"Maaf, aku tidak sengaja," jawabku sambil mengusap air mata. Seumur hidup ayah tak pernah membentakku, mengapa pria ini kasar sekali pada wanita lemah.
Aku meringis karena kakiku sakit, kulirik dan celanaku sobek serta kakiku berdarah oleh besi sepeda, dan pecahan beling yang entah dari mana. Hati ini makin sedih setelah mendapati buku dan diktatku jatuh ke dalam kubangan becek dan mereka basah, tentu perasaan ini makin tak karuan, apalagi di dalamnya ada tugas yang belum sempat kusetorkan pada dosen, yang semalam aku sudah begadang mengerjakannya sehingga telat bangun pagi. "Oh, ya Allah, astaghfirullahaladzim ...." Aku hanya bisa memunguti bukuku dengan air mata berderai. "Kenapa kau mengucap istighfar? apa kau melihatku seperti melihat setan!" ia membentak dan kembali membuatku kaget setengah mati. "Bu-bukan ... Bang, saya hanya ....." "Hanya apa? Kau sengaja ya, kau di bayar orang untuk menabrakku, hah?!" "Astaghfirullah, enggak, Bang." Tubuhku gemetar, takut dan khawatir ia akan memukuliku, apalagi saat ini ia mendekat padaku. "Ja-jangan Bang, maafkan saya," ujarku sambil menangis lemah, hatiku hancur dan ditambah melihatnya murka, oh, lengkap sudah kesialan hari ini. Dia maju aku semakin mundur, tanganku kotor oleh jalan basah yang terlihat habis disiram oleh air cucian motor. Suasana lorong sepi yang berada di belakang gedung-gedung tinggi membuatku tersudut, harapanku kecil untuk bisa dilihat seseorang lalu ditolong. Ia mendekat, berjongkok dan menatap tajam padaku, sedang aku tak kuasa menahan tatapan tajam yang mematikan itu, aku hanya mampu menunduk sambil memanggil nama Bunda. "Kenapa kau menangis, apa kau menangis kakimu yang luka?" "Enggak Bang ...." Aku mencicit dan ngeri sekali padanya yang berperawakan tinggi dan berotot. Mana mungkin aku akan memberi tahu bahwa selain menangisi buku dan takut, aku juga sakit hati pada cinta yang tidak terbalas. "Ikutlah denganku, sekarang juga!" Ia menarik lengan dan menyeretku. "Ja-jangan Bang, ampun ... Astaghfirullah ..." "Berhenti bilang begitu, aku bukan setan yang harus kau hindari!" "Ta-tapi saya harus pulang," cegahku menepis tangannya. "Bagaimana pulang, kalo pedal sepedamu patah, kau harus tanggung jawab karena sudah menabrakku." "Allahu Akbar, jangan Abang, saya tidak sengaja." Tidak menjawab ucapanku, pria bertubuh kekar itu malah makin menyeret lebih keras, aku berusaha menampik dan menahan diri namun ia menyeret hingga pakaianku terkena noda lumpur. Ia membawaku ke sebuah gudang, yang di dalamnya dijadikan tempat modifikasi motor, tempatnya luas, ada beberapa motor besar yang sedang diturunkan mesinnya, onderdil berserakan di lantai, tempatnya berdinding dan memiliki atap tinggi, sehingga ada beberapa burung bertengger dan beterbangan di sana. "Duduk di sana!" sentaknya ambil menjatuhkan tubuhku. "A-apa yang harus saya lakukan, Abang, saya harus pulang, Ayah akan marah jika saya terlambat pulang." Aku mencicit dan perasaan ini sudah dipenuhi kengerian tentang bengisnya dia dan apa hal bisa terjadi berikutnya. "Cih!' Dia mendecih, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis, ia beralih ke mobil dan membawa sebuah kotak dari dalam sana. "Obati lukamu!" Ia melempar kotak obat sehingga benda itu meluncur ke arahku, bicaranya pelan namun tetap saja suara berat itu terdengar menakutkan. "Enggak usah Bang, saya mau pulang aja," jawabku hendak berdiri. "Siapa yang bilang kau boleh pergi?!" Ia memberingas dan meninju kap mobil hingga penyok, ia marah karena mungkin aku menolak kebaikannya. Tapi, mana ada kebaikan yang disampaikan degan paksa, atau dia memang ... ia tak bisa bicara baik, entahlah, yang pasti aku ingin kabur dari tempat ini segera. "Abang, saya harus kembali karena saya harus menyalin tulisan dari tugas yang basah," ujarku sambil melelehkan air mata. Ia menatapku, lama menatapku, bergantian dengan tugas yang basah, serta kakiku yang luka. Parahnya, hujan di luar mulai turun dengan derasnya padahal beberapa menit lalu hari cerah. Rintiknya deras membentur atap dan terdengar memekakkan telinga, mustahil aku bisa pulang dengan cuaca seburuk itu, tugasku akan berubah jadi bubur kertas yang tak akan bisa kusalin lagi. "Sini!" Ia menarik kotak dan kakiku bersamaan, dan itupun kasar sekali. Dari dalam kotak ia mengeluarkan alkohol, obat merah, kapas, plester dan pinset. Dia bersihkan luka tanpa banyak bicara padahal aku risih karena sekali pun tubuh ini tak pernah disentuh pria. "Ja-jangan Bang, gak usah!" "Kau terus memanggilku Abang. Kau pikir aku kakakmu?!" "Bu-bukan, aku hanya menghormatimu," jawabku. "Kau hormat padaku memangnya kau tahu aku siapa?" Dia menyeringai sinis sambil menyeka noda darah dan mengeluarkan pecahan beling dari kakiku menggunakan pinset. "Iya, aku tahu kau siapa, Yusuf Akbar si prem . ...." Belum lengkap ucapanku, kakiku ditusuk pinset keras. "Aduh ... Astaghfirullah ...." "Hmm, kau menjerit dengan luka sekecil ini, dasar ...." Dia memperlihatkan pecahan kaca dari kakiku. "Sakit." "Kau tidak pernah ditusuk atau ditembus peluru kan?" "Maksud Abang bagaimana?" "Kau mau aku mencoba itu agar kau bisa membandingkan sakitnya?" Ia mengulum senyum namun aku terlanjur takut. "Jangan!" Aku menyentak kakiku kaget dan ujung sepatu ketsku mengenai rahangnya. "Diam!" Ia mencekal kakiku dengan tangan besarnya. Allahu Akbar, dia terlihat makin murka dan aku rasanya hendak terkencing-kencing jadinya, hati dan tubuh ini seolah kehilangan tulang oleh kengerian. Setelah lukaku selesai diperban ia menyentak kakiku dengan kasar hingga membentur lantai. "Aku mengobati dan kau menendangku, mestinya aku yang melakukan itu!" Ia membereskan kotak obat dan berlalu "Te-terima kasih, Bang." Ia mendengkus saja mendengar ucapan terima kasih pelanku. Hujan di luar belum selesai, aku membenahi kerah baju dan menutup bagian depan badanku yang kedinginan oleh tiupan angin, kulirik kakiku yang sudah diperban rapi dan suasana hujan di luar sana. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, dan hujan belum ada tanda akan berhenti. Aku berdiri mengambil tasku dan hendak merayap perg. "Mau kemana?" Kubalikkan badan dengan napas tertahan dan dia berkacak pinggang di belakangku. "Aku harus pulang sebelum Bunda mencariku," balasku. "Hujannya?" Ia mengangkat alis sebelah. "Biarlah, Bang aku mau pulang._" "Kalo begitu pake ini!" Ia melempar sebuah jaket kulit warna coklat mengkilap padaku yang diambil tak jauh darinya. "Gak usah, Bang," tolakku halus. "Pake buat nutup buku dan tasmu, dasar bodoh!" "Lalu nanti jaketnya bagaimana?!" "Besok kembalikan!" "Dimana aku bisa menemukan Abang?" "Cari saja!" Ia meninggalkanku dan naik ke tangga, mungkin ke loteng atau lantai dua entahlah karena aku tak melihat kamar di sana. ** Aku kembali ke rumah, menggunakan jaketnya, kusembunyukan benda itu dalam tas sesampainya di rumah karena khawatir bunda akan melihatnya dan curiga padaku. Bunda dan ayah adalah tipikal orang tua yang belum ingin anaknya menjalin hubungan pacaran karena berusaha ingin melindungiku dari dampak pergaulan. Aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika mereka menemukan jaket laki-laki di dalam tasku, mereka pasti akan marah dan kecewa. "Kamu dari mana aja Sayang kenapa terlambat dan apa yang terjadi denganmu?" Hanya Bunda yang langsung menyongsong dan kaget melihat penampilanku. "Aku jatuh Bunda lalu seseorang membantu dan mengobatiku, Bunda nggak usah khawatir karena aku sudah baik-baik saja." "Baiklah sayang pergilah mandi dan turunlah makan." "Iya, Bunda." * Malam menjelang, aku teringat pada jaket milik Yusuf Akbar yang masih tersimpan di dalam, mungkin benda itu sudah kusut sehingga aku mengeluarkannya dan menggantungnya di hanger baju. Ke rumah kan badan sambil menghela nafas dan mengingat kembali rentetan kejadian siang tadi, Bagaimana senyum Gerald kepada Kak Sari, mana mesranya ia menggenggam tangan gadis itu, dan bagaimana sialnya aku yang terjatuh di kubangan lumpur dan diseret oleh Yusuf Akbar. Kucoba untuk memejamkan mata namun entah kenapa bayangan pria berwajah bengis itu terus mendatangiku, senyumnya, seringai dan bagaimana perlakuannya. Semakin berusaha memejamkan mata, semakin lekat ingatanku padanya terutama sorot matanya yang dalam. "Ah sial, luar biasa, aku benar benar sial! kenapa aku tidak bisa melupakan sosok preman jahat itu. Kalau begini aku bisa gila terbayang-bayang ini olehnya." "Arggg ...." Kuhempas bantal dan mencoba untuk menutup mukaku denganmu."Perbaiki dirimu, posisikan menatapku, peluk aku erat dan fotografer akan menjepret kita," bisiknya ketika momen pre wedding untuk undangan digital dalam amplop pernikahan kami."Aku malu, Bang," ungkapku Pelan."Mana mungkin kau malu pada calon suaminya sendiri, jangan pergi kau dan ganggu karena aku bisa menciummu di depan semua orang," godanya tertawa."Sudahlah, Abang ...." Aku merajuk dan cemberut sedang ia tertawa."Apa hari ini orang tuamu akan datang dan bergabung membuat foto keluarga?""Iya tentu saja, berikut juga orang tuamu," jawabnya."Bagaimana kamu menyakinkannya Bang?""Menikah denganmu adalah kehendakku mereka tidak akan menentang, apalagi kau adalah wanita baik-baik yang melindungi harga diri dan kehormatan.""Aku masih takut Bang," jawabku lirih."Kamu tidak perlu memikirkan itu kita tidak akan tinggal serumah dengan mereka hanya kau dan aku dan kebahagiaan kita saja. Jadi pejabat acara pernikahan agar kita bisa segera bulan madu," godanya sambil menyenggol bahu
"Alhamdulillah Abang, akhirnya ayah merestui hubungan kita," ucapku dalam pelukan Abang."Iya, Alhamdulillah, betapa senangnya aku hari ini, aku sangat bersyukur balasnya dengan bola mata yang berkaca-kaca karena bahagia."Terima ayah," ucapku melepas pelukan Abang lalu beralih kepada ayah dan mencium tangannya."Iya, anakku, aku tahu bahwa kau akan bahagia dengan pilihan hidupmu sendiri," jawab ayah dengan menahan perasaan dan air matanya."Aku tahu ini berat untuk ayah, tapi aku akan menjaga amanah dan kepercayaan aku juga akan mencoba melindungi martabat Ayah meski nantinya suamiku adalah ....""Tidak perlu disebutkan Hassa, Ayah percaya bahwa kalian akan berubah menjadi manusia yang lebih baik." Lalu Ayah berani kepada Abang dan berbicara padanya."Aku percaya padamu bahwa kau akan menghentikan semua perbuatan tidak baik dan berubah menjadi manusia yang akan menjaga kehormatan istri dan keluargamu.""Insya Allah, Pak, hidup saya saat ini akan didedikasikan untuk membantu orang
Di lain waktu, ayah mengantarku ke kampus, dengan motor matic milik adikku, ayah menurunkanku tepat di depan gerbang dan menyuruhku segera masuk."Ayah akan jemput, jadi jangan pulang sendiri.""Hanya ada dua blok dari sini ayah," sanggahku."Dua blok itu mendekatkan kamu dengan apa yang seharusnya tak kamu dekati.""Yah, apa ayah tidak mau menerima sisi baik orang lain?"Pria berkaca mata yang sebenarnya sangat menyayangiku itu hanya bisa menggeleng."Ayah tahu yang terbaik, Nak. Ayah tak ingin menjatuhkan kamu dalam kehancuran," jawabnya."Hassa enggak akan hancur ayah....""Ayah tahu yang paling benar, jangan sok pintar, ayah tak mau kamu salah pilih orang! Tunggu Ayah di depan gerbang sore nanti." Ayah menarik gas lalu pergi begitu saja dari hadapanku.*Sore hari ketika pelajaran dan kelas tambahan sudah selesai aku menunggu ayah di depan gerbang kampus. Di saat yang bersamaan Abang datang dan menyapaku, dia membawakan sekotak pisang coklat dan menawariku."Enggak usah, Bang, aku
"Apa?""Iya aku telah memergoki perbuatan kekasihmu yang mengendap-ngendap masuk kedalam kamar wanita yang notabene sangat religius. Ternyata jilbab yang kau kenakan hanya kamuflase agar orang lain tidak menghujatmu," ejeknya.Gubrak!Tanpa banyak bicara lagi dan seolah diberikan kekuatan, aku langsung menghantam muka si Gerald dengan tas yang kubawa."Kalaupun semua itu terungkap dengan jelas, maka akan ada orang yang juga ikut dipermalukan, yaitu orang yang menguntit kehidupan orang lain," jawabku."Kamu jangan coba-coba mengancam ya, kamu hanya gadis kecil yang lemah," ucapnya sembari mendorong tubuhku dengan keras.Namun seorang diberi kekuatan untuk berani dan kokoh, meski kuat dorongannya aku tidak terjatuh, malah kali ini aku menarik pergelangan tangannya dan memutarnya. Hingga pria itu kaget dan menjerit kesakitan."Kemarin aku lemah dan bodoh, iya. Tapi sekarang aku tidak akan tinggal diam pada orang-orang yang jahat padaku. Masih ingat bahwa kau ingin memperkosa diri ini? S
Pletak!Suara batu kecil menghampiri jendela rumahku, aku terbangun dan langsung mengintip pelakunya dari balik jendela.Ternyata Abang di sana, mengendap endap lewat sisi pagar dan memanggilku menggunakan kerikil. Perlahan kugeser kaca jendela dan bertanya ada apa."Apa yang Abang lakukan di situ?""Menemuimu?""Tapi ayah akan melihat?" bisikku."Tidak akan," balasnya. Wajah dan tubuhnya tidak terlihat, kecuali siluet kelabu yang tertutupi oleh bayangan rumahku yang berlantai dua."Abang, aku pun ingin melihatmu," ucapku."Apa ayahmu sudah tidur?""Sudah," balasku.Perlahan ia naik ke sisi tembok lalu memanjat genteng, untungnya material itu kuat sehingga mampu menopang tubuh Abang, perlahan pria itu merangkak menuju jendela tempatku berdiri, sementara aku menunggu dengan napas tertahan."Apa yang Abang lakukan, tolong, ayah akan tahu," bisikku panik."Diam dulu kamu, kalo kamu seribut itu maka ayahku pasti akan tahu," balasnya memberi isyarat jari di bibir.Dia masuk ke dalam
"Mari masuk, silakan duduk, Pak, Bu," ucap Ibu dengan sopannya.Keluarga Abang terlihat mengedarkan pandangan pada interior rumah kami, ibunya terlihat tersenyum tipis sedang ayahnya hanya nampak sinis sambil 1, kelihatannya dia meremehkan keadaan keluargaku."Silakan duduk, saya agak terkejut karena Bapak dan Ibu datang tanpa pemberitahuan, saya jadi tidak menyiapkan apa apa," ucap ibu berusaha ramah."Tidak apa, Kami tidak akan menyita waktu keluarga ibu, kami hanya ingin bicara sebentar saja."Aku dan abang yang duduk berhadapan saling memandang dan kembali diam. Sementara Ibu memanggil Rizal dan ayah untuk menemani keluarga Abang."Ayah, tolong masukklah," bisik ibu.Ayah yang terlihat malas dan sedikit tidak suka dengan keluarga Reinaldi, hanya mendecak kecil lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan orang tua Abang.Melihat gelagat ayah yang terlihat menunggu pria itu membuka pembicaraan akhirnya Bapak pengacara yang cukup terkenal itu membuka suaranya."Kami sekeluarga datang