"Saya sangat percaya pada dokter, karna itu memilih rumah sakit ini untuk melakukan tes tersebut," ujar Kenshi kepada dokter Gunawan. Saat ini keduanya duduk di dalam ruangan sang dokter."Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Ken. Rumah sakit kami sangat berkompeten, hingga tidak membiarkan kesalahan terjadi. Apalagi untuk hal sepenting ini."Kenshi mengangguk seraya tersenyum kepada dokter Gunawan. Dua hari yang lalu dia mendatangi klinik di mana dokter tersebut membuka praktiknya. Di sana dia berkonsultasi mengenai tes DNA yang hendak dia lakukan. Kenshi tak bisa terus-menerus bermain dengan pikirannya, tak bisa terus berharap jika yang dikatakan Irene adalah sebuah kebohongan. Dia ingin memperjelas semuanya agar tahu bagaimana harus bersikap."Apa Anda sudah mengabari Pak Reinart?" tanya dokter Gunawan menyadarkan lamunan Kenshi yang sempat singgah sesaat."Sudah, kemarin saya menghubunginya, mungkin sebentar lagi." Kenshi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dia
Rinai berjalan dengan tergesa-gesa setelah keluar dari lift yang membawanya naik ke lantai tujuh, di mana Kenshi berkantor. Sang sekretaris yang melihat kedatangan Rinai menggangguk sambil tersenyum."Pak Kenshi ada?" tanya Rinai, dia menunjuk pintu coklat yang bertuliskan CEO."Ada, Buk. Bapak baru saja selesai meeting."Rinai menggangguk sambil tersenyum. "Baiklah, makasih. Saya masuk dulu." Rinai mengetuk pintu besar itu beberapa kali, setelah mendengar jawaban dari dalam, wanita itu menekan gagang pintu ke bawah, lalu mendorong ke arah dalam. Aroma apel segera menusuk hidung Rinai kala masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna serba putih tersebut. Ruangan itu lebih banyak dipasangi kaca hingga cahaya masuk lebih banyak. Satu set sofa berwarna hitam diletakkan di sisi sebelah kanan Rinai. Bila duduk di sana, kita bisa melihat pemandangan taman kota yang ramai dikunjungi saat akhir pekan.Di sebelah kiri Rinai, satu buah lemari besar diletakkan seperti menempel ke dinding. Di s
Rinai terlihat gusar. Beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Kenshi tapi selalu ditolak. Dia mencoba menelepon pria itu lagi, namun kali ini justru operator yang menjawab. Wanita itu menatap ponselnya nanar. Benaknya bertanya-tanya ada apa dengan pria itu? Sikap dia sangat berbeda sejak pulang dari rumah Irene tiga minggu yang lalu. Pria itu seolah-olah sedang membentangkan jarak dengannya dan itu menyakiti dirinya. Wanita itu mencoba menggali ingatan apa dia telah melakukan kesalahan hingga Kenshi berubah drastis seperti itu? Makin dia keruk ingatan itu, makin tak ditemukan masalah di antara mereka.Apalagi saat mengetahui Kenshi membatalkan semua yang sudah mereka sewa. Mulai dari gedung, sampai katering. Meski pria itu sudah menjelaskan, tapi tak masuk akal bagi Rinai. Ada sesuatu yang pria itu sembunyikan, entah apa. Dia tak bisa menebak atau mengasumsikan apa pun, karena memang tak ada yang salah dengan hubungan mereka. Malah pikiran-pikiran buruk berkembang liar di benak w
"Nai, maafkan aku melibatkanmu dalam masalahku," ucap Kenshi seraya menerima handuk yang telah direndam air hangat. Dia menempelkan ke pipinya yang ditampar Rinai. Jika satu tamparan saja tak apa, tapi dia juga mendapat tamparan dari Nailah. Wanita itu kesal karena membiarkan kesalahpahaman terjadi antara dirinya dan Rinai. Padahal Nailah hanya ingin berpamitan pada Kenshi. Dia ingin pindah ke kota asalnya dan memulai hidup baru di sana. Sebelumnya Nailah telah membicarakan hal itu kepada Kusuma. Mertuanya itu meloloskan keinginan sang wanita, dia juga memberikan separuh harta yang menjadi hak Nailah, separuhnya lagi akan diberikan saat putrinya dengan almarhum Riyad dewasa. Namun, hal itu bukan prioritas bagi Nailah. Setelah melihat keseriusan Kenshi, dia mulai menyadari kesalahannya, mulai memperbaiki diri menjadi lebih baik. Dia sadar, cinta tak bisa dipaksakan, apalagi dia mengejar Kenshi hanya karena takut kehilangan harta dan hidup menderita. Ternyata, melepas semua ketakutan
Perlahan kelopak mata Rinai terbuka. Warna putih yang menjadi cat langit-langit kamar menjadi benda pertama yang dilihatnya. Bau antiseptik yang menusuk menembus lubang hidung wanita itu, membuat dia menyadari sedang berada di rumah sakit. Rinai mengerjapkan matanya sembari mengingat kenapa bisa berada di tempat itu. Sebuah tabrakan, teriakan. Dia meringis saat mencoba menggerakkan kepalanya, meraba bagian yang terasa sakit. Dia merasakan kepalanya diperban, tangannya menurun ke bagian leher. Pantas saja terasa sangat kaku, sebuah penyangga dipasang di sana agar bagian itu tak bergeser."Kamu sudah bangun?" Sebuah suara masuk ke gendang telinga Rinai. Untungnya dia familiar dengan suara tersebut, hingga tak perlu menoleh."Bagaimana aku bisa ada di sini?" Rinai menatap Reinart yang telah berdiri di sampingnya. Reinart tak menjawab. Dia meletakkan bungkusan yang dia bawa. Memegang kepala Rinai dengan pelan dan menelisik wajah wanita itu."Rei ...." Rinai memanggil lirih. Dia jengah d
Rinai menepis pelan tangan Reinart yang hendak memegang pinggangnya. Wanita itu memilih berjalan sendiri meski pelan. Dia tak peduli bagaimana tanggapan pria tersebut padanya. Dia tak ingin dikasihani, cukup sudah hinaan yang dia terima selama ini. Kelembutan serta belas kasihnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang dia percaya. Rupanya, menjadi orang baik itu tak berguna sama sekali. Sebanyak apa pun dia menanam kebaikan, tetap saja buruk di mata orang lain. Reinart mengembuskan napas pelan melihat penolakan Rinai. Dia mengekori wanita itu dari belakang, berjaga-jaga jika membutuhkan bantuannya. Hatinya tersentuh melihat punggung Rinai yang terlihat rapuh. Melihat wanita itu berupaya sendiri berjalan, meski 'gips' masih terpasang di kaki kanannya, membuat pria itu tersenyum kecut.Sebuah tamparan halus menyentuh hati Reinart. Selama menjadi istrinya, Rinai sama sekali tak pernah mengeluh. Wanita itu selalu melakukan kewajibannya dengan sangat baik, melayaninya sepenuh hati. Bahkan, sa
Reinart mengetuk pintu kontrakan Rinai beberapa kali. Hampir satu bulan wanita itu tak berkabar dengannya. Dia benar-benar menutup diri tak bertemu siapa pun. Bahkan, makanan yang dikirim Reinart melalui aplikasi online tak satu pun diterima Rinai. Reinart cemas Rinai melakukan sesuatu yang berbahaya. Meski dia tahu wanita itu tak akan pernah berbuat nekad, tapi bisa saja bila kesedihan yang terlalu dalam, membutakan mata hatinya."Rin, buka pintunya atau aku dobrak!" seru Reinart sambil mengetuk pintu lebih keras. Dia benar-benar akan melakukannya jika wanita itu masih juga keras kepala.Reinart ingin berteriak lagi, tapi dia mengurungkan niatnya saat mendengar langkah kaki dari dalam rumah. Perlahan pintu rumah Rinai terbuka dan menampilkan sosok wanita tersebut."Ada apa?" Rinai bertanya dengan nada dingin pun wajahnya, tak terlihat emosi di sana.Reinart tersenyum lega. "Syukurlah, aku pikir kamu kenapa-napa. Kamu enggak jawab satu pun pesanku. Aku mencemaskanmu, Rin."Rinai mema
Rinai tersenyum betapa antusiasnya Anindya malam ini. Pasar malam yang digelar setiap akhir bulan ini memang sangat meriah. Lampu warna-warni digantung di sepanjang lapangan. Aneka permainan juga digelar di sana. Seperti, menangkap ikan menggunakan jaring kecil, melempar gelang, menembak sasaran di papan, permainan bianglala, kuda-kudaan, dan masih banyak lagi. Penjual makanan pun juga tak mau kalah memeriahkan pasar malam tersebut. Mereka menggelar dagangannya di pinggir lapangan yang dipasangi lampu dengan voltase besar. Ada mainan, baju kaos yang bisa dicetak nama, dan makanan. Penjual yang sering diserbu adalah penjual gulali. Makanan yang terbuat dari gula pasir dan pewarna itu, masih menjadi favorit anak-anak. Bahkan, tak jarang orang dewasa juga menyukainya. Rasanya yang manis dan warna menarik, membuat ingin makan terus dan terus.Rinai menurunkan Anindya yang memerosotkan tubuhnya ke bawah. Begitu kaki kecilnya menyentuh tanah, batita itu segera berlari ke arah kolam kecil