Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi.
"Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojek online."
Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan.
"Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat.
"Asal bukan tempe?"
Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui.
Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan.
"Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya.
"Tunggu!"
Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
"Ada apa?" Tanya Dina membulatkan mata.
Elan mendekat, mengubah meter menjadi centimeter. Keduanya kian dekat hingga Dina menunduk kikuk. Lagi-lagi situasi ini belum ia persiapkan sebelumnya.
"Masih marah padaku?"
"Ehh.. Emm.. Jika maaf itu tulus, jika kamu tidak lagi merendahkanku, aku tidak akan marah lagi."
"Dengan kata lain, kamu memaafkanku?" Elan menyelidik.
Dina mengangguk tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya. Ia malu, gugup pula. Namun siapa sangka Elan justru mengangkat dagunya.
"Ah.." Dina terperangah.
Kedua mata mereka saling menatap. Dina tak kuat ditatap terus-terusan seperti itu. Ia melarikan bola matanya kesana kemari.
"Tatap aku.."
"Hemp.." Dina tercekat.
"Matamu masih berlari dariku, artinya kamu belum memaafkanku, kamu masih takut."
"Aku tidak takut padamu." Sahut Dina cepat. "Aku.. Aku.. Aku tidak.. Takut lagi.."
Sekuat hati Dina membalas tatapan Elan. Dorongan apa yang membuatnya seberani ini, ia tak peduli. Ini luar biasa. Kekuatan ekstra yang tidak tahu dari mana sumbernya menguatkan Dina menatap mata Elan pelan-pelan tapi pasti.
Dina menemukan iris kecokelatan mendekati hitam yang tajam. Ada keangkuhan juga kekuatan, di mana dendam itu? Apakah ia sembunyikan dibalik kekuatannya? Atau justru ketajamannya?
Sebaliknya, sorot mata Dina membelah tajamnya mata Elan. Mengisyaratkan kelembutan kuat yang bisa melemahkan keangkuhan. Ia bukan gadis lemah, seolah tertulis dengan jelas di bagian pupilnya yang menantang. Meskipun masih ada sebilah keraguan dilihat dari perubahan ukuran pupilnya yang tidak konsisten.
"Kamu tidak menyesal memaafkanku?"
Elan merendahkan wajahnya. Hendak mengubah centi menjadi mili. Keduanya belum melepaskan kontak mata. Keduanya berdebar. Keduanya menanti.
"Jadi buatlah aku tidak menyesal."
Dina berlari ke kamarnya. Masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya di balik pintu. Memegang dadanya yang berdebaran. Tak menyangka ia berani mengatakan kalimat isyarat seambigu itu. Kini bibirnya tersenyum kecil, malu-malu.
***
Tok tok tok!
Aku mengetuk pintu kamarnya. Pasti bocah itu lapar setelah kehujanan. Pengalaman masa kecilku mengatakan demikian.
Aku jadi ingat, dulu dia sering main di bawah guyuran hujan bersama adikku. Saat aku dan Raka masih sibuk bermain playstation. Biasanya saat keluarga kami arisan. Kedua orang tua kami tak bosan mengingatkan untuk menjaga adik masing-masing. Siapa sangka kini kami bertukar tugas menjaga mereka, bukan lagi sebagai kakak, tapi sebagai suami yang sah di hadapan agama dan negara.
Saat itu mereka hanya akan menangis karena terpeleset lumpur, atau karena jatuh dari sepeda. Namun sekarang, luka lain telah aku dan Raka semat pada mereka, yang tak cukup kami sembuhkan hanya dengan obat merah.
Dina membuka pintunya, keluar kamar lalu cepat-cepat menutup kembali. Sepertinya ia mengantisipasi bilamana aku akan menerobos masuk kamarnya. Hmm.. Memangnya aku setidaksabaran itu? Aku akan bersabar dan bertahan untuk mendapat sesuatu yang lebih Bocah..
Kami duduk berhadapan di meja makan. Meja makanku tak besar, menjadi satu dengan dapur. Karenanya kami bisa makan malam dengan jarak begitu dekat. Aku punya hobi baru, memantenginya makan.
"Pesan apa tadi? Wah.. Udon?"
Aku yakin dia basa basi bertanya, lalu menjawabnya sendiri setelah girang melihat makanannya. Aku tahu dia sempat akan memilih udon saat di resto Jepang tadi. Mudah bukan menebak isi pikirannya?
"Suka?" Tanyaku memastikan.
Dia mengangguk antusias. Tersenyum, senyumnya.. Ah ya aku belum bercerita soal senyumnya yang mahal itu, yang membuatku selalu tersihir. Kadang memengaruhiku bersikap tak logis. Entah senyumnya itu mengandung apa, tapi aku ingin cepat-cepat melihatnya tersenyum di pelukanku, atau sembari bergerak liar bak penunggang kuda di atas tubuhku.
"Selama tidak ada tempe, aku pasti suka." Ujarnya sembari mulai menyeruput mie dari sumpitnya.
Aku tersenyum melihatnya menyeruput sebuah mie yang tak kunjung putus. Rasanya melihat ia begitu sangat menghiburku. Aku semakin aneh bukan? Padahal tujuanku bukan itu.
"Aku lucu ya? Dari tadi kamu tertawa melihatku." Tanyanya mulai tak nyaman dengan sikapku.
"Suka saja melihatmu makan."
"Anggap saja itu hiburan." Tanggapnya santai.
Aku hanya bisa tersenyum.
"Besok ke sekolah lagi?"
"Heem, ada sosialisasi seleksi nasional."
"Masuk PTN maksudmu?"
"Heem.." Ia mengangguk sambil terus menyeruput mienya.
"Ku antar, kita berangkat bersama."
"Eoh.."
Dia melongo. Mungkin bertanya-tanya mengapa sikapku berubah tanpa aba-aba. Aku ingin dia memercayaiku, menghilangkan keraguan yang masih mendiami batinnya. Aku hanya ingin melihat senyumnya merekah di depan kedua bola mataku. Kalian bisa menebak untuk apa?
"Aku.. Bisa berangkat sendiri."
"Naik ojek online?" Tanyaku sudah tahu kunci jawaban.
"Yah, seperti biasa."
"Bayar saja tumpanganku besok, anggap aku ojek onlinemu."
Dia tersenyum. Senyum yang lagi-lagi membuatku hampir lupa tujuan. Manis, tulus, dan menggairahkan. Aku tidak sabar memiliki senyum itu di ranjangku. Rasanya tubuhku kaku hampir seminggu tak merasakan kehangatan wanita. Aku menginginkannya.
"Kenapa tersenyum?" Tanyaku merasa aneh.
"Kamu lucu." Dia tertawa.
"Baguslah, jadi kamu tidak perlu takut lagi padaku kan?" Aku memastikan.
"Umm.. Begitulah."
Lagi-lagi senyumnya hampir menggerogoti akal sehatku. Menggugah bagian-bagian yang seharusnya terlelap untuk bangkit dan menuntut layanan. Aku ini lelaki normal yang harus menahan diri saat tinggal dengan gadis dalam satu ruang seperti ini, tapi sampai kapan?
"Uang sakumu masih ada?" Tanyaku memastikan.
"Masih, aku mau beli buku untuk persiapan tes, uangnya masih cukup." Jawabnya mantap.
"Memangnya seleksi jalur nontes sudah pengumuman? Belum kan?"
"Memang belum tapi aku persiapan saja, aku ingin mencoba semua jalur lalu memilih yang terbaik." Jelasnya antusias.
"Yah, selagi bisa dicoba kenapa tidak."
"Betul! Ternyata kita sepemikiran." Ujarnya bersemangat.
Tentu saja tidak Bocah, kita tak pernah sepemikiran. Aku hanya memikirkan tubuhmu yang hampir seminggu ini iming-iming padaku. Berkeliaran di sekitar tanpa bisa ku sentuh. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya memilikimu malam ini. Aku sangat menginginkanmu. Ah lebih baik aku mulai melupakannya, tapi dengan cara apa?
***
Elan sibuk dengan layar laptopnya di sofa tengah. Menyalakan layar televisi tanpa menengoknya sama sekali. Berkas-berkas di meja lebih mendominasi perhatiannya.
Dina melihat aktivitas Elan dari dapur. Lelaki itu terlihat serius. Pasti penat dengan pekerjaannya. Muncul ide untuk sedikit bermurah hati. Bagaimanapun Elan akan menanggung hidupnya selama empat bulan ke depan. Tak ada salahnya membuatkan secangkir kopi untuk suaminya.
"Minum ini.." Dina mengambil tempat di samping Elan yang duduk di lantai.
"Letakkan saja di situ, nanti ku minum." Jawab Elan menengok sebentar ke arah Dina, menyadari harum kopi di dekatnya.
"Kenapa tidak dikerjakan di ruang kerja?"
"Apa di sini mengganggumu?"
Dina menggeleng cepat-cepat takut Elan berprasangka buruk padanya.
"Bukan! Bukan begitu! Tumben saja."
"Biar kamu tahu, lalu membuatkanku kopi."
Dina tersenyum. Malu. Ia tahu Elan hanya bercanda tapi rasa malu tak sanggup dielaknya.
"Kalau kopinya enak, besok buatkan aku lagi."
"Kalau tidak enak?" Dina mengangkat alisnya penasaran.
"Tugasmu membelikanku kopi di gerai bawah."
"Hmm.. Tega kamu ya. Ini kopi instan, pasti enak."
Elan meletakkan berkasnya. Ia tertarik mencicipi kopi buatan Dina. Bukan karena harumnya, karena sejujurnya ia lebih suka kopi hitam. Ia tergerak segera mencicipinya karena ketulusan hati Dina membuatkan.
"Emm.." Elan menyesap kopinya.
"Bagaimana? Enak?" Dina menanti ekspresi wajah Elan.
"Kemarilah!" Perintah Elan serius, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Dina mendekat, Elan menyesap kopinya kembali.
"Emmm??"
"Kenapa lagi?" Dina semakin penasaran.
"Ternyata kopi ini lebih enak kalau menyesapnya sambil melihatmu dari dekat."
Ya Tuhan.. Elan menggombali bocah SMA. Mungkin ia sudah gila.
"Iiihhh apaan sih!"
Dina reflek memukul lengan Elan, terasa keras dan kokoh. Ia jadi teringat bagaimana lengan itu merangkulnya dengan kuat dan hangat tadi. Suasana pun mencair dengan canda tak henti mengisi ruangan. Mereka lupa masa pahit, karena mereka telah menyeduhnya dalam secangkir kopi yang nikmat.
***
Dina merasakan kantuknya mulai menyerang. Elan yang sudah membereskan berkas-berkasnya pun siap menuju ranjang. Lelah bekerja meskipun belum mengantuk.
"Mengantuk?"
"Hemm.." Jawab Dina sekenanya.
"Tidurlah, jangan lupa besok kita berangkat bersama." Elan mematikan televisi.
Dina tersenyum bahagia di tengah kantuknya. Bahagia membayangkan besok berangkat bersama Elan. Lelaki itu berdiri, mengulurkan tangan untuk membantu Dina berdiri pula dari lantai.
"Mau tidur di kamarku?" Goda Elan dengan wajah usil, tanpa berusaha melepas tangan Dina.
"Jangan bermimpi sebelum tidur!" Dina memasang wajah garang, melupakan kantuknya.
Elan tertawa. Mereka bergandengan menuju kamar masing-masing. Ada perasaan aneh di hati keduanya. Seperti tak wajar. Mereka saling berbalas pandang sebelum membuka pintu kamar yang berdampingan. Tak ada yang ingin melepaskan tangan.
"Kamu masuklah dulu.." Pinta Elan.
"Kamu dulu saja.." Balas Dina.
Keduanya tersenyum kikuk. Aneh. Lucu. Seperti ABG yang akan berpisah di depan pintu rumah pada kencan pertama.
Elan mendekat, menipiskan jarak mereka. Tangan kirinya mengusik puncak rambut Dina. Lalu merapikan poni panjangnya. Gadis mana yang tak terlena diperlakukan demikian oleh lelaki sematang Elan.
"Lepaskan tanganku, lalu masuklah.. Tidur yang nyenyak, mimpikan aku.." Pinta Elan terdengar begitu romantis.
Dina mendongak. Ia masih ingin memandang wajah teduh Elan yang begini, yang steril dari sikap angkuh, lembut dan sangat menghanyutkan.
"Bagaimana kalau aku memimpikan orang lain?"
Senyum Elan merekah. Gadis ini terlampau pandai memainkan hatinya, memaksanya untuk berkalimat lebih jelas.
"Aku akan masuk ke mimpimu lalu membunuhnya."
Dina tersenyum bangga tapi berusaha menutupinya dengan tundukan.
"Itu jahat sekali!" Dina memberanikan diri memukul dada Elan.
"Jadi kamu sudah memaafkan lelaki jahat ini atau belum?" Elan menyelipkan rambut Dina ke balik telinga.
"Emm.. Belum ku putuskan, aku tidak tahu apakah dia tulus atau tidak." Jawab Dina sembari memicingkan mata bercanda. Elan semakin menghanyutkannya.
"Pukul aku lagi seperti barusan, aku suka! Pukulan manja dari gadis garang."
Puk!
"Begini?" Tanya Dina malu-malu.
"Ya! Lagi!"
Puk!
"Lagi! Lebih cepat!" Perintah Elan yang masih saja dituruti Dina.
Puk! Puk! Puk!
Hingga pukulan terakhir jatuh, Dina kaget setengah mati saat Elan menangkup wajahnya, meneliti setiap centinya lalu berjarak detik mengecup bibirnya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Sebelum akhirnya Elan melepasnya.
"Kamu boleh menolaknya Sweety.."
Dina menelan ludahnya gugup. Tercekat. Ia belum sadar atas apa yang dilakukan Elan. Ia hanya merasa bahagia. Suka. Bibirnya membuka dan mengatup berulang kali. Mengundang tanpa ia sadari.
"Aku tidak tahan lagi Sweety!"
Elan kembali memagut bibir Dina, mengelamuti bagian luarnya yang lembut. Manis. Bibir sejuta pesona senyum itu akhirnya berhasil ia taklukkan malam ini.
Dina tak tinggal diam. Ia bukan amatir soal berciuman. Perbuatan nikmat yang kerap ia lakukan dengan pacar-pacarnya terdahulu. Ia membuka bibirnya, memberi akses bagi Elan menyapu dengan basah, lalu mengulum dua belahan merah muda itu. Tangannya pun mengalung ke leher Elan mengunci pergerakan.
Kaki Elan menggiring hingga punggung Dina menubruk pintu. Keduanya tersentak, lalu melepas tautan bibir mereka.
Elan tersenyum, Dina membalasnya. Keduanya tersenyum penuh kebahagiaan, sukacita, rela, dan menggairahkan.
Elan kembali menunduk, menggigit bibir bawah Dina dengan lembut. Membuat gadis itu mengerang pelan, semakin membangkitkan saudara kecil Elan.
"Enghmm.. Emmhh.."
Lidah Elan semakin menunjukkan kemahirannya. Menyusup ke dalam mencari lawan yang ternyata seimbang. Tanpa rasa jijik lidah Dina menyambut kedatangan pasangannya, saling tumpang tindih di dalam rongga mulut, bertukar ludah yang pekat dan hambar tapi keduanya merasa begitu manis. Keduanya aktif membelit.
Dina meremas rambut belakang Elan menikmati cumbuan. Lidah Elan mengusap hampir seluruh gigi istrinya, lalu menghisap kuat rongga mulutnya hingga tampak jelas ekspresi nikmat dengan mengadu alisnya, seraya masih meremasi pundak Elan. Semakin membangkitkan saudara kecil di bawah sana.
Elan membuka pintu kamar Dina tanpa melepas ciuman mereka. Bunyi perpaduan liur mereka pun memanaskan isi kamar. Saling menikmati.
Tangan Dina semakin aktif meremas rambut hingga tshirt Elan bergantian. Elan tak mau kalah. Sesekali ia menekan kepala Dina agar ciumannya semakin dalam.
Elan menjepit tubuh Dina di balik pintu. Melepas ciumannya lalu mengalirkan kecupannya turun. Ia mengecupi leher Dina dan dibalas pejaman mata oleh si empunya. Dina sangat menikmati, remasannya di rambut Elan pun menjadi-jadi.
Elan semakin belingsatan mendengar kala lenguhan Dina. Kecupan di leher semakin menjelajah, berubah menjadi hisapan yang menghasilkan warna merah. Dina semakin tak tahan saat tangan Elan mengusap pahanya. Ada getaran-getaran luar biasa yang membuatnya lupa.
Aku sudah gila! Aku gila! Aku menikmati cumbuan lelaki ini, ah ini nikmat sekali..
Aku mendapatkanmu Sweety, kamu akan bertekuk lutut padaku malam ini..
***
vote komentarnya ditunggu ya say
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
"Bagimu, aku ini apa?" Tanya Dina serius. Elan menghentikan aktivitas mesumnya. Melepaskan ciumannya di leher Dina, mengendurkan kecepatannya dalam meremas. Ia tersenyum, menjatuhkan pandangan jauh ke pegunungan sebagaimana Dina. "Apa itu penting?" "Tentu saja.. Seorang gadis yang sudah diperlakukan sepertiku patut bertanya, kenapa seorang lelaki memperlakukannya demikian. Hanya nafsu? Atau pelampiasan?" "Aku sedang nafsu ingin menjilatmu tapi tidak bisa." Jawab Elan sambil terkekeh. "Itu bukan jawaban yang ku harapkan." Dina mengangguk kecewa. "Kamu mengalihkan pembicaraan dan.. Ah sudahlah.." Dina menekuk wajahnya, menelan kepahitan. Mungkin ia terlalu berharap. Tidak pernah ada yang spesial di mata Elan tentang siapa dirinya. Ia menyingkirkan kedua tangan Elan dari dadanya. Memasukkan kembali dua bola dadanya ke dalam. Mengancing seragamnya cepat, lalu melepas jas Elan dari bagian depan tubuhnya. "Aku ke toilet dulu,
"Kak Elan.." Suara Dina serak sarat gairah. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Elan merasa selangkangannya sangat ketat, tapi gerakan mata Dina yang ragu menyadarkannya akan sesuatu. Ia menarik diri dari tubuh istrinya. Rebah di ranjang mengatur nafas. "Kita baca dongeng saja.." Elan terkekeh sok tenang. Dina menemukan area sensitif Elan menggembung, pertanda lelaki itu sedang sangat menginginkannya. Ia tidak siap, tidak mau, lebih tepatnya belum yakin. Meskipun semenit lalu ia sempat pasrah jika Elan berniat menggaulinya. Dina duduk, mengatur nafasnya pula. Ia tak bisa terus-terusan begini. Berada di sisi Elan akan membuat lelaki itu tersiksa oleh nafsunya yang tidak tuntas. Ia tak mau menyiksa suaminya sementara sudah berkali-kali Elan memuaskannya. "Aku akan tidur di kamar lain.." Dina beringsut. Gadis itu segera menarik diri dari sisi Elan, tak mau keadaan kembali panas. Ia tak ingin Elan merasa diberi harapan palsu. Namun seke
Sayang. Elan memanggilnya dengan sebutan yang baru. Biasa memang bagi pasangan lain, tapi bagi Dina, sepanjang usia pernikahan drama mereka yang belum genap dua bulan, panggilan itu tak ubahnya oase. Sebuah kesegaran yang menyejukkan. "Kenapa? Tidak suka ku panggil begitu?" Dina perlahan mengembangkan senyumnya. Ia tak mau terlihat begitu girang. Cukup seperlunya agar tidak memalukan. Ini membahagiakan tapi tak untuk dirayakan. "Kenapa harus tidak suka, hanya sebuah panggilan.." Jawab Dina santai. Elan membelai rambut Dina yang kini rebah di atas dadanya. Ia bisa merasakan dada kenyal Dina tergencet tubuhnya. Hangat mengundang jamahan. "Sayang.. Turun ya.. Takut ada yang bangun." Pinta Elan terdengar menahan sesuatu. Dina mendongak, tersenyum jahil. Ini saatnya menjajal kemampuan dan hasrat yang terpendam. Jika Arya pernah menerimanya, mengapa Elan tidak? Ia mendongak untuk memastikan wajah Elan, dengan seringai mengundang mena
Suasana kamar Elan memanas. Serangan cahaya matahari menyorot tubuh ramping yang telungkup di ranjangnya. Tubuh yang sedang pasrah dilanda gairah dan kebasahan di sekujur tubuhnya. Tautan bibir di meja sarapan mereka berlanjut di ranjang. Sepanjang perjalanan dari meja makan ke kamar, Elan memereteli seluruh pakaian yang membalut tubuh Dina hingga tercecer. Sebaliknya Dina membuka jas danseluruh kancing kemeja Elan tanpa melepas pagutan mereka. Bibir mereka terlihat saling menggigit tak sabar, mencucup, menghisap, membelit satu sama lain seolah tak ada hari esok. Sesampainya di kamar Elan, Dina merebahkan tubuhnya di tengah-tengah ranjang. Berpose seksi dengan membuka kaki lalu mengelus perut hingga dadanya sendiri. Birahi Elan mencapai level maksimal menyaksikan Dina di hadapannya yang masih berdiri bertingkah seerotis itu. Ia segera merangkak mengambil posisi di atas tubuh istrinya. Dina segera melepas kaitan celana Elan, membuka ritsl