"Pak.. Pak Elan? Permisi.."
"Oh?" Aku melongo. Baru sadar jika Damar memanggilku sedari tadi.
"Ini beberapa informasi tentang Sakura Town yang bermasalah pajaknya, kita bisa menjadikan ini cela untuk memeroleh penawaran yang lebih rendah jika kita bisa mendapat solusi yang minim risiko untuk menyelesaikan masalah mereka. Menurut Bapak, kawasan ini cukup menarik minat penyewa atau bagaimana?"
"Mar, kamu sudah menikah kan?"
"Loh Kok?"
Damar terlihat kebingungan mendengarku sama sekali tak menggubris penjelasannya. Pikiranku seperti di-remote oleh Dina dari jauh. Tak bisa berhenti memikirkannya.
Iblis macam apa yang telah merasukiku hingga berlaku sekejam itu? Aku sudah menendang harga dirinya bertubi-tubi dengan sikap yang sangat menjijikkan. Bodohnya aku baru menyadari semuanya sekarang.
Sakit hati dan dendam itu sangat tidak perlu. Sekarang bisa jadi aku ya
vote dan komentar ya say, makasih
Kecupan kecil mendarat di punggung tangan Dina. Ia melihat bagaimana Elan memperlakukan tangannya bak permen kapas yang jika ditekan sedikit saja akan rusak. Sangat berhati-hati. Aneh, hanya butuh waktu 24 jam untuk memutar sikap kasar lelaki itu. "Katakan apa yang kamu inginkan Sayang?" Dina membuang nafasnya kasar. Berharap keputusannya benar. "Ceraikan aku.." Elan tak melepas genggaman di tangan Dina. Sekalipun ekspresi tenangnya goyah, ia berusaha tak terpengaruh. Bagi Elan, bagaimanapun caranya ia harus tetap mendominasi. Tak perlu menanggapi, apalagi memedulikan permintaan Dina. "Oh ya, nanti jam satu siang aku akan menjemputmu. Kamu belum memilih gaun untuk nanti malam." Dina bisa menemukan penolakan keras dari kepura-puraan Elan. Ia berusaha menarik tangannya dari genggaman tapi tertahan kuat oleh remasan. "Sampai kapan kamu mau menyiksaku?" "Sekalian membeli sepatu. Aku ingin istriku terlihat sempurna malam ini
"Sayang.." "Hmm.." Dina melongo, tak sadar menyahuti Elan. Ia refleks menutup bibirbelepotannya karena merasa salah ucap. Namun Elan menyingkirkan penghalang itu kemudian berbisik lirih. "Sepertinya aku harus mencicipi rasa seorang bidadari terlebih dahulu sebelum berangkat." Dina membulatkan matanya mengancam agar Elan tak berlaku lebih jauh. Ia tak mau penampilannya malam ini semakin rusak karena suaminya tak mampu menanggung bebanhasrat. Cukup lipstiknya yang sudah tak sempurna, yang lain jangan. Namun apa daya Dina jika kemauan Elan sudah berkumandang. Salah satu tali gaunnya sudah turun dan mengekspos dadanya yang menggantung indah. Pahanya digerayangi lalu berhenti di pangkal. Mengulik bagian kecil yang semula diam hingga menyembul bangun. "Jangan Elaaan.." Desah Dina tak sejalan dengan reaksi tubuhnya saat Elan bermain lidah di dada. Telunjuk Elan menemukan kebasahan yang dengan cepat menjalar. Memud
Yasmin cs masuk kembali ke kamar Dina setelah dipersilahkan tuan rumah. Sejak memasuki apartemen Elan dan melihat kemeja lelaki itu keluar dari celana dan kusut di mana-mana, ketiganya sudah tersipu-sipu paham alasan mereka dipanggil kembali. Bahkan mereka hampir tak bisa menahan tawa menyaksikan tubuh Dina yang tak semulus sebelumnya. Maklum saja, leher dan dadanya merah-merah bekas gigitan nyamuk jantan. Satu-satunya nyamuk jantan di dunia ini yang menggigitnya dengan cinta. "Harus ganti gaun ya? Padahal aku suka banget sama yang tadi hmmph.." Dina membuang nafas lesu. Yasmin mengangguk sembari menyembunyikan senyumnya. Ia pun mengakui bahwa Dina memang terlihat sangat memesona dengan gaun sebelumnya. "Sebenarnya gaun yang tadi bisa dipakai lagi, tapi sepertinya emm lebih baik tidak.. Bagian dada harus ditutupi.." Dina pasrah malam ini harus kehilangan kesempatan selfie saat wajah ayunya dirias Bianca Tan dan tubuhnya dibal
Sebagai pemilikDNA town Dina meresmikan gedung perkantoran tersebut atas bimbingan Elan, meskipun tampak jelas kecanggungan di sana sini yang masih bisa dimaklumi. Senyumnya masih saja merekah, semringah. Dina bahagia yang menjadi haknya. "Kaget Sayang?" Bisik Elan masih merangkul pinggang Dina turun dari podium. "Kamu selalu gila di mataku." Jawab Dina seraya mengumbar senyumnya. "Gila karenamu Sayang..Aku tinggal dulu, duduklah dengan mereka.." Elan menghambur menyapa rekan dan koleganya setelah mengecup pipi Dina. Juga mengantarkan Dina bergabung di meja keluarga. Duduk di dekat Asya yang tampak sangat antusias menyambutnya. "Duuuhh senangnyaa.. Kakakku keren kan?" Ibu hamil itu terlihat seriang remaja. "Sama sekali aku tidak menyangka ini Kak.." Dina geleng-geleng tak percaya. Merasa berkawan, Asya mengajak Dina memburudessert. Incarannya ketika sedang berada di pesta manapun. La
