Share

RInai (Cinta Tak Sesakit Ini)
RInai (Cinta Tak Sesakit Ini)
Penulis: Maheera

Tega

Rinai membaca lagi tulisan di secarik kertas untuk meyakinkan jika alamat yang didapat dari agenda Reinart tidak salah. Wanita berkulit kuning langsat itu menghela napas pelan setelah memasukkan kertas tadi ke dalam tas yang terlihat usang. Dia melangkah menaiki tangga menuju lobi perusahaan tempat sang suami bekerja.

Sejak tiga bulan yang lalu Reinart tak pernah lagi pulang ke rumah. Memang mereka terpisah karena pekerjaan sang suami yang berada di kota berbeda dengan tempat tinggal mereka. Jarak puluhan kilo meter membuat waktu sang pria lebih banyak terbuang di jalan. Oleh karena itu, mereka sepakat hanya bertemu setiap akhir pekan saja.

Awalnya semua baik-baik saja. Rutinitas itu berlangsung selama satu tahun. Namun, tiga bulan setelahnya Reinart hanya pulang setiap dua atau tiga minggu sekali. Dia beralasan jika pekerjaan di kantor semakin menumpuk hingga mengakibatkan dia sering mendapat jatah lembur.

Rinai tak pernah menanam pikiran buruk terhadap sang suami. Baginya, kepercayaan adalah modal utama dalam sebuah pernikahan, apalagi kondisi keduanya yang terpisah jarak dan waktu. Akan tetapi, perubahan yang ditunjukkan Reinart semakin kentara. Pria itu tidak pernah lagi pulang menemui Rinai. Komunikasi melalui ponsel tidak lagi sehangat biasanya. Sang pria selalu ingin terburu-buru menyudahi obrolam mereka, seolah-olah enggan berlama-lama dengan sang istri. Padahal rindu di dada Rinai belumlah tuntas.

Mau tidak mau resah mulai bertandang ke dada wanita bertubuh tinggi semampai tersebut. Setan mulai meniupkan hasutan-hasutan ke hatinya, meski Rinai telah berusaha keras menepisnya, tetap saja prasangka itu melekat erat di benak. Semua kejanggalan sejak mereka menikah mulai berputar di benaknya seperti sebuah kaset.

Sejak menikah setahun yang lalu, Reinart hanya sekali membawanya ke rumah sang mertua. Rinai bukanlah orang baru di lingkungan keluarga Darmawangsa. Dia sudah sangat akrab dengan kedua orang tua sang pria. Nyonya Irene Darmawangsa sudah seperti ibu bagi Rinai. Begitu pun wanita itu bagi sang nyonya.

Reinart dan Rinai yang telah bersahabat sejak kecil, selalu bersama. Sampai ada ungkapan, 'di mana ada Rinai di situ Reinart berada.' Persahabatan keduanya berlanjut hingga dewasa. Bahkan, saat sang sahabat melamarnya, Rinai langsung menerima tanpa berpikir apakah ada cinta di antara mereka. Dia nyaman dan merasa terlindungi dengan keberadaan sang pria, hingga rasanya tak memerlukan orang lain sebagai pelindung.

Namun, rencana pernikahan keduanya ditolak Ibunda Reinart. Dia merasa Rinai memang wanita yang sangat baik, tetapi tak cukup pantas menjadi menantu dan menyandang nama Darmawangsa. Penolakan itu menghancurkan hati Rinai. Dia segera meminta Reinart membatalkan rencana pernikahan mereka. Akan tetapi, pria itu bersikeras jika mampu meluluhkan hati sang ibu.

Pernikahan itu terjadi di kampung halaman Rinai tanpa kehadiran Irene Darmawangsa. Akan tetapi, kesakralan itu tetap terasa saat Reinart mengucapkan akad nikah dalam satu kali embusan napas. Rinai menangis haru. Dia tak mengira jika melepas masa lajangnya dengan pria yang memang telah menemani separuh umurnya.

"Mbak maaf, apa Pak Reinart Darmawangsa bekerja di sini?" Rinai bertanya pada seorang recepsionis.

"Betul, Mbak. Baru aja beliau keluar dengan Buk Amanda." Sang recepsionis menunjuk ke arah pintu keluar.

Rinai mengikuti arah yang ditunjuk oleh recepsinis tersebut. Seketika dada wanita berambut panjang bergelombang itu seperti terbakar melihat sang suami menggamit pinggang seorang wanita sambil berjalan ke luar. Gegas dia mengikuti dari belakang. Namun, kedua orang itu telah menghilang masuk ke dalam mobil. Tak mau kehilangan jejak, Rinai menyetop sebuah taksi yang sedang melintas dan meminta sang sopir untuk mengikuti mobil di depannya.

Sepanjang perjalanan benak Rinai sesak dengan pertanyaan. Siapa wanita itu dan apa hubungan keduanya? Tanpa sadar air mata menitik di pipi putih wanita bermata bulat itu. Sebuah pemahaman masuk ke kepalanya. Apakah sang suami telah mengkhianatinya?

"Sudah sampai, Buk." Suara sang sopir taksi mengembalikan kesadaran Rinai. Dia menatap ke depan dan melihat mobil yang dikendarai Reinart berhenti beberapa meter di depannya. Setelah membayar sesuai argo yang tertera, wanita tersebut bergegas keluar.

Lagi-lagi Rinai merasakan belati menghunjam jantungnya, saat melihat kedua orang itu masuk ke dalam restoran favorit mereka dulu. Dia sengaja duduk di tempat tersembunyi dari pandangan sang suami, tetapi cukup jelas melihat interaksi keduanya. Senyum dan tawa Reinart lepas saat bersama wanita yang bernama Amanda.

Sekitar satu jam kemudian, keduanya beranjak pergi. Rinai dengan sabar mengikuti dengan ojek yang tak jauh mangkal dari restoran. Dia ingin tahu seberapa jauh hubungan keduanya. Lagi-lagi Reinart mengemudikan mobilnya. Rinai mengira mereka kembali ke kantor. Namun, dugaannya salah saat arah yang ditempuh berlawanan. Wanita itu semakin terpukul saat menyadari dia berada di depan hotel yang megah. Meski kakinya gemetar, dia tetap melangkah. Wanita itu mencoba meredam pikiran negatif perihal sang suami, tetapi hatinya menolak dan terus saja merintih perih.

Rinai mengikuti pelan-pelan. Dia tak mau kehilangan jejak Reinart. Dia memikirkan cara bagaimana masuk ke dalam lift tanpa diketahui oleh si lelaki. Untung saja ke mana-mana wanita itu membawa scraf  dan masker. Dia melilitkan benda segi empat itu ke kepala sehingga menyerupai tudung, lalu memakai masker.

Nasib baik memayungi Rinai. Di depan lift ramai orang-orang berkumpul. Sehingga dia bisa menyelinap masuk saat pintu lift terbuka dan berdiri paling belakang. Entah bagaimana bentuk hatinya sekarang, tidak bisa dijelaskan. Yang pasti dia tetap bersikap setenang mungkin, meski ada tangan berduri meremas dadanya tanpa jeda. Mata Rinai memanas melihat sang suami dan Amanda terlihat begitu intim. Dia menggigit bibir bawah untuk mengalihkan rasa nyeri yang menghantam bertubi-tubi.

Denting lift menyadarkan Rinai pada rasa asin di lidahnya. Dia tak menyadari menggigit bibir terlalu keras hingga berdarah. Dia melihat Reinart dan Amanda ikut keluar dari lift. Rinai ragu apakah mengikuti apa tidak. Lagi-lagi dewi fortuna berpihak padanya. Ada sekitar empat orang ikut keluar. Dia mengekori di belakang.  Dari sudut matanya menangkap nomor 109 di pintu bercat cokelat tua. Dia membiarkan kedua orang itu masuk agar bisa menangkap basah.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Rinai memutuskan menggerebek Reinart. Tangannya gemetar menekan bel yang menempel di papan kayu tersebut. Dia menghirup udara banyak-banyak, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Reinart dan mempertanyakan siapa wanita yang bersamanya.

Waktu berputar sangat lambat bagi Rinai saat pintu terbuka dan menampilkan sosok Reinart dengan handuk yang melilit di pinggang, menampilkan tubuh bagian atasnya. Tanpa bertanya, Rinai tahu apa yang dilakukan pria-nya itu. Apalagi saat mendengar suara wanita memanggil sang suami dengan panggilan sayang disertai suara lembut. Rasanya, detik itu juga Rinai ingin menghilang ke mana saja, asalkan tak melihat pengkhianatan sang suami tercinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status