Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi.
"Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojek online."
Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan.
"Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat.
"Asal bukan tempe?"
Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui.
Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan.
"Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya.
"Tunggu!"
Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
"Ada apa?" Tanya Dina membulatkan mata.
Elan mendekat, mengubah meter menjadi centimeter. Keduanya kian dekat hingga Dina menunduk kikuk. Lagi-lagi situasi ini belum ia persiapkan sebelumnya.
"Masih marah padaku?"
"Ehh.. Emm.. Jika maaf itu tulus, jika kamu tidak lagi merendahkanku, aku tidak akan marah lagi."
"Dengan kata lain, kamu memaafkanku?" Elan menyelidik.
Dina mengangguk tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya. Ia malu, gugup pula. Namun siapa sangka Elan justru mengangkat dagunya.
"Ah.." Dina terperangah.
Kedua mata mereka saling menatap. Dina tak kuat ditatap terus-terusan seperti itu. Ia melarikan bola matanya kesana kemari.
"Tatap aku.."
"Hemp.." Dina tercekat.
"Matamu masih berlari dariku, artinya kamu belum memaafkanku, kamu masih takut."
"Aku tidak takut padamu." Sahut Dina cepat. "Aku.. Aku.. Aku tidak.. Takut lagi.."
Sekuat hati Dina membalas tatapan Elan. Dorongan apa yang membuatnya seberani ini, ia tak peduli. Ini luar biasa. Kekuatan ekstra yang tidak tahu dari mana sumbernya menguatkan Dina menatap mata Elan pelan-pelan tapi pasti.
Dina menemukan iris kecokelatan mendekati hitam yang tajam. Ada keangkuhan juga kekuatan, di mana dendam itu? Apakah ia sembunyikan dibalik kekuatannya? Atau justru ketajamannya?
Sebaliknya, sorot mata Dina membelah tajamnya mata Elan. Mengisyaratkan kelembutan kuat yang bisa melemahkan keangkuhan. Ia bukan gadis lemah, seolah tertulis dengan jelas di bagian pupilnya yang menantang. Meskipun masih ada sebilah keraguan dilihat dari perubahan ukuran pupilnya yang tidak konsisten.
"Kamu tidak menyesal memaafkanku?"
Elan merendahkan wajahnya. Hendak mengubah centi menjadi mili. Keduanya belum melepaskan kontak mata. Keduanya berdebar. Keduanya menanti.
"Jadi buatlah aku tidak menyesal."
Dina berlari ke kamarnya. Masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya di balik pintu. Memegang dadanya yang berdebaran. Tak menyangka ia berani mengatakan kalimat isyarat seambigu itu. Kini bibirnya tersenyum kecil, malu-malu.
***
Tok tok tok!
Aku mengetuk pintu kamarnya. Pasti bocah itu lapar setelah kehujanan. Pengalaman masa kecilku mengatakan demikian.
Aku jadi ingat, dulu dia sering main di bawah guyuran hujan bersama adikku. Saat aku dan Raka masih sibuk bermain playstation. Biasanya saat keluarga kami arisan. Kedua orang tua kami tak bosan mengingatkan untuk menjaga adik masing-masing. Siapa sangka kini kami bertukar tugas menjaga mereka, bukan lagi sebagai kakak, tapi sebagai suami yang sah di hadapan agama dan negara.
Saat itu mereka hanya akan menangis karena terpeleset lumpur, atau karena jatuh dari sepeda. Namun sekarang, luka lain telah aku dan Raka semat pada mereka, yang tak cukup kami sembuhkan hanya dengan obat merah.
Dina membuka pintunya, keluar kamar lalu cepat-cepat menutup kembali. Sepertinya ia mengantisipasi bilamana aku akan menerobos masuk kamarnya. Hmm.. Memangnya aku setidaksabaran itu? Aku akan bersabar dan bertahan untuk mendapat sesuatu yang lebih Bocah..
Kami duduk berhadapan di meja makan. Meja makanku tak besar, menjadi satu dengan dapur. Karenanya kami bisa makan malam dengan jarak begitu dekat. Aku punya hobi baru, memantenginya makan.
"Pesan apa tadi? Wah.. Udon?"
Aku yakin dia basa basi bertanya, lalu menjawabnya sendiri setelah girang melihat makanannya. Aku tahu dia sempat akan memilih udon saat di resto Jepang tadi. Mudah bukan menebak isi pikirannya?
"Suka?" Tanyaku memastikan.
Dia mengangguk antusias. Tersenyum, senyumnya.. Ah ya aku belum bercerita soal senyumnya yang mahal itu, yang membuatku selalu tersihir. Kadang memengaruhiku bersikap tak logis. Entah senyumnya itu mengandung apa, tapi aku ingin cepat-cepat melihatnya tersenyum di pelukanku, atau sembari bergerak liar bak penunggang kuda di atas tubuhku.
"Selama tidak ada tempe, aku pasti suka." Ujarnya sembari mulai menyeruput mie dari sumpitnya.
Aku tersenyum melihatnya menyeruput sebuah mie yang tak kunjung putus. Rasanya melihat ia begitu sangat menghiburku. Aku semakin aneh bukan? Padahal tujuanku bukan itu.
"Aku lucu ya? Dari tadi kamu tertawa melihatku." Tanyanya mulai tak nyaman dengan sikapku.
"Suka saja melihatmu makan."
"Anggap saja itu hiburan." Tanggapnya santai.
Aku hanya bisa tersenyum.
"Besok ke sekolah lagi?"
"Heem, ada sosialisasi seleksi nasional."
"Masuk PTN maksudmu?"
"Heem.." Ia mengangguk sambil terus menyeruput mienya.
"Ku antar, kita berangkat bersama."
"Eoh.."
Dia melongo. Mungkin bertanya-tanya mengapa sikapku berubah tanpa aba-aba. Aku ingin dia memercayaiku, menghilangkan keraguan yang masih mendiami batinnya. Aku hanya ingin melihat senyumnya merekah di depan kedua bola mataku. Kalian bisa menebak untuk apa?
"Aku.. Bisa berangkat sendiri."
"Naik ojek online?" Tanyaku sudah tahu kunci jawaban.
"Yah, seperti biasa."
"Bayar saja tumpanganku besok, anggap aku ojek onlinemu."
Dia tersenyum. Senyum yang lagi-lagi membuatku hampir lupa tujuan. Manis, tulus, dan menggairahkan. Aku tidak sabar memiliki senyum itu di ranjangku. Rasanya tubuhku kaku hampir seminggu tak merasakan kehangatan wanita. Aku menginginkannya.
"Kenapa tersenyum?" Tanyaku merasa aneh.
"Kamu lucu." Dia tertawa.
"Baguslah, jadi kamu tidak perlu takut lagi padaku kan?" Aku memastikan.
"Umm.. Begitulah."
Lagi-lagi senyumnya hampir menggerogoti akal sehatku. Menggugah bagian-bagian yang seharusnya terlelap untuk bangkit dan menuntut layanan. Aku ini lelaki normal yang harus menahan diri saat tinggal dengan gadis dalam satu ruang seperti ini, tapi sampai kapan?
"Uang sakumu masih ada?" Tanyaku memastikan.
"Masih, aku mau beli buku untuk persiapan tes, uangnya masih cukup." Jawabnya mantap.
"Memangnya seleksi jalur nontes sudah pengumuman? Belum kan?"
"Memang belum tapi aku persiapan saja, aku ingin mencoba semua jalur lalu memilih yang terbaik." Jelasnya antusias.
"Yah, selagi bisa dicoba kenapa tidak."
"Betul! Ternyata kita sepemikiran." Ujarnya bersemangat.
Tentu saja tidak Bocah, kita tak pernah sepemikiran. Aku hanya memikirkan tubuhmu yang hampir seminggu ini iming-iming padaku. Berkeliaran di sekitar tanpa bisa ku sentuh. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya memilikimu malam ini. Aku sangat menginginkanmu. Ah lebih baik aku mulai melupakannya, tapi dengan cara apa?
***
Elan sibuk dengan layar laptopnya di sofa tengah. Menyalakan layar televisi tanpa menengoknya sama sekali. Berkas-berkas di meja lebih mendominasi perhatiannya.
Dina melihat aktivitas Elan dari dapur. Lelaki itu terlihat serius. Pasti penat dengan pekerjaannya. Muncul ide untuk sedikit bermurah hati. Bagaimanapun Elan akan menanggung hidupnya selama empat bulan ke depan. Tak ada salahnya membuatkan secangkir kopi untuk suaminya.
"Minum ini.." Dina mengambil tempat di samping Elan yang duduk di lantai.
"Letakkan saja di situ, nanti ku minum." Jawab Elan menengok sebentar ke arah Dina, menyadari harum kopi di dekatnya.
"Kenapa tidak dikerjakan di ruang kerja?"
"Apa di sini mengganggumu?"
Dina menggeleng cepat-cepat takut Elan berprasangka buruk padanya.
"Bukan! Bukan begitu! Tumben saja."
"Biar kamu tahu, lalu membuatkanku kopi."
Dina tersenyum. Malu. Ia tahu Elan hanya bercanda tapi rasa malu tak sanggup dielaknya.
"Kalau kopinya enak, besok buatkan aku lagi."
"Kalau tidak enak?" Dina mengangkat alisnya penasaran.
"Tugasmu membelikanku kopi di gerai bawah."
"Hmm.. Tega kamu ya. Ini kopi instan, pasti enak."
Elan meletakkan berkasnya. Ia tertarik mencicipi kopi buatan Dina. Bukan karena harumnya, karena sejujurnya ia lebih suka kopi hitam. Ia tergerak segera mencicipinya karena ketulusan hati Dina membuatkan.
"Emm.." Elan menyesap kopinya.
"Bagaimana? Enak?" Dina menanti ekspresi wajah Elan.
"Kemarilah!" Perintah Elan serius, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Dina mendekat, Elan menyesap kopinya kembali.
"Emmm??"
"Kenapa lagi?" Dina semakin penasaran.
"Ternyata kopi ini lebih enak kalau menyesapnya sambil melihatmu dari dekat."
Ya Tuhan.. Elan menggombali bocah SMA. Mungkin ia sudah gila.
"Iiihhh apaan sih!"
Dina reflek memukul lengan Elan, terasa keras dan kokoh. Ia jadi teringat bagaimana lengan itu merangkulnya dengan kuat dan hangat tadi. Suasana pun mencair dengan canda tak henti mengisi ruangan. Mereka lupa masa pahit, karena mereka telah menyeduhnya dalam secangkir kopi yang nikmat.
***
Dina merasakan kantuknya mulai menyerang. Elan yang sudah membereskan berkas-berkasnya pun siap menuju ranjang. Lelah bekerja meskipun belum mengantuk.
"Mengantuk?"
"Hemm.." Jawab Dina sekenanya.
"Tidurlah, jangan lupa besok kita berangkat bersama." Elan mematikan televisi.
Dina tersenyum bahagia di tengah kantuknya. Bahagia membayangkan besok berangkat bersama Elan. Lelaki itu berdiri, mengulurkan tangan untuk membantu Dina berdiri pula dari lantai.
"Mau tidur di kamarku?" Goda Elan dengan wajah usil, tanpa berusaha melepas tangan Dina.
"Jangan bermimpi sebelum tidur!" Dina memasang wajah garang, melupakan kantuknya.
Elan tertawa. Mereka bergandengan menuju kamar masing-masing. Ada perasaan aneh di hati keduanya. Seperti tak wajar. Mereka saling berbalas pandang sebelum membuka pintu kamar yang berdampingan. Tak ada yang ingin melepaskan tangan.
"Kamu masuklah dulu.." Pinta Elan.
"Kamu dulu saja.." Balas Dina.
Keduanya tersenyum kikuk. Aneh. Lucu. Seperti ABG yang akan berpisah di depan pintu rumah pada kencan pertama.
Elan mendekat, menipiskan jarak mereka. Tangan kirinya mengusik puncak rambut Dina. Lalu merapikan poni panjangnya. Gadis mana yang tak terlena diperlakukan demikian oleh lelaki sematang Elan.
"Lepaskan tanganku, lalu masuklah.. Tidur yang nyenyak, mimpikan aku.." Pinta Elan terdengar begitu romantis.
Dina mendongak. Ia masih ingin memandang wajah teduh Elan yang begini, yang steril dari sikap angkuh, lembut dan sangat menghanyutkan.
"Bagaimana kalau aku memimpikan orang lain?"
Senyum Elan merekah. Gadis ini terlampau pandai memainkan hatinya, memaksanya untuk berkalimat lebih jelas.
"Aku akan masuk ke mimpimu lalu membunuhnya."
Dina tersenyum bangga tapi berusaha menutupinya dengan tundukan.
"Itu jahat sekali!" Dina memberanikan diri memukul dada Elan.
"Jadi kamu sudah memaafkan lelaki jahat ini atau belum?" Elan menyelipkan rambut Dina ke balik telinga.
"Emm.. Belum ku putuskan, aku tidak tahu apakah dia tulus atau tidak." Jawab Dina sembari memicingkan mata bercanda. Elan semakin menghanyutkannya.
"Pukul aku lagi seperti barusan, aku suka! Pukulan manja dari gadis garang."
Puk!
"Begini?" Tanya Dina malu-malu.
"Ya! Lagi!"
Puk!
"Lagi! Lebih cepat!" Perintah Elan yang masih saja dituruti Dina.
Puk! Puk! Puk!
Hingga pukulan terakhir jatuh, Dina kaget setengah mati saat Elan menangkup wajahnya, meneliti setiap centinya lalu berjarak detik mengecup bibirnya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Sebelum akhirnya Elan melepasnya.
"Kamu boleh menolaknya Sweety.."
Dina menelan ludahnya gugup. Tercekat. Ia belum sadar atas apa yang dilakukan Elan. Ia hanya merasa bahagia. Suka. Bibirnya membuka dan mengatup berulang kali. Mengundang tanpa ia sadari.
"Aku tidak tahan lagi Sweety!"
Elan kembali memagut bibir Dina, mengelamuti bagian luarnya yang lembut. Manis. Bibir sejuta pesona senyum itu akhirnya berhasil ia taklukkan malam ini.
Dina tak tinggal diam. Ia bukan amatir soal berciuman. Perbuatan nikmat yang kerap ia lakukan dengan pacar-pacarnya terdahulu. Ia membuka bibirnya, memberi akses bagi Elan menyapu dengan basah, lalu mengulum dua belahan merah muda itu. Tangannya pun mengalung ke leher Elan mengunci pergerakan.
Kaki Elan menggiring hingga punggung Dina menubruk pintu. Keduanya tersentak, lalu melepas tautan bibir mereka.
Elan tersenyum, Dina membalasnya. Keduanya tersenyum penuh kebahagiaan, sukacita, rela, dan menggairahkan.
Elan kembali menunduk, menggigit bibir bawah Dina dengan lembut. Membuat gadis itu mengerang pelan, semakin membangkitkan saudara kecil Elan.
"Enghmm.. Emmhh.."
Lidah Elan semakin menunjukkan kemahirannya. Menyusup ke dalam mencari lawan yang ternyata seimbang. Tanpa rasa jijik lidah Dina menyambut kedatangan pasangannya, saling tumpang tindih di dalam rongga mulut, bertukar ludah yang pekat dan hambar tapi keduanya merasa begitu manis. Keduanya aktif membelit.
Dina meremas rambut belakang Elan menikmati cumbuan. Lidah Elan mengusap hampir seluruh gigi istrinya, lalu menghisap kuat rongga mulutnya hingga tampak jelas ekspresi nikmat dengan mengadu alisnya, seraya masih meremasi pundak Elan. Semakin membangkitkan saudara kecil di bawah sana.
Elan membuka pintu kamar Dina tanpa melepas ciuman mereka. Bunyi perpaduan liur mereka pun memanaskan isi kamar. Saling menikmati.
Tangan Dina semakin aktif meremas rambut hingga tshirt Elan bergantian. Elan tak mau kalah. Sesekali ia menekan kepala Dina agar ciumannya semakin dalam.
Elan menjepit tubuh Dina di balik pintu. Melepas ciumannya lalu mengalirkan kecupannya turun. Ia mengecupi leher Dina dan dibalas pejaman mata oleh si empunya. Dina sangat menikmati, remasannya di rambut Elan pun menjadi-jadi.
Elan semakin belingsatan mendengar kala lenguhan Dina. Kecupan di leher semakin menjelajah, berubah menjadi hisapan yang menghasilkan warna merah. Dina semakin tak tahan saat tangan Elan mengusap pahanya. Ada getaran-getaran luar biasa yang membuatnya lupa.
Aku sudah gila! Aku gila! Aku menikmati cumbuan lelaki ini, ah ini nikmat sekali..
Aku mendapatkanmu Sweety, kamu akan bertekuk lutut padaku malam ini..
***
vote komentarnya ditunggu ya say
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa