Share

Dasar Tengil!

"Kenshi, kalau kamu seperti ini terus, Ibu yakin enggak ada yang betah sama kamu!" Kusuma sedikit terpancing emosinya ketika perawat yang baru bekerja tiga hari mengundurkan diri. Perawat itu mengeluh jika Kenshi tak mau bekerja sama. Pria yang duduk di kursi roda itu terlalu keras kepala dan selalu melakukan apa saja yang dia suka, termasuk memerintahkan ini dan itu.

"Emangnya aku salah apa, Buk? Mereka aja yang baper," jawab pria berambut gondrong tersebut dengan raut tenang. Matanya terpancang pada televisi 21 inci di hadapan sementara tangannya sibuk mengendalikan stik playstation.

Kusuma menggeleng pelan seraya mengembuskan napas lelah. "Nak, Ibu tau sulit bagi kamu menerima keadaan ini, tapi cobalah mengerti. Ini takdir."

"Aku baik-baik aja, Bu." Kenshi menjawab tanpa ekspresi, seolah-olah nada prihatin sang ibu tak berefek padanya.

"Iya, Ibu berharap kamu baik-baik aja." Kusuma berbalik hendak keluar dari kamar putra bungsunya itu, tetapi baru beberapa langkah dia berbalik. "Besok Ibu cari perawat baru untukmu, dan kali ini jangan berulah lagi."

Kenshi mendengkus keras dan meletakkan stik playstation begitu saja ketika mendengar pintu kamarnya di tutup sang ibu. Pria yang dagunya ditumbuhi rambut halus itu kehilangan minatnya bermain game online. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah jendela kamar, menatap jauh ke ujung cakrawala. Beruntung kamarnya berada di lantai dua dan menghadap ke barat, hingga dia bebas menyaksikan megahnya warna saga yang selalu hadir kala senja hadir sebelum malam tiba.

Cahaya kemerahan yang terbias di langit sana, selalu menjadi hiburan bagi Kenshi. Dahulu, hampir setiap hari dia singgah ke pantai hanya untuk menyaksikan sang surya merangkak turun. Dia sangat suka mengabadikan detik-detik menghilangnya mentari ke dalam lautan, seolah-olah benda itu tergelam.

Dia juga suka mengabadikan Nailah, gadis yang kerap menemaninya melihat sunset tersebut. Gadis berambut panjang dengan kulit bersih seperti susu, memiliki mata bulat nan jernih, dan senyum manis. Dia cinta pertama Kenshi, gadis yang dia cintai dalam diam karena mereka bersahabat sejak kecil. Entah kapan persahabatan itu berubah menjadi getaran berbeda di dada pria berpostur jangkung tersebut, mungkin sejak Nailah mulai sering memberikan perhatian-perhatian kecil padanya. Seperti, pesan sederhana jangan lupa makan, tidur jangan terlalu larut, atau meminta pendapat jika si gadis bingung memilih sesuatu. Rasanya, Kenshi diperlakukan istimewa karena gadis tersebut selalu melibatkannya dalam mengambil keputusan.

Kenshi yakin jika Nailah mengetahui perasaannya. Jadi, dia membiarkan saja semua berjalan seperti biasa. Bukankah cinta tak perlu diungkapkan dengan kata-kata? Yang penting mereka memahami perasaan masing-masing. Namun, semua asumsi itu tidak sesuai dengan kenyataan. Harusnya Kenshi tak perlu mengajak gadis tersebut ke bandara untuk menjemput Riyad dan tidak perlu memperkenalkan keduanya.

Awalnya Kenshi tidak sedikit pun curiga kala Nailah mulai banyak bertanya perihal kakaknya. Dia pikir itu cara si gadis untuk lebih dekat pada keluarganya. Akan tetapi, beberapa minggu setelah itu Nailah mulai sulit diajak jalan, selalu ada saja alasannya. Kenshi tak pernah sekali pun berpikiran buruk, bahkan saat ibunya mengatakan akan melamar seseorang untuk sang kakak. Tentu saja dia bahagia karena sejak ayah mereka meninggal, Riyadlah yang mengambil tugas sebagai tulang punggung keluarga hingga mereka bisa hidup enak.

Namun, semua kebahagiaan itu hancur lebur ketika tahu siapa gadis yang akan menjadi kakak iparnya. Dia, gadis yang selama ini menjadi sahabatnya, cinta dalam diamnya, dan juga yang dia niatkan menjadi pendampingnya. Entah sejak kapan keduanya dekat. Sang kakak nyaris tak pernah bercerita atau bertanya perihal gadis tersebut. Kenshi merasa hatinya patah berkeping-keping. Akan tetapi, dia tetap tersenyum seolah-olah baik-baik saja. Apalagi melihat lengkung bahagia terulas dari bibir keduanya, mata Nailah berbinar indah kala menatap sang kakak, membuat dia sadar perasaannya bertepuk sebelah tangan.

Kilat yang disertai guntur membuyarkan lamunan Kenshi. Dia mengusap pelan wajahnya, lalu menatap kaki yang kini tak bisa digerakkan seperti biasa. Berkat kecerobohannya karena dibakar cemburu dan patah hati, pria itu mengendarai mobil dalam keadaan mabuk berat. Mobil yang dikemudikan Kenshi dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan menabrak pohon besar. Akibat kecelakaan itu, pria yang berkeinginan menjadi dokter bedah harus mengubur cita-citanya dalam-dalam. Dokter mengatakan, tulang kaki Kenshi patah di beberapa bagian, kalau pun bisa sembuh tidak akan bisa berjalan normal dan butuh waktu yang sangat lama.

Sudah terjatuh, ditimpa tangga pula, begitu pepatah yang dialamat padanya. Pria itu terpuruk dengan keadaannya dan mengurung diri berminggu-minggu. Hanya karena permintaan Nailah, memintanya hadir di pesta pernikahan yang membuat Kenshi luluh. Begitu besar cinta pria itu untuk sang gadis hingga tak peduli dengan perasaannya sendiri. Suara lantang Riyad mengucapkan ijab kabul seperti godam besi baginya. Suara itu seakan-akan menegaskan jika dia tak pantas lagi mengharapkan Nailah. Kenshi tersenyum dan mengucapkan selamat, tetapi hatinya tak rela melupakan cinta pertamanya. Biar saja dia memendam perasaan itu jauh ke dasar hati. Dia tahu itu sebuah dosa, tetapi dia juga tak berdaya mengusir rasa itu pergi.

Suara ketukan dan suara Riyad membuat Kenshi menatap ke arah pintu kamar. Perlahan papan kayu itu terbuka dan menampilkan sosok Riyad. Pria yang lebih tua lima tahun di atasnya itu terlihat sangat dewasa, mapan, dan kharismatik. Pantas saja Nailah begitu tergila-gila padanya, sementara dia hanya mahasiswa yang masih dibiayai sang kakak dan urakan.

"Gimana keadaan kamu?" Riyad duduk di tepi pembaringan menghadap ke arah Kenshi.

"Aku kenapa, Kak?"

Riyad menyatukan kesepuluh jemarinya. "Hampir satu tahun kamu seperti ini. Apa enggak bosan?"

"Trus aku mesti gimana? Toh aku enggak bisa ke mana-mana dengan keadaan kayak gini." Kenshi menjawab seringan mungkin.

"Ayolah, Ken! Aku enggak tau apa yang bikin kamu kacau, tapi ini bukan Kenshi yang aku kenal. Sampai kapan kamu jadi penghuni kamar, bermain game, dan membuang otak kamu yang cerdas itu? Apa enggak capek jadi beban?"

"Beban?!" Kenshi bertanya dengan nada ketus, tak sekali pun dia mengira sang kakak menganggap dia beban. "Aku enggak pernah membebani siapa pun."

"Itu menurut kamu, tapi dengan sikapmu seperti ini. Enggak mau terapi, mengurung diri, kamu pikir enggak jadi beban pikiran buat Ibu? Sampai kapan kamu bersikap kekanakan, menyalahkan orang lain karena keadaanmu."

Kenshi terdiam mendengar rentetan kalimat yang dikeluarkan Riyad. Pria itu benar, mungkin sudah saatnya dia bangkit. Toh, semua telah terjadi dan tak akan mungkin kembali ke masa lalu. Nailah tetaplah kakak iparnya sekarang.

"Iya, besok aku mulai terapi. Tapi, jangan berharap terlalu banyak. Aku udah terima keadaan kalau emang enggak bisa jalan lagi."

Riyad berdiri dan menatap sang adik prihatin. Mungkin dia tidak tahu begitu banyak yang mencemaskan dirinya, termasuk Nailah. Wanita yang sedang mengandung buah cinta mereka itu selalu bertanya keadaan Kenshi. Andai saja Riyad tak mengetahui dulu keduanya bersahabat, mungkin kecemburuan akan bersarang di dadanya.

"Semangatlah. Yang penting usaha dulu, soal hasil biar urusan Tuhan." Riyad menepuk bahu sang adik memberi semangat.

*

Peluh mengalir deras dari pelipis Kenshi, setelah satu jam lebih melakukan terapi untuk melatih kakinya kembali. Dia hanya ingin melihat senyum di wajah sang ibu, agar wanita yang kepalanya telah dirimbuni oleh rambut keperakan tidak lagi mengkhawatirkannya. Sembari menunggu Kusuma berdiskusi dengan dokter, Kenshi memilih menjalankan kursi rodanya ke arah taman yang ada di belakang klinik. Dari jarak dua meter dia bisa melihat rimbunnya bunga bugenville beraneka warna. Sepertinya sang dokter sangat menyukai bunga yang lazim disebut kembang sepatu itu. Sebuah kolam kecil juga berada di tengah-tengah taman. Bunyi gemerisik air mancur di tengah kolam membuat suasana terasa sangat asri.

Mata Kenshi lalu terpancang pada sosok seorang wanita yang membungkuk-bungkuk. Sepertinya dia mencari sesuatu karena terlihat menyibak beberapa rumput liar yang tumbuh di sekitar taman itu. Wajahnya wanita itu terlihat memerah terkena sinar matahari, belum lagi setiap kali dia mengelap peluh di wajahnya, beberapa tanah juga ikut melekat.

Merasa seseorang memerhatikannya, wanita itu mengangkat pandangannya dan matanya bersiborok dengan iris milik Kenshi. Wanita itu mengernyitkan dahi melihat sang pria seperti menahan tawa melihat ke arahnya. Awalnya dia tidak memedulikan, tetapi diperhatikan terus-menerus membuatnya risih, hingga wanita itu melangkah lebar mendekati sang pria.

"Maaf, ya, Mas. Kamu ada masalah sama saya?" tanya wanita itu sedikit ketus.

Bukannya tersinggung, Kenshi malah tersenyum semakin lebar melihat wajah gusar si wanita. "Enggak, cuma aneh aja liat kamu dari tadi mulung, tapi kok enggak dapat-dapat. Mulung apa? Benda gaib?"

"Eh, Mas! Saya mau ngapain juga napa kamu yang repot? Lagian saya bukan pemulung. Enak aja! Punya mulut itu dijaga jangan asal bunyi."

Tawa Kenshi semakin keras. Baru kali ini dia bertemu wanita cantik, tapi mulutnya super pedas. Biasanya, setiap kali seorang wanita berhadapan dengannya, mereka pasti akan mencari banyak cara untuk menarik perhatiannya. Namun, wanita di hadapannya ini sungguh berbeda, membuat Kenshi semakin ingin mengerjainya.

"Gimana saya enggak repot, liat wanita cantik mondar-mandir enggak jelas di depan saya. Dari pada kamu enggak ada kerjaan, mending kerja sama saya saja. Dijamin gajinya besar."

"Kerja apa?" Si wanita mulai tertarik, tetapi tetap waspada.

"Jadi istri saya," jawab Kenshi, lagi-lagi tertawa keras. Dia semakin puas melihat wajah sang wanita yang semakin memerah.

"Eh, dengar, ya. Meski kamu pria terakhir di dunia, saya enggak pernah mau jadi istri kamu. Ingat itu!" balas sang wanita ketus, lalu dia berbalik hendak meninggalkan Kenshi.

Akan tetapi, baru tiga langkah dia berhenti dan menyapa dokter yang berjalan bersama Kusuma.

"Rinai, dari tadi saya nyariin kamu. Ini Buk Kusuma. Dia yang saya ceritakan kemarin. Mulai hari ini kamu ikut beliau untuk membantu merawat putranya." Sang dokter memperkenalkan keduanya.

Rinai tersenyum ramah dan mengulurkan tangan yang disambut oleh kusuma.

"Jadi, kamu sudah ketemu anak saya." Kusuma tersenyum seraya menatap ke belakang punggung Rinai.

Rinai merasakan firasat tidak baik menghampirinya. Jika wanita itu menatap ke belakangnya, berarti anaknya adalah .... perlahan dia memutar tubuhnya dan menangkap senyum kemenangan dari bibir pria tengil tadi. Sepertinya dia harus menarik ucapannya tentang pria terakhir di dunia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status