Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu.
"Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat.
"Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal.
"Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang.
"Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah.
"Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang.
"Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri.
Entah kenapa, saat dia bilang dia abangku, aku merasa terharu sekali. Aku terlahir menjadi anak tunggal. Sering terbit rasa ingin memiliki saudara kandung. Entah itu abang, kakak, atau adik. Kehadiran Zain, nampaknya akan mewujudkan inginku. Walau gayanya agak urakan, sepertinya dia akan jadi abang yang baik buatku.
"Saya suaminya!"
Aku menoleh, mendengar suara Mas Mondi yang terdengar ketus. Sorot matanya memandang Zain dengan wajah tak suka.
"Oh, ini suami kau. Ganteng juga. Pantas kau mau jadi istrinya. Perkenalkan, aku Zain. Zainy Nasution. Anggap saja, aku ini abang istri kau." Zain memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada Mas Mondi.
Mas Mondi hanya melihat tangan Zain saja, lalu mengabaikannya. Aku jadi merasa tak enak dengan sikap Mas Mondi. Apa dia cemburu sama Zain? Padahal aku yakin, Zain sudah mengantisipasi, dengan mengatakan kalau menganggap dia abangku.
Kulihat Zain menarik tangannya dengan wajah kecut, tapi disembunyikan di balik senyumnya yang manis. Badannya berbalik, jalan lagi ke arah Eyang.
"Yang, Zain permisi ya. Udah mau Maghrib. Eyang pikirkan kata-kata Zain tadi. Zain yakin, Eyang masih bisa jalan lagi. Kejar-kejar bebek lagi," kata Zain.
Aku lihat Eyang tertawa kecil sambil mengguyar kepala Zain yang menunduk mencium tangan Eyang. Kenapa Eyang sangat berbeda saat bersama Zain? Eyang yang kulihat tadi, saat baru datang, seperti tak memiliki harapan untuk hidup. Sementara dengan Zain, wajahnya tampak berseri.
Memang sih, aku sendiri merasa lain saat pertama tadi melihatnya. Sulit aku menjelaskan, yang jelasnya, kayak senang aja gitu, kalau lihat dia? Mungkin karena dia kayaknya orang yang humoris ya. Katanya kan begitu, berdekatan dengan orang yang humoris, akan bikin hati selalu bahagia.
Zain jalan lagi ke arahku berdiri, tepatnya ke arah pintu sih, karena aku berdiri di dekat pintu.
"Aku pulang, ya Bro. Kalau ada apa-apa, panggil aja. Rumahku nggak jauh. Nomor hapeku juga ada sama Eyang," katanya dengan percaya diri pada Mas Mondi. Aku lihat, Mas Mondi hanya menatapnya dingin. Baru kali ini aku melihat dia sejutek itu sama orang.
Zain langsung berlalu dari hadapan kami. Aku mendekati Eyang dan kembali duduk di hadapan Eyang untuk menyuapinya makan lagi. Mas Mondi datang mendekati.
"Yang, sebenarnya, Zain tadi minta Eyang ngapain. Kok kayaknya agak maksa?" tanyaku.
"Dia mau bawa Eyang berobat, biar bisa jalan lagi," kata Eyang.
"Bagus dong Yang. Rachel setuju sama Zain. Eyang memang harus terapi. Rachel yakin, paling beberapa kali aja, Eyang bisa jalan lagi," kataku dengan semangat, berharap Eyang mau menurut.
"Kan sudah Eyang bilang. Eyang sudah banyak melakukan terapi, tapi nggak ada hasil. Biarlah, mungkin sakit ini untuk melunturkan dosa-dosa Eyang di masa lalu," kata Eyang dengan pandangan menerawang.
Aku menatap Eyang dengan tatapan menyelidik. Sepertinya kata-kata yang baru saja Eyang ucapkan memiliki makna yang sangat mendalam.
"Yang, nggak bolehlah, pasrah seperti itu. Kan ada cara lain untuk menebus dosa masa lalu. Biar Rachel temani. Mumpung Rachel masih bisa kemana-mana." Aku tetap kasih support sama Eyang. Kalau nanti perutku semakin besar, pasti gerakanku semakin terbatas.
"Lagipula, Zain bukan mau ajak Eyang terapi tulang. Menurut Eyang, pengobatan yang Zain anjurkan itu percuma juga kalau diikuti." Dahiku mengernyit mendengarnya.
"Terapi apa, rupanya yang Zain anjurkan sama Eyang?" tanyaku.
"Dia mau bawa Eyang, ruqyah."
Terus terang saja, agak terkejut sih aku mendengarnya. Buat apa Zain mau bawa Eyang ruqyah. Eyang tak bisa jalan, badannya lemas, bukan kesurupan. Aneh.
"Orang kayak dia itu aneh. Musyrik." Tiba-tiba Mas Mondi mengumpat. Terlihat emosi, meski tak terlalu.
"Kok musyrik Mas? Ruqyah itu justru pengobatan yang dianjurkan dalam agama kita," kataku tak setuju dengan pemikiran Mas Mondi.
Mas Mondi memang bukan orang yang taat agama, tapi biasanya dia juga tak menentang apa yang dianggap baik.
"Bukan pengobatannya yang musyrik, maksud Mas, pemikiran si Zain itu. Dia pasti mikirnya, Eyang diguna-guna makanya jadi lumpuh. Terus nanti kalau dibilang pikirannya itu salah, dia akan bilang, kalau bisa saja hal itu masuk akal mengingat Eyang punya harta banyak, warisan dari Buyut. Sementara keturunan cuma kamu. Bisa saja ada yang iri dan ingin menguasai harta Eyang. Caranya, ya bikin Eyang lumpuh."
Aku terbengong mendengar argumen Mas Mondi, yang bahkan tak terlintas di pikiranku. Lagian, darimana Mas Mondi tau, kalau harta Eyang warisan dari Buyut? Apalagi dia bicara dengan sangat berapi-api.
"Mas, kamu kok, kayak lebih tau soal harta Eyang?" selidikku.
Dia tampak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Eh, itu kan … kamu yang cerita. Masak kamu lupa," katanya.
Aku diam, mencoba mengingat-ingat. Aku saja baru tau soal Eyang, kapan aku cerita soal harta Eyang sama Mas Mondi? Apa aku yang lupa?
"Eyang sudah kenyang," kata Eyang saat aku akan menyuapkan lagi makannya.
"Sayang, Mas lapar, kita makan yuk. Eyang kan sudah selesai," kata Mas Mondi. Entah benar lapar, atau hanya untuk mengalihkanku saja.
"Eyang mau pindah ke tempat tidur," kata Eyang.
Mas Mondi langsung bangkit, berinisiatif untuk mengangkat Eyang. Setelah Mas Mondi mengangkat Eyang, Eyang menyuruh kami untuk makan.
Aku dan Mas Mondi keluar dari kamar Eyang, lalu menutup pintu kamarnya, agar Eyang bisa beristirahat dengan tenang.
Melihat menu yang sudah disediakan Bi Lasmi di atas meja makan, membuat aku lupa soal keanehan Mas Mondi tadi. Bebek masak ungkep yang dimasak Bi Lasmi, benar-benar menggugah selera, dan beda dari yang pernah kubeli di Jakarta.
Walau Bi Lasmi orang Jawa, sama seperti Eyang. Namun karena sudah sejak beberapa generasi sudah menetap di Medan, jadi citarasa masakan pun khas Sumatera Utara.
Contohnya bebek ungkep ini. Orang Medan kalau masak ungkep seperti ini, pasti enaknya ditambah andaliman, salah satu rempah khas orang Sumatera. Aku juga baru tau setelah dijelaskan sama Bi Lasmi, karena aku bertanya soal rasa masakannya yang beda. Ternyata andaliman rahasianya.
Tiba-tiba, mataku melihat seorang anak kecil perempuan yang sedang memperhatikan kami dengan wajah pucat.
"Bik, itu anak siapa?" tanyaku pada Bi Lasmi yang duduk di sebelahku. Aku yang mengajak Bi Lasmi makan bersama dengan kami.
"Anak yang mana?" tanya Bi Lasmi.
"Yang i–" Seketika aku terdiam, ketika melihat anak itu sudah tak ada di dekat pintu dapur. Kemana dia? Padahal aku jelas sekali melihatnya tadi.
~~~~~~~~
Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y
“Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg