Share

Bab 6

Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. 

"Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. 

"Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. 

"Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. 

"Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. 

"Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang.

"Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. 

Entah kenapa, saat dia bilang dia abangku, aku merasa terharu sekali. Aku terlahir menjadi anak tunggal. Sering terbit rasa ingin memiliki saudara kandung. Entah itu abang, kakak, atau adik. Kehadiran Zain, nampaknya akan mewujudkan inginku. Walau gayanya agak urakan, sepertinya dia akan jadi abang yang baik buatku. 

"Saya suaminya!" 

Aku menoleh, mendengar suara Mas Mondi yang terdengar ketus. Sorot matanya memandang Zain dengan wajah tak suka. 

"Oh, ini suami kau. Ganteng juga. Pantas kau mau jadi istrinya. Perkenalkan, aku Zain. Zainy Nasution. Anggap saja, aku ini abang istri kau." Zain memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada Mas Mondi. 

Mas Mondi hanya melihat tangan Zain saja, lalu mengabaikannya. Aku jadi merasa tak enak dengan sikap Mas Mondi. Apa dia cemburu sama Zain? Padahal aku yakin, Zain sudah mengantisipasi, dengan mengatakan kalau menganggap dia abangku. 

Kulihat Zain menarik tangannya dengan wajah kecut, tapi disembunyikan di balik senyumnya yang manis. Badannya berbalik, jalan lagi ke arah Eyang. 

"Yang, Zain permisi ya. Udah mau Maghrib. Eyang pikirkan kata-kata Zain tadi. Zain yakin, Eyang masih bisa jalan lagi. Kejar-kejar bebek lagi," kata Zain. 

Aku lihat Eyang tertawa kecil sambil mengguyar kepala Zain yang menunduk mencium tangan Eyang. Kenapa Eyang sangat berbeda saat bersama Zain? Eyang yang kulihat tadi, saat baru datang, seperti tak memiliki harapan untuk hidup. Sementara dengan Zain, wajahnya tampak berseri. 

Memang sih, aku sendiri merasa lain saat pertama tadi melihatnya. Sulit aku menjelaskan, yang jelasnya, kayak senang aja gitu, kalau lihat dia? Mungkin karena dia kayaknya orang yang humoris ya. Katanya kan begitu, berdekatan dengan orang yang humoris, akan bikin hati selalu bahagia.

Zain jalan lagi ke arahku berdiri, tepatnya ke arah pintu sih, karena aku berdiri di dekat pintu. 

"Aku pulang, ya Bro. Kalau ada apa-apa, panggil aja. Rumahku nggak jauh. Nomor hapeku juga ada sama Eyang," katanya dengan percaya diri pada Mas Mondi. Aku lihat, Mas Mondi hanya menatapnya dingin. Baru kali ini aku melihat dia sejutek itu sama orang. 

Zain langsung berlalu dari hadapan kami. Aku mendekati Eyang dan kembali duduk di hadapan Eyang untuk menyuapinya makan lagi. Mas Mondi datang mendekati. 

"Yang, sebenarnya, Zain tadi minta Eyang ngapain. Kok kayaknya agak maksa?" tanyaku. 

"Dia mau bawa Eyang berobat, biar bisa jalan lagi," kata Eyang.

"Bagus dong Yang. Rachel setuju sama Zain. Eyang memang harus terapi. Rachel yakin, paling beberapa kali aja, Eyang bisa jalan lagi," kataku dengan semangat, berharap Eyang mau menurut. 

"Kan sudah Eyang bilang. Eyang sudah banyak melakukan terapi, tapi nggak ada hasil. Biarlah, mungkin sakit ini untuk melunturkan dosa-dosa Eyang di masa lalu," kata Eyang dengan pandangan menerawang. 

Aku menatap Eyang dengan tatapan menyelidik. Sepertinya kata-kata yang baru saja Eyang ucapkan memiliki makna yang sangat mendalam. 

"Yang, nggak bolehlah, pasrah seperti itu. Kan ada cara lain untuk menebus dosa masa lalu. Biar Rachel temani. Mumpung Rachel masih bisa kemana-mana." Aku tetap kasih support sama Eyang. Kalau nanti perutku semakin besar, pasti gerakanku semakin terbatas.

"Lagipula, Zain bukan mau ajak Eyang terapi tulang. Menurut Eyang, pengobatan yang Zain anjurkan itu percuma juga kalau diikuti." Dahiku mengernyit mendengarnya. 

"Terapi apa, rupanya yang Zain anjurkan sama Eyang?" tanyaku. 

"Dia mau bawa Eyang, ruqyah." 

Terus terang saja, agak terkejut sih aku mendengarnya. Buat apa Zain mau bawa Eyang ruqyah. Eyang tak bisa jalan, badannya lemas, bukan kesurupan. Aneh.

"Orang kayak dia itu aneh. Musyrik." Tiba-tiba Mas Mondi mengumpat. Terlihat emosi, meski tak terlalu. 

"Kok musyrik Mas? Ruqyah itu justru pengobatan yang dianjurkan dalam agama kita," kataku tak setuju dengan pemikiran Mas Mondi. 

Mas Mondi memang bukan orang yang taat agama, tapi biasanya dia juga tak menentang apa yang dianggap baik. 

"Bukan pengobatannya yang musyrik, maksud Mas, pemikiran si Zain itu. Dia pasti mikirnya, Eyang diguna-guna makanya jadi lumpuh. Terus nanti kalau dibilang pikirannya itu salah, dia akan bilang, kalau bisa saja hal itu masuk akal mengingat Eyang punya harta banyak, warisan dari Buyut. Sementara keturunan cuma kamu. Bisa saja ada yang iri dan ingin menguasai harta Eyang. Caranya, ya bikin Eyang lumpuh." 

Aku terbengong mendengar argumen Mas Mondi, yang bahkan tak terlintas di pikiranku. Lagian, darimana Mas Mondi tau, kalau harta Eyang warisan dari Buyut? Apalagi dia bicara dengan sangat berapi-api. 

"Mas, kamu kok, kayak lebih tau soal harta Eyang?" selidikku. 

Dia tampak terkejut mendengar pertanyaanku. 

"Eh, itu kan … kamu yang cerita. Masak kamu lupa," katanya. 

Aku diam, mencoba mengingat-ingat. Aku saja baru tau soal Eyang, kapan aku cerita soal harta Eyang sama Mas Mondi? Apa aku yang lupa? 

"Eyang sudah kenyang," kata Eyang saat aku akan menyuapkan lagi makannya. 

"Sayang, Mas lapar, kita makan yuk. Eyang kan sudah selesai," kata Mas Mondi. Entah benar lapar, atau hanya untuk mengalihkanku saja. 

"Eyang mau pindah ke tempat tidur," kata Eyang. 

Mas Mondi langsung bangkit, berinisiatif untuk mengangkat Eyang. Setelah Mas Mondi mengangkat Eyang, Eyang menyuruh kami untuk makan. 

Aku dan Mas Mondi keluar dari kamar Eyang, lalu menutup pintu kamarnya, agar Eyang bisa beristirahat dengan tenang. 

Melihat menu yang sudah disediakan Bi Lasmi di atas meja makan, membuat aku lupa soal keanehan Mas Mondi tadi. Bebek masak ungkep yang dimasak Bi Lasmi, benar-benar menggugah selera, dan beda dari yang pernah kubeli di Jakarta. 

Walau Bi Lasmi orang Jawa, sama seperti Eyang. Namun karena sudah sejak beberapa generasi sudah menetap di Medan, jadi citarasa masakan pun khas Sumatera Utara. 

Contohnya bebek ungkep ini. Orang Medan kalau masak ungkep seperti ini, pasti enaknya ditambah andaliman, salah satu rempah khas orang Sumatera. Aku juga baru tau setelah dijelaskan sama Bi Lasmi, karena aku bertanya soal rasa masakannya yang beda. Ternyata andaliman rahasianya. 

Tiba-tiba, mataku melihat seorang anak kecil perempuan yang sedang memperhatikan kami dengan wajah pucat.

"Bik, itu anak siapa?" tanyaku pada Bi Lasmi yang duduk di sebelahku. Aku yang mengajak Bi Lasmi makan bersama dengan kami. 

"Anak yang mana?" tanya Bi Lasmi.

"Yang i–" Seketika aku terdiam, ketika melihat anak itu sudah tak ada di dekat pintu dapur. Kemana dia? Padahal aku jelas sekali melihatnya tadi. 

~~~~~~~~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maya Tatiana
lumayan .lanjut ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status