Rinai membaca lagi tulisan di secarik kertas untuk meyakinkan jika alamat yang didapat dari agenda Reinart tidak salah. Wanita berkulit kuning langsat itu menghela napas pelan setelah memasukkan kertas tadi ke dalam tas yang terlihat usang. Dia melangkah menaiki tangga menuju lobi perusahaan tempat sang suami bekerja.
Sejak tiga bulan yang lalu Reinart tak pernah lagi pulang ke rumah. Memang mereka terpisah karena pekerjaan sang suami yang berada di kota berbeda dengan tempat tinggal mereka. Jarak puluhan kilo meter membuat waktu sang pria lebih banyak terbuang di jalan. Oleh karena itu, mereka sepakat hanya bertemu setiap akhir pekan saja.Awalnya semua baik-baik saja. Rutinitas itu berlangsung selama satu tahun. Namun, tiga bulan setelahnya Reinart hanya pulang setiap dua atau tiga minggu sekali. Dia beralasan jika pekerjaan di kantor semakin menumpuk hingga mengakibatkan dia sering mendapat jatah lembur.Rinai tak pernah menanam pikiran buruk terhadap sang suami. Baginya, kepercayaan adalah modal utama dalam sebuah pernikahan, apalagi kondisi keduanya yang terpisah jarak dan waktu. Akan tetapi, perubahan yang ditunjukkan Reinart semakin kentara. Pria itu tidak pernah lagi pulang menemui Rinai. Komunikasi melalui ponsel tidak lagi sehangat biasanya. Sang pria selalu ingin terburu-buru menyudahi obrolam mereka, seolah-olah enggan berlama-lama dengan sang istri. Padahal rindu di dada Rinai belumlah tuntas.Mau tidak mau resah mulai bertandang ke dada wanita bertubuh tinggi semampai tersebut. Setan mulai meniupkan hasutan-hasutan ke hatinya, meski Rinai telah berusaha keras menepisnya, tetap saja prasangka itu melekat erat di benak. Semua kejanggalan sejak mereka menikah mulai berputar di benaknya seperti sebuah kaset.Sejak menikah setahun yang lalu, Reinart hanya sekali membawanya ke rumah sang mertua. Rinai bukanlah orang baru di lingkungan keluarga Darmawangsa. Dia sudah sangat akrab dengan kedua orang tua sang pria. Nyonya Irene Darmawangsa sudah seperti ibu bagi Rinai. Begitu pun wanita itu bagi sang nyonya.Reinart dan Rinai yang telah bersahabat sejak kecil, selalu bersama. Sampai ada ungkapan, 'di mana ada Rinai di situ Reinart berada.' Persahabatan keduanya berlanjut hingga dewasa. Bahkan, saat sang sahabat melamarnya, Rinai langsung menerima tanpa berpikir apakah ada cinta di antara mereka. Dia nyaman dan merasa terlindungi dengan keberadaan sang pria, hingga rasanya tak memerlukan orang lain sebagai pelindung.Namun, rencana pernikahan keduanya ditolak Ibunda Reinart. Dia merasa Rinai memang wanita yang sangat baik, tetapi tak cukup pantas menjadi menantu dan menyandang nama Darmawangsa. Penolakan itu menghancurkan hati Rinai. Dia segera meminta Reinart membatalkan rencana pernikahan mereka. Akan tetapi, pria itu bersikeras jika mampu meluluhkan hati sang ibu.Pernikahan itu terjadi di kampung halaman Rinai tanpa kehadiran Irene Darmawangsa. Akan tetapi, kesakralan itu tetap terasa saat Reinart mengucapkan akad nikah dalam satu kali embusan napas. Rinai menangis haru. Dia tak mengira jika melepas masa lajangnya dengan pria yang memang telah menemani separuh umurnya."Mbak maaf, apa Pak Reinart Darmawangsa bekerja di sini?" Rinai bertanya pada seorang recepsionis."Betul, Mbak. Baru aja beliau keluar dengan Buk Amanda." Sang recepsionis menunjuk ke arah pintu keluar.Rinai mengikuti arah yang ditunjuk oleh recepsinis tersebut. Seketika dada wanita berambut panjang bergelombang itu seperti terbakar melihat sang suami menggamit pinggang seorang wanita sambil berjalan ke luar. Gegas dia mengikuti dari belakang. Namun, kedua orang itu telah menghilang masuk ke dalam mobil. Tak mau kehilangan jejak, Rinai menyetop sebuah taksi yang sedang melintas dan meminta sang sopir untuk mengikuti mobil di depannya.Sepanjang perjalanan benak Rinai sesak dengan pertanyaan. Siapa wanita itu dan apa hubungan keduanya? Tanpa sadar air mata menitik di pipi putih wanita bermata bulat itu. Sebuah pemahaman masuk ke kepalanya. Apakah sang suami telah mengkhianatinya?"Sudah sampai, Buk." Suara sang sopir taksi mengembalikan kesadaran Rinai. Dia menatap ke depan dan melihat mobil yang dikendarai Reinart berhenti beberapa meter di depannya. Setelah membayar sesuai argo yang tertera, wanita tersebut bergegas keluar.Lagi-lagi Rinai merasakan belati menghunjam jantungnya, saat melihat kedua orang itu masuk ke dalam restoran favorit mereka dulu. Dia sengaja duduk di tempat tersembunyi dari pandangan sang suami, tetapi cukup jelas melihat interaksi keduanya. Senyum dan tawa Reinart lepas saat bersama wanita yang bernama Amanda.Sekitar satu jam kemudian, keduanya beranjak pergi. Rinai dengan sabar mengikuti dengan ojek yang tak jauh mangkal dari restoran. Dia ingin tahu seberapa jauh hubungan keduanya. Lagi-lagi Reinart mengemudikan mobilnya. Rinai mengira mereka kembali ke kantor. Namun, dugaannya salah saat arah yang ditempuh berlawanan. Wanita itu semakin terpukul saat menyadari dia berada di depan hotel yang megah. Meski kakinya gemetar, dia tetap melangkah. Wanita itu mencoba meredam pikiran negatif perihal sang suami, tetapi hatinya menolak dan terus saja merintih perih.Rinai mengikuti pelan-pelan. Dia tak mau kehilangan jejak Reinart. Dia memikirkan cara bagaimana masuk ke dalam lift tanpa diketahui oleh si lelaki. Untung saja ke mana-mana wanita itu membawa scraf dan masker. Dia melilitkan benda segi empat itu ke kepala sehingga menyerupai tudung, lalu memakai masker.Nasib baik memayungi Rinai. Di depan lift ramai orang-orang berkumpul. Sehingga dia bisa menyelinap masuk saat pintu lift terbuka dan berdiri paling belakang. Entah bagaimana bentuk hatinya sekarang, tidak bisa dijelaskan. Yang pasti dia tetap bersikap setenang mungkin, meski ada tangan berduri meremas dadanya tanpa jeda. Mata Rinai memanas melihat sang suami dan Amanda terlihat begitu intim. Dia menggigit bibir bawah untuk mengalihkan rasa nyeri yang menghantam bertubi-tubi.Denting lift menyadarkan Rinai pada rasa asin di lidahnya. Dia tak menyadari menggigit bibir terlalu keras hingga berdarah. Dia melihat Reinart dan Amanda ikut keluar dari lift. Rinai ragu apakah mengikuti apa tidak. Lagi-lagi dewi fortuna berpihak padanya. Ada sekitar empat orang ikut keluar. Dia mengekori di belakang. Dari sudut matanya menangkap nomor 109 di pintu bercat cokelat tua. Dia membiarkan kedua orang itu masuk agar bisa menangkap basah.Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Rinai memutuskan menggerebek Reinart. Tangannya gemetar menekan bel yang menempel di papan kayu tersebut. Dia menghirup udara banyak-banyak, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Reinart dan mempertanyakan siapa wanita yang bersamanya.Waktu berputar sangat lambat bagi Rinai saat pintu terbuka dan menampilkan sosok Reinart dengan handuk yang melilit di pinggang, menampilkan tubuh bagian atasnya. Tanpa bertanya, Rinai tahu apa yang dilakukan pria-nya itu. Apalagi saat mendengar suara wanita memanggil sang suami dengan panggilan sayang disertai suara lembut. Rasanya, detik itu juga Rinai ingin menghilang ke mana saja, asalkan tak melihat pengkhianatan sang suami tercinta.Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena