Share

3. maaf

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 16:20:42

"Maaf, aku tidak sengaja," jawabku sambil mengusap air mata. Seumur hidup ayah tak pernah membentakku, mengapa pria ini kasar sekali pada wanita lemah.

Aku meringis karena kakiku sakit, kulirik dan celanaku sobek serta kakiku berdarah oleh besi sepeda, dan pecahan beling yang entah dari mana.

Hati ini makin sedih setelah mendapati buku dan diktatku jatuh ke dalam kubangan becek dan mereka basah, tentu perasaan ini makin tak karuan, apalagi di dalamnya ada tugas yang belum sempat kusetorkan pada dosen, yang  semalam aku sudah begadang mengerjakannya sehingga telat bangun pagi.

"Oh, ya Allah, astaghfirullahaladzim ...." Aku hanya bisa memunguti bukuku dengan air mata berderai.

"Kenapa kau mengucap istighfar? apa kau melihatku seperti melihat setan!" ia membentak dan kembali membuatku kaget setengah mati.

"Bu-bukan ... Bang, saya hanya  ....."

"Hanya apa? Kau sengaja ya, kau di bayar orang untuk menabrakku, hah?!"

"Astaghfirullah, enggak, Bang." Tubuhku gemetar, takut dan khawatir ia akan memukuliku, apalagi saat ini ia mendekat padaku.

"Ja-jangan Bang, maafkan saya," ujarku sambil menangis lemah, hatiku hancur dan ditambah melihatnya murka, oh, lengkap sudah kesialan hari ini.

Dia maju aku semakin mundur, tanganku kotor oleh jalan basah yang terlihat habis disiram oleh air cucian motor.

Suasana lorong sepi yang berada di belakang gedung-gedung tinggi membuatku tersudut, harapanku kecil untuk bisa dilihat seseorang lalu ditolong.

Ia mendekat, berjongkok dan menatap tajam padaku, sedang aku tak kuasa menahan tatapan tajam yang mematikan itu, aku hanya mampu menunduk sambil memanggil nama Bunda.

"Kenapa kau menangis, apa kau menangis kakimu yang luka?"

"Enggak Bang ...." Aku mencicit dan ngeri sekali padanya  yang berperawakan tinggi dan berotot.

Mana mungkin aku akan memberi tahu bahwa selain menangisi buku dan takut, aku juga sakit hati pada cinta yang tidak terbalas.

"Ikutlah denganku, sekarang juga!" Ia menarik lengan dan menyeretku.

"Ja-jangan Bang, ampun ... Astaghfirullah ..."

"Berhenti bilang begitu, aku bukan setan yang harus kau hindari!"

"Ta-tapi saya harus pulang," cegahku menepis tangannya.

"Bagaimana pulang, kalo pedal sepedamu patah, kau harus tanggung jawab karena sudah menabrakku."

"Allahu Akbar, jangan Abang, saya tidak sengaja."

Tidak menjawab ucapanku, pria bertubuh kekar itu malah makin menyeret lebih keras, aku berusaha menampik dan menahan diri namun ia menyeret hingga pakaianku terkena noda lumpur.

Ia membawaku ke sebuah gudang, yang di dalamnya  dijadikan tempat modifikasi motor, tempatnya luas, ada beberapa motor besar yang sedang diturunkan mesinnya, onderdil berserakan di lantai, tempatnya berdinding dan memiliki atap tinggi, sehingga ada  beberapa burung bertengger dan beterbangan di sana.

"Duduk di sana!" sentaknya ambil menjatuhkan tubuhku.

"A-apa yang harus saya lakukan, Abang, saya harus pulang, Ayah akan marah jika saya terlambat pulang." Aku mencicit dan perasaan ini sudah dipenuhi kengerian tentang bengisnya dia dan apa hal bisa terjadi berikutnya.

"Cih!'

Dia mendecih, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis, ia beralih ke mobil dan membawa sebuah kotak dari dalam sana.

"Obati lukamu!"  Ia melempar kotak obat  sehingga benda itu meluncur ke arahku, bicaranya pelan namun tetap saja suara berat itu terdengar menakutkan.

"Enggak usah Bang,  saya mau pulang aja," jawabku hendak berdiri.

"Siapa yang bilang kau boleh pergi?!" Ia memberingas dan meninju kap mobil hingga penyok, ia marah karena mungkin  aku menolak kebaikannya.

Tapi, mana ada kebaikan yang disampaikan degan paksa, atau dia memang ... ia tak bisa bicara baik, entahlah, yang pasti aku ingin kabur dari tempat ini segera.

"Abang, saya harus kembali karena saya harus menyalin tulisan dari tugas yang basah," ujarku sambil melelehkan air mata.

Ia menatapku, lama menatapku, bergantian dengan tugas yang basah, serta kakiku yang luka. Parahnya,  hujan di luar mulai turun dengan derasnya padahal beberapa menit lalu hari cerah.

Rintiknya deras membentur atap  dan terdengar memekakkan telinga, mustahil aku bisa pulang dengan cuaca seburuk itu, tugasku akan berubah jadi bubur kertas yang tak akan bisa kusalin lagi.

"Sini!" Ia menarik kotak dan kakiku bersamaan, dan itupun kasar sekali.

Dari dalam kotak ia mengeluarkan alkohol, obat merah, kapas, plester dan pinset. Dia bersihkan luka tanpa banyak bicara padahal aku risih karena sekali pun tubuh ini tak pernah disentuh pria.

"Ja-jangan Bang, gak usah!"

"Kau terus memanggilku Abang. Kau pikir aku kakakmu?!" 

"Bu-bukan, aku hanya menghormatimu," jawabku.

"Kau hormat padaku memangnya kau tahu aku siapa?" Dia menyeringai sinis sambil menyeka noda darah dan mengeluarkan pecahan beling dari kakiku menggunakan pinset.

"Iya, aku tahu kau siapa, Yusuf Akbar  si prem . ...." Belum lengkap ucapanku, kakiku ditusuk pinset  keras.

"Aduh ... Astaghfirullah ...."

"Hmm,  kau  menjerit dengan luka sekecil ini, dasar  ...." Dia memperlihatkan pecahan kaca dari kakiku.

"Sakit."

"Kau tidak pernah ditusuk atau ditembus peluru kan?"

"Maksud Abang bagaimana?"

"Kau mau aku mencoba itu agar kau bisa membandingkan sakitnya?" Ia mengulum senyum namun aku terlanjur takut.

"Jangan!" Aku menyentak kakiku kaget dan ujung sepatu ketsku mengenai rahangnya.

"Diam!" Ia mencekal kakiku dengan tangan besarnya.

Allahu Akbar, dia terlihat makin murka dan aku rasanya hendak terkencing-kencing jadinya, hati dan tubuh ini seolah kehilangan tulang oleh kengerian.

Setelah lukaku selesai diperban ia menyentak kakiku dengan kasar hingga membentur lantai.

"Aku mengobati dan kau menendangku, mestinya aku yang  melakukan itu!" Ia membereskan kotak obat dan berlalu 

"Te-terima kasih, Bang."

Ia mendengkus saja mendengar ucapan terima kasih pelanku.

Hujan di luar belum selesai, aku membenahi kerah baju dan menutup bagian depan badanku yang kedinginan oleh tiupan angin, kulirik kakiku yang sudah diperban rapi dan suasana hujan di luar sana. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, dan hujan belum ada tanda akan berhenti.

Aku berdiri mengambil tasku dan hendak  merayap perg.

"Mau kemana?"  Kubalikkan badan dengan napas tertahan dan dia berkacak pinggang di belakangku.

"Aku harus pulang sebelum Bunda mencariku," balasku.

"Hujannya?" Ia mengangkat alis sebelah.

"Biarlah, Bang aku mau pulang._"

"Kalo begitu pake ini!" Ia melempar sebuah jaket kulit warna coklat mengkilap padaku yang diambil tak jauh darinya.

"Gak usah, Bang," tolakku halus.

"Pake buat nutup buku dan tasmu, dasar bodoh!"

"Lalu nanti jaketnya bagaimana?!"

"Besok kembalikan!"

"Dimana aku bisa menemukan Abang?"

"Cari saja!"

Ia meninggalkanku dan naik ke tangga, mungkin ke loteng atau lantai dua entahlah karena aku tak melihat kamar di sana.

** 

Aku kembali ke rumah, menggunakan jaketnya, kusembunyukan benda itu dalam tas sesampainya di rumah karena khawatir bunda akan melihatnya dan curiga padaku.

Bunda dan ayah adalah tipikal orang tua yang belum ingin anaknya menjalin hubungan pacaran karena berusaha ingin melindungiku dari dampak pergaulan. Aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika mereka menemukan jaket laki-laki di dalam tasku, mereka pasti akan marah dan kecewa.

"Kamu dari mana aja Sayang kenapa terlambat dan apa yang terjadi denganmu?" Hanya Bunda yang langsung menyongsong dan kaget melihat penampilanku.

"Aku jatuh Bunda lalu seseorang membantu dan mengobatiku, Bunda nggak usah khawatir karena aku sudah baik-baik saja."

"Baiklah sayang pergilah mandi dan turunlah makan."

"Iya, Bunda."

*

Malam menjelang, aku teringat pada jaket milik Yusuf Akbar yang masih tersimpan di dalam, mungkin benda itu sudah kusut sehingga aku mengeluarkannya dan menggantungnya di hanger baju.

Ke rumah kan badan sambil menghela nafas dan mengingat kembali rentetan kejadian siang tadi, Bagaimana senyum Gerald kepada Kak Sari, mana mesranya ia menggenggam tangan gadis itu, dan bagaimana sialnya aku yang terjatuh di kubangan lumpur dan diseret oleh Yusuf Akbar.

Kucoba untuk memejamkan mata namun entah kenapa bayangan pria berwajah bengis itu terus mendatangiku, senyumnya, seringai dan bagaimana perlakuannya.

Semakin berusaha memejamkan mata, semakin lekat ingatanku padanya terutama sorot matanya yang dalam.

"Ah sial, luar biasa, aku benar benar sial! kenapa aku tidak bisa melupakan sosok preman jahat itu.  Kalau begini aku bisa gila terbayang-bayang ini olehnya."

"Arggg ...." Kuhempas bantal dan mencoba untuk menutup mukaku denganmu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   6. tak lagi

    "Siapa dia?" tanya Gerald sambil berusaha menghalau sinar yang silau ke wajahnya."Kamu gak tahu Yusuf Akbar?" tanyaku berdebar."Siapa?""Dia preman.""Terus kenapa ngikutin kita?" "En-enggak tahu," jawabku gugup.Kulihat wajah Yusuf Akbar menatapku dengan tajam, bahkan sangat tajam, namun tidak ada ekspresi apapun setelah itu, dia menjauh dan memacu motornya dengan kencang, membuatku bingung sebenarnya apa dan kenapa dengannya.Sesampainya di tempat pesta, kami membaur dan bercengkerama dengan beberapa orang yang kami kenal, Kak Gerald berpencar denganku setelah teman seangkatannya datang dan mengajaknya membaur ke meja lain, tinggallah aku bersama beberapa teman, duduk dan menyaksikan pentas seni yang sedang berlangsung.Sebenarnya tanpa Kak Gerald pentas seni ini semuanya biasa-biasa saja dan terkesan membosankan. Aku mulai mengantuk dan ingin pulang, namun di penghujung acara tiba-tiba musik menghentak di setiap lampu yang tadinya terang benderang diganti dengan sinar redup

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   5. silau

    Setelah kembali ke gedung kampus, Aku membaur dengan beberapa sahabat dan teman sekelasku, kami bercanda sambil membahas tugas kuliah yang tidak ada habis-habisnya.Ada Reka, Firda, Santi, dan Bagus sahabat terdekat yang selalu kompak untuk mendukung dan kami tidak pernah saling meninggalkan sejak SMA."Eh, kamu tahu enggak kalau nanti malam ada pesta pembukaan pameran seni kampus kita," cetus Santi."Masak sih, aku kurang update karena mungkin terlalu sibuk dengan urusan danntugas kuliah," jawabku."Halah, sok sibuk, akhir-akhir ini tugas kuliah sudah berkurang tapi kamu masih tetap sibuk aja, sebenarnya apa yang kamu lakukan? Bahkan hang out dengan kami aja udah jarang kamu lakukan?" tanya Bagus menyela."Aku membant Bunda di rumah dengan beberapa pesanan kue kering.""Oh, kerennya anak Sholeha," balas Reka. Sebenernya nya aku tidak begitu sibuk, namun akhir-akhir ini aku lebih suka berdiam di rumah sambil menikmati rasa kasmaran sendiri terhadap Kak Gerald, ditambah kegalauanku

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   4. esok

    Keesokkan harinya aku kembali ke kampus, menyusuri jalan dengan membawa sebuah paper bag berisi jaket dari Yusuf Akbar.Sambil melangkahkan kaki aku berdoa dalam hati semoga tidak ada yang menyadari bahwa aku sedang membawa jaket seorang preman Apa yang akan terjadi akan jadi rumor yang beredar jika mereka tahu bahwa aku kemarin sore sempat mengobrol dan diobati oleh preman yang paling berbahaya di kota ini, mereka akan mengolok-ngolokku menggunakan isu itu dan membuatku jauh dari target pria yang kuidamkan, Kak Gerald.Lagipula diantara banyak gadis yang mengidolakan Kak Gerald, aku adalah satu-satunya mungkin yang paling tergila gila. Senyumnya membuat ku menerawang dan bagaimana cara ia menatap dan berbicara melelehkan perasaanku. Aku mungkin terlalu menyukainya."Hai, kamu ...."Kebalikan badan dengan cepat karena merasa bahwa suara yang memanggilku sudah familiar, ternyata benar dia adalah pria yang sedang aku pikirkan, dari balik kaca mobilnya dia tersenyum dan menyapaku, sekal

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   3. maaf

    "Maaf, aku tidak sengaja," jawabku sambil mengusap air mata. Seumur hidup ayah tak pernah membentakku, mengapa pria ini kasar sekali pada wanita lemah.Aku meringis karena kakiku sakit, kulirik dan celanaku sobek serta kakiku berdarah oleh besi sepeda, dan pecahan beling yang entah dari mana.Hati ini makin sedih setelah mendapati buku dan diktatku jatuh ke dalam kubangan becek dan mereka basah, tentu perasaan ini makin tak karuan, apalagi di dalamnya ada tugas yang belum sempat kusetorkan pada dosen, yang semalam aku sudah begadang mengerjakannya sehingga telat bangun pagi."Oh, ya Allah, astaghfirullahaladzim ...." Aku hanya bisa memunguti bukuku dengan air mata berderai."Kenapa kau mengucap istighfar? apa kau melihatku seperti melihat setan!" ia membentak dan kembali membuatku kaget setengah mati."Bu-bukan ... Bang, saya hanya .....""Hanya apa? Kau sengaja ya, kau di bayar orang untuk menabrakku, hah?!""Astaghfirullah, enggak, Bang." Tubuhku gemetar, takut dan khawatir ia aka

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   2. kampus

    Sesampainya di kampus, langsung menuju ke toilet dan mencoba memperbaiki penampilanku dan membersihkan bajuku yang kata preman berbahaya tadi sudah kotor.Setelah selesai kulirik jam yang melingkar di tanganku di sana sudah menunjukkan hampir pukul 9 pagi, aku nyaris terlambat dan kurasa kelas akan dimulai, maka, dengan langkah setengah berlari aku segera menuju ke ruangan kelasku, tak mempedulikan mereka yang menatapku dan sebagian menertawai keburu buruan ini.Ternyata di sana, orang yang aku harapkan sudah hadir dan duduk di bangku dosen. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam lalu meminta maaf atas keterlambatanku."Selamat pagi Maafkan saya yang terlambat datang," ujarku sambil menunduk hormat."Uhm, Apa yang membuatmu datang terlambat, Hassa?" Duh, jantungku seolah berhenti berdetak ketika mendengar pria pujaanku menyebut nama ini."A-anu ...""Kesiangan Kak, kurasa semalam dia telah begadang untuk menonton drama Korea, sehingga terlambat kuliah."Seorang temanku yang isen

  • ROMAN CINTA YUSUF DAN HASSA   1. yusuf

    Hidupku sempurna sebelum bertemu dia, dia yang punya pesona dan tatapan mata yang membuat seluruh isi kota meleleh jatuh cinta, sayangnya dia sangat dingin, cenderung seperti ular yang berbisa, diganggu sedikit saja dia akan marah.Bukan hanya marah, dia akan menghajar siapa saja yang menghalangi langkah atau keinginannya, dia populer dan jadi bahan pembicaraan dari kaum muda sampai ibu ibu tua. Karena ketampanan pesonanya juga karena kengerian yang diciptakannya, dialah Yusuf Akbar, pria yang akhir akhir ini selalu berpapasan denganku di jalan menuju tempat kuliah. Malas sekali rasanya, apalagi tatapan itu seolah menusuk ulu hatiku, tapi apa boleh buat hanya itu satu satunya jalan ke universitas dan parahnya Yusuf kerap duduk dan berjaga di sana bersama para anak buahnya.**"Hassa, apa kau sudah siap?" tanya Bunda di bawah sana, aku yang masih terlelap di bawah selimut bulu yang hangat langsung tersentak dan melirik jam weker di samping tempat tidurku."Astaghfirullah aku kesiangan!

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status