"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang.
"Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?
"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang.
Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar.
"Maaf ya, Yang," kataku.
"Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya.
Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja.
"Ambil bangku," suruh Eyang.
Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang.
"Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipiku.
"Kamu sangat mirip ibumu. Terobati rasa kangen Eyang sama dia." Meski suaranya Eyang serak dan pelan, masih bisa kudengar dengan jelas.
Kata Ayah, aku memang sangat mirip dengan mendiang ibu. Seperti pinang yang dibelah dua. Bedanya, rambutku agak merah bergelombang, rambut ibu hitam lurus. Kata Ayah, rambutku begini memang sudah bawaan sejak lahir. Waktu aku kecil, aku sempat dijuluki si rambut jagung. Namun, Eyang marah dan melarang menyematkan julukan itu. Eyang khawatir, julukan itu akan terus tersemat hingga aku dewasa.
Bi Lasmi datang lagi dengan membawa nampan tadi, yang di atasnya sudah ada mangkuk bubur dan mangkuk sup baru. Dia sekaligus membawa sapu dan pengki.
Aku segera bangkit untuk mengambil nampan dari tangannya, agar dia tak kesusahan.
Kembali aku duduk di hadapan Eyang, dan mulai menyuapkan bubur yang dicampur dengan sup itu.
"Kamu, menetaplah di sini. Eyang sudah mengalihkan rumah ini dan semua aset untuk kamu. Kalau nanti Eyang meninggal, pengacara akan membalik semua namanya atas nama kamu."
Aku agak terkejut sekaligus senang tentunya. Siapa yang tak senang? Aku yang selama ini tak punya rumah, hanya mengontrak saja. Kini punya semuanya.
Bukan hanya rumah, juga ada kebun dan peternakan yang tinggal memetik hasil. Mendadak aku merasa seperti menjadi Cinderella saja. Apakah ini yang disebut rezeki tak terduga?
Ah … ini sih sudah terduga. Pada siapa lagi Eyang mewariskan hartanya, selain padaku, cucu semata wayangnya?
Bi Lasmi langsung keluar setelah membersihkan kamar Eyang. Dia menutup pintu kamar Eyang.
"Eyang, apa Eyang nggak mau terapi, biar bisa jalan lagi?" tanyaku.
Eyang pasti masih bisa pulih kalau Eyang mau lebih serius lagi berobat. Apalagi kulihat, kaki Eyang masih terlihat normal.
"Eyang sudah banyak sekali berobat. Sudah capek. Paling sekarang minum obat herbal saja. Eyang malas terlalu banyak minum obat kimia," kata Eyang.
"Tak ada salahnya usaha, Eyang," kataku.
Siapa tau Eyang bisa kubujuk. Aku baru kali ini bertemu Eyang. Rasanya aku ingin punya waktu lebih lama lagi. Tentu akan jauh lebih asik, kalau aku bisa jalan-jalan sama Eyang.
"Assalamualaikum!" Aku mendengar suara orang mengucap salam dari arah luar rumah.
"Assalamualaikum!" Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lantang dari yang tadi.
"Kamu lihat, siapa yang datang. Barangkali Zain, mengantar uang penjualan bebek sama lele," titah Eyang.
"Siapa Zain, Yang?"
"Dia orang yang Eyang percaya menjual lele dan bebek kita. Dulu bapaknya. Sejak bapaknya sudah meninggal, dia yang meneruskan. Sana temui dulu. Lasmi mungkin lagi keluar."
Aku gegas bangkit untuk menemui orang yang Eyang maksud. Keadaan ruang tamu sunyi. Kemana Bi Lasmi? Mas Mondi juga. Masak belum selesai mandi sejak tadi.
Pintu depan ternyata terbuka, pantes suara orang dari luar terdengar sangat nyaring.
Aku melihat seorang pria sedang berdiri memunggungiku. Postur tubuhnya tinggi, bentuk badannya bagus terlihat dari belakang begini. Rambutnya gondrong, sampai lewat bahu.
Dia berbalik, dan langsung terpana melihatku. Matanya sampai tak berkedip, membuatku jadi salah tingkah. Aku tau, aku sudah bersuami. Tapi wanita mana, yang tak tersipu dilihat seperti itu.
"Tolong jaga mata ya," ketusku. Terpaksa, untuk menutupi salah tingkahku.
"Oh, maaf Kak," katanya jadi kikuk.
Dilihat dari depan begini, dia cakep banget. Mirip sama anak almarhum Ustad kondang itu. Apalagi dengan warna kulit coklat, terlihat macho.
"Mau apa?" tanyaku.
"Kenalin Kak, namaku Zain. Anak Medan asli," katanya seraya mengulurkan tangan, tanpa menjawab pertanyaanku.
"Nggak nanya," jawabku, tanpa menyambut uluran tangannya.
Meski begitu, dia tetap tersenyum menarik tangannya yang tak kusambut. Senyumnya, benar-benar bikin meleleh. Jarang loh, ada cowok memiliki lesung pipi saat tersenyum.
"Bah, jutek kali Kakak. Tapi tambah manis," katanya, membuat pipiku panas.
"Eh, nggak lihat nih perut buncit! Masih aja godain istri orang!" Aku bersikap ketus untuk menyamarkan semburat merah yang barangkali sudah menghiasi pipiku.
"Siapa yang menggoda Kakak? Aku bicara yang betul," katanya dengan logat Medan yang kental.
"Mau apa? Dari tadi ditanyain, malah lain-lain yang dijawab." Aku bertanya lagi.
"Kakak kasih tau dulu nama Kakak, baru aku jawab. Siapa tau kita bertemu di jalan, aku bisa menyapa dengan sopan," katanya.
"Udah, nggak perlu tau. Kamu mau setor uang jualankan? Masuk gih," ujarku padanya.
"Wiih, paten kali Kakak ini. Padahal aku belum bilang apa-apa, tapi Kakak udah tau. Macam dukun aja ah." Rasanya aku hampir senewen menghadapinya, tapi lucu juga.
"Udah cepat. Eyang udah nunggu. Sudah mau Maghrib, nanti kesambet di jalan," kataku asal saja.
"Tak mungkin Kak, setan di sini takut sama aku," katanya sok yakin, tapi masuk juga ke dalam rumah.
Aku mengikutinya sampai ke kamar Eyang.
"Assalamualaikum, Yang," sapanya sambil mencium takzim punggung tangan Eyang.
Hmm, bisa sopan juga ternyata.
"Waalaikumsalam," jawab Eyang sambil tersenyum.
"Ini setoran hari ini. Alhamdulillah, habis Eyang. Kita dapat langganan rumah makan baru di kota," kata Zain.
Entah kenapa, aku merasa seperti mengenalnya. Mataku jadi tak mau lepas dari dia.
"Syukurlah. Eyang suka lihat semangat kamu," kata Eyang. Eyang nampaknya sayang sekali sama Zain.
"Zain akan lebih semangat kalau Eyang mau nurut sama Zain," katanya membuat alisku menaut. Apa maksud perkataannya? Kenapa Eyang harus nurut sama dia?
"Eyang hanya sakit biasa, tak perlu lah," sahut Eyang.
"Eyang, coba lah. Siapa tau kali ini cocok," kata Zain memohon.
Aku lihat gerakan kepala Eyang menggeleng.
"Kamu sudah ketemu sama Rachel kan?" tanya Eyang. Aku masih berdiri diam memperhatikan.
Mata Zain kini tertuju padaku, membuat aku jadi membuang muka karena risih dilihat seperti itu, oleh laki-laki yang bukan suamiku.
"Dia Rachel, Yang?" tanya Zain pada Eyang, seraya menunjukku dengan dagunya.
"Iya. Kamu nggak tanda?" tanya Eyang.
Aku merasa, saat bersama dengan Zain, Eyang jadi sangat bersemangat. Suaranya juga lebih jelas, daripada saat bicara denganku tadi.
Eit, tunggu dulu. Apa pertanyaan Eyang tadi? Kamu nggak tanda? Apa maksudnya? Kenapa banyak sekali sih, teka-teki di rumah Eyang?
~~~~~~~~~
Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y
“Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg