Share

[ Roses ] ; 08

“Sakit bisa saja mendatangkan lebih banyak kebaikan bagi orang-orang yang ikhlas menjalaninya.”

Sudah delapan kali Rosea ke kamar mandi untuk buang air besar. Sebuah ritual pasti setelah makan seblak, tetapi tak pernah separah ini. Kemarin sepertinya ada sebuah setan antah berantah membisikkan pesan untuk membeli seblak dengan level maksimal. Biasanya Rosea membeli level 0. Paling mentok ya level 3 kalau-kalau gadis itu sedang frustasi dengan tugas Pak Jagad.

Rosea sudah seperti melakukan simulasi bunuh diri.

“Gini banget punya penyakit maag!” gerutu Rosea dengan tangan memegangi perutnya. Dirinya masih berbaring lemas di atas kasur sembari berharap mulesnya akan hilang.

“Ah sebel! Tau gitu aku ajak makan mi yamin aja ketimbang makan seblak. Sama-sama enak, tapi enggak bikin sakit kayak gini.” Rosea mengelus perutnya perlahan, ia terkulai tak berdaya setelah isi perutnya keluar begitu banyak.

Selain seblak, makanan yang paling Rosea suka adalah mi yamin. Intinya segala jenis mi dan makanan yang lembek. Rosea juga suka makan bubur. Hampir setiap hari ia sarapan bubur yang letaknya di depan indekosnya. Selain enaknya kebangetan, ia sering kali mendapat gratisan telur setengah matang dan ati ampela.

Netra Rosea beredar ke penjuru ruangan mencari obat pereda rasa sakit yang ia taruh asal beberapa minggu lalu. Dengan malas Rosea melangkah ke meja belajar, bukan obat yang ia temukan, namun malah jaket milik Miko. Rosea baru ingat ia belum mengembalikan jaket pria itu. Beberapa hari ini ia tak dipertemukan kembali dengan laki-laki tengil itu.

Apa tali takdir antara keduanya sudah berakhir? Rosea menggeleng, menepis pikiran liarnya.

Suara gawai Rosea berdering menampilkan nama Hana Atmaja di sana. “Apa Han?”

“…”

“Aku kalo hari ini kebagian jaga pagi sampek sore. Kenapa emang?”

“…”

“Aku di sana sampek jam 3. Aku juga kangen ngobrol sama kamu.”

“…”

“Oke, see you!”

Baru saja Rosea meletakkan gawainya, panggilan lainnya masuk.

“Ada apa Han?”

“Ini gua.”

“Ah sorry, sorry. Kenapa Jul?” Julian sesaat terdiam setelah mendengar suara Rosea. Terdengar tak bertenaga dan seperti orang sedang sakit. 

“Dompet lu ketinggalan di mobil gua kemaren, mau gua kembaliin sekalian ke kafe. Hari ini lu ke kafe enggak, takutnya lu minggu gini libur.”

“Oh gua ke kafe kok, tapi dari pagi sampek sore doang.”

Hm kan lemes gitu. Rosea sakit? 

“Yaudah gua ke sana siangan.”

“Makasih ya, Jul.”

“Oke!”

[…]

Dengan gaun hitam selutut dan sepatu berwarna keperakan, Hana siang ini pergi menuju Kafe Aletha. Mobil sedannya terparkir bersama beberapa mobil pengunjung lainnya di pelataran kafe. Alasan Hana mengunjungi Rosea selain memang ingin mencoba menu di sana, ia ingin bertemu dengan Rosea. Rasanya ia ingin sekali dekat-dekat dengan sahabatnya itu.

"Pesan dong mbak!" Kedua tangan Hana bertumpuk di atas meja kasir. Memerhatikan Rosea yang sibuk dengan pekerjaannya menghitung uang.

"Eh Hana!" 

"Kaget ya? Hehe maaf, ya!" Hana menampilkan cengiran kudanya.

"Iya gapapa. Kamu mau mesen apa, Han?"

"Hm aku mau Aglio Olio Grilled Chicken satu, Beef Bruschetta satu, sama Tropicana Mocktail." 

"Totalnya Rp122.000,00." Hana pun menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan. 

Seperti biasa, selain menjaga kasir, Rosea juga membuat minuman yang dipesan pelanggan. Hana yang sudah duduk di salah satu meja, mengamati pergerakan Rosea yang sedang meramu minuman. 

Saat Hana datang tadi, Rosea terlihat tidak fokus dan lemas. Lip gloss yang melapisi bibir Rosea pun tak begitu ampuh menutupi bibir pucatnya. Walaupun gadis itu tersenyum saat melayani Hana tadi, sorot matanya tidak mampu membohongi sahabatnya sendiri. 

She is okay? 

Setelah kurang lebih sepuluh menit, pesanan Hana datang. Karena waktu itu kafe sedang sepi, Rosea ingin mengantarkannya langsung ke sahabatnya itu alih-alih pegawai kafe yang memang bertugas mengantarkan makanan. 

Dengan hati-hati Rosea membawa pesanan Hana. Saat mengangkat nampan, tangan Rosea bergetar. Rasanya sangat berat. Padahal ia sudah terbiasa membawa nampan ke pelanggan jikalau kafe kekurangan pegawai, tetapi kali ini tidak. 

Ah kok tambah pusing ya? Rosea memejamkan matanya sebentar menahan rasa pusing kepalanya. Dengan segenap tenaga yang ia punya sekarang, Rosea membawa nampan itu. Untung saja posisi meja Hana tidak jauh dari meja kasir. 

Rosea berjalan dengan perlahan dengan senyum manis ke arah Hana. Jarak sudah semakin menipis, namun Hana terlihat semakin memburam di mata Rosea. Kepalanya terasa sangat pusing, terasa seperti dihantam alat berat. Dalam hitungan detik…

PYAR…

"Rosea!"

Suara pecahan gelas yang disusul dengan suara pekikan dua orang secara bersamaan, membuat beberapa pengunjung yang ada di sana terkejut. 

"Kita bawa ke rumah sakit aja!"

"O-oh iya." Hana membelalakkan matanya melihat seorang laki-laki dengan kaos putih polos yang berlari ke arah Rosea. 

Laki-laki itu Julian. Niat awalnya ingin mengembalikkan dompet Rosea, namun saat ia baru membuka pintu kafe dan menemukan posisi Rosea berdiri dengan nampannya. Tiba-tiba saja badan Rosea terhuyung, membuatnya lari tunggang langgang ke arah perempuan penyuka bunga mawar itu. Jantungnya berpacu sangat cepat melihat kejadian itu di depan matanya.

Julian menggendong Rosea dan berlari ke arah mobilnya yang diikuti Hana dari belakang. Dengan kecepatan tinggi, Julian menuju rumah sakit terdekat. 

Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Julian berulang kali melihat ke belakang mengecek keadaan Rosea yang tidur berbantalkan paha Hana. Jalanan ibu kota di siang hari yang lumayan padat membuat seorang Julian melempar sumpah serapah dalam hatinya. 

Shit! Lampu merahnya lama banget! 

[…]

Kini Rosea sudah berada di ruang UGD Rumah Sakit Neo. Julian dan Hana menunggu dengan cemas di kursi tunggu. Pasalnya, Rosea tidak hanya pingsan, namun saat ia jatuh tadi pecahan gelas dan piring mengenai beberapa bagian tubuh dan pelipis perempuan itu. 

Julian duduk bersandar dengan terus memerhatikan ruang UGD. Hana yang melihat itu pun mencoba membuka mulut memulai percakapan di antara mereka.

"Terima kasih ya, kak, udah bantuin temen saya tadi." Suara Hana memecah keheningan di antara keduanya. Lagi-lagi orang lain berpikiran bahwa Julian terlihat lebih tua.

Julian menoleh ke arah kanan, tempat Hana duduk di sampingnya. "Iya." Julian hanya tersenyum tipis, lalu senyumnya pudar secepat kilat. 

Hana menebak-nebak sebenarnya siapa laki-laki di sampingnya. Jika hanya teman di kampus, tidak akan terlihat secemas itu dengan kondisi Rosea saat ini. Saat ia ingin menanyakannya pada Julian, suara panggilan berasal dari gawai terdengar. 

Itu suara gawai Julian. Laki-laki itu melihat nama yang terpampang di sana. Melihat namanya saja sudah membuat dirinya mengacak rambut kasar. Julian berdiri menjauh dan mengangkat panggilan yang masuk.

“Halo Julian, pergi yuk! Temenin aku belanja. Ada tas yang pengen aku beli.” 

Sorry Ser, saya tidak bisa.”

Julian menghela napas berat. Membalas panggilan Serena dengan tenang. Setelah kejadian kemarin, dengan gampangnya Serena mengajaknya pergi. 

“Ah sayang, padahal kalau kamu mau beliin tas itu, aku mau balikan sama kamu.”

“Balikan?” Dahi Julian mengkerut.

“Iya, jadi selingkuhan aku? Pacar kedua?” 

“Kamu sinting? Atau apa?"

Yes, I am. Ayolah jangan munafik, aku tahu kamu pasti masih sayang sama aku kan? Oh ya juga, aku juga mau ngelakuin ‘itu’ kalau kamu mau. Ternyata rasanya seenak itu ya walaupun awalnya sakit sih, tapi Kak Lu treat me well. Hehe.” 

Telinga Julian rasanya panas mendengar celotehan Serena yang melantur. Tangannya terkepal kuat. Jujur, hatinya sangat sakit mendengar penututan Serena. Perempuan yang dulu ia jaga dengan sepenuh hatinya, justru melakukan hal buruk itu dengan laki-laki yang tak begitu lama ia kenal.

Semua perkataan Serena begitu tidak nyata. Gadis itu mabuk? Di siang bolong seperti ini?

Hahaha gadis. Gadis apanya? Nyatanya ia sekarang bukan gadis lagi. 

“Terserah kamu, saya sibuk.” 

“Sibuk sama jalang kemarin yang di kantin itu?” 

Jalang? Rosea maksudnya?

“Jangan hubungi saya lagi, Lim, saya sibuk!” 

“Nah, bener kan jalang itu. Apa bagusnya sih dia? Wajah pas-pasan, penampilan kampungan juga. Ngapain coba pake baju nutup sebadan? Mau pengajian? Hahaha...”

“Jaga omongan kamu, Serena Lim!” 

“Wow wow wow, calm down babe! Haha setelah ini akan muncul berita, ‘Seorang Penerus Perusahaan Terbesar di Pulau Jawa Dekat dengan Seorang Jalang’ lucu sekali Julian.”

Serena tertawa meremehkan. Sedangkan mata Julian memanas. Ia benar-benar terkejut dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut Serena. Dahulu Serena bukan perempuan yang suka merendahkan atau bahkan menuduh orang lain.

Julian sudah muak dengan semua omong kosong Serena. Ia enggan sekali membentak perempuan, tetapi kali ini mantan kekasihnya itu sungguh keterlaluan. “Berhenti berkata yang tidak-tidak, Lim!”

Julian memutuskan panggilan Serena sepihak. Rahangnya mengeras. Tak habis pikir, seorang putri tunggal dari keluarga terpandang yang selalu disanjung banyak orang ternyata seperti itu. 

Hana yang mencuri dengar percakapan tadi ikut bergidik ngeri karena tatapan nyalang Julian.

"Apa ada keluarga dari pasien bernama Rosea?" Dokter keluar dari ruang UGD. 

"Saya, dok." Hana berlari kecil ke arah dokter berdiri sembari mengacungkan tangannya. Di belakangnya disusul Julian.

"Pasien hanya mengalami dehidrasi karena diare. Jadi, tinggal menunggu cairan infusnya habis, lalu sudah boleh pulang. Untuk lukanya untung saja pecahan kacanya tidak terlalu dalam, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas sang dokter dengan senyum tipisnya.

Hana bernapas lega mendengar penuturan dokter.  Hana dan Julian tak lupa berterima kasih kepada dokter yang membantu penanganan Rosea. Saat Hana melangkah masuk ke ruang UGD untuk melihat keadaan Rosea, Julian melangkah entah kemana. Hana pun tak peduli laki-laki itu pergi kemana. 

[…]

Julian menuju ke bagian registrasi untuk membayar biaya perawatan Rosea. Setelah selesai, ia langsung menuju UGD. Ia merasa lebih tenang setelah mendengar bahwa Rosea baik-baik saja. 

Di ruang rawat Rosea, Hana terlihat sangat cemas. "Ros, kamu kok bisa kayak gini?" Hana mendudukkan dirinya di kursi sebelah ranjang pasien. 

"Kayaknya gara-gara aku dari kemaren malem diare." Suara Rosea terdengar sangat lemas. 

"Hah? Kok bisa?" 

"Aku kemaren makan seblak, hehe." Rosea masih sempat-sempatnya terkekeh pelan. 

"Astaga… pasti sebelum makan seblak, kamu enggak makan apa-apa, kan?"

"Hehe." Rosea mengacungkan dua jarinya, menyatakan perdamaian. 

"Haha hehe aja. Jangan diulangin Rosea, badanmu itu gampang sakit. Apalagi lambung kamu tuh udah waktunya pensiun." Hana menunjuk perut Rosea. Ia cemas. Sahabatnya itu memang sangat mudah sakit.

"Iya, Hana." Rosea tersenyum tipis, lalu menyadari seseorang yang berada di ruangan yang sama dengannya, datang dengan muka masam. 

"Julian?"

[…]

Tok-tok-tok

Julian beserta kedua orang tuanya telah berada di depan indekos Rosea. Betapa terkejutnya Rosea sangat membuka pintu.

"Malam, Ros." Julian menyapa dengan senyum canggung. Di sebelahnya ada mama dan papanya. Dan tepat di depannya ada Rosea yang menggunakan baju santai yang sedikit kebesaran. 

"Ada apa, Jul?" Rosea kebingungan, pasalnya siapa dua orang di sebelah Julian. Apa mereka orang tua Julian? 

"Malam nak, Ros, saya Hesita, mamanya Julian." Hesita tersenyum ramah ke arah Rosea sembari mengulurkan tangan ke Rosea sebagai tanda perkenalan. Rosea pun menjabat tangan Hesita. 

"Kalau saya Reno, papanya anak ganteng yang ada di depan kamu ini." Suasana yang awalnya canggung berubah menjadi sedikit lebih cair akibat kelakar yang dilemparkan Reno. 

"Saya Rosea, om, tante. Temannya Julian. Mari masuk!" Rosea mempersilahkan mereka masuk, namun mereka menolak karena sudah malam. 

"Tidak usah, Ros. Kami hanya mampir sebentar untuk mengantarkan makanan dan buah. Kata Julian tadi kamu sempat jatuh pingsan. Maaf ya kami tidak sempat menjengukmu di rumah sakit tadi." Hesita menyerahkan sekantong besar berisi makanan dan buah yang mereka beli setelah menemani Julian manggung di Kafe Aletha.

"Gapapa kok, om, tante. Terima kasih juga sudah bawa ini buat Rosea." Rosea menerima pemberian Hesita. 

"Cepat sembuh ya Rosea, calon mantu papa," ucapan spontan Reno dihadiahi tatapan tajam Julian. Hesita hanya terkekeh melihat tingkah suaminya. Reno memang seperti itu, suka menggoda anak gantengnya itu. 

"Iya om, terima kasih." Rosea tersenyum ke arah Reno. 

"Jangan panggil om dong, Papa. Pa-pa." Reno mendikte Rosea. Julian benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan papanya.

"Hehe i-iya, pa."

"Tante juga mau dipanggil mama. Kapan lagi punya anak perempuan secantik Rosea." Hesita mengedipkan matanya ke arah Julian. Pipi Julian memerah akibat dibuat malu kedua orang tuanya di hadapan gadis yang membuatnya cemas seharian ini, bahkan saat ia manggung di Kafe Aletha.

Sedikit terasa hampa saat tak ada Rosea yang biasanya dengan setiap menatap dirinya saat tampil di atas panggung Kafe Aletha. 

"I-iya ma." Rosea terbata. Pasalnya hal ini sungguh canggung. 

"Yasudah kami pulang dulu iya calon mantu. Cepet sembuh!" Reno pamit dan Hesita tersenyum lalu melangkah pergi mengikuti suaminya. Namun, Julian masih betah berdiri di hadapan Rosea. 

"Ros, maaf ya." Julian menunduk memandang kedua kakinya yang bergerak gelisah.

Rosea tersenyum kecil. "Ngapain minta maaf? Kan emang aku yang ngeiyain ajakan kamu.”

"Tetep aja ngerasa bersalah. Kalau tahu lu belum makan apa-apa kan, gua bisa ngajak lu makan ke mana dulu gitu." Rosea memiringkan kepalanya untuk mendapat wajah Julian yang menunduk dengan lebih jelas.

"Iya, oke aku maafin. Pulang gih, udah malem. Pasti capek seharian ini habis manggung di Kafe Mbak Aletha juga, kan? Makasih ya udah repot-repot bawa aku ke rumah sakit dan bawain makanan sekarang," kalimat yang terlontar dan kurva senyum yang Rosea bentu membuat hati Julian menghangat. 

"Kalau perlu apa-apa, bilang ya Ros!"

"Iya, Julian...." Rosea tersenyum gemas melihat Julian yang sangat terlihat khawatir akan dirinya. 

"Gua balik dulu, ya!"

"Hati-hati Julian!" Rosea melambaikan tangannya ke arah Julian dengan senyum yang lebar. Julian pun diam-diam tersenyum setelah kejadian barusan. 

Di sisi lain, 

"Hes, anak gantengku lagi jatuh cinta." Reno dan Hesita yang berada di dalam mobil melihat interaksi anaknya dengan perempuan yang sepertinya sudah berhasil menaklukan hati anaknya. 

"Ketahuan banget dia kalau jatuh cinta. Tapi ya gitu, malu-malu."

"Kayak kamu." Reno tertawa. Memang sifat malu-malu yang kadang ditampilkan Julian menurun dari mamanya. Kalau agresifnya jangan ditanya dari siapa.

[…]

Hembusan angin sore ini menerjang wajah Rosea dan laki-laki yang duduk bersila di sebelahnya. Rosea sendiri duduk menekuk lutut dengan pandangan yang ia lempar ke arah danau di depannya. Sedikit canggung memang berada di dekat lawan jenisnya, tetapi Rosea belajar untuk membiasakannya. Ia tak mau terus-terusan memanjakan ketakutannya.

"Hobi banget lu sakit. Ini kedua kalinya gua lihat lu luka," ucap Miko menunjuk bekas luka di pelipis Rosea yang mulai memudar. 

Rosea terkekeh pelan hingga lesung pipinya terlihat. "Ya gimana dong, orang lagi sakit pas itu."

Miko, duduk di sebelah Rosea dengan memegang jaket yang baru Rosea balikan. Ia dari tadi mencuri cium dari bau jaketnya. Walau beberapa kali bertemu, ia tahu itu bau parfum Rosea. Bau vanilla yang tidak terlalu manis, tetapi berhasil membuat Miko candu akan harumnya.

“Mau cokelat enggak, kak?” Rosea menyodorkan sebungkus bola-bola cokelat dengan bungkus keemasan pada Miko.

“Boleh!” Miko menerima cokelat itu dengan senyum merekah. “Lu emang suka banget ya makan kayak ginian?”

Rosea mengangguk dengan mulut yang dipenuhi bola-bola cokelat. Dengan mulut yang masih penuh, Rosea menjawab, “Enyak banget tahu kak!”

Miko mengangguk setuju setelah memakan satu gigitan. Ada rasa manis dan gurih dari kacang almon. Di dalamnya juga ada lelehan cokelat yang menambah sensasi tersendiri ketika memenuhi rongga mulut. Itulah mengapa Rosea langsung memakannya dalam satu lahapan. Rasanya akan lebih menyenangkan.

“Ros, minggu depan kosong? Mau ke pantai enggak?”

“Hmm…. Kosong sih kak. Ada apa emang?”

“Gua disuruh nyokap nemenin adek gua yang lagi ada acara di pantai. Biasalah anak cewek satu-satunya, takut kenapa-napa. Jadi, gua disuruh jagain. Daripada gua kayak curut di sana celingukan sendiri, mending gua ngajak lu. Gimana, mau enggak?”

Setelah beberapa saat berpikir dan menghabiskan sebungkus buah-buah cokelat, Rosea mengangguk setuju.

“Mau lagi?” Rosea menyodorkan sebungkus bola-bola cokelat lagi dan Miko terima dengan senang hati.

“Pantes ya pipi lu gembul gitu. Gemesin!”

Pipi Rosea sontak memerah mendengarkan pujian Miko. Dahulu saat ia bertemu dengan sepupu-sepupu perempuannya, Rosea akan dianggap gendut dengan pipi yang berisi. Padahal itu menambah kesan lucu pada diri Rosea.

Rosea memandang langit sore yang mulai menguning. Ada sekelompok burung yang kembali pulang ke sarangnya setelah seharian mencari makan. Hatinya menghangat. Kata-kata yang Miko lemparkan menambah kepercayaan dirinya. Dari dahulu ia sedikit merasa sebal dengan lemak-lemak yang terkumpul di pipinya. Namun, apa boleh buat lemak-lemak di tubuhnya lebih betah tinggal di pipinya ketimbang bagian tubuhnya yang lain.

Miko sedari tadi sibuk mengunyah bola-bola cokelat. Sesekali juga melirik ke arah Rosea yang terlihat begitu cantik dengan cahaya keemasan sore hari yang menerpa wajahnya. 

“Bahagia itu sederhana banget ya, Kak Mik?” Rosea bertanya dengan mata yang masih memerhatikan gerombolan burung yang beterbangan melewati danau.

Miko menoleh, menatap Rosea penuh arti. “Iya. Sesederhana ketika kita bisa ngelihat orang yang kita cinta bahagia berkat kita, Ros.”

Rosea mengangguk samar menyetujui. Ada sekelebatan beberapa orang yang berarti di hidupnya datang dengan senyuman.

"Sesederhana ngelihat lu senyum gara-gara gua, Ros," lanjut Miko membatin. 

Mendengar jawaban Miko, Rosea sontak mengembangkan senyumnya memandang Miko yang masih betah memuja kecantikannya dalam diam. Keduanya terjebak pada jeratan indah senyum masing-masing. Matahari yang akan tenggelam sebentar lagi menjadi saksi kedekatan mereka berdua.

"Pertemuan dengan lu adalah hal yang paling gua syukuri di dunia. Mencintai orang setulus dan sesederhana lu bikin gua sadar bahwa Tuhan baik banget mau mertemuin gua dengan definisi keindahan yang sebenarnya. 

Kayaknya ibadah seribu tahun pun enggak cukup buat berterima kasih ke Tuhan karena menghadirkan berkat seindah lu ke hidup gua yang penuh dosa," monolog Miko dalam diam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status