Share

Bab 2

Gadis berseragam SMA itu turun dari ojek online, berlari kecil lalu berhenti sebentar untuk memastikan nama tempat yang akan dimasukinya, sebuah restoran Jepang yang sudah terkenal. Ia tergopoh-gopoh, segera masuk ke dalam mencari meja yang dituju.

Dina berdiri sejenak sebelum mengambil duduk di depan lelaki yang menikmati secangkir latte. Ia kemudian memilih duduk berhadapan, terpisah meja, sesaat setelah Elan meletakkan cangkirnya.

"Su.. Sudah lama?" Dina gugup memulai pembicaraan.

"Ada perlu apa meminta bertemu?" Tak berniat menjawab basa basi Dina, Elan to the point.

Dina segera membuka isi tas punggungnya, mencari secarik kertas yang menentukan nasibnya. Kemudian menyodorkan kertas yang berisi perjanjian pranikah itu pada Elan.

"Sebulan lagi kita menikah, setelah aku ujian nasional. Kita sama-sama tahu aku menikah demi kebahagiaan kakakku dan kak Asya, tapi yang orang tua kita tahu kita menikah karena saling mencintai. Mencegah hal-hal buruk terjadi, aku membuat perjanjian ini."

Kalimat Dina sangat tertata, seperti sudah dilatih ratusan kali sebelumnya. Elan menyadari itu.

"Bolpoin?" Elan memasang wajah tanpa ekspresi, tidak bisa ditebak isi pikirannya.

Dina segera memberi Elan sebuah bolpoin sesuai permintaan. Elan mengayunkan jarinya untuk menandatangani kertas bermeterai itu tanpa perlu dibaca.

"Tidak dibaca?" Dina heran juga khawatir jika Elan tak paham. "Intinya, jangan pernah menyentuhku sampai aku siap."

Elan mengembalikan lembar perjanjian mereka. Tentu kali ini meterainya sudah ternoda goresan tinta. Ini benar-benar perjanjian.

Dina mencermati tanda tangan Elan, tanda persetujuan. Ia tersenyum puas.

"Terima kasih setuju tidak menyentuhku sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai aku siap."

"Ada lagi?" Tanya Elan dengan wajah cool.

Dina menggeleng.

"Pesanlah makanan, aku yang bayar."

"Emm.. Baiklah.." Tak ada salahnya pikir Dina.

Elan mengawasi Dina yang sibuk melahap makanan khas Jepang di meja mereka. Terlihat tidak sabaran.

"Kak Elan tidak makan?" Tanya Dina sembari mendongak sebentar, mengalihkan pandangan dari makanan.

"Tidak lapar." Jawab Elan singkat sembari merogoh ponselnya dari saku celana.

Dina kembali menyantap makanannya. Lahap.

"Ada barang yang ingin kamu beli?"

Dina kembali berpikir, apa semua calon suami itu memanjakan calon istrinya begini? Ia memutar bola matanya perlahan. Tak ada salahnya merogoh kocek Elan, dia pengusaha muda yang tajir.

"Ada." Jawab Dina sok tak butuh.

"Apa?"

"Sepatu dan tas."

"Mau beli sendiri atau ditemani?"

"Terserah.."

Elan menyodorkan kartu kredit berlogo emas di dekat Dina.

"Gunakan sepuasmu, aku pergi dulu."

Bahagiakan dirimu selagi masih bisa bahagia Bocah.

Elan menyingkir dari hadapan Dina yang berbinar sembari mengunyah makanannya pelan. Unlimited credit card? Tambang emas masa kini, pikirnya.

***

Aku mengerjapkan mata, melihat ke arah jam dinding, sekitar pukul satu dini hari. Rupanya ada isakan yang membangunkan tidurku, tepatnya di belakangku. Ah ya aku lupa sudah membalaskan dendamku, memperkosa adik Raka.

Sebenarnya apa ini bisa dibilang memperkosa? Dia istriku, kewajibannya melayaniku. Mimpi bahagianya sudah sampai di titik ini, berhenti. Selanjutnya dia hanya akan merasakan kepedihan seperti yang adikku rasakan.

"Tidak tidur?" Tanyaku sembari mencium rambut belakangnya.

Tubuhnya beringsut semakin meringkuk karena sentuhanku. Aku tahu dia takut, mungkin juga jijik kepadaku tapi sengaja ku lakukan untuk menyiksanya.

"Apa yang harus ditangisi Sweety? Keperawananmu tidak akan kembali. Kamu lebih beruntung dari Asya, dia diperkosa sebelum menikah, berulang kali dengan kasar oleh kakakmu. Sedangkan kamu, aku menikahimu dulu."

Semakin banyak ku kecupi rambutnya, semakin rapat isakannya. Tanganku mulai menyusup ke bagian depan tubuhnya, mencari dua bola padat yang menjadi mainan baruku. Tentu saja dia memberontak. Dia sadar sedang dalam keadaan genting. Aku mulai menginginkannya lagi.

"Jangaaann... Huaaa.. Jangaannn.."

Dina berusaha menyingkirkan tanganku yang semakin kuat meremas dadanya. Tangisannya pecah. Segera ku gapit kedua kakinya. Masih ku remasi dadanya tanpa terpengaruh gerakannnya sedikitpun. Ku hisapi tengkuk dan lehernya. Sungguh aku sudah bernafsu lagi.

Jariku turun mencari bagian yang ku nodai malam ini, memainkan milik bocah ini tapi ia justru menangis semakin menjadi.

"Aakkk.. Sakiittt.. Jangan sentuh! Itu sakiiitt.."

"Nanti akan enak Sweety.. Semakin kamu menolak semakin aku bernafsu.."

"AAAKKKK..." Jeritnya saat ku masukkan jariku ke liangnya.

Aku menelentangkan tubuhnya, menindihnya, menjilati kemudian menghisapi. Ia berusaha mendorong kepalaku, membuatku semakin rakus menguasai dadanya. Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya.

"Aku anggap itu sinyal kesiapanmu."

"Jangan lakukan lagi, sakit sekali rasanya hiks.."

Aku tak peduli, tubuh kami masih sama-sana telanjang, segera ku terobos surgawi istriku. Rasanya sangat hangat dan rapat. Nikmat sekali milik perawan.

"Aaaakkkk... Periiihh.. Huaaa..."

Aku mengentak pinggangku dan amblas sudah senjataku. Segera ku gerakkan naik turun. Suaranya menghilang, ia hanya menggigit bibir bawahnya erat-erat, matanya terpejam dalam menikmati sakit, air matanya meleleh.

Aku tahu Dina sangat kesakitan, dia belum merasakan nikmatnya bercinta tapi aku juga tidak bisa menahan diri, semakin cepat, lebih cepat dan terasa semakin nikmat.

Ku turunkan wajahku ingin merasakan rongga mulutnya, siapa tahu ini bisa membuatnya sedikit menikmati gerakanku. Ku tarik tangannya yang sedari tadi meremas selimut ke punggungku. Dia meremas setengah mencakar.

Aku tidak peduli sakitnya, yang kurasakan bibirnya melemah, sepertinya dia mulai menikmati. Semakin dalam ku lilit lidahnya. Ah ini benar-benar nikmat.

Lambat laun dia melemah. Aku bisa merasakan cakarannya yang tak lagi mencengkeram. Bocah ini menikmati. Semakin cepat aku bergerak hingga tak lama kemudian kurasakan tubuhnya menegang, lalu ada kedutan yang memijat senjataku.

Tangannya turun dari punggungku dengan lemah.

"Kamu menyukai pelepasanmu Sweety?"

Dina hanya berkedip pelan, lemah kehabisan tenaga. Segera kuputar tubuhnya, enak saja dia mau meninggalkanku tidur. Aku mengenalkannya pada doggy style. Tangannya yang lemah tak kuat menyangga, ia hanya tersungkur di kasur dalam posisi menungging dan tak henti ku pompa dari belakang.

Setengah jam berlalu. Tubuh gadis ini hanya tersentak-sentak tak bertenaga saat semakin ku tarik pinggangnya bersamaan dengan hujamanku. Ini benar-benar nikmat, paling nikmat sepanjang hubungan intimku dengan wanita lain.

"Eegh.. Engh.. Aakk.. Aakk.." lirih Dina bersuara setiap kali tubuh kami saling bertubrukan.

"Aku sampai Daisy.."

Aku tak peduli, ku siram rahimnya dengan benihku. Jika dia hamil toh aku suaminya, lalu anggap saja nasibnya tak jauh beda dengan adikku.

Aku menghempas tubuh di belakangnya. Kasihan, dia tak ada daya, berkedip pun susah. Aku merangkulnya, mengarahkan tangannya untuk memelukku. Dalam kapasitasnya yang low energy tak akan mampu mengelak. Balas dendamku terbalas dengan sempurna. Tak ada salahnya memberi sentuhan iba untuk gadis ini.

Ku rapatkan rengkuhanku, ku belai rambutnya. Entah mengapa perlu sejauh ini, aku merasa kasihan saja gadis sekecil ini telah ku sakiti, tapi aku juga tak menjamin tak melakukannya lagi.

Matanya terpejam, ku kecup keningnya, lalu kusimpan kepalanya di dadaku. Aku merasakan air matanya membasahi dadaku.

Maafkan aku.

***

"Kamu tidak bangun Bocah?" Suara Elan yang berkacak pinggang di tepi ranjang terdengar lantang.

Dina kaget, susah payah membuka mata yang lengket karena sembab, bengkak. Nafasnya memburu, masih ada sisa-sisa ketakutan. Ia meremas selimut di dadanya saat menyadari Elan berada di dekatnya.

"Mandilah.. Keluargaku biasa sarapan bersama."

Dina melengos sinis saat Elan mendekati wajahnya. Muak. Benci.

"Biar Mamaku bisa sarapan dengan menantu barunya, ah juga biar kakakmu mengenali wajah sembab adiknya hahaha.. Aku tidak sabar melihat ekspresi Raka."

Kekehan Elan terdengar sangat menyeramkan di telinga Dina. Jahat. Ia hanya obyek balas dendam. Hidupnya tak berarti lagi.

"Mau ku gendong ke kamar mandi Sweety?"

Muak sekali Dina mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Elan. Namun ia juga merasakan selangkangannya nyeri. Sekuat tenaga ia turun dari ranjang, dengan langkah tertatih menahan perih di kewanitaannya. Semalaman ia dijajah habis-habisan oleh suaminya, tanpa peduli apapun, hanya demi kepuasannya semata.

"Ah ya aku lupa.."

Suara Elan menghentikan langkah Dina di depan pintu kamar mandi. Lelaki itu sedang memakai tshirt nya dengan santai.

"Terima kasih untuk keperawananmu, rasanya lumayan lah.." nada Elan sangat merendahkan.

Wajah Dina mengerut, sakit, emosi yang seperti tak bisa ditahan tapi ia tak mampu melawan. Serendah itukah dirinya di hadapan Elan? Mengapa lelaki itu begitu kejam dengan bahasanya? Bisa-bisanya ia mengatakan rasa sebuah keperawanan sama seperti memuji rasa makanan.

Dina memilih diam, menahan diri, kemudian masuk ke kamar mandi. Di sana ia menjerit, menyesali semua yang telah terjadi. Bersimpuh di bawah guyuran shower meratapi nasibnya, juga sakitnya.

***

Elan menuruni tangga dengan semringah. Aura pengantin baru rupanya dihisap sempurna olehnya. Bagaimana tidak, istrinya justru menampakkan keadaan sebaliknya. Dina menuruni tangga dengan hati-hati, menahan sakit di kewanitaannya yang tak kunjung hilang, bahkan terasa sangat basah dan tak nyaman. Sesekali Elan mencoba menggandengnya tapi buru-buru ditampik juga dihindari. Ada rasa jijik untuk bersentuhan dengan suaminya.

Dari jauh Raka yang sedang bersenda gurau dengan istrinya mengalihkan perhatian saat Elan membuka kursi untuk Dina. Gadis itu hanya menunduk, menyembunyikan segalanya dari kakaknya. Sedangkan Elan sibuk menebar senyum kepuasan, terutama saat matanya bertemu lurus dengan mata Raka.

Lihat adikmu Raka.. Aku mendapatkannya!!

Senyum kemenangan Elan semakin lebar kala Raka menunjukkan perubahan ekspresi. Dari bahagia menjadi tercengang. Elan semakin ingin memuaskan batinnya.

"Sayang.. Tidak ingin menyapa kakakmu hmm?" Tanya Elan sembari menjepit dagu Dina yang dibalas dengan plengosan.

Saat itulah wajah Dina terangkat dan terlihat. Asya menutup bibirnya melihat tingkah dan wajah Dina yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Matanya kosong, berair, merah, dan bengkak, hidungnya merah dan terdengar basah, bibirnya bergetar menahan tangis. Sesekali butiran air mata itu masih jatuh. Ini mengingatkannya di pagi hari di mana Raka mengajaknya sarapan setelah menodainya.

Asya semakin takut saat melihat kakaknya sedang tersenyum lebar menatap Raka yang mengeratkan bibirnya menahan emosi. Ia meremas paha suaminya. Sebisa mungkin menahan agar tak ada pagi yang panas di meja makan sebelum orang tuanya datang.

"Aku sangat bersemangat hari ini, apa kamu juga adikku, Raka??"

Nada ejekan sangat kental mengisi pertanyaan Elan. Raka merasa harga dirinya dicabik. Ini keterlaluan. Bukankah ia sudah bertanggungjawab untuk adiknya?? Mengapa Elan masih tega menyakiti Dina?

"Maaf Sayang.." Raka meminta izin kepada Asya dengan maafnya.

Raka melepas remasan Asya di pahanya, menghampiri Elan dengan kecepatan ekstra, merenggut kerah tshirt Elan hingga terangkat dadanya.

"Kak Raka!!" Jerit Asya ketakutan.

"Keparat!!" Raka mendorong tubuh Elan hingga terjatuh, terjerembap ke lantai.

Ekspresi Elan tak berubah, sedari tadi masih tertawa penuh kemenangan. Ia tak peduli atas perlakuan Raka padanya. Ia menikmati reaksi Raka dengan puas.

"Bajingan!!" Raka masih merenggut kerah Elan di bawah tindihannya.

"Hey.. Mengapa bajingan teriak bajingan? Kita impas brother, kamu memperkosa adikku, aku juga ah bukan, adikmu lebih beruntung karena aku sudah menikahinya, sudah kewajibannya melayaniku."

BUG!!

"Kak Raka! Jangan!" Asya menjerit mencoba melerai tapi takut untuk mendekat.

"Aku mencintai Asya, sedangkan kamu?? Kamu bedebah!!"

BUG!!

"Kak Raka cukuupp.. Hiks.." Asya menjerit. "Dina bantu aku Din, tolong jangan diam hiks.. Hiks.."

Dina hanya duduk tak tenang di kursinya. Pikirannya kacau dan tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi genting ini. Sejujurnya ia ingin kakaknya memukuli Elan dengan keras, hingga mati pun tak masalah.

Raka membangunkan tubuh Elan yang pasrah, masih dengan tawanya yang sangat merendahkan harga diri Raka. Raka merenggut kembali kerah Elan hingga tubuh mereka dekat dan berimpitan.

"Kamu tahu, rasa adikmu lumayan untuk ukuran seorang perawan." Elan tertawa bangga, memancing emosi Raka.

Emosi Raka meluap, ia mengangkat tangan kanannya ke belakang bersiap menghantam keras pelipis Elan. Namun ada yang menahan. Ia mengentakkan tangan kanannya, berusaha menyingkirkan penghalang.

"Aaakkkh.." Pekik Asya kesakitan.

Asya terjatuh karena tubuhnya tak bisa menjaga keseimbangan saat Raka membuang tangannya. Spontan Raka melepas cengkeramannya di dada Elan, menghampiri istrinya yang mengaduh di lantai sembari memegangi perutnya yang buncit.

Elan ternyata lebih dulu sampai di dekat Asya. Dua lelaki itu mengerumuni Asya, berebut bagian untuk menyelamatkannya.

"Mana yang sakit Sya?" Tanya Elan sembari memegang lengan adiknya.

"Maaf Sayang aku tidak sengaja." Raka mengusap perut Asya.

"Aku tidak apa-apa, tapi tolong jangan bertengkar. Rasanya perutku mulas melihat kalian bertengkar. Semua memang salahku hiks.."

"Asya, jangan bicara begitu, baiklah kakak janji tidak akan bertengkar lagi.."

"Tapi memang salahku, andai aku tidak menikah dengan Kak Raka semua ini tidak perlu terjadi.. Hiks.."

"Sayang.. Kok bicaranya begitu? Kamu menyesal menikah denganku?"

"Tapi Dina jadi.." bantah Asya terputus.

"Ssst.. Jangan bicara apa-apa lagi, aku janji tidak akan bertengkar lagi dengan Elan, kamu tenang ya.." Raka memeluk istrinya, tapi tatapannya masih sinis menghukum Elan yang tersenyum miring.

Dina menelan pil pahit. Tak ada seorang pun di sisinya. Kakaknya, yang ia harap bisa menolongnya pun berakhir menjadi mimpi. Ia harus menanggung bebannya sendiri, hingga ia kembali ke kamar pun tak ada yang menyadarinya. Ia benar-benar sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status