Share

Bab 3

Tubuhku melorot di balik pintu kamar. Ke mana semua orang? Mengapa tak ada satu pun yang bisa menolongku? Kak Raka, satu-satunya harapanku ternyata lebih memilih istrinya dari pada aku.

Ku remas bagian dada bajuku, menahan segala kepelikan hidup yang seolah baru dimulai. Semua baru dimulai, lalu kapan berhenti? Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya.

Ku kira kesepakatan itu cukup tapi..

Aku bodoh! Bodoh sekali! Ku edarkan pandanganku di seluruh ruangan mencekam ini. Seumur hidup tak akan terlupa di mana aku diperlakukan sangat rendah oleh orang lain, yang tak lain suamiku sendiri.

Tok tok tok

Aku beranjak dari balik pintu, membukakan ketukan lemah itu karena ku yakin lelaki kasar itu tidak akan mengetuk selembut ini. Kak Asya yang ku lihat. Ia membawa nampan berisi makanan, ku rasa untukku. Aku berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di tepinya.

Kak Asya meletakkan makananku di meja. Ia mendekatiku, entah mengapa aku tak suka dengan kehadirannya. Aku merasa ia adalah sumber masalah.

"Din, sarapan dulu ya.." bujuknya.

Aku hanya diam tak peduli saat ia mengusap lenganku, seperti berusaha menenangkan.

"Aku tidak menyangka Kak Elan akan melanggar janji yang kalian buat.. Aku minta maaf karena semua ini bersumber dariku.."

Ucapannya terasa basi, lalu apa yang bisa dia perbuat untukku? Dia sudah bahagia bersama kakakku dan aku yang menanggung deritanya. Yah aku tahu ini keputusanku tapi entahlah aku muak melihat sikap lemahnya yang seolah dijadikan senjata merebut perhatian semua orang, termasuk perhatianku yang tidak tega melihatnya mengemis tak mau terpisah dari kakakku.

"Aku tahu bagaimana perasaanmu Din, aku juga pernah mengalami hal ini. Saat itu duniaku terasa runtuh, aku seperti tidak punya masa depan lagi. Tapi percayalah, Tuhan tidak tidur.."

Aku tersenyum mendengar kalimat demi kalimatnya. Semakin lama semakin geli telingaku mendengarnya. Itu semua teori bagi seseorang yang bahagia.

"Din.." Kak Asya menyergah, menyadari senyum sinisku.

"Kita berbeda." Sahutku datar. "Kamu mencintai kakakku, aku tidak mencintai kakakmu. Semua orang membelamu, lembut padamu, tapi kakakmu? Dia kasar, dia merendahkanku bahkan menghina keperawananku yang sudah direnggutnya dengan paksa. Kamu bahagia kan Kak Raka lebih melindungimu daripada aku??"

Aku melihat dahinya mengernyit, lalu matanya mulai berkaca-kaca. Sekali lagi aku tidak peduli, dia juga harus tahu rasanya menjadi diriku yang kesakitan. Aku bahkan tak memanggilnya lebih sopan dari sebelumnya. Hatiku kesal, marah, semua tumpah ruah. Anggap saja kamu pantas menerimanya, kakak iparku.

"Kakakku sangat mencintaimu, saat itu dia bahkan rela melepaskan perasaannya, melepasmu ke Sydney agar kamu tetap bisa menjadi dokter, nyatanya sekarang? Meskipun tidak ke Sydney kamu tetap bisa meraih impianmu, kamu melanjutkan kuliahmu di sini, jangan lupa itu berkat siapa??"

Ada air mata mengalir di pipinya. Lemah.

"Aku hanya akan menjadi obyek balas dendam kakakmu, yang aku sendiri tidak tahu kapan akhirnya, aku bahkan tidak punya lagi bayangan untuk menggapai cita-cita, tapi sekali lagi, jangan pernah lupa bahwa semua kebahagiaan yang kamu dapat, juga semua perhatian yang kamu terima tidak akan pernah terjadi tanpa pengorbananku. Sayangnya aku justru menerima nasib paling sial di antara kalian. Jadi jangan menguasai perhatian kakakku dengan air mata lemahmu itu lagi!"

Aku puas, puas sepuas-puasnya. Dia harus tahu aku muak, aku tak suka. Kak Asya telah merebut segalanya dariku. Dia menangis sembari menutup bibirnya dengan telapak tangan, mungkin tidak menyangka aku sekeras ini.

"Hiks... Aku minta maaf hiks.. Aku minta maaf sudah merusak hidupmu. Hiks.. Aku akan bicara pada Kak Elan, agar dia tidak lagi kejam padamu.."

"Tidak perlu!" Sahutku ketus. "Aku tidak mengharap belas kasihan darimu! Aku tidak selemah dirimu, aku akan lepas dari belenggu kakakmu. Satu hal lagi, jangan pernah mendekatiku lagi, aku tidak suka!"

Tangisannya semakin sesenggukan. Ia berdiri dengan tangis yang belum juga reda. Kesekian kalinya aku tidak peduli. Walaupun dia sedang hamil pun aku tidak peduli.

"Aku akan pergi Din, maafkan semua kesalahanku.. Hiks.."

Pergilah! Kamu sumber malapetaka bagiku.

Kak Asya baru akan membuka pintu untuk keluar, ternyata pintu lebih dulu terbuka. Ada lelaki keji itu di hadapannya.

"Sya, kamu kenapa??" Tanyanya panik pada adiknya yang hanya menutup bibirnya sembari berlalu meninggalkannya.

Ku rasa sekali lagi Kak Asya menciptakan malapetaka untukku.

***

Dari jauh Elan menatap Dina bengis. Ia menyeret kursi dari meja kerjanya, menuju ke depan Dina yang menepi ranjang. Elan menduduki kursinya.

"Kenapa, adikku, menangis?" Tanya Elan menekankan kata demi kata, menguatkan kemarahannya.

Dina acuh tak acuh, seolah tak mendengar ada yang sedang bicara dengannya. Wajahnya berpaling sedari tadi, muak, ketus.

"Hey Bocah?! Selagi aku masih bisa lembut padamu, jawab pertanyaanku!"

Dina masih tak bergerak. Wajahnya pun masih berpaling menantang. Ia merasa tak perlu menjawab pertanyaan Elan dan dengan sengaja membangkang. Lagi pula Dina merasa tak melakukan kesalahan apapun.

"KAMU TULI HAH??"

Dina mulai gusar, tak nyaman dengan bentakan Elan di dekat telinganya. Elan terlihat sangat emosi melihat adiknya dibuat menangis oleh Dina.

Dina berdiri hendak menjauhi Elan tapi sekejap tangan Elan mencengkeram lengannya dengan kuat. Mencekal dengan cekat.

"Aakkk.. Sakiit.." Pekik Dina merasakan lengannya diremas oleh tangan Elan yang besar.

"AKU BELUM SELESAI BICARA! MAU KEMANA KAMU HAH??" Bentak Elan seraya membanting tubuh Dina agar duduk kembali di tepi ranjang.

"Aaakkk.." Dina menjerit kecil, kaget karena tubuhnya dibanting cukup keras.

Elan duduk kembali di kursinya.

"Ternyata kamu suka dikasari?" Elan kembali meremas bahu Dina. "Katakan! Kenapa Asya menangis?"

"Aku tidak tahu!" Jawab Dina culas.

"Hey, kamu sedang menganggapku bodoh?" Elan mendekatkan wajahnya ke wajah Dina, masih mencengkeram lengan Dina kuat-kuat. "Tidak tahu katamu? Setelah membuat adikku menangis sesenggukan lalu kamu bilang tidak tahu? Kenapa kamu lucu sekali Sweety? Sekali lagi ku tanya padamu wahai mainanku, apa yang kamu lakukan pada Asya HAAHH?"

"AKU BUKAN MAINANMU!!!" Dina memberanikan diri membentak, membalas tatapan Elan sangat dekat, sakit hatinya yang mengumpulkan kekuatan itu. "Aku juga tidak merasa melakukan apapun pada adikmu!! DIA MEMANG LEMAH! CENGENG! Jadi lepaskan aku Brengsek!! Aku bukan mainanmu!!"

Elan kaget tapi juga gemas melihat respons Dina seberani itu. Bibirnya menyunggingkan senyum jahat. Dina mulai merinding. Elan selalu terlihat lebih seram dibalik senyumnya.

Senyum Elan kian lembut. Tangannya kini membelai rambut Dina dengan sangat hati-hati seolah tak mau menyakiti. Dina mengelak sentuhan Elan tapi tak sanggup  menolak dominasi lelaki di hadapannya.

"Istriku yang cantik ini rupanya belum tahu tata krama pada suaminya, juga adik suaminya."

Dina bergidik. Ia mulai mencium aroma kekejaman di tiap patah kata Elan.

"Lepas!! Jangan sentuh aku!" Bentak Dina ketus, menampel tangan Elan di rambutnya.

"Mau ku ajari tata krama Sweety?"

Kalimat Elan sangatlah lembut tapi kelembutannya justru menusuk gendang telinga Dina. Kalimat itu sudah membayanginya dengan mimpi buruk.

"Lepas!!"

Dina mencoba berdiri untuk lepas dari belenggu Elan tapi apa daya, ia hanya anak ayam kecil dalam cengkeraman elang pemangsa. Elan kembali merobohkannya, menindihnya, menguasai setiap jengkal tubuhnya.

"Sweety.. Sebagai istri, layani suamimu dengan baik, itu tata krama.." Bisik Elan pada Dina yang memalingkan wajah di bawahnya.

"TIDAK SUDI!! Kamu pikir kamu siapa hah??" Dina melawan untuk kesekian kalinya.

"Oh oh oh.. Istriku mulai nakal sekarang.." Elan menjilati leher Dina. Kalimatnya sangat pelan tapi menyakitkan. "Lalu kamu siapa Sweety? Siapa kamu berani membuat adikku menangis? Harga dirinya jauh lebih tinggi daripada mainan murahan sepertimu, kamu menggelikan sekali hahaha.."

Elan membakar telinga Dina dengan tawanya. Emosi jiwanya mengumpul, tak sanggup lagi menahan direndahkan, disebut mainan sudah sangat mengacaukan akal sehatnya sedari tadi.

"Adikmu itu yang murahan!! Dia mau ditiduri kakakku berulang kali, aku bahkan mendengar sendiri desahannya saat disetubuhi kakakku!! Kamu tidak tahu bukan?? Harusnya aku membiarkannya mengemis meminta kakakku menikahinya, bukan malah terjebak dalam pernikahan bersama keparat sepertimu!!"

Plakk!!

"Akkh.." Dina memekik saat tangan besar Elan menampar pipinya. Tercetak merah.

Emosi Elan memuncak di ubun-ubun. Dijepitnya dagu Dina dengan kasar agar kembali menatapnya. Gadis itu bermata merah, berair mata, jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar jurang. Seumur hidup ia tak pernah ditampar. Namun baru dua hari menikah, suaminya telah berani menampar dengan sangat kasar. Sakit.

"Rupanya bibirmu belum juga mengerti tata krama pelacur!! Kamu kira semua barang yang kamu beli dengan kartu kreditku itu gratis?? Keperawananmu hanya seharga sepasang sepatu, dan malam-malam selanjutnya cukup ku bayar dengan tas dan pakaian-pakaian yang saat ini memenuhi isi lemarimu. Kamu pikir aku dengan baik hati memanjakanmu dengan kartu kreditku? Itu semua ada harganya, aku sengaja memancingmu dengan kartu kredit itu dan ternyata benar harga dirimu hanya setimpal dengan uang hahaha.. Kenapa? Menyesal? Bukankah kakakmu tidak mampu membelikannya untukmu?"

Pelacur?? Hati wanita mana yang tidak remuk disebut demikian. Terlebih yang menyebut adalah suaminya.

"Hiks.. Tutup mulutmu! Cukup rendahkan aku! Jangan rendahkan kakakku! Hiks.."

Rasanya hati Dina membeku, menjadi batu dan mati rasa. Jadi ini maksud Elan membelikannya barang-barang mewah, untuk membelinya? Membeli tubuh dan malam-malamnya? Namun Dina lebih tak terima saat dia menghina Raka. Sebiadab apapun kakaknya, selalu memberikan yang terbaik baginya, demi kemandiriannya.

Air mata Dina mengalir tanpa henti, sesak. Kalimat-kalimat Elan memenuhi otaknya, menancap dan akan sukar dihapus. Semua pedas, panas, setara jalapeno yang bertabur bubuk lada.

Elan terdiam menyaksikan gadis di bawahnya terisak-isak. Rasa iba itu muncul lagi. Sudah terlalu sadiskah ia?

"Ceraikan aku.. Aku akan mati jika esok masih bersama manusia keji sepertimu.." Dina berucap dengan miris, lemah dan sesak diguyur air matanya sendiri.

Ini baru hari kedua pernikahan, baru semalam dan sudah ada kata perceraian? Pernikahan apa yang sesingkat ini?

Elan mengeratkan giginya, menggoyangkan rahangnya menahan emosi.

"Cerai katamu?? Aku bahkan baru memulai Sweety.. Masih banyak penderitaan adikku yang harus kamu lewati."

"Kenapa tidak kamu bunuh saja aku sekalian, dengan begitu kakakku akan menderita, dendammu terbalas sudah.." Dina berusaha tenang.

"Kenapa aku harus susah payah membunuhmu kalau memasukimu setiap hari jauh lebih nikmat Sweety, aku tidak perlu membayar lebih untuk gadis-gadis murahan di luar sana.. Jadi mari kita mulai belajar tata krama, supaya kamu tahu bagaimana cara menghadapi suamimu!"

Elan merobek pakaian Dina kasar. Nafsunya berselimut emosi. Ia menelanjangi istrinya yang sekuat tenaga memberontak lalu membagi sedikit foreplay.

Elan melepas tshirt-nya, menurunkan ritsleting celananya, lalu menurunkan celana dalam dan celanannya. Segera ia memiringkan tubuh Dina, mengangkat satu kakinya ke pundak dan memasukkan senjatanya yang berurat.

"Kumohon jangan lakukan ini, sakiiitt.. Hiks.. Sakit sekalii.."

"Tidak ada pelacur yang boleh menolak tuannya!!"

"Aaaakkkk... Aaakkhh.. BAJINGAN KAMU ELAN!! Huahaaaaaa.. Haaaa..."

Elan tak peduli kesiapan milik Dina, ia hanya tahu perlu menuntaskan birahi dan emosinya sendiri. Ia memompa milik Dina yang tak terlalu licin dengan kasar.

"Sakiiitt Elaan.. Aaaakkk..." Dina berusaha meremas paha Elan di perutnya.

"Nikmati saja pelacur!! Ini caraku mengajarimu tata krama!! Damn! Kamu rapat sekali.."

Dina memukuli paha Elan yang bergerak maju mundur, tak tahan rasa sakit yang diderita selangkangannya. Matanya memejam karena rasa sakit itu kian menjadi kian Elan brutal bergerak.

"Hikss.. Aaakkk.. Aakkkk.. Perih sekalii.. Hiks... Hentikan ini Elaan.."

"Yah begitu.. Terus panggil namaku!! Aku tidak bisa berhenti Sweety.. Mainanku nikmat sekali.. Ini akibatnya jika kamu berani menyentuh Asya!!"

Dina tak berani mengucap kalimat apapun lagi selain menahan sakitnya sendiri dengan desah kesakitan. Ia pasrah. Tenaganya telah habis untuk memberontak sedangkan sejak tadi malam tak ada secuil makanan pun masuk ke lambungnya.

Empat puluh lima menit kemudian, Elan masih memompa. Kali ini kembali dari belakang. Gadis itu kian lemah sedang Elan kian cepat menubruk dari belakang.

Pandangan Dina semakin kabur, kedipan matanya sangat lambat, ia merasa semua gelap dan tak lagi merasakan apapun. Ia lemah. Dina kehilangan kesadarannya.

Elan merasa senjatanya membesar, membawa aliran lahar panas yang mengisi rahim Dina. Ia melepaskan. Beberapa semburan melegakan sekujur tubuhnya.

"Damn!! Kamu benar-benar nikmat.."

Dina ambruk saat Elan mencabut miliknya, sibuk membersihkannya dengan tisu kemudian membenahi celananya. Ia mengamati tubuh Dina yang terlelap. Senyuman kemenangan menghiasi wajah tampannya. Senyuman puas yang jahat atas tubuh payah istrinya. Tak ada sedikitpun rasa bersalah di sana.

Tunggu.. Ada yang aneh.

Perasaan Elan tan enak. Ia segera mendekati Dina, menepikan ego untuk tak mengganggu tidurnya. Elan ragu, jangan-jangan..

Dina??

Elan mengguncang bahu istrinya. Tak ada pergerakan selain dari guncangan tangannya. Elan mulai panik, bahu Dina semakin diguncang kuat tapi masih tak ada respons.

Ya Tuhan Dina pingsan?

Elan membenarkan posisi tidur Dina, menelentangkan kemudian menyelimuti.

"Dina bangun Din!" Elan masih berusaha mengguncang kedua lengan Dina. "Dina, bangun!"

Elan mengambil minyak kayu putih di laci, mendekatkan aromanya ke hidung Dina. Nihil. Dina tak bergeming.

"Bagaimana ini?" Elan mondar-mandir di sisi ranjangnya. Kebingungan sembari menjambaki rambutnya.

Otaknya tak sanggup lagi berpikir jernih. Satu-satunya jalan ia harus memanggil Raka. Segera dipakaikannya pakaian Dina, sekenanya, kemudian tergopoh keluar menuju kamar Asya.

Tok tok tok.

Tok tok tok.

Cukup lama pintu kamar Asya terbuka. Elan merasa seluruh tubuhnya gatal karena tak sabar.

Tok tok tok.

Raka membuka pintu, memunculkan kepalanya saja dengan rambut yang acak-acakan. Wajahnya berubah datar saat menemukan wajah Elan di depan pintu kamarnya.

"Mau apa?" Tanya Raka tak enak, merasa terganggu.

Elan kebingungan, salah tingkah, bola matanya berlari kesana kemari gugup juga khawatir. Namun kesan congkak masih tersisa di wajahnya. Ia bingung harus bercerita mulai dari mana.

"Sengaja mengganggu kami huh? Sialan!"

Raka menutup pintu kamarnya karena Elan tak kunjung bicara, tapi Elan menahannya, mendorongnya hingga terlihat isi kamar mereka yang acak-acakan. Beberapa potong pakaian, termasuk underwear tercecer. Elan juga mendapati adiknya berlindung di balik selimut dengan wajah masam karena kaget dan malu. Sementara Raka yang bertelanjang dada mengusap tengkuknya merasa kesialan hidup sedang menderanya.

"Maaf, Sya. Maafkan Kakak. Kakak ada perlu dengan Raka.." Elan menahan lidahnya, masih gugup. "Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, tapi tolong periksa adikmu Dina. Sepertinya.. Sepertinya dia pingsan."

"APA??"

Raka memungut kemejanya di lantai lalu menyahut stetoskop di tas kerja. Kedua lelaki itu lari menuju kamar Dina. Asya yang ikut gugup segera turun dari ranjang, memakai pakaian dan mengikuti mereka.

***

Asya masuk kamar Elan saat Raka memeriksa Dina. Langkahnya pelan, tak berani mendekat. Ia masih ingat betul ucapan Dina, tak ingin dekat dengannya.

Asya tak ingin melukai Dina dengan kehadirannya. Bahkan ia berusaha memberi ruang bagi Raka untuk merawat adiknya.

"Sya.." Tiba-tiba Elan merengkuhnya, mengajaknya mendekati Raka. Asya menolak, lebih memilih di dekat pintu tak terlalu tampak oleh Dina.

Raka menutup bagian dada pakaian Dina usai melepas stetoskopnya. Sedari tadi hanya ada suatu kecurigaan di benaknya. Kondisi Dina mengingatkannya pada kondisi Asya terdahulu. Dina kelelahan karena tubuhnya terlalu dipaksa bekerja.

Raka mengetatkan rahang untuk Elan. Ia siap menghujani Elan dengan berbagai bentuk kepalan tangan. Tapi Asya? Ia tak mau istrinya yang sedang hamil khawatir jika terjadi perkelahian di antara mereka lagi.

"Kak.. Toloong.." Dina berucap dalam ketidaksadaran. Pejaman matanya gelisah, kemudian perlahan terbuka.

"Kak Raka??"

Dina kaget sekaligus bahagia melihat sosok di hadapannya. Ia segera memeluk Raka erat. Kuat sekali. Raka membalasnya, menciumi rambutnya, dengan sabar menunggu adiknya bicara. Ia butuh penjelasan.

"Aku ingin pulang Kak.. Hiks.. Bawa aku pulang.. Huaahaa.. Aku takut di sini, aku tidak mau lagi di sini Hiks.. Rasanya sakit semua Kak hikss.. Bawa aku pulang.. Aku tidak sanggup menjadi istrinya. Aku ingin bercerai."

"Bercerai?" Raka melepas pelukan adiknya karena kaget.

"Aku tidak mau diperlakukan seperti ini.. Hiks.. Seperti.. Pelacur."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status