Suasana di tepi pantai saat matahari mulai surut sangat disukai semua orang. Bahkan, banyak sekali syair-syair lahir mendeskripsikan perihal senja. Bagaimana cahaya kemerahan itu terlihat sangat indah saat bergradasi dengan langit dan awan, bagaimana indahnya kala matahari turun perlahan seolah-olah tenggelam ke dalam lautan. Meski telah hilang, cahayanya masih tetap tinggal seakan menjanjikan esok akan datang kembali. Baik rawi, candra, dan swastamita memang selalu hadir meski tak tepat waktu mereka tak pernah ingkar janji.Sepoi angin laut juga dinikmati Rinai. Dia tak tahu apa yang membuat langkahnya sampai di sana. Dia hanya menyetop taksi dan meminta sang sopir berputar-putar. Saat melewati pantai, Rinai memilih untuk turun. Mungkin melihat ombak yang berkejar-kejar ke tepian atau pesona swasmitalah yang menariknya. Berkali-kali dia mengembuskan napas, berharap bisa mengurangi sedikit sesak di dada. Nyatanya, justru perih yang kian menikam. Bayangan Kenshi saat melamarnya melint
Bibir Kusuma terus saja mengulas senyum kala melihat album lama yang tak sengaja dia temukan saat membersihkan ruang baca. Di sana foto-foto Riyad dan Kenshi bertebaran lengkap dengan hari, bulan, dan tahun. Kusuma memang sedetail itu mengarsipkan sesuatu. Dia tak ingin setiap moment berlalu begitu saja. Mungkin nanti dia tak ada lagi untuk menceritakan betapa lucu dan menggemaskan kedua putranya itu. Tetapi, gambar-gambar tersebut bisa lebih menerangkan bagaimana bahagianya Kusuma memiliki mereka."Mama dicariin malah ngumpet di sini." Kenshi mendekati sang Mama yang tersenyum ke arahnya. "Mama lagi liatin foto-foto kamu dan Riyad. Liat, deh, kalian berdua itu lucu banget. Tetangga itu sampe rebutan gendong kalian.""Siapa dulu dong Mamanya." Kenshi ikut melihat foto-foto tersebut. "Beda banget, ya, Ma aku sama Riyad. Dia putih bersih, aku sawo matang. Riyad kek orang Arab, aku Indo. Tetangga enggak pada nanyain, ya?"Kusuma mengelus bahu tegap sang putra. "Beda itu biasa. Lagian me
Rinai tersenyum ketika melihat bayi cantik berkulit putih itu menggeliat. Walau sudah dipakaikan bedung dengan kuat, tetap saja dia bisa melepaskan tangannya. Wanita itu mengusap pipi sang bayi dengan lembut saat bibir bayi tersebut bergerak hendak mencari sesuatu. Rinai sengaja membiarkan makhluk mungil itu merengek. Dia suka mendengar tangisan bayi, rasanya suara itu mampu mencairkan hatinya yang membeku. Rengekan bayi tersebut berhenti saat Rinai menyodor dot berisi susu formula. Dengan penuh kasih sayang dia menggendong sang bayi, lalu meninabobokannya. Sepertinya bayi tersebut memang sangat kehausan, hanya beberapa menit susu itu tandas dari botolnya. Tak lama bayi itu pun kembali tertidur pulas.Semua gerakan Rinai tak lepas dari mata Irene. Harus dia akui jika mantan menantunya itu sangat telaten dan lembut. Anindya--putri Reinart dan Amanda--tidak lagi rewel seperti beberapa hari yang lalu. Dia sampai kebingungan bagaimana menenangkan tangis sang cucu. Kemudian, nama Rinai te
Rinai tersenyum membayangkan raut Irene saat mengajukan syarat agar pernikahan dengan Reinart kembali disambung. Dia wanita yang sama, tetapi dengan pribadi lebih kuat. Jika selama ini dia hanya diam dengan perlakuan yang tak adil, bukan berarti dia lemah. Hanya saja Rinai tak ingin berkonfrontasi lebih dalam dengan orang-orang yang tidak menghargai dirinya. Hanya orang bodoh yang berdebat dengan orang bodoh lainnya. Meski berbicara hingga mulut berbusa, tetap saja kebenaran akan kalah."Rin, apa benar yang dikatakan Mama?"Rinai baru saja selesai melipat pakaian serta selimut Anandya, menoleh saat Reinart datang menemui di kamar bayi. "Emang Mama Irene bilang apa?" jawabnya acuh tak acuh."Kamu meminta syarat agar mau menikah denganku.""Memangnya itu salah?" Rinai balik bertanya menantang sorot Reinart yang sepertinya tidak senang dengan tindakannya."Ada apa denganmu? Setahuku kamu bukan wanita gila harta. Saat kita berpisah pun kamu menolak kompensasi yang kuberi. Lalu kenapa seka
Kenshi tak tahu berapa lama dia menghabiskan waktu duduk di balkon kamar. Bayangan Reinart menyentuh bahu Rinai membuat dadanya terasa panas. Seolah-olah api sedang berkobar di sana. Dia tak mengerti mengapa harus seperti itu. Bukankah Rinai bukan siapa-siapa baginya? Lalu mengapa ada ngilu yang menikam dada kala bayangan itu melintas di benaknya. Semakin dia ingin mengenyahkan, semakin lekat di ingatan.Banyak tanya berbondong-bondong bertamu ke kepalanya. Ada hubungan apa keduanya? Apa mereka memutuskan untuk rujuk? Tapi, bukankah Reinart telah menikah. Dan wanita yang dinikahinya bukan wanita sembarangan. Keluarganya memiliki kekuasaan yang cukup besar. Apa pria itu rela melepas sang istri atau malah menjadikan Rinai sebagai istri kedua?Segala prasangka silih berganti bermain di benak Kenshi. Dia tak rela jika Rinai jatuh kembali ke pelukan pria itu. Dia tak mengerti jalan pikiran sang wanita. Mengapa mengambil resiko kembali pada pria yang pernah mengkhianati? Begitu besarkah cin
Kenshi hampir tak ingat waktu memperhatikan bangunan di hadapan. Rumah bercat putih yang dikelilingi pagar besi tersebut masih terlihat gelap. Hanya lampu teras yang mungkin sengaja dinyalakan saat sang pemilik pergi, agar rumah tak terlalu menakutkan. Dua buah pohon jambu klutuk yang mulai berbunga dan berdaun rimbun, membuat orang-orang mengira rumah itu tempat makhluk astral bermukim.Memang, Rinai yang memilih tinggal di sana berkali-kali diingatkan bahwa rumah itu memiliki kisah mistis. Namun, wanita itu mengabaikannya karena hanya rumah tersebut yang disewakan dengan harga sangat murah. Sebuah kisah kelam dan berdarah membuat orang-orang mengira ruh-ruh yang penasaran masih bergentayangan di sana.Kenshi juga mendengar hal tersebut saat membayar seseorang menyelidiki keberadaan Rinai. Harusnya dia melakukan ini sejak tiga bulan yang lalu. Harusnya kala Rinai pergi dari rumahnya dia segera bertindak, tapi bimbang membuat keraguan menyelimuti hatinya. Dia benci pada sikapnya sendi
Kenshi benar-benar kehilangan suaranya kala melihat reaksi Rinai yang begitu dingin. Wanita itu bahkan meletakkan buket bunga mawar yang dia beli di atas meja begitu saja. Tadinya pria itu berharap sang wanita akan tersenyum sambil menatap bunga itu takjub, lalu menciumi bunga itu dengan penuh perasaan, kemudian menghambur ke pelukannya. Kenshi tersenyum geli dengan ekspetasi liarnya. Mana mungkin seorang Rinai akan melakukan hal seperti itu. Saat masih serumah saja wanita itu selalu menjaga jarak. Jika bukan dirinya yang menyentuh, Rinai tak akan memulai, kecuali berkenaan dengan tugasnya.Rinai pun bersikap sama. Walau terlihat acuh tak acuh, sebenarnya jantungnya tengah berdegup kencang. Kedatangan Kenshi tanpa rencana berhasil menggetarkan hatinya. Apalagi setelah hampir beberapa bulan tak bertemu, membuat sang pria terlihat lebih ganteng. Rinai memukul kepalanya pelan, bagaimana di saat seperti ini dia memperhatikan wajah Kenshi. 'Sungguh tak berkelas kamu, Rin!' Suara di kepal
Desau angin terdengar berisik mengusik dahan-dahan pohon jambu di depan rumah Rinai. Wanita itu merapatkan resleting jaket berbahan kaos yang melekat di tubuhnya karena udara dingin yang masuk melalui kisi-kisi jendela mulai menusuk kulit. Sejak semalam Rinai tak mendapat lena dalam tidurnya. Sepanjang malam pikirannya berkelana, mengggali kenangan masa silam. Kala dia masih bersama Reinart. Rumah tangga yang disangka akan abadi hingga menua, runtuh hanya dalam hitungan tahun saja, tapi luka cukup dalam tertoreh. Kemudian sosok Kenshi hadir. Rinai tak pernah mengira jika pria itu diam-diam mampu menembus benteng yang dia bangun tinggi. Rasa tak percaya pada cinta membuatnya mematikan rasa. Namun, sang pria menjungkir-balikan keyakinannya hingga tanpa sadar dia membuka hati dan membiarkan pria tersebut melenggang masuk.Dan sekarang Rinai kembali goyah. Setelah dia memutuskan menjauh, mengapa kini Kenshi datang lagi? Apa pria itu tak tahu betapa sulitnya dia bangkit dari patah hati. Ri