Share

[ Roses ] ; 09

CHAPTER 9

“Akan ada harapan baru untuk orang-orang yang masih mau berjuang.”

“Tolong bantuin gua dong!” pinta seorang gadis pada laki-laki bertubuh jangkung di depannya.

Pagi-pagi sekali di ruang tamu rumah bertingkat tiga ini diisi oleh dua orang bersentimen tinggi. Si gadis dengan baju tidur berwarna cerah, di kepalanya dihiasi bando dengan aksen sepasang tanduk sapi. Sedangkan si laki-laki nampak santai dengan kaos dan celana jeans robek-robek, duduk bersandar sofa, serta kakinya disilangkan dan telapaknya bergerak-gerak.

“Adah-adah! Apaan lagi sih, wak?” Laki-laki itu menyugar rambutnya angkuh. Matanya terlihat jengah menatap gadis di depannya. Walaupun cantik—ralat, sangat cantik—tetapi, karena sifatnya yang menyebalkan membuatnya malas.

“Eh lu gua bayar ya!”

Laki-laki itu sontak melotot. “Koreksi. Bokap lu!”

Gadis itu menunjukkan dua jari tengahnya. Dengan malas-malasan laki-laki tadi berpindah duduk di sebelah gadis itu dan mendekatkan telinganya. Beberapa kalimat laki-laki itu terima dengan anggukan sebagai jawabannya.

“Lu ngangguk-ngangguk aja, paham enggak?”

“Aelah… paham gua! Bayarannya nambah yak?”

Gadis itu membuka gawainya, “Berapa nomor rekening lu?”

Laki-laki tadi tersenyum lebar bak keledai. “Nah, gini dong!” ucapnya dengan tangan yang menarik gawai gadis di depannya, lalu menyerahkannya kembali.

 “Noh!” Gadis itu menunjukkan bukti transfer sejumlah nominal pada rekening laki-laki itu.

Thanks, bos!” Laki-laki itu tersenyum genit dengan menjentikkan jarinya di depan gadis tadi. Lalu, berjalan pergi dengan memutar-mutar kunci mobil dengan jari telunjuknya.

[…]

“Serena?”

Julian mengusap matanya yang memang rabun jauh. Berusaha melihat dengan jelas siapa yang duduk di sudut restoran. Sarapan yang cenderung telat ini mengantarkan Julian pada pertemuan tanpa rencana dengan mantan kekasihnya.

Netranya menatap lekat. Gadis itu semakin cantik dengan rambut dikuncir kuda. Terlihat manis dengan gaun selutut yang memeluk badannya. Ia duduk dengan anggun memandang laki-laki yang ada di hadapannya.

Julian merindukan Serenanya.

Selera makannya hilang. Ia hempaskan punggungnya. Julian memandang nanar Serena yang tertawa bersama laki-laki berjas biru dongker. Matanya mulai berkabut. Ada rasa marah dan juga cemburu di sana. Baju mereka sangat serasi. Dahulu Julian benar-benar enggan untuk memakai baju couple dengan mantan kekasihnya itu. Dan sekarang Julian sedikit menyesalinya.

Tatapan yang mereka lemparkan satu sama lain sontak meyakinkan Julian bahwa semua ungkapan cinta Serena padanya beberapa hari yang lalu hanya bualan semata. Hal itu membuat hati Julian dongkol. Napasnya terengah, dadanya bergerak-gerak. Dinan yang memperhatikan itu menaikkan sebelah alisnya bingung.

Julian marah.

“Jul?”

“Julian…”

Kesal karena panggilannya tak digubris, Dinan berniat berdiri dari kursinya dan mendekat ke samping Julian, lalu mencubit otot perutnya. Tetapi ide usilnya ia urungkan saat mendapati pasangan kekasih yang saling menggenggam tangan di atas meja dan saling mengadu pandang. Sungguh romantis pikir Dinan, namun itu sungguh tragis bagi Julian.

Dinan hanya bisa menggaruk pelipisnya. Ia tahu sahabatnya itu sungguh mencintai iblis berparas malaikat bernama Serena. Bahkan sahabatnya itu mau mengorbankan dan merubah banyak hal dari dirinya untuk gadis gila itu. Ckckck… Bener kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak ada logika. Monolog Dinan.

“Jul, udah dong…”

Julian mendengar jelas perkataan Dinan sedari tadi. Hanya saja jika ia membuka mulut sekarang, air matanya pasti meluncur begitu saja. Bohong jika ia tak sedih melihat Serena duduk berdua dengan laki-laki lain di hadapannya.

“Jul, cabut yuk!” Dinan tak tega melihat mata Julian yang telah berkaca-kaca. Ia berdiri dan mengajak Julian beranjak dari kursinya, lalu pulang. Persetan dengan lapar daripada sahabatnya tambah terluka.

Sebenarnya ini rahasia di antara Dinan, Hanzel, dan Royan. Mereka bertiga sejujurnya sudah tahu mengenai Serena yang bermain silang. Jauh sebelum teman Julian memberi tahu tentang Serena yang terlihat pergi dengan seorang laki-laki di kampusnya. Royan berpesan pada Dinan dan Hanzel agar tak ikut campur pada hubungan mereka. Lagi pula waktu itu hanya asumsi dan teori mereka. Royan paling anti memercayai sesuatu sebelum hal itu dikonfirmasi secara langsung oleh orangnya.

Awal mulanya dari Hanzel yang melihat postingan foto kakaknya bersama teman-temannya di sebuah bar ekslusif. Dugaan Hanzel itu rekan bisnis kakaknya. Di foto itu pula terdapat beberapa gadis cantik yang duduk di tengah laki-laki berjas mahal. Naluri laki-laki Hanzel berjalan melihat gadis-gadis cantik dengan gaun malam yang sangat ketat. Hanzel men-zoom satu per satu wajah gadis-gadis itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat Serena.

Serena, yang pada saat itu masih menjadi kekasih dari Julian, duduk dipangku oleh laki-laki berkulit seputih susu. Tangan laki-laki itu memeluk perut Serena mesra. Perlakuan laki-laki itu dibalas oleh Serena dengan mengalungkan tangannya ke leher laki-laki itu. Hanzel berusaha menutup mata dan menepis pikiran bahwa Serena berselingkuh.

Yakali Serena. Orang tuh dua orang bucin akut. Love bird! Gumam Hanzel kala itu.

Sehari, dua hari Hanzel tetap diam. Namun, di hari ketiga ia tak tahan dan menceritakannya pada Dinan dan Royan.

Semenjak kejadian tersebut, ketiganya merasakan ada perbedaan tingkah laku Serena pada Julian. Julian pun mulai hidup tak bergairah karena merasa ditarik ulur oleh Serena.

“Yah. Yah. Jul! Jangan nangis dong…” Dinan gelagapan melihat air mata Julian yang menggenang.

“Ish siapa juga yang nangis!” Julian mengusap wajahnya kasar, “Ayo cabut!”

“Cih! Cowok jeli!”

[…]

Rosea terkejut mendapati Miko memberikannya tas belanja merek ternama yang isinya ternyata topi pantai berwarna putih gading. Di sudut kanan ada aksen bunga sepatu warna merah menyala. Topi itu bertambah manis dengan pita berwarna hijau daun yang melingkari.

Tawa Miko memenuhi mobil sedan miliknya. Ia tak tahan melihat Rosea yang memakai topi pantai yang ia belikan khusus untuk gadis itu. Rosea memakainya dan memeragakan topi itu bak model papan atas. Jangan lupakan ekspresinya yang menggelikan. Mata yang sengaja ia kedip-kedipkan. Bibir yang dimonyongkan seperti bebek jatuh cinta. Miko rasa Rosea cocok jadi komedian.

Tawa mereka semakin semarak kala Miko memakaikan kacamata hitam miliknya pada Rosea. Sekarang gadis itu memainkan acting sebagai model video klip musik. Lagu milik Surface berjudul Sunday Best yang terputar lewat radio mobil sangat mendukung acting Rosea.

“Aw! Aw! Kak Mik, udah dong ketawanya badan aku sakit semua!” Kebiasaan seorang Miko ketika tertawa adalah memukuli orang di sebelahnya. Kini Rosea yang menjadi sasarannya. Dalam hati Rosea berjanji tak akan melawak di depan Miko lagi.

“Hahaha… iya-iya sorry. Suka enggak sama topinya? Adik gua yang milihin tuh!”

“Awalnya mau bilang jelek, tapi kalo yang ngasih adiknya Kak Miko, aku bilang bagus.” Rosea tersenyum jahil.

Miko menyadari sesuatu. Rosea memiliki lesung pipi. Dengan gemas Miko menusuk lesung pipi Rosea dengan telunjuknya. “Iya deh iya…”

“Ayo kak berangkat, keburu siang!”

Miko tak berangkat bersama Taco karena adiknya itu memilih berangkat ke pantai bersama teman-temannya yang lain. Tak arang hal itu menjadi kesempatan dalam kesempitan bagi Miko untuk berduaan dengan pujaan hatinya.

I love you, dek!

[…]

Rosea. Sebuah nama yang bundanya persembahkan untuk anak pertamanya yang lahir ke dunia. Bayi cantik dengan mata bulat dengan bobot dan tinggi di atas rata-rata. Dokter Tyas, dokter yang membantu proses persalinan Bunda Liliana, sangat yakin jika bayi itu akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan digilai banyak laki-laki. Liliana yang masih terbaring lemah seusai melahirkan terkekeh mendengar penuturan Dokter Tyas.

Belasan tahun berlalu, perkataan Dokter Tyas terbukti benar. Rosea banyak membuat laki-laki jatuh cinta padanya. Sifatnya yang welas asih serta senyum manisnya mampu menyihir siapapun yang bertemu dengannya..

Nama yang Bunda Liliana persembahkan untuk anak perempuannya itu juga menjadi doa ampuh bagi Rosea hingga saat ini.

‘Rose’ dan ‘Sea’.

Di siang dan malamnya saat hamil Rosea, Liliana selalu berdoa kepada Tuhan agar anaknya diberikan hati seharum bunga mawar dan seluas lautan. Jadilah sekarang Rosea gadis yang penuh kasih dan pemaaf.

Sekitar 4 tahun lalu. Saat Rosea bersama teman satu angkatannya melakukan rekreasi ke Bali, ia tak menyentuh air laut sedikitpun. Ia duduk di pinggir pantai dengan es kelapa di dekapannya. Memandangi teman-temannya yang asyik bermain beberapa permainan air yang tersedia. Hana di sebelahnya ikut duduk cantik sambil berfoto ria.

“Hahaha lucu juga ya kak kalo dipikir-pikir. Nama aku ada unsur lautnya, tapi aku takut laut.”

“Kan lu emang lucu.” Rosea mengalihkan fokusnya ke wajah Miko yang masih asyik bermain pasir. Rosea terkekeh pelan menanggapi perkataan spontan Miko.

Miko dan Rosea duduk bersila beralaskan pasir pantai. Rosea sedari tadi bercerita asal usul namanya kepada Miko dengan tangannya tak henti membuat istana pasir. Miko awalnya hanya iseng bertanya karena nama gadis itu sangat unik. Biasanya yang ia temui seperti Rosa, Rosalin, ataupun Rosalinda.

“Tahu gitu gua enggak ngajak lu ke sini,” sesal Miko yang membuat Rosea menghentikan kegiatannya mencetak istana pasir.

“Aih… Jangan sedih gitu dong!” Rosea menatap Miko dengan mata bulatnya.

“Lagian juga hitung-hitung buat ngilangin takut dikit-dikit. Kalo ada apa-apa kan bisa ditolongin Kak Miko,” ujar Rosea percaya diri.

“Iya kalo gua bakal nolongin lu? Kalo enggak?” Miko menampilkan ekspresi menyebalkan guna menggoda Rosea.

“Kok Kak Miko gitu?” Bibir Rosea melengkung ke bawah, kecewa.

“Ya soalnya enggak gini.” Miko menjulurkan lidahnya mengejek Rosea.

Sebal melihat Miko menggodanya terus-menerus, akhirnya ia melemparkan segenggam pasir ke badan Miko. Bukannya marah, laki-laki itu justru tertawa puas, dan menambah kekesalan Rosea. Melihat Rosea yang akan melemparnya dengan pasir lagi, Miko memutuskan untuk pergi berlari menjauhi Rosea.

Tanpa sadar mereka berlarian sampai pada garis pantai dengan air laut setinggi mata kaki. Miko menggendong Rosea yang sedari tadi melemparinya dengan pasir. Rosea menendang-nendangkan kakinya tak terima digendong begitu saja seperti karung goni. Tangannya pun memukul-mukul punggung Miko.

Miko semakin mempercepat langkahnya. Badan Rosea terlonjak tak beraturan seirama dengan tempo lari Miko. Rambut gadis itu terjuntai ke sana-sini.

“Kak Miko turunin dong!” pinta Rosea dengan pukulan tangannya yang mengencang. Karena tingkah Rosea yang semakin membabi buta, akhirnya mereka berdua limbung di bibir pantai dan basah terkena air.

“Yah kan gara-gara lu Ros, jadi basah gini!” Dalam keadaan seperti ini Miko sempat-sempatnya menggoda Rosea.

“Kok aku?” Rosea melotot tak terima.

“Coba lu tadi diem, kan enggak bakal jatuh.”

“Yah itu mah karena Kak Miko yang cupu, enggak kuat ngangkat aku. Hu…” Rosea mengacungkan jempolnya terbalik ke wajah Miko.

“Berani ngeledek ya sekarang, hah?” Gemas bercampur kesal, Miko menciprati Rosea dengan air. Tak mau kalah, Rosea ikut-ikutan meraup air laut dengan tangannya dan melemparkannya pada Miko. Mereka berdua basah kuyup dibuatnya. Tawa Miko dan Rosea berbaur dengan suara angin pantai yang berdesir merdu.

Hingga tanpa sadar, Rosea melupakan ketakutannya tentang laut untuk sesaat. Ketakutannya tentang dalamnya air yang mampu menelannya dalam gelap. Juga ketakutannya tentang kematian.

Rencana spontan Miko untuk membuat Rosea tak takut lagi akan laut, berhasil dengan mudah ia jalankan. Memang benar, apapun yang dilakukan dengan hati yang ikhlas, Tuhan pasti memberikan kemudahan dalam melakukannya.

Miko semakin jatuh cinta dengan semua hal tentang Rosea. Namanya, senyumnya, hingga tawanya yang indah. Hari itu tak akan Miko lupakan.

Pada hari itu juga, hari di mana Miko pulalah menjadi laki-laki pertama yang berhasil membuat Rosea nyaman bersentuhan dengan lawan jenisnya. Juga membuat ketakutan Rosea akan laut sedikit berkurang.

Suatu hari nanti, Rosea harus membalas semua kebaikan dan cinta Miko untuknya.

Miko berhak mendapat tempat yang spesial di hati Rosea.

[…]

“Kakak lu ikut?”

“Ho oh. Noh!” Taco menunjuk dua orang yang sedang asyik minum air kelapa dari batok kelapanya langsung.

Sahabat Taco, Maria, bertanya lagi apakah abangnya ikut atau tidak. Jawabannya sudah sangat jelas kalau abang dari Taco, Nico Saputra, tak akan punya banyak waktu hanya untuk menemaninya mengikuti kegiatan sekolah seperti ini. Abangnya itu sedang sibuk syuting film terbarunya.

“Btw, cakep ya cewek kakak lu. Anak Satu Bangsa juga?”

Taco mengangguk sambil membenarkan topi pantainya. “Iya. Gua pengen dah kayak Kak Rosea. Udah cantik, pinter lagi.” Taco memandangi kakinya yang diselimuti pasir pantai.

“Lu jangan merendah untuk membangsat ya!” Maria menangkup wajah Taco dan memaksa menghadapnya. “Lu cantik banget anjir! Trus lu bilang pengen pinter? Lu pinter banget gila! Buktinya lu bisa banyak hal.”

Taco melepaskan tangan Maria dari wajahnya. “Yah tapi kan gua enggak bisa punya kemampuan akademik yang mumpuni kayak kakak sama abang.” Taco mencebikkan bibirnya.

“Tiap orang punya keistimewaannya masing-masing. Tuhan nyiptain orang beda-beda. Kalo mau sama mah costum ke digital printing aja! Lu tuh jago organisasi, lu bisa main basket, lu juga bisa bela diri. Lu udah keren banget, seriusan dah!” Maria menampilkan dua jempol pada sahabatnya.

“Mar… Makasih ya?”

“Seharusnya gua yang bilang makasih. Gua jadi bisa belajar dari lu kalo cantik itu enggak cukup, tapi harus kuat juga, biar enggak diinjek-injek kaum berbatang.”

“Ahahahah bahasa lu, Mar! Yaudah yuk balik ke Pak Beni, takut dicariin.”

“Yuk!”

[…]

“Ada udang di balik batu. Ada Rosea tuh!”

“Gua kira lu mau nyanyi lagi,” ujar Royan jengah.

Julian dan ketiga sahabatnya sedari sore sudah nangkring di Kafe Aletha untuk mengerjakan tugas. Dinan dan Hanzel sudah menyerah sejak setengah jam lalu. Mereka memilih main Uno ketimbang melanjutkan tugasnya.

“Kayaknya ada yang udah kalah sebelum berperang nih?” Hanzel menunjuk Julian yang berada di sebelahnya dengan lidahnya.

“Lah Julian beneran suka sama Rosea? Lah tadi pagi masih nangisin Serena gitu,” komentar Dinan menyulut api perang di mata Julian.

“Kalau belum move on jangan deketin anak orang dulu. Kasian kalo cuma dijadiin pelarian,” ucap Royan.

“Hadeh… Ada yang curcol berkedok ngasih wejangan nih!”

Dinan. Satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana kasihannya Royan kala itu. Saat menjelang ujian kelulusan SMA, Royan dekat dengan salah satu adik kelasnya. Naasnya sesaat sebelum Royan menyatakan cinta, Royan baru mengetahui jika adik kelas itu suka padanya karena mirip dengan mantan kekasihnya.

Hanzel dan Julian tidak mengetahui kepada siapa sindiran yang dilontarkan Dinan hanya bisa melongo. “Enggak usah dipikirin. Makin malem, makin ngaco nih anak!” ujar Royan mengalihkan arah pembicaraan.

Semenjak kedatangan Rosea ke kafe yang diantar oleh laki-laki yang tak ia ketahui, Julian merasakan ada yang mengganjal di hatinya. Entah perasaan apa itu. Dinan yang memperhatikan bagaimana Julian menatap Serena pagi tadi dan Rosea saat ini terlihat sama. Ada rasa sakit di binar matanya.

Emang bisa ya suka sama dua orang sekaligus? Dinan bertanya-tanya.

Malam ini Julian menampilkan sebuah lagu yang terdengar sedikit mellow. Dari yang ditangkap ketiga sahabatnya, Julian nampak merana.

Lagu ‘Falling’ dari Harry Styles, Julian nyanyikan arah mata yang tertuju pada Rosea yang sibuk melayani pelanggan. Sedari tadi tangannya sangat gatal untuk menarik laki-laki yang berada di sebelahnya.

Tadi saat Aletha mengatakan bahwa dirinya harus pergi sebentar, Miko dengan pupil membesar antusias menawarkan bantuan pada Rosea. Aletha yang mendapat pegawai tambahan cuma-cuma, menerima bantuan Miko dengan senang.

Julian menatap tak suka keduanya. Tak pernah Julian lihat Rosea tertawa selepas itu saat bersamanya. Dan lagi, ketika beberapa waktu lalu ia mengusap surai Rosea, gadis itu sedikit memundurkan kepalanya tak nyaman. Namun, kini laki-laki itu dengan mudahnya mengusap gemas surai Rosea dengan mudahnya.

“I’m falling again. I’m falling again. I’m falling…” Lagu Julian tutup dengan mata yang masih memandang redup kedua insan yang sangat ingin ia pisahkan.

[…]

Keduanya memandang jalanan di depannya yang basah karena baru diguyur hujan.

“Han!" Hanzel menoleh ke Dinan dengan kedua alis yang terangkat seakan bertanya, ‘Ada apa?’

“Bisa enggak sih orang tuh suka sama dua orang sekaligus?”

Hanzel mengamati air muka Dinan. Kalau dicermati sepertinya pertanyaan tadi bukan mengenai dirinya. “Ya bisalah! Orang lu aja suka sama semua cewek di fakultas.”

“Ah elah jawaban lu enggak ada benernya. Serius nih gua nanyanya.” Mimik wajah Dinan yang awalnya biasa saja berubah merah padam.

“Ya bisa, Nan. Bisa banget malah. Lu tuh bisa suka sama dua orang, bahkan lebih sekaligus. Ah tapi menurut gua itu mah cuma suka kagum gitu. Bukan yang suka ke yang ada perasaan gitu. Paham kan maksud gua?”

Dinan mengangguk-angguk paham. “Kalo Julian ke Rosea menurut lu gimana?”

Mendengar pertanyaan Dinan membuat Hanzel terbatuk akibat tersedak asap rokok. Dengan tanggap Hanzel memberikan botol air mineralnya. “Santai-santai, bang! Kayak gua nanyain lu apaan aja.”

“Kampret! Jadi dari tadi lu bahas Julian?” Dinan hanya menaik-turunkan alisnya mengiyakan. 

Seperempat jam setelahnya, Dinan dan Hanzel kembali. “Lu yakin, Han?”

“Udah nurut aja sih. Gua yakin ini berhasil.”

“Ah parah lu! Kasihan, Han…”

“Ssst….”

Dua laki-laki masuk ke kafe dengan tampang tanpa dosa setelah melakukan perbuatan melanggar hukum. Royan melihat keduanya hanya berdecak dan menggeleng-gelengkan kepala. Keduanya malah cekikikan. Benar-benar duo gila Dinan dan Hanzel.

Hanzel menunjuk Julian yang masih berada di panggung. Duduk memangku gitar dengan mata terpejam. Sahabatnya itu menyanyikan lagu yang sangat melankolis. Bukan Julian sekali. Laki-laki itu biasanya terlihat tenang dengan segala emosi yang melingkupinya.

Sedetik kemudian, tangan Hanzel bergerak menunjuk Rosea dan Miko yang tengah melayani pelanggan bersama. Pasangan serasi nan kompak.

Ketiganya menggeleng tak paham dengan situasi ini. Sahabatnya baru putus, namun dengan mudahnya sudah jatuh cinta dengan perempuan lain? Dunia ini sungguh edan.

“Jangan bilang lu berdua ngempesin ban mobil tuh cowo?”

Dinan dan Hanzel mengangguk antusias.

Royan menepuk jidat lumayan keras. “Ya Tuhan gua salah apa di kehidupan sebelumnya?”

[…]

“Yah, Ros, ban mobil gua kayaknya kempes deh! Gimana dong?” Miko menggaruk pelipisnya merasa bersalah.

“Aih… Gapapa kok Kak Mik. Mau aku temenin buat nyari tukang isi angin deket sini endak?”

“Udah malem lho, Ros. Lu pasti capek. Biar gua manggil tukang langganan gua aja.”

Rosea tersenyum. “Gapapa aku-” Perkataan Rosea menggantung kala ada suara lain yang memanggilnya.

“Belum pulang, Jul?”

Dengan gelisah Julian mengusap hidungnya. “Ah iya, gua dari tadi masih di mobil.”

Alis Miko bertaut. Miko yang melihat gelagat Julian merasa curiga. Apa dia yang menggembosi ban mobilnya? Pasalnya Miko sangat yakin tadi sebelum masuk kafe ban mobilnya baik-baik saja.

“Mau gua anter balik, Ros?” tawar Julian. Miko mendengus sebal. Kesempatannya berduaan lebih lama dengan Rosea menghilang begitu saja.

“Hmmm endak usah Julian. Kamu duluan aja gapapa. Maaf ya!” Di belakang Rosea, Miko dalam bisu bersorak menang. Dengan sengaja Miko menatap sombong Julian yang terlihat kecewa dengan jawaban Rosea.

Julian tak gentar. Ketika melihat Rosea mengelus-ngelus lengannya sendiri, Julian tahu gadis itu kedinginan. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. “Kamu kedinginan, Ros?”

Sontak Miko memperhatikan Rosea. Memang benar gadis itu kedinginan. Dengan sigap, Miko melepaskan jaketnya. Sedikit mengeratkannya agar lebih menutupi tubuh gadis itu. “Makasih, Kak Miko.” Rosea tersenyum.

Julian kalah telak.

“Lu pulang sama dia aja gapapa. Daripada lu sakit. Tadi katanya minggu depan mau lomba, kan?”

“Gapapa, kak?” Miko mengangguk mantap. Ia tak mau memenuhi nafsunya saja dan mengorbankan kesehatan Rosea. “Hati-hati, ya!” Miko melambaikan tangannya melepas kepergian gadisnya.

Rosea merasa bersalah harus meninggalkan Miko, namun di sudut hatinya yang lain merasa senang. Malam ini setelah beberapa waktu tak banyak waktu yang ia lewatkan bersama Julian, Rosea bisa menikmati senyum indah Julian lagi. Senyum bulan sabit yang Rosea suka. Favorit Rosea.

Di seberang sana, laki-laki dengan jaket dan kacamata hitam melaporkan semua kejadian yang ia lihat. “Iya, wak, cewek yang lu maksud pulang bareng laki-laki yang lu bilang.”

“Ikutin sampek rumahnya!”

“Oke, wak!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status