara samar-samar. Ibu, ayah, Shiny dan Samudera Biru.Ironis, bahkan disaat terakhir ia masih mengingat wajah keparat yang menyodorkannya pada kematian.Dasar hati sialan!“Crashh!!!”Suara daging terpotong terdengar seiring tubuh yang jatuh ke tanah. Pelan-pelan oksigen kembali mengisi paru-paru bersamaan dengan bau amis cairan hangat yang memerciki wajahnya.“Uhukk!! Uhukk!!” Renata terbatuk. Pandangannya kembali menerang. Matanya terkunci kaku di punggung kokoh beraroma bebungaan langka.Ada lega yang mengaliri sudut-sudut hati dan ia membenci itu, sungguh.Sementara di depannya Nyai Sangsang Merah menatap nyalang pada wajah rupawan beraura luar biasa. Hatinya terpikat namun rasa sakit membuatnya meradang.“Kurang ajar! Beraninya kau memot
Hari masih gelap saat Renata terbangun oleh suara-suara dari kolam renang. Matanya memicing menatap benda kotak di atas nakas, pukul empat.Siapa yang memakai kolam renang sepagi ini?Renata mengerjap, bersila di atas kasur mengumpulkan kesadaran, setelah lengkap beranjak menuju balkon.Udara dingin membuatnya buru-buru memeluk lengan.Di tengah kolam renang tampak Samudera Biru berdiri tegak di atas air. Melakukan beberapa gerakan lembut seperti menari. Perlahan gerakan-gerakan itu semakin bertenaga dan cepat, menimbulkan riak-riak besar di bawahnya.Ia bertelanjang dada, mengekspose tubuh kokoh yang tanpa cela. Celana sutra hitam panjang melekat sempurna di pinggangnya yang ramping.Kulit halusnya tampak berkilau dalam siraman cahaya lampu, sementara rambut legamnya terlontar anggun bersamaan dengan keringat yang meluncur perlahan seperti sungai-sungai pegunungan.Begitu indah, kuat dan seksi.“Glek,” tanpa sadar
Rama berjalan terseok menuju ruang kerja. Di belakangnya Renata tertawa dan terus bergerak seperti kutu loncat.Ratansa yang melihat tak bisa menahan tawa sementara Samudera Biru hanya melirik geli.“Hei, aku berhasil,” Renata menepuk meja.“Benarkah?” Samudera Biru menutup buku dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Tentu saja, lihat baik-baik.”Renata mulai memamerkan hasil latihannya.Samudera Biru memberi kode pada Ratansa untuk maju.Peri tampan berwajah dingin itu menjura lalu bergerak cepat berusaha menjatuhkan Renata dengan berbagai cara.Wajahnya sedikit memucat ketika semua usahanya gagal total. Beberapa kali ia malah sedikit mengernyit menahan sakit akibat berbenturan dengan tulang kering Renata yang terlihat kecil dan rapuh.Rama menyeringai puas, sedikit merasa lebih baik melihat ekspresi Ratansa.“Bagaimana? Aku hebat kan?” Renata menyombong,
Renata meraih tisu, mengelap wajah secara sembarang lalu menatap sekitar. Baru menyadari ternyata tak ada orang lain di toilet yang luas itu.Tanpa menunggu lama ia bergegas membuka pintu namun terkunci.“Oh ayolah, jangan sekarang,” gerutunya lalu membuka ponsel, menghubungi Samudera Biru.“Halo, kau di mana? Tolong aku, pintu toilet di sini rusak,” cerocos Renata saat tersambung.“Aku sedang buang air besar.”“Ck, peri juga buang hajat?”“Hei, kau pikir peri tidak punya sistem metabolisme, kau pikir ....”“Ada makhluk dengan energi sangat besar, aku sedikit takut,” potong Renata cepat.“Oh, itu hanya siluman seribu tahun. Tidak apa-apa, hadapi saja, tuttt ... tuttt ... tuttt.”“Dasar peri sialan!” Renata menggeram kesal.Di belakangnya suhu sudah berubah menjadi sangat lembap dan pengap.“Tess ... tess ..