Mereka bertiga berkumpul di sofa. Asya meremas tangan Dina menenangkan kecemasan sepupunya setelah mendengar penjelasan Raka. Lambung Elan memang lemah, mudah timbul tukak yang menyebabkan nyeri jika makanan yang ekstrem masuk ke perutnya. "Biarkan dia istirahat dulu beberapa hari. Kelelahan juga salah satu faktor yang memengaruhi daya tahannya." Ujar Raka sembari membetulkan lengan kemejanya. Selalu tampan dan karismatik sesuai dengan profesinya. "Kok bisa sih aku lupa kalau Kak Elan tidak bisa makan pedas.." Wajah Dina mengerut, rautnya membentuk rasa bersalah. "Seharusnya aku melarangnya makan bakso itu, bukan malah dia yang melarangku." "Sudah terjadi, tidak apa Din, nanti juga baikan kok. Dengan begini kamu akan selalu ingat kalau lambung Kak Elan memang sensitif dengan makanan. Makanya dia tidak pernah melewatkan jam makan, juga lebih suka membuat makanannya sendiri. Lagipula, Kak Elan makan baksonya atas keinginan sendiri, jadi ya buk
"Satu ronde!" "Jangan! Kamu masih sakit." Tolak Dina sebisa mungkin. "Yang di bawah lebih sakit kalau tidak dijepit." Tanpa berlama-lama Elan segera menggendong Dina bangkit daribathtub. Memepetnya ke dinding, mengapitkan kakinya ke pinggang, lalu dengan lancang menyusupkan miliknya yang keras sempurna ke dalam istrinya. Tatapan mereka berjumpa. Satu garang, satu penuh harapan. Elan tersenyum menemukan sebuah harapan di wajah Dina. Pertanda gadis itu juga menginginkan sentuhan tubuhnya. "Kok senyum?" "Istriku sangat cantik.." "Gombal!" Dina mulai mendesah ringan karena gerakan maju mundur lawan mainnya. Pertemuan dua kulit mereka di dalam memenuhi haus raga. Menggelora, banyak, kaya, dan penuh cita rasa. Terutama karena kedua tangan Elan tak henti menggerayangi dadanya. Segala centi demi centi area sensitifnya hingga kemungkinan untuk menolak ditekan ke titik terendah. Elan kembali tersenyum. Puas
Ting tong ting tong.. "Kak!" Sergah Dina dilanda panik. Berusaha menyadarkan lelaki yang sedang menyantapnya dengan memukuli pundaknya kuat-kuat. Elan tak lagi peduli tamu yang baginya 'sialan' itu berani-beraninya datang mengganggu, di saat tiang benderanya menjulang siap membuat lawan mengibarkan bendera putih. Ia masih saja melancarkan serangan atas bawah. "Kakk! Ada orang!" Elan masih belum ingin melepaskan hidangan pembukanya. Ia justru mengecupi perut Dina hampir rata. Lalu mengilik pusarnya dengan ujung lidah. "Geliihh.." Dina berteriak tanpa sadar. "Ada tamuuuu!!" "Masa bodoh! Tamu sialan! Siapa suruh datang di saat tanggung begini. Aku sedang sangat menginginkanmu istri manisku.." Umpat Elan bersungut. Dina memekik menahan jerit saat Elan mulai berkuasa di area bawah. Susah payah ia mengembalikan kesadaran dengan meremas punggung sofa kuat-kuat. Mata Dina merem melek. Berulang kali menelan ludahn
Dina masih menahan langkahnya saat dokter cantik itu mempersilahkannya rebah di ranjang periksa untuk melakukan USG. Setelah sebelumnya ia diminta menampungurine-nya oleh perawat atas instruksi dokter. Ia juga ditanya perihal keterlambatan haidnya. Ia melirik Elan, mengisyaratkan keberatan dalam kegamangan sorot matanya. Sesungguhnya takut jika ketahuan hamil. Ia menerawang kecemasan di wajah suaminya. Meskipun sedari tadi Elan terus menghibur rengekan demi rengekannya untuk pulang, tapi Dina bisa melihat kekhawatiran Elan akan hasil pemeriksaannya. Ia tahu, Elan tak menginginkan adanya kehamilan sebagaimana yang diucapkan semalam. Berulang kali Elan membuang nafas berat setiap kali Dina enggan meneruskan langkah. Ia sudah tak sabar ingin Dina segera di USG tapi sikap istrinya semakin mempermainkan suasana hatinya. Tak ada pilihan selain memasang wajah dingin yang memaksa Dina. Dengan berat hati dan ragu, Dina merebahkan tubuhnya ke ranjang per