Share

PERTEMUAN PERTAMA SAAT MATAHARI SEDANG MENGINTIP

Riri keluar dari rumah dengan bersungut-sungut kesal sambil membawa dua buah ember.

Gimana tidak kesal, PDAM rumah sedang bermasalah. Jadinya dia harus mengambil air sumur yang ternyata air sumur sedang kering, dia terpaksa mengambil air dari sungai. Sungainya tidak terlalu jauh tapi keluar rumah jam setengah lima, belum dirinya sudah harus di sekolah jam 6.15 pagi. Mau tak mau ia harus melanggar peraturan, untung saja eyang putri sedang menginap di rumah om. Jadi tidak perlu diingatkan tentang peraturan desa mereka.

Kalau tidak melanggar bisa-bisa dirinya terlambat MOS, meski pihak sekolah sudah melonggarkan peraturan jam masuk untuk anak-anak yang berasal dari daerah penguasa gunung.

Untuk mengambil air sungai, Riri memang harus masuk ke dalam hutan. Tapi hutannya tidak terlalu menyeramkan karena Riri sudah kenal dengan daerah ini sejak lahir.

Langkah Riri berhenti ketika melihat seorang pria berbadan gagah berdiri di pinggir sungai, Riri melihat pria itu dengan penasaran. Ia merasa yakin, meskipun hanya melihat punggungnya. Riri tidak pernah melihat pria seperti itu di kampungnya.

Riri melotot. Mungkinkah pria ini pendatang lalu ingin kencing di sungai? Wah, sungai disini sangat jernih karena dijaga penduduknya.

"HEI!" serunya sambil melempar ember ke pria itu.

Ember yang dilempar mengenai punggung pria itu. Ia mengaduh kesakitan lalu balik badan. "Siapa yang melempar saya?"

Riri terkejut. Wajah pria itu asing, seperti bukan pria Indonesia pada umumnya. "Orang asing?"

Pria itu mengerutkan dahinya melihat kebengongan Riri. "Kamu yang melempar ember ini ke saya?"

Riri mengangguk. "Kamu habis buang air kecil di sungaikan? Itu tidak boleh! Air sungai ini digunakan bersama, kalau mau mandi atau buang air kecil, ambil air secukupnya dan cari kamar mandi umum."

Pria itu menghela napas sambil menyodorkan ember ke Riri. "Saya tidak buang air kecil, saya hanya mencari sesuatu."

Riri menatap tajam pria itu. "Kamu hantu belanda ya?"

Pria itu mengerutkan dahinya dan menatap tidak percaya lawan bicaranya. "Kamu sudah melempar saya ember dan menuduh saya buang air kecil di sungai lalu sekarang menuduh saya hantu belanda? ada ya hantu belanda dilempar ember sampai kesakitan?"

Riri yang menyadari kesalahannya, bergegas mendekati pria itu. "Ma... maaf, aku pikir..."

Pria itu menatap tajam Riri. "Bukankah di desa ini ada peraturan tidak boleh keluar sebelum jam 6 pagi?"

Riri mengangguk dan menunjuk pria itu dengan jari telunjuknya. "Kamu juga!"

"Kasus saya berbeda."

"Beda apa?"

"Saya sedang mencari sesuatu disini." Mata pria itu melihat sekelilingnya.

"Kalau aku mau ambil air di sungai buat mandi."

"Memangnya PDAM tidak bisa?"

Riri mengangguk. "Sudah dua hari ini bermasalah dan tidak ada tanggapan."

Pria itu tersenyum. "Oh, pantas."

Riri mengambil ember di tangan pria itu dan berjalan melewatinya. "Sebaiknya mencari barang di siang hari, kalau subuh begini mana kelihatan," ujarnya sambil mengambil air dengan ember.

"Saya harus mencarinya sekarang,"  tegasnya.

Riri menoleh ke belakang. "Kenapa? Sudah harus meninggalkan desa ini?"

Pria itu tersenyum sedih. 

Setelah mengambil air di kedua embernya, ia berdiri. "Kalau pulang sekolah aku mau bantu kok."

"Tidak, terima kasih. Mau saya bantu? Kelihatannya berat," tawar pria itu.

Riri menggeleng. "Aku sudah terbiasa."

Pria itu melihat jam di tangannya. "Sudah jam 5 pagi, sebaiknya kamu bergegas pulang."

"Kamu juga sebaiknya bergegas kembali sebelum petugas pengamanan datang kesini."

Pria itu mengangguk lalu meninggalkan Riri.

Riri bergegas pulang ke rumahnya sambil membawa dua ember berat dengan susah payah. Tahu gini ia menerima pertolongan pria itu, sudah lama tidak membawa ember. Keluhnya dalam hati.

Riri masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap supaya kedua orang tuanya tidak terbangun. 

"Riri."

Riri balik badan dengan cepat. Ibunya sudah berdiri di belakang.

"Darimana saja kamu?"

"Habis ambil air di sumur tetangga."

Ibu Riri menghela napas. "Sumur kita mengering, makanya ibu khawatir kamu tidak bisa sholat dan mandi. Kamu sudah minta ijin?"

Riri menggeleng. "Belum, nanti aja minta ijinnya. Tidak enak mengganggu di pagi hari," bohongnya.

"Pokoknya jangan lupa bilang ke keluarga Radith. Keluarga kita memang dekat tapi bukan berarti kita bisa bersikap seenaknya." Ibu Riri masuk ke dalam kamar. "Jangan lupa sholat subuh!" seru ibu Riri dari dalam kamar.

Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

___

"Kalau aku nanti lulus SMA paling menikah," kata Hida.

Riri yang memperbaiki ikat rambut kepangnya di kamar mandi sekolah sontak menoleh ke Hida yang memperbaiki jilbabnya di depan cermin. "Serius? kamu nggak kuliah?"

Hida tertawa. "Enggak, nggak ada uang sih. Di desa kita mana ada yang kuliah, palingan keluarga Radith saja yang bapaknya dapat beasiswa di kota."

Riri mencibir. Sekolah di desa hanya SD saja yang tersedia, sementara Riri dan Hida harus menempuh jarak 30 menit jalan menuju sekolah SMA & SMP di kota. Makanya jarang ada anak perempuan di desanya yang sekolah sampai SMA, kebanyakan kalau tidak menikah ya kerja bantu orang tua sambil menunggu lamaran datang. 

Riri tidak mau itu terjadi, bapaknya saja sudah mewanti-wanti dirinya kuliah supaya tidak kalah dengan keluarga Radith.

"Lagian bapak kamu masih tersaingi dengan bapaknya Radith?" tanya Hida.

Persaingan bapak Riri dan bapaknya Radith sudah terkenal dari dulu. Riri mengangguk pasrah.

"Semoga saja ada beasiswa untuk anak desa seperti kita, kalau bapaknya Radith sih sudah tidak heran, lha kakeknya saja kepala desa waktu itu."

Riri mengangguk lagi.

Keluarga Radith memang kaya sejak kakeknya menjabat sebagai kepala desa, menurut warga sekitar. Kakek Radith dipilih langsung oleh pemilik tanah alias keturunan kerajaan yang masih ada di desa mereka.

Riri menghela napas.

Beruntung sekali keluarga Radith. Bukan karena mendapat kekuasaan dan kekayaan tapi karena mereka mampu menyekolahkan Radith setinggi mungkin, cita-cita yang diinginkan Riri sejak kecil. Ayah Riri hanya petani dan ibunya juga membantu garapan tanah orang. Orang tua Riri tidak bagi hasil atau mendapat upah sekian persen dari tanah melainkan membayar 10% hasil pertanian setahun sekali ke pemilik tanah dengan kata lain itu adalah biaya menyewa lahan. Hal yang jarang ada di jaman sekarang.

"Kalau kamu maunya gimana?" tanya Hida yang puas dengan hasil memperbaiki jilbab.

"Kalau aku, mungkin sesuai dengan permintaan bapak."

Hida menaikan salah satu alisnya. "Kuliah jurusan apa? ekonomi seperti bapaknya Radith?"

Riri tersenyum canggung. Kalau boleh jujur, ia sendiri bingung mau kuliah di bidang apa.

"Sudahlah. Menikah saja, sudah menjadi kodrat perempuan seperti kita untuk menjadi seorang istri dan menjaga anak."

Riri menundukan kepalanya.

"Eh, sudah jam segini. Kakak-kakak kelas bisa marah kalau kita terlambat, yuk masuk." Ajak Hida setelah melihat jam di handphonenya.

"Kamu duluan saja, aku masih perbaiki ikat rambut."

Hida menggeleng. "Masa perbaiki selama itu."

"Biarin." Riri menjulurkan lidahnya.

"Yang cepat ya, nanti kamu dimarahi kakak-kakak galak."

Riri mengangguk dan menatap punggung Hida, ia menghela napas. Menikah ya? Padahal baru masuk SMA sudah memikirkan hal seperti itu.

Riri kembali menatap cermin, ia teringat pertemuannya dengan pria tampan subuh tadi. Kira-kira siapa ya pria itu? ia masih belum berani bertanya ke orang-orang sekitar, takutnya yang ditemuinya tadi beneran hantu Belanda. Hiii.

Riri jadi merinding sendiri, dengan cepat ia memperbaiki ikat rambutnya dan berlari meninggalkan kamar mandi.

Saat berlari, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Ia jatuh terjengkang ke belakang. Riri memegang pantatnya yang sakit dan menoleh. Ternyata yang ia tabrak si Radith.

Radith yang melihat Riri jatuh ke lantai, dengan sigap menolongnya. "Ngapain kamu lari-lari?"

Riri menerima uluran tangan Radith. "Takut aja, sendirian di kamar mandi. Tiba-tiba ngeri."

"Hahahaha terus mana Hida? Bukannya tadi kamu sama dia?" tawa Radith.

"Dia sudah ke kelas duluan." Riri bersungut kesal.

"Oh, mau aku anterin ke kelas?" tawar Radith.

Riri menggeleng cepat. Masalahnya Radith ketua osis di sekolah ini, bisa berabe kalau para kakak kelas pengurus MOS melihat anak OSIS membantu dirinya. "Tidak, terima kasih," tolaknya.

"Beneran nggak mau diantar? Nanti aku bilang om-tante lho kalau kamu ke sungai pas subuh."

Riri menoleh cepat. Apa?

"Dari wajahmu keliatan heran, ketahuan tahu! Subuh tadi, pas aku ambil air di sumur, aku lihat kamu jalan ke dalam hutan sambil membawa ember, pasti ke sungaikan? memang dasarnya malas saja dengar ceramah bapakmu kalau ambil air di sumur kamikan?"

Riri menghela napas. 

"Mau aku diem? Aku antar ke kelasmu ya."

"Nganterin orang malah maksa, ngancem pula," gerutu Riri.

"Eits, tadi subuh."

"Iya, ya. anterin ke kelas, awas ya kalau sampai kakak kelas macam-macamin aku gara-gara kamu."

"Beres." Radith mengangkat dua jempolnya di depan Riri.

Riri balik badan dan jalan menuju kelasnya, Radith berusaha menyamakan langkahnya dengan Riri. 

"Aku dengar, lulus SMA Hida mau menikah," Radith buka suara.

"Hmmm."

"Padahal baru saja masuk SMA, sudah kepikiran seperti itu."

"Hmmm."

"Kamu tidak mau menikah?" tanya Radith.

"Hmmm."

"Kok jawabannya begitu?"

"Kan kamu tahu jawabanku," ketus Riri.

"Yah, kalau jawabannya begitu kan jadi bingung." Radith menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Eh, Dith. beberapa hari ini ada turis asing masuk ke desa kita nggak?" tanya Riri tiba-tiba.

"Turis asing? Setahu aku sih nggak, nggak tahu lagi kalau kakek tidak bicara ke kami, tapi kayaknya enggak sih. Di buku tamu juga tidak ada tambahan nama dari Negara luar. Kenapa emangnya?"

"Enggak."

"Hayo, jangan-jangan kamu mau genit ya sama turis asing?" goda Radith sambil menyenggol bahu Riri dengan bahunya.

"Enggaklah! Akukan Cuma iseng tanya."

"Ya, tapi nggak mungkinkan nanya tiba-tiba, pasti ada sebabnya."

Riri mengacak rambutnya. Ia tidak mau mengatakan apa-apa ke Radith. "Hanya iseng, sumpah."

"Iya deh, anggap saja aku percaya." angguk Radith. "Tuh, kelasmu di depan. Sana masuk!"

Riri menoleh ke Radith. "Terima kasih ya."

Radith menjawab dengan hormat ala tentara dan balik badan meninggalkan Riri.

               

___

Sepulang sekolah, Riri memutuskan pergi ke kebun menemui orang tuanya, sambil membawa pesanan gorengan yang dijual di dekat sekolah. 

"Gimana sekolahnya?" tanya bapak sambil mencomot satu pisang goreng yang mendingin.

"Alhamdulillah lancar." Riri menjawab asal.

Ibu Riri yang melepas cantringnya tersenyum. "Kamu harus sekolah tinggi ya, nak."

"Ya, bu." Angguk Riri.

"Oh ya, ibu dengar teman kamu si Hida rencana mau nikah setelah lulus. Beneran?" tanya ibu Riri yang duduk di samping, sehingga riri dan ibunya mengapit bapak.

"Iya, beneran. Dia sendiri yang bilang, ibu tahu darimana?" heran Riri.

"Eyang putri yang cerita tadi pagi," jawab ibu Riri.

"Anak perempuan kok dinikahkan, anak perempuan itu disekolahkan yang tinggi sehingga kalau ada masalah dengan laki-laki tidak lemah! pokoknya anak bapak tidak boleh menikah sebelum selesai S1!" dengus bapak Riri.

"Iya, pak. Riri juga maunya begitu." angguk Riri. Meski gak tahu juga mau masuk jurusan apa.

"Yah, ibu sih mendukung rencana bapak dan Riri Cuma jangan kelamaan ya. Takutnya tidak ada jodoh," sahut ibu Riri.

"Jodoh bisa datang sendiri saat Riri sukses, seperti Tedjo. Bapaknya Radith! Lihat bu, dia dulunya tidak ada yang suka, bahkan perempuan mana ada yang mau dekat dengannya tapi setelah lulus kuliah di kota, lamaran banyak berdatangan bahkan ada yang mau menjadi istri kedua," tukas bapak dengan berapi-api.

"Ya, tapikan Tedjo bukan seperti itu orangnya pak. Dia hanya mau berusaha supaya bapaknya tidak mau kerja keras lagi," jawab ibu.

"Lho, bapaknya kan kepala desa." Bapak menoleh ke ibu seolah tidak terima dengan ucapan ibu.

"Kepala desa sekaligus petani pak," koreksi ibu Riri.

"Masa bodoh, yang pentingkan jadi kepala desa, bayarannya saja sudah gede, bisa memakai lahan seluas itu di kaki gunung untuk perkebunan, makanya mampu bayar kehidupan Tedjo di kota," tukas bapak.

Riri menghela napas. Kalau seperti ini, kedua orang tuanya mulai bertengkar, bapak sebenarnya bukannya iri sama pak Tedjo justru bapak kagum sama saingannya di desa. Mungkin bapak tidak mau apa yang menimpa dirinya menimpa Riri, anak satu-satunya. Maklum saja. Eyang kakung memilih meninggalkan anak dan istrinya di desa dan menikah lagi dengan penyanyi dangdut di kota. Ada-ada saja.

"Tedjo saja bisa membelikan kalung emas untuk istrinya, karena bapak tidak mampu membelikan ibu, setidaknya anak bapak satu-satunya ini membelikan cincin atau kalung emas untuk ibu." Bapak mengacak rambut Riri. "Ibumu hanya punya cincin kawin saja."

Bukannya orang tua Riri miskin sampai tidak bisa membeli emas, hanya saja lebih baik uang itu disimpan untuk kebutuhan tidak terduga. Mengurus tanah tidaklah mudah, ada kalanya tidak menghasilkan panen sama sekali. Makanya kedua orang tua Riri tidak mau menjadi kelabakan saat hal itu muncul.

Mengenai emas, Riri jadi teringat sesuatu. "Bu, pak. Riri ijin main ke hutan ya."

"Mau ngapain kesana nak?" tanya ibu, "Jangan pergi kesana sendirian."

"Riri tahu." Riri berdiri sambil memakai tas punggungnya. "Riri mau cari sesuatu disana, tugas MOS," bohongnya. 

Padahal semua tugas MOS untuk besok sudah ada semuanya, tanamanpun tinggal petik di rumah Hida.

"Jangan pulang sore ya. Jam 3 sudah di rumah, awas kalau kamu tidak ada," ancam bapak.

Riri mengangguk sambil mencium tangan kedua orang tuanya. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab bapak dan ibu bersamaan.

Riri memutuskan pulang ke rumah dulu untuk mengganti seragamnya lalu lari ke tempat yang ia datangi subuh tadi. Ia mencari-cari sesuatu yang tidak biasa di dalam hutan.

Riri merasa bodoh karena tidak tahu apa yang dicarinya tapi ia merasa yakin kalau barang itu pasti barang yang tidak ada di hutan. Mungkin semacam kalung, cincin atau buku? Barang yang biasa dibawa orang.

Riri berjongkok sambil meraba tanah di dekat sungai. Kalau tidak salah orang itu berdiri di sekitar sini dan mencarinya dengan bengong. Heran juga, kenapa dia tidak mencarinya dengan tangan malah mengandalkan mata dan melihat... 

sungai?

Riri menoleh ke sungai yang jernih, saking jernihnya ia bisa melihat batuan di dasar. Sungai ini tidak terlalu dalam dan arusnya tidak deras. 

"Jangan-jangan jatuh ke sungai? Tapi bagaimana caranya bisa jatuh ke sungai?" heran Riri, "Hah? Jangan-jangan dia mandi di sungai sebelum kehilangan barang? sepagi itu?" 

Riri menyampingkan pikiran buruknya dan melepas sepatu lalu masuk ke sungai yang dingin, kedua kaki Riri gemetar kedinginan. "Dingin."

"Riri! Kamu ngapain masuk ke sungai?" 

Riri menoleh. ia melihat Hida berlari mendekat. "Kok kamu disini?"

"Tante suruh aku nyusul kamu. Nggak tahunya kamu malah masuk ke sungai, disinikan dilarang mandi."

"Aku tahu." Riri teringat sesuatu. "Kamu gak bilang macam-macamkan?"

Hida memutar bola matanya. "Untung aja aku kenal kamu dari kecil, Ri. Jadi gampang banget ikut bohongnya."

Riri menghela napas panjang.

"Eh, Ri. Sungai inikan harus bersih."

"Aku tahu, aku Cuma mau cari sesuatu."

"Sesuatu?"

Riri mengangguk sambil membungkuk mencari. "Semacam barang jatuh."

Hida ikut melepas sepatu. "Barangnya seperti apa? Kok bisa sih masuk ke sungai?"

"Nggak sengaja jatuh pas ambil air." Bohong Riri sambil matanya tetap mencari.

Hilda berusaha membiasakan diri dengan dinginnya air sungai. "Dingin banget!"

"Iya, aku tadi menggigil tapi lama-lama terbiasa." Tawa Riri tanpa menoleh.

"Barangnya seperti apa?" tanya Hida.

Riri bingung. Ia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, barang yang ia cari saja tidak tahu. "Cari saja."

"Kok begitu?" Hida berkacak pinggang.

"Cari saja deh, barang yang seharusnya tidak ada di sekitar sini."

Hida mengerutkan kening karena tidak mengerti, lalu ia ikut membungkuk mencari. Ia menyipitkan matanya berusaha mencari barang yang tidak biasa diantara bebatuan.

Riri merasa bingung. Mungkinkah bukan barang yang dicari pria itu?

"Ketemu!" Hida mengangkat sebuah barang.

Riri menoleh ke belakang. "Apa?"

Hida mengangkat sebuah daun. "Barang yang tidak biasa di sungai. Daun?"

Riri memutar bola matanya. "Tolong ya, ini bukan waktunya bercanda."

Hida menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu kembali membungkuk.

Riri ikut membungkuk, kedua matanya menemukan sesuatu yang berkilat di sela batu. Riri menyingkirkan batu dan mengambil benda itu. "Cincin?" gumamnya.

"Ketemu?" Hida menoleh.

Riri yang memunggungi Hida dengan cepat menyembunyikan cincin itu di saku kemejanya. "Enggak, aku Cuma salah lihat."

"Oh."

"Hm, eh, ini sudah jam berapa?" tanya Riri.

Hida melihat jam tangannya. "Hampir jam 3. Gawat, kita harus segera pulang!"

Riri jalan ke pinggir sungai dan mengambil sepatunya. "Pulang yuk."

Hida mengangguk setuju dan berjalan ke pinggir sungai. "Barang yang kamu cari bagaimana?" tanyanya dengan ragu.

"Hmmm nanti aja deh, yang penting tidak dimarahi ayah, ibu." Riri menenteng sepatu ketsnya.

Hida ikut menenteng sepatunya sambil lari mengikuti Riri.

Dengan hati berdebar, Riri menepuk saku kemejanya. Apa benar ini barang yang dicari si cowok asing itu? bagaimana kalau salah? Dan yang paling utama, bagaimana caranya bertemu orang itu lagi?

"Ri!" Hida menggenggam ujung kemeja Riri. 

Riri menoleh ke belakang. "Oh, maaf. Aku kecepatan ya jalannya?"

Hida menggeleng pelan, ia seperti ragu mengatakan sesuatu.

"Ada apa?"

"Sebenarnya, aku tidak mau menikah."

Riri menghentikan langkahnya dan balik badan. "Kenapa? Bukannya tadi kamu bersemangat sekali menikah?"

Hida menghela napas kecewa. "Calon suamiku ternyata sudah beristri dan aku akan menjadi istri ke-5."

"Apa?!" seru Riri dengan terkejut.

"Aku dijodohkan bapak sama juragan sapi di desa tetangga." Hida menggoyang-goyang lengan Riri. "Gimana Ri? Aku tidak mau dijodohkaaaannnn."

Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Duh, emang sudah tua ya?"

Hida menggeleng. "Orangnya beda 10 tahun sama kita."

"Hah? 25? Muda amat! Hebat juga bisa punya istri 4."

"Yah, itukan karena warisan bapaknya yang juragan sapi. Gimana dong, aku nggak mau dijodohkan sama dia, masih mendingan Radith," rengek Hida.

Riri memukul kepala Hida. 

"Aduh sakiiiiit kan Cuma umpama doang, kok mukul sih." Hida menggosok kepalanya yang sakit. "Iya deh, yang calon suami."

"Aku sama Radith Cuma teman saja, sama seperti kita berdua." Riri memutar bola matanya. "Lagian kenapa sih kamu dijodohkan sama si juragan sapi itu?"

"Bapak butuh modal buat perkebunannya, akhir-akhir ini penjualan tidak begitu bagus sementara uang sudah habis dibuat perawatan kebun. Juragan itu mau modalin tapi gantinya dia mau ambil aku."

Otak bisnis Riri mulai jalan. "Kok bisa penjualan tidak bagus? Kebun bapak baik-baik aja tuh, malahan untung."

"Kamu tahukan kalau bapakku punya istri tiga? Salah satunya tinggal di kota sementara gaya hidup di kota sangat tinggi, tidak sesuai dengan pendapatan bapak." Hida rasanya ingin menangis. "Aku mau aja menikah tapi aku tidak mau menikah sama pria beristri 4."

"Kan masih ada adik perempuan kamu yang dari istri kedua."

Hida menggeleng. "Dia terlalu kecil Ri, masih SD gitu."

"Ribet juga ya keluarga kamu, makanya punya istri tuh satu saja kayak bapak."

"Yah kan emang agama memperbolehkan adanya poligami."

"Terus kalau hidup susah dan tidak adil begitu masih boleh? Aku berani bertaruh, sebagian besar pendapatan bapak kamu lari ke istri mudanya. Itu namanya dibolehkan? Terus kamu jadi susah gini mau menyalahkan siapa? Agama?"

Hida menunduk tidak menjawab.

"Itu nanti saja kita pikirkan, yang penting kita pulang dulu biar orang tua kita tidak marah."

Hida mengangguk pasrah.

Riri melanjutkan jalannya sambil memegang tangan Hida. 

Riri jadi prihatin dengan masalah yang dihadapi sahabat baiknya. Seandainya Hida bisa menerima saran Riri untuk bekerja atau kuliah, mungkin masalah ini tidak pernah terjadi. Pemikiran Hida masih lama, istri hanya mengurus anak di rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status