Share

Bab 7

Bab 7

Kemudian, ia membuang ikat pinggangnya. Lalu bertanya padaku. "Sudah berapa tahun kita kenal?" tanyanya sinis.

Aku tak kuat dengan tatapannya, takut bercampur gemetar, sebab ia tidak pernah marah terhadapku, ini kali pertamanya ia menyorotiku seperti itu.

Kupeluk tubuh kekarnya, agar reda amarahnya. Meskipun ia belum cerita apa yang membuatnya marah.

"Kita sudah menikah sekitar dua tahun, tanpa pacaran, dan baru kali ini aku melihatmu marah tak terkendali, ada apa, Sayang?" Aku balik bertanya di pelukannya.

Mas Taka melepaskan pelukan, lalu mengajakku duduk. Namun, tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar.

"Assalamualaikum." Salam pun menyertai setelah ketukan pintu terdengar.

"Waalaikumsalam," jawab kami berdua.

"Sebentar, Mas. Aku buka pintu dulu," ucapku.

"Ya sudah, aku mandi dulu," jawabnya masih dengan nada datar, lalu aku bergegas membuka pintu.

Aku buka pintu lebar-lebar, dan ternyata Bu Sonia dan Pak Riko, selaku pengurus RT di Cluster ini. Aku tersenyum lalu mempersilakan ia duduk. Namun, mereka menolak dan mengutarakan maksud kedatangannya.

"Saya hanya ingin mengundang Pak Taka dan Bu Diana rapat di rumah saya," ucapnya membuatku menarik bibir ini sebelah. Rapat apa yang membuat suami istri harus datang?

"Emm, suami saya baru pulang, Pak. Pasti capek," jawabku menolak. Lagi pula kami memang tidak pernah ikut acara apa-apa di RT sini. Biasanya jika rapat tidak ikut pun tak jadi masalah.

"Nggak sekarang kok, kami tunggu ba'da isya," jawab Pak Taka. "Kalau gitu, kami permisi, Bu Diana, kami tunggu kehadirannya," sambungnya lagi.

Aku pun mengangguk dan mengantarkan mereka ke depan. Kemudian, mereka pun memastikan kembali untuk datang, dan untuk kali ini kami diwajibkan datang. Aku pun hanya mengangguk, mengindahkan segala ucapannya agar mereka cepat pulang.

Setelah mereka pergi, aku segera meletakkan patung manekin yang Mas Taka beli di gudang. Entahlah, tujuannya apa membeli patung yang biasanya digunakan untuk penjual pakaian.

Mas Taka sudah selesai mandi, ia sudah rapi mengenakan kaos merah, celana jeans panjang. 

"Patung tadi ditaruh mana?" tanyanya ketika melihat patung manekin tak ada di tempatnya. Bola matanya mengelilingi seisi ruangan seraya mencari patung itu.

"Aku pindahin, kenapa?" tanyaku menyelidik. Sebab, aku pikir hanya patung, kenapa dicari-cari?

"Itu patung pesanan Amira, ia mau buka butik, aku investornya," tuturnya membuatku marah. Bisa-bisanya ia melakukan investasi tanpa sepengetahuan istri.

"Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Mas. Buka butik itu modal besar loh, kok bisa kamu investasi tanpa sepengetahuan aku!" cecarku dengan sedikit meninggi.

"Ini murni urusan bisnis, tidak sengaja meeting bareng, dan Amira berencana buka butik, ya aku dan dua teman pun ikut mendorongnya dong," terang Mas Taka. Kini, darahku mulai mendidih, bisa-bisanya ia bicara seperti itu padaku.

"Loh, kamu kan meeting urusan kantor, kok bisa ngobrol urusan lain?" tanyaku lagi.

"Ya, kami ngobrol urusan lain, selama masih bicarakan bisnis, kenapa nggak? Toh uangnya nanti untuk kamu juga, iya kan? Bukankah kamu hanya butuh uangku?" Kini gantian ia yang menyecarku. Kenapa Mas Taka bicara seperti itu? Apa ia tahu bahwa aku tidak tulus mencintainya.

"Apaan sih, Mas. Jadi ngaco, sudahlah, aku mau mandi, ada undangan tuh dari RT, ba'da isya suruh ke rumahnya," tuturku sambil berlalu pergi darinya.

Kemudian, aku mandi dan menyiapkan makan malam siap saji. Mas Taka pun duduk di hadapanku, kami makan tapi masih dingin karena ribut kecil tadi.

"Kalungmu ke mana?" tanya Mas Taka sambil mengunyah. 

"Putus," jawabku singkat tanpa melihat ke arahnya. Biasanya jika aku merajuk seperti ini, Mas Taka merayuku dengan menggenggam tangan. Namun, kutunggu hingga makan malam habis, ia tak kunjung membujukku.

'Seharusnya sudah tahu kalung istrinya putus, diganti dengan yang baru, bukan hanya mengangguk saja.' Aku gerutu di dalam hati.

Kemudian, adzan isya telah berkumandang, ia bergegas wudhu, lalu berangkat ke mushola. Aku menunggunya di rumah, untuk mempersiapkan rapat RT yang akan kami hadiri.

Malam ini Mas Reno tidak chat aku, tumben sekali, sepertinya ada Amira juga di rumah, atau sama denganku ribut kecil karena kebohongannya. Baru saja aku ingat namanya, ia sudah mengirimkan pesan.

[Diundang rapat nggak?] Aku langsung membalas.

[Ya, sama. Tadi kamu tanya nggak kenapa Amira bohong mau ke luar kota? Istrimu sudah pulang, kan?]

[Iya, Amira pulang setelah maghrib. Ia bilang salah jadwal, dan selesai, tadinya mau bahas masalah suamimu juga, tapi aku pikir-pikir lagi, kalau tanya soal dia dan Taka, itu artinya membuka aib kita sendiri. Bayangkan kalau dia tanya tahu dari mana? Sedangkan video itu, kamu yang dikirim flashdisk, bukan aku.]

Benar juga ucapan Mas Reno. Apa Mas Taka sengaja mengirimkan itu padaku?

Aku buru-buru hapus pesannya. Sebab, Mas Taka sudah pulang dari musholla. Kemudian, ia bersiap untuk ke rumah RT.

Kemudian, kami berdua jalan kaki menuju rumah RT. Mas Taka tidak mau digandeng olehku, katanya malu jika dilihat orang. Padahal kami adalah pasangan halal, bukan pasangan haram.

Setibanya di rumah Bu Sonia, aku lihat rumahnya sepi, tidak ada orang, dan kursi plastik yang biasanya digunakan untuk rapat pun tidak ada.

Pak Riko mempersilakan kami masuk, lalu kami berdua duduk di ruang tamunya. Bu Sonia pun menyuguhkan minuman dengan mimik muka sopan sambil menyapa.

Hening, kami duduk berhadapan dengan Pak Riko tanpa ada yang memulai duluan bicara. "Maaf, Pak. Ini rapat kok belum pada datang?" tanyaku terpaksa mulai. Sebab, rumahnya sepi tak ada tanda-tanda akan ada rapat. 

"Sebentar ya, Bu. Sebentar lagi mulai," jawabnya. Tidak lama kemudian, ada suara hentakan kaki dan suara bunyi gerbang terdengar dari depan. "Nah, kan itu sudah datang," jawabnya sambil keluar. 

Kami berdua berdiri, menyambut hadirin yang datang. Mungkin sudah pada buat janji jadi datang bersama-sama ke sini.

Tidak lama kemudian, muncul Mas Taka dan Amira. "Assalamualaikum," ucap mereka. Wajah Amira yang sendu pun melontarkan senyuman ke hadapanku dan Mas Taka.

"Waalaikumsalam," jawab kami pelan. "Cuma berdua? Kirain bareng warga yang lain," cetusku agak sedikit judes. Aku sorot wajah Amira dan kutatap dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ini pertama kalinya melihat ia berubah penampilan, rambutnya dipotong sebahu dan terlihat jatuh lurus, tidak seperti biasanya yang ikal hanya diikat kunciran.

"Nggak, Bu Diana. Rapat kali ini hanya Bu Diana, Pak Taka, Bu Amira, dan Pak Reno. Kami akan menyidang kalian," papar Pak Riko membuatku tercengang. Sidang apa maksudnya?

Mataku dan Mas Reno saling beradu seketika, jelas kami panik, pasangan kami berada di rumah RT, dan dia bilang mau menyidang kami. Apa maksudnya?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